แชร์

Kunjungan Penghuni Rumah Jelita

ผู้เขียน: Nooraya
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-10-09 20:14:10

“Jadi ... kau perempuan barunya Adrian?”

Kalimat itu meluncur tajam dari mulut salah satu wanita di hadapanku. Aku tidak mengerti, kenapa banyak orang menyebutku dengan sebutan seolah-olah aku perempuan murahan seperti itu?

“Maaf, apa maksud Anda? Saya tidak mengerti,” ujarku hati-hati.

“Tcih.” Seorang wanita bergaun merah marun dengan potongan bahu terbuka menyilangkan tangan di dada. Tatapannya sinis. “Jangan berpura-pura polos. Bisa tinggal di sisi Adrian, artinya kau sudah menjual dirimu sendiri padanya.”

Wanita di sebelahnya menimpali dengan nada tajam, “Aku heran, selera Tuan Adrian kali ini benar-benar menurun.”

Yang terakhir ikut menambahkan dengan senyum mengejek. “Kau sama sekali tidak terlihat istimewa, tapi bisa menempati rumah ini. Jadi, selain tubuhmu, apa lagi yang sudah kau jual padanya?”

Aku menatap mereka dengan tidak percaya. Jadi, hal seperti itukah yang mereka pikirkan tentangku?

Meski ketiga wanita itu berdiri dengan anggun, aura mereka begitu menekan hingga membuatku sedikit goyah.

Sekar, yang sejak tadi berdiri di sampingku, segera melangkah maju dan berdiri sedikit di depanku. “Maaf, Nona-nona,” ucapnya sopan, “Nona Melati baru saja pulang dari kampus. Beliau pasti lelah. Sebaiknya—”

“Diam.” Wanita bergaun merah itu memotong kasar, menatap Sekar dengan mata dingin. “Kau hanya pelayan, jangan ikut campur urusan para nona.”

Sekar menundukkan kepala, diam.

“Kami di sini hanya ingin tahu, rupa perempuan yang sampai membuat Adrian rela membiarkan rumah ini ditinggali,” kata wanita itu dengan nada tinggi.

Aku mengepalkan tangan, berusaha menekan rasa takut. Sebisa mungkin kutahan suaraku agar tidak bergetar. “Sekarang, Nona-nona sudah melihat sendiri seperti apa perempuan itu. Jadi, silakan pergi.”

Wanita bergaun merah itu tersenyum miring. “Berani juga kau.” Ia mendekat perlahan. Suara hak sepatunya yang menekan marmer membuatku tercekat. “Berhati-hatilah, Sayang. Di Kediaman Cempaka ... tidak ada yang bertahan lama karena berani melawan.”

Aku menatapnya tanpa berkata apa-apa. Dalam diam, aku mencoba menegakkan diri. Aku tidak tahu siapa mereka sebenarnya, tetapi dari cara bicara dan pakaian mereka, jelas bahwa semuanya bukan orang sembarangan di rumah ini.

Tanganku masih mengepal kuat begitu ketiga wanita itu berjalan melewatiku. Salah satu dari mereka menyenggol bahuku dengan cukup keras hingga aku hampir limbung, jika saja Sekar tidak sigap menangkapku.

“Nona tidak apa-apa?” tanya Sekar cemas.

Aku menggeleng samar. “Tidak apa-apa.”

Rasanya sedikit lega ketika melihat ketiga punggung itu menjauh meninggalkan halaman. Setelah mereka benar-benar pergi, aku pun menatap Sekar. “Siapa mereka sebenarnya, Sekar?”

Sekar sempat ragu sebelum menjawab, “Mereka ... adalah nona-nona dari Rumah Jelita.”

“Rumah ... Jelita?”

“Iya, Nona. Jika Nona berada di rumah utama dan melihat ke sisi kiri, maka akan terlihat sebuah bangunan besar bernuansa putih dan emas. Itulah Rumah Jelita.”

Karena kejadian malam ini, akhirnya Sekar menceritakan kepadaku segala hal tentang Kediaman Cempaka. Dari penjelasannya, aku lantas tahu bahwa bangunan megah di sisi kiri rumah utama—yang sekilas kukira vila tamu—ternyata adalah tempat tinggal para wanita simpanan Tuan Adrian.

