Berbeda dari pagi-pagi sebelumnya, kali ini aku tidak langsung membuka pintu kamar Tuan Adrian begitu saja. Aku masih sedikit trauma dengan kejadian kemarin. Rasanya seperti ... jika aku kembali masuk tanpa permisi, mungkin kali ini aku benar-benar tidak akan selamat.
Aku menarik napas panjang sebelum mulai mengetuk pintu. Satu, dua, tiga kali aku mengetuk, masih tidak juga ada jawaban. Aku pun mengetuk semakin keras. Karena tetap tidak ada respon dari dalam, aku mengepalkan tangan lebih kuat dan mulai “menggedor” pintu dengan sekuat tenaga, tanpa jeda. Tidak lama kemudian .... Klek. Pintu kamar itu terbuka dari dalam. Kini terlihat Tuan Adrian berdiri di ambang pintu dengan wajah sedikit kesal dan rambut yang masih berantakan. Ia hanya mengenakan kemeja tidur berwarna hitam yang bagian atasnya terbuka lebar, memperlihatkan sebagian dadanya. Aku menelan ludah dan membatin, kenapa orang ini selalu terlihat seksi di pagi hari? Padahal dia baru saja bangun tidur. Tatapan dingin Tuan Adrian menghujamku. “Kau tidak bisa masuk sendiri dan membangunkanku dengan pelan?” Aku mengedipkan mata, berusaha memaksa diriku kembali ke realita. “Maaf, Tuan. Saya ... takut mengganggu ranah pribadi Anda,” jawabku jujur. Lagi-lagi aku mendengar helaan napas panjang dari Tuan Adrian. Wajahnya masih terlihat tidak senang. “Baiklah,” katanya datar. “Sekarang aku sudah bangun. Tunggu saja aku di bawah.” Aku baru akan berucap, tetapi ia sudah lebih dulu menimpali. “Aku akan menyiapkan bajuku sendiri.” Pada akhirnya aku hanya bisa mengangguk. “Baik, Tuan.” Lalu pergi ke ruang makan untuk menyiapkan sarapan. ** Beberapa saat kemudian, di ruang makan. Ketika aku selesai menata semua peralatan makan di meja, tiba-tiba seorang wanita memasuki ruangan. Ia tampak dewasa, cantik, dan elegan, sangat berkelas dengan perhiasan dan barang mewah yang melekat padanya. Belum sempat aku bertanya siapa dia, wanita itu sudah lebih dulu bicara. “Di mana Adrian?” “Tuan Adrian ....” “Untuk apa Anda ke sini, Nyonya?” Suara berat itu muncul dari arah tangga. Tuan Adrian berjalan turun, sementara wanita itu menatapnya tajam. “Adrian, apa maksudmu memberikan saham kepada Hatmoko?” tanyanya tanpa basa-basi. Tuan Adrian melangkah ke kursinya. Aku pun segera menarikkan kursi untuknya. “Jadi, Anda pagi-pagi ke sini hanya untuk menanyakan hal itu?” balasnya dengan nada datar. “Adrian, kau paling tahu betapa liciknya Hatmoko. Tapi kenapa tiba-tiba kau membawanya masuk ke dalam grup kita? Apa kau sudah gila?” Mendengar nama Hatmoko, pikiranku langsung tertuju pada sosok ayah Nina yang kutemui beberapa waktu lalu. Jika tidak salah, Danu pernah menyebut ayah Nina sebagai Tuan Hatmoko. Apakah mungkin ... Hatmoko yang dimaksud wanita ini adalah orang yang sama? Di tengah lamunanku .... “Melati.” Suara Tuan Adrian menyentakku. “Kau ingin aku mengambil sendiri makananku?” “Oh ... maaf, Tuan.” Segera kulayani ia, mengambilkan makanan ke piringnya. Wanita tadi ikut menarik kursi di sisi meja. “Sajikan juga untukku,” perintahnya. Aku terdiam, sedikit bingung. Namun, karena tidak mungkin membantah, aku pun mengangguk pelan. “B-baik.” Namun, tidak lama kemudian terdengar suara keras ketika Tuan Adrian menepukkan tangannya ke atas meja. Aku spontan menoleh. Terlihat rahang Tuan Adrian mengeras. “Apakah Rumah Seruni tidak memiliki koki dan pelayan yang bisa melayani Anda, Nyonya?” “Adrian ....” Wanita itu meraih tangan Tuan Adrian yang ada di atas meja, tetapi Tuan Adrian segera menepisnya. Aku terpaku. Apa-apaan ini? Tuan Adrian bangkit sambil merapikan jasnya. “Aku akan berangkat ke kantor sekarang,” ucapnya kepadaku, lalu pergi meninggalkan ruang makan. Tidak lama kemudian, wanita itu juga pergi menyusul tanpa mengatakan sepatah kata pun. Aku yang tidak mengerti apa-apa hanya bisa berdiri terpaku di samping meja, menatap punggung mereka yang menghilang dibalik pintu. Kemudian, aku mengalihkan pandangan ke semua makanan yang tersaji di meja. “Lagi-lagi tidak disentuh,” gumamku. Aku sangat benci kebiasaan orang-orang kaya yang suka menyia-nyiakan makanan seperti ini. Apa mereka tidak tahu kalau ada banyak orang kelaparan di luar sana? Bibi Asri menghampiriku. “Nona pasti terkejut dan bingung melihat pemandangan pagi ini.” “Bibi Asri ....” Bibi Asri mengambil dua piring di meja untuk dibawa ke dapur. “Itu tadi Nyonya Besar Hartono, istri muda tuan besar. Bisa dibilang, dia ibu tiri Tuan Adrian.” Kubuka mataku lebar-lebar. “Apa?” Bibi Asri terkekeh melihat ekspresiku. “Jangan terlalu terkejut dulu, kamu baru melihat sebagian kecilnya saja.” “Wah ... ini gila,” gumamku lagi. Aku tidak menyangka, wanita yang masih begitu muda itu ternyata ibu tiri Tuan Adrian. Dan yang lebih mengejutkan, tadi aku melihat cara wanita itu menyentuh tangan Tuan Adrian dengan kelembutan yang tidak seperti seorang ibu pada anaknya. “Berhenti melamun, sekarang bantu Bibi bereskan ini semua,” kata Bibi Asri. Aku kembali menatap makanan di meja. “Tunggu.” Aku menahan tangan Bibi Asri. “Bibi, bolehkah aku membawakan makanan ini untuk Tuan Adrian?” Bibi Asri menatapku dengan ekspresi heran. --- Aku turun dari mobil dan memasuki lobi gedung perkantoran milik Hartono Group. “Wah ....” Berada di tempat seperti ini adalah cita-citaku sejak dulu. Itulah sebabnya aku memilih kuliah bisnis. Sebab, siapa tahu suatu hari nanti aku bisa menjadi bagian dari orang-orang hebat di gedung megah seperti ini. Aku berjalan menuju resepsionis dan menyampaikan maksud kedatanganku. Tidak lama kemudian, setelah melakukan panggilan telepon, resepsionis itu mempersilakanku naik dan mengantarku ke lantai tempat Tuan Adrian berada. Setibanya di depan ruang kerjanya, seorang perempuan muda menyambutku. Ia memperkenalkan diri sebagai sekretaris Tuan Adrian, dan dengan sopan mengatakan akan mengantarku ke ruangan bosnya tersebut. Namun, aku menolaknya. Aku tidak seistimewa itu, jadi kurasa tidak perlu merepotkannya. Aku hanya memintanya untuk menunjukkan ruangan Tuan Adrian, dan sekretaris itupun tersenyum lalu menunjuk pintu ruang kerja sang atasan. Aku lantas berjalan ke sana. Dan saat hendak mengetuk, aku baru menyadari bahwa pintu itu tidak tertutup sempurna. Ketika jariku menyentuhnya sedikit, pintu itu terbuka perlahan. Dari celah yang terbuka, tanpa sengaja aku melihat dan mendengar percakapan antara Tuan Adrian dan Danu di ujung ruangan. Mereka menyebut nama yang sangat kukenal, Nina. “Bagaimana dengan anaknya?” Suara Tuan Adrian terdengar tenang tetapi tegas. “Nona Nina sudah dipindahkan ke Amerika, Tuan. Dia tidak akan bisa mengganggu atau menyakiti Nona Melati lagi.” “Meskipun begitu, kau tetap harus mengawasi Melati di kampus. