"Semuanya sangat mewah, tangan dan leher mereka dipenuhi emas yang berkilau." Elena mulai bercerita mengenai pesta yang sedang berlangsung.
"Benarkah?" Tanya Melinda penasaran. "Berapa banyak yang datang?""Banyak sekali, aulanya penuh.""Wah."Bella memperhatikan keduanya dalam diam. Biasanya Bella suka mengintip pesta yang tengah berlangsung, lebih ke rasa penasaran; ingin mengetahui bagaimana kehidupan mereka lewat obrolan yang ia tangkap.Namun malam ini, Bella tidak bisa melakukannya. Sakit kepalanya kambuh dan jika ia bersikeras untuk bangun, ia hanya akan berguling di lantai.Hal terakhir yang ia inginkan adalah mengacaukan pesta dan mendapat hukuman cambuk lagi, atau mungkin hukuman yang lebih parah.Para budaklah yang memberitahunya kegiatan di pesta setelah membersihkan dapur. Untungnya Tuan Hugo dan Nyonya Deborah sedang sibuk menyambut tamu hingga tidak sadar dengan ketidakhadiran Bella. Ia akan dihukum jika tidak bekerja sekalipun sedang sakit.Jadi, pesta diselenggarakan pukul tujuh tepat. Aula tengah yang telah didekorasi sedemikian rupa tampak indah di bawah sinar kandelar yang hangat. Meja-meja panjang disusun di sudut ruangan dengan berbagai makanan menggiurkan di atasnya. Di sampingnya, disediakan berbagai macam minuman.Sudah banyak tamu yang datang dari berbagai kalangan, khususnya rekan bisnis Tuan Hugo. Pakaian mereka semua meneriakkan harta yang mereka miliki—mahal dan berkelas.Beberapa pelayan pria yang disewa terlihat mondar-mandir menawarkan makanan kecil dan minuman. Hiruk-pikuk suara percakapan mereka terdengar sampai ke gudang belakang.Bella menghela napas, entah jam berapa sekarang, namun Talia, Elena, dan Melinda sudah mulai tidur. Pesta di luar sana masih terdengar riuh oleh percakapan para tamu yang hadir.Detik-detik berlalu dalam keheningan. Rasanya belum lama mata Bella terpejam saat suara percakapan para tamu berubah menjadi teriakan melengking, sarat akan ketakutan dan kepanikan."Kebakaran! Kebakaran!""Cepat padamkan apinya!""Telepon pemadam kebakaran!"Kebakaran? Apa yang terjadi? Apakah ia tengah bermimpi?Mata Bella perlahan terbuka dan suara-suara yang berteriak tadi semakin menggelegar. Sudah jelas ini bukan mimpi.Kepalanya berpaling dengan cepat ke tempat tidur budak lainnya, mereka telah terjaga dan menatap sama bingungnya."Apakah ini bagian dari pesta seperti tahun lalu?" Talia memecah keheningan."Mungkin," sahut Melinda dan Elena mengangguk setuju.Benarkah?Bella mengernyit, merasa tidak yakin. Pasalnya teriakan mereka begitu histeris, tidak mungkin mereka hanya berpura-pura.Melinda yang melihat ekspresi tidak percaya di wajah Bella memutuskan untuk mengeceknya sendiri. "Aku akan mengeceknya," katanya, bangkit dari kasur.Melinda berjalan dengan tergesa menuju pintu, memperhatikan keadaan sebentar sebelum melangkah keluar. Mereka bertiga menunggu dalam keheningan. Jantung Bella berdebar tidak karuan, firasatnya mengatakan ada sesuatu yang buruk terjadi. Terlebih ketika suara-suara diluar sana semakin gaduh.Dan benar saja, Melinda muncul kembali dengan tergopoh-gopoh, ekspresinya dipenuhi ketakutan. "A-ada kebakaran," katanya tergagap. "Ya Tuhan! Di-di luar sana benar-benar kebakaran! Kita harus keluar! CEPAT!"Talia dan Elena melompat terkejut, mereka berlari ke kasur Bella dan membantu si gadis untuk bergegas bangun. Mereka berjalan tergesa-gesa keluar dari kamar, menyusuri lorong dengan panik. Rasa pusing di kepala Bella semakin bertambah, tetapi ia berusaha untuk berjalan cepat mengimbangi langkah ketiganya.Mereka akan kemana? Apa yang terjadi? Kenapa bisa terjadi kebakaran?Ada banyak pertanyaan yang menggantung di kepala Bella, namun sekarang bukan waktu yang tepat untuk bertanya. Bau asap tercium dari lorong yang mengarah ke aula utama. Mereka berhenti sejenak di bukaan lorong, menatap suasana pesta yang tadinya meriah berubah menjadi kacau-balau.Sumber kebakaran entah berasal dari mana, tetapi kini api telah melalap sebagian besar furnitur aula yang terbuat dari kayu. Api dengan cepat berpindah ke bagian tengah, menyebar dan membakar beberapa hiasan yang dirangkai dari daun dan bunga kering.Beberapa pengawal dan tamu berusaha untuk memadamkan api yang telah membesar. Tetapi kebanyakan dari mereka lebih memilih untuk berlari keluar, berdesak-desakan di pintu yang kecil. Bella menatap ngeri seorang pria yang terjatuh dan terinjak-injak oleh para tamu.Pandangannya menyapu seisi ruangan, mencari-cari keberadaan Tuan Hugo dan Nyonya Deborah."Dimana Tuan dan Nyonya?" Ia bertanya, menatap ketiga budak yang rupanya juga tengah mencari eksistensi sang majikan."Mungkin mereka sudah berada di luar," jawab Elena."Tapi mungkin saja mereka masih berada di kerumunan itu," sahut Talia, menunjuk lautan manusia di depan sana. "Kau tahu, kita bisa memanfaatkan hal ini."Elena mengernyit. "Apa maksudmu?""Kita bisa kabur. Kita bisa pergi dari sini," ucap Talia dengan menggebu-gebu.Itu bukan ide yang bagus, pikir Bella. Itu ide yang mengerikan.Namun lagi-lagi ia tidak bisa menyuarakan pikirannya sebab tangannya susah ditarik menuju lorong lain. "Tunggu—""Bella cepat! Kita akan keluar lewat jendela!" Talia menyela dengan panik. Elena sudah berlari menuju jendela dan membuka salah satunya."Tidak, kita tidak bisa—" Bella menggeleng, tubuhnya stagnan di tempat.Karena Bella tidak kunjung bergerak, Talia dan Elena melompat keluar terlebih dulu. "Ayo!" Panggil Talia sembari mengulurkan tangannya.Bella melirik Melinda yang tampaknya sedang bingung, antara ingin ikut atau tetap tinggal. Bella menggeleng pelan. "Mereka akan tetap menemukan kita!""Tidak, jika kita pergi ke tempat yang sangat jauh." Elena bersikeras. Ia menarik tangan Bella, sementara Talia menarik Melinda untuk segera keluar.Tubuh Bella yang lemah karena sakit tidak bisa menahan tarikan Elena. Ia terpaksa melompat keluar dengan jantung yang memukul bak genderang. Bella tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika Tuan Hugo menemukan mereka.Mereka akan dihabisi."Tuan Hugo akan marah besar," bisik Bella, tubuhnya mulai berkeringat dingin karena ketakutan. Mereka berjongkok dibelakang mobil-mobil para tamu yang terparkir. "Sebaiknya kita—"Elena menggeleng keras. Dia dan Talia benar-benar berambisi untuk kabur, pendapat Bella tidak lagi didengar."Dengar, kesempatan seperti ini tidak akan datang dua kali," gumam Talia. Ia dan Elena bergerak maju dengan perlahan sambil membaca situasi. Para tamu masih terpaku pada kebakaran yang terjadi di sisi kanan rumah.Mereka menyelinap di antara mobil satu ke mobil yang lainnya hingga tiba di depan gerbang yang setengah terbuka, tanpa satu pun penjaga. Para penjaga pasti sedang berusaha memadamkan api di aula utama.Tanpa berpikir dua kali, para budak berlari keluar, membuat Bella spontan ikut berlari. Tidak mungkin ia berhenti tiba-tiba di sini dan dipergoki oleh Tuan Hugo atau Nyonya Deborah.Bella memeluk tubuhnya yang menggigil saat angin kencang berembus melewatinya. Ia berusaha berlari mengimbangi langkah ketiga budak lainnya, tetapi rasa pusing kembali melanda kepalanya, membuat pandangannya berkunang-kunang. Ia terus berjalan dengan linglung, tetapi baru beberapa langkah, ia kembali berhenti karena perutnya terasa nyeri.Ia sangat lapar.Langkahnya semakin goyah dan ia memutuskan untuk berhenti. Presensi ketiga budak lainnya dengan cepat menghilang saat tidak lagi terkena cahaya dari lampu gerbang.Digosoknya sisi kepalanya berulang kali, berharap dengan itu rasa pusingnya menghilang. Ia hanya harus pergi sejauh mungkin dari sini.Memaksa kedua tungkainya untuk kembali berlari, Bella mendapati dirinya kebingungan sendiri. Ia tidak tahu harus ke mana. Tidak ada lagi tanda-tanda dari ketiga budak lain. Jalanan begitu kosong. Sejauh mata memandang, yang terlihat hanya pohon yang menjulang, hutan, dan kegelapan tanpa akhir.Ia harus ke mana? Di mana pemukiman terdekat?Bella menatap jalanan dengan bingung ketika suara mobil terdengar dari kejauhan. Kepalanya menoleh ke belakang dan matanya membelalak ngeri menyadari siapa pemilik mobil tersebut.Pengawal majikannya."Ya, Tuhan. Ke mana aku harus pergi?"“Awas! Itu ada di mana-mana! Sebaiknya tepikan sepedamu di tempat lain!”Musim panas telah tiba. Kehangatan, liburan, dan piknik yang dirindukan oleh semua orang ada di depan mata. Tetapi, saat itu pula tanaman tumbleweed memulai perjalanannya untuk mencari mangsa. Bella tidak tahu sudah berapa kali ia memberi peringatan pada anak-anak yang tengah bersepeda.Tanaman itu menggelinding seperti bola di sepanjang jalan yang berdebu. Setiap kali angin bertiup kencang, ada saja tanaman tumbleweed penuh duri yang melintas. Bukan hanya satu, tetapi tiga sampai empat sekaligus. Anak-anak mulai berteriak saat kulit atau ban sepeda mereka tertusuk.“Sayang, biarkan saja mereka. Mereka sendiri yang ingin bersepeda ke sana,” kata Damian seraya membelokkan mobilnya ke jalan utama.Bella menoleh dengan tatapan tajam dan Damian mengatupkan bibirnya. “Tetap saja, mereka hanya anak-anak!” protes Bella.Damian menghela napas dan mengangguk mengiyakan. “Baiklah, baiklah. Terserahmu saja, Sayang,” ucapny
“Apa kau sungguh ingin meninggalkan desa kita dan pergi bekerja di kota saat dewasa nanti?”“Ya, aku tidak ingin makan tumis jamur liar terus. Aku ingin sering makan daging dan membelikan apa pun untuk Ibuku,” jawab Bella, menatap Damian dengan senyum kecil.Bibir Damian mengerucut dan ia tampak merenung untuk sejenak. “Ayah juga pernah bilang ingin pergi ke Pennsyl, tapi aku belum tahu apa itu sungguhan,” katanya kemudian.“Berarti kita akan sama-sama meninggalkan desa. Apa kau pikir desa kita akan berubah?”“Entahlah. Saat kita tumbuh dewasa, mungkin desa kita sudah berubah menjadi kota.”Bella mengangguk setuju. “Mungkin.”Kenyataannya tidak begitu. Desa mereka telah menghilang.Bella tersenyum sendu mengingat kenangan masa lalunya. Bella dan Damian kecil yang penuh dengan mimpi dan harapan. Mereka tidak pernah mengira bahwa masa depan akan menjadikan mereka sebagai budak dan mafia.Hidup terus berjalan. Orang-orang pergi dan berdatangan. Tempat yang mereka kira takkan berubah pun k
Bella menatap suaminya, napasnya masih terengah-engah setelah ciuman panjang mereka. Rasa alkohol yang pahit tertinggal di mulutnya.Senyum tipis merekah di bibir Damian, tetapi matanya terasa membakar seluruh tubuh Bella. Mereka telah melakukannya beberapa kali sebelum pernikahan, tetapi malam ini, Damian tampak berbeda.Ini bukan efek alkohol atau minuman apa pun. Mereka tenggelam dalam gairah dan hanya ada satu hal yang dapat meredakan gejolak itu.Damian membungkuk dan menciumi rahang hingga leher Bella yang terbaring telentang di atas kasur. Bibirnya yang lembap meninggalkan jejak basah di kulit Bella, membuat gadis itu tanpa sadar mendesah. Tangan Bella bergerak turun untuk mengusap pinggang Damian.“Ya, sentuh aku di sana, Sayang,” gumam Damian serak. Suaranya rendah, menggoda.Bella menggerakkan tangannya semakin ke bawah dan napas Damian memberat. Damian memiliki pinggang yang ramping, padat, dan berotot, sementara bahu dan pundaknya lebar.Tubuhnya atletis, terbentuk dengan
“Dagingnya matang sempurna, itu terlihat enak.”“Kau mau?”“Tidak, aku hanya ingin memasukkannya ke dalam mulutku, brengsek!”“Sama saja kau mau, dasar bajingan!”“Memangnya aku tadi bilang apa?”“Heh! Mulutmu bau telur busuk!”Bella menggeleng-geleng mendengar percakapan heboh dari para anggota organisasi. Mereka tidak pernah menggunakan filter saat berada di mansion. Semua umpatan dan kata-kata kotor diucapkan secara gamblang.Di luar, mereka mungkin menunjukkan kesopanan dan sikap manis yang tidak ada duanya. Tetapi di wilayah mereka sendiri, semuanya serba transparan.Malam ini, setelah acara resepsi usai, mereka mengadakan perayaan kecil dengan membakar daging di halaman samping mansion. Hanya keluarga Damian dan anggota organisasi yang tinggal, sisanya sudah pulang sejak jam 5 sore.Bella duduk di salah satu bangku sambil menikmati anggurnya. Ia hanya minum sedikit, tidak sampai segelas. Di sisi lain, Damian entah sudah menghabiskan berapa botol anggur.Dia ikut membakar daging
“Kuenya sangat enak. Ibu sendiri 'kan yang membuatnya bersama yang lain?”Helena mengangguk, dan memberikan sepotong kue lagi ke dalam piring Bella. “Iya, kami membuatnya bersama-sama. Ibu senang kau menyukainya, Sayang. Damian juga sudah mencobanya?”“Sudah, Ibu. Dia menghabiskan tiga potong sebelum pergi ke sana.” Bella mengedikkan kepalanya ke seberang ruangan, tempat di mana Damian sedang bicara dengan rekan bisnis Martinez. “Ibu sudah makan?”“Sudah. Jangan khawatirkan, Ibu, ya.” Helena tersenyum simpul. Jemarinya dengan lembut merapikan leher gaun Bella yang terlipat, kemudian ia menatap wajah putrinya lekat-lekat.Terlihat jelas bahwa Helena masih tidak menyangka bahwa putri satu-satunya yang ia miliki telah menikah. Helena tidak bisa berhenti mengucap rasa syukur. Setiap kali ia menatap Bella cukup lama, rasanya air matanya akan tumpah.Itu semua adalah air mata kebahagiaan.Seorang ibu yang sepanjang hidupnya membesarkan anaknya dalam keadaan menyedihkan, bahkan menyeretnya k
“Damian?”“Hm?”“Damian?”“Ya?”“Vergara?”“Apa?!” Damian menoleh sepenuhnya dengan wajah jengkel. Ia tidak mengerti kenapa Bella sejak tadi hanya terus memanggilnya tanpa mengatakan apa-apa.Bella cengengesan. “Kau marah?”“Tidak. Tapi kenapa kau terus memanggil?”“Aku ingin tahu apa...” Bella memainkan tangannya dan terlihat ragu-ragu sejenak. “Apa kau mau menemaniku mencari jamur liar di hutan?”Damian mengernyit. Tangannya yang tengah membilas badan kuda mendadak terhenti. Ia menatap Bella dengan saksama. “Apa ayahmu masih belum pulang?”Bella menunduk, menatap air sungai yang telah keruh. Mereka hampir selesai memandikan kuda ayah Damian dan berniat pulang. “Iya. Ibu tidak punya uang untuk membeli gandum.”Terdengar helaan napas berat, kemudian Damian menyahut pelan, “Baiklah. Aku akan menemanimu.”Bella langsung mengangkat kepalanya. “Benarkah? Tapi apa ayahmu tidak marah?”“Tidak akan. Kau tunggu di sini, aku akan membawa pulang kuda ini dulu.”Bella mengangguk patuh dan keluar