Aku duduk di ruang makan, sementara Sekar berdiri menuangkan teh hangat ke dalam cangkirku. Uapnya mengepul lembut di udara malam yang sunyi.

“Kediaman Cempaka memiliki tiga bangunan besar,” ujar Sekar sambil duduk di seberangku. “Satu bangunan utama untuk Tuan Adrian, dan dua lainnya berada di sisi kanan dan kiri, menghadap ke rumah utama.”

“Setiap rumah punya fungsi dan penghuninya masing-masing,” lanjutnya. “Rumah utama hanya ditempati oleh Tuan Adrian. Di sana, beliau bekerja, beristirahat, dan menerima tamu. Pelayan yang boleh masuk pun hanya pelayan senior yang sudah lama mengabdi padanya.”

Aku mengangguk perlahan, mendengarkan setiap kata.

“Sedangkan rumah yang saat ini Nona tempati ... disebut Rumah Bunga,” kata Sekar sambil tersenyum samar. “Sebagian besar lahannya dipenuhi tanaman dan berbagai jenis bunga. Sisanya adalah bangunan rumah ini, dengan lantai paling atas difungsikan sebagai rumah kaca. Rumah yang memang dirancang untuk tempat bersantai Tuan Adrian.”

Aku menatap sekeliling, mendadak memahami kenapa rumah ini terasa begitu tenang. “Lalu ... bagaimana dengan rumah di sisi kiri itu?”

Sekar menjawab, “Itu adalah Rumah Jelita.”

“Rumah Jelita?”

“Iya, Nona. Rumah Jelita ... adalah tempat tinggal para wanita pilihan Tuan Adrian.” Sekar terdengar cukup berhati-hati menyebutnya.

Aku menatapnya bingung. “Wanita pilihan? Maksudmu ....”

“Mudahnya,”—Sekar mengecilkan volume suaranya—“itu adalah rumah para wanita simpanan Tuan Adrian.”

Aku terdiam. Sekarang, semua cibiran dan tatapan aneh yang kuterima akhir-akhir ini terasa masuk akal.

“Jadi, wanita-wanita tadi ... mereka ....”

Sekar mengangguk. “Benar, Nona. Mereka para penghuni Rumah Jelita. Wanita yang telah dipilih Tuan Adrian untuk melayaninya.”

Aku bukan perempuan polos yang tidak mengerti maksud kata “melayani” yang dipakai Sekar. Melihat penampilan wanita-wanita tadi, aku pun bisa langsung menemukan kesesuaiannya.

“Rumah Jelita berukuran besar, hampir menyamai rumah utama,” lanjut Sekar. “Setiap nona di sana memiliki kamar sendiri dengan fasilitas mewah dan seorang pelayan pribadi. Namun ....”

Aku menatap Sekar lekat-lekat. “Namun kenapa?”

Sekar balas menatapku, lalu berkata dengan nada nyaris berbisik, “Meski terlihat seperti istana, suasana di dalam Rumah Jelita tidaklah ramah. Rumah itu ... sudah mirip seperti istana harem. Persaingan di antara para nona sama persis seperti selir di istana raja.

“Hanya mereka yang kuat dan cerdik yang bisa bertahan. Sementara yang tidak cukup kuat ... mereka akan tersingkir. Entah dengan cara baik-baik, atau ... tiba-tiba menghilang tanpa jejak.”

Aku terdiam, berkedip beberapa kali, lalu beralih menatap dan memegang cangkir teh hangat yang kini sudah mulai dingin.

Sulit rasanya mempercayai bahwa semua ini sungguh nyata. Kupikir, hal seperti ini hanya ada di dalam novel. Namun ternyata, perempuan-perempuan dengan segala intrik dan persaingan demi merebut hati satu pria ... itu benar-benar ada.

Dan jika segalanya memang berjalan seperti kisah dalam novel, lantas mungkinkah saat ini aku menjadi tokoh yang akan disingkirkan para selir yang merasa tersaingi?

Ah ... memikirkannya saja sudah membuatku merinding.

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Gadis Kesayangan Tuan Adrian   Ternyata Belum Selesai

    Aku berdiri termenung sendirian di dalam lift. Apa yang terjadi barusan di ruang kerja Tuan Adrian terus berputar di kepalaku.Apa yang ia katakan dan lakukan untukku ... sedikit-banyak menghangatkan hati.Awalnya aku memang marah. Rasanya ia melangkah terlalu jauh dan mengambil keputusan seenaknya. Namun semakin kupikirkan, alasan untuk marah itu malah semakin lemah.Meski Tuan Adrian bilang bahwa ia menyerahkan sahamnya karena ada rencana lain, tetap saja semua itu berawal dari masalahku dengan Nina. Lagi-lagi, akulah yang menyeretnya ke dalam masalahku.Karena aku, Tuan Adrian sendiri yang harus turun langsung menghadapi Tuan Hatmoko. Dia juga yang meminta agar Nina dikirim ke luar negeri, agar Nina tidak bisa lagi menggangguku. Semua itu ... demi aku.Semua risiko ditanggung oleh Tuan Adrian. Sementara aku ... hanya perlu melanjutkan hidup dengan tenang.Tuan Adrian tidak menuntut apa pun dariku sebagai balasan. Ia hanya ingin aku patuh padanya dan menjauhi Kak Arga.Kata-kata Tua

  • Gadis Kesayangan Tuan Adrian   Hutang Budiku Bertambah

    Aku berdiri tidak jauh dari tempat Tuan Adrian duduk. Untuk beberapa saat, tidak ada satu kata pun yang keluar dari kami.Hanya ada keheningan yang memenuhi ruangan. Aku dan Tuan Adrian seolah tenggelam dalam pikiran masing-masing. Ada terlalu banyak hal yang ingin kukatakan, dan terlalu banyak hal yang ingin kudengar darinya.Entah penjelasan, teguran, atau apa pun itu, yang jelas kepalaku saat ini penuh dan kacau.“Ada yang ingin kau katakan, Melati?” Suara Tuan Adrian akhirnya memecah kesunyian itu.Aku membuka mulut, tetapi masih tidak ada kata keluar. Setelah menarik napas panjang, barulah aku bisa berkata, pelan.“Apakah benar ... kalau Nina pindah ke luar negeri karena Anda yang memintanya, Tuan?”Tuan Adrian memandangku. Tatapannya sama sekali tidak goyah.“Ya.” Sesingkat itu ia menjawab.Dadaku seperti ditarik sampai sesak. “Kenapa Anda melakukannya?”Masih dengan tenang Tuan Adrian menjawab, “Aku tidak suka masalah yang berlarut. Jika ada cara untuk menyelesaikannya dengan c

  • Gadis Kesayangan Tuan Adrian   Demi Aku

    Aku menahan napas, berusaha menangkap lebih jelas suara-suara dari balik pintu ruang istirahat Tuan Adrian.“Kau mengundangku ke sini ... apa kau sudah akan memberikan saham yang kau janjikan padaku?” Suara Tuan Hatmoko terdengar tajam.Tuan Adrian tidak langsung menjawab. Ia hanya tersenyum tipis. “Apa saham itu benar-benar sangat berarti untuk Anda, Tuan Hatmoko?”“Tch.” Suara Tuan Hatmoko penuh kesal. “Ini bukan soal penting atau tidak penting. Ini soal kesepakatan kita. Ingat! Karena perempuan kampung itu, anakku harus menanggung akibatnya. Dia bahkan mengalami gegar otak ringan dan terpaksa tinggal di luar negeri.”Jantungku serasa berhenti sesaat. Setelahnya, aku refleks menarik kepalaku menjauh dari pintu.Perempuan kampung? Aku? Apa maksudnya itu?“Aku juga sudah menepati janjiku,” lanjut Tuan Hatmoko. “Pihak kami diam. Kami tidak memperpanjang masalah itu, padahal Nina yang paling dirugikan dalam hal ini.”Perlahan aku kembali mendekat, menyatukan telingaku ke celah kecil pin

  • Gadis Kesayangan Tuan Adrian   Ruang Istirahat

    Setelah beberapa saat saling menatap tajam, akhirnya Kak Arga memutuskan tatapan itu lebih dulu. Ia meletakkan berkas di tangannya ke atas meja, tepat seperti yang diperintahkan Tuan Adrian.Melihat itu, Tuan Adrian hanya berkata singkat, “Sekarang pergilah.”Tanpa banyak bicara, Kak Arga bangkit. “Baik. Kalau begitu, saya kembali ke bawah, Tuan.”“Hm,” sahut Tuan Adrian tanpa menoleh. Sementara itu, Kak Arga menunduk hormat, lalu sempat sekilas menatapku, sebelum akhirnya keluar dari ruangan.Begitu Kak Arga pergi dan pintu kembali tertutup, ruangan kerja ini pun kembali sunyi.Aku melirik ke arah Tuan Adrian. Lalu bertanya ragu, “Tuan ... mau saya suapi lagi?”Ia tidak langsung memberiku jawaban. Melainkan, malah membuka botol minuman yang kubawa dan meneguknya pelan sambil bersandar pada sofa.Baru setelah ia meletakkan botol itu ke meja, Tuan Adrian menjawab, “Tidak usah. Letakkan saja di sini, nanti aku makan sendiri.” Nada suaranya berubah dingin lagi.Entahlah, aku tidak menger

  • Gadis Kesayangan Tuan Adrian   Pagi yang Aneh

    Pagi ini aku baru tahu kalau sejak kemarin Tuan Adrian tidak pulang. Sekar yang memberitahu, sementara ia tahu dari Kak Danu. Katanya, kemarin Tuan Adrian lembur sampai larut dan akhirnya memutuskan untuk tidak pulang.Informasi itu membuatku sedikit kecewa. Sebab, pagi ini aku sudah memiliki semangat lebih untuk melayani Tuan Adrian.Sebenarnya, Tuan Adrian lembur sampai tidak pulang seperti ini sama sekali tidak mengejutkan. Namun, untuk kali ini terasa sedikit berbeda.Entahlah, mungkin karena beberapa hari kemarin suasananya seperti sedang perang dingin, dan hari ini aku ingin mulai mencairkan suasana, tetapi malah mendapatkan realitanya yang tidak sesuai dengan ekspektasiku.“Nona,” panggil Sekar, “tadi Kak Danu juga berpesan, supaya Nona menyiapkan pakaian ganti dan juga bekal makanan untuk Tuan Adrian ke kantor.”Aku sedikit bingung, mencoba mencerna baik-baik perintah itu. Meyakinkan diri bahwa aku tidak salah dengar. “Oh ... iya.”Permintaan itu tidak aneh sebenarnya, tetapi

  • Gadis Kesayangan Tuan Adrian   Kalimat Teka-teki

    “Bagaimana kabarmu dengan Adrian, Melati?”Pertanyaan itu datang begitu saja dari Nyonya Vanya, tenang, lembut, dan juga tidak terduga sama sekali.Aku menjawabnya dengan suara yang lirih, bahkan untukku sendiri. “Baik ... Nyonya.”Mata Nyonya Vanya sempat mengarah ke permukaan meja sebelum kembali terarah padaku. Ada sorot di matanya yang seolah sedang menilai luka tidak terlihat.“Kalau benar begitu,” ucapnya pelan, “aku ikut senang.”Aku mengangguk perlahan, berusaha tampak tenang meski jantungku sedang berdetak panik.Beberapa detik berlalu dengan hening, sebelum Nyonya Vanya kembali berbicara dengan suara yang terdengar lebih dalam. “Berhubungan dengan pria seperti Adrian ... pastinya tidak mudah, kan, Melati?”Aku langsung terdiam. Kata-katanya mengenai sisi terdalamku yang sedang terluka.Tidak ada nada sindiran. Tidak ada nada meremehkan. Hanya ... sebuah ungkapan jujur dari seorang perempuan yang tampaknya memahami rasa itu.Aku mencoba berbicara, namun satu-satunya kata yan

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status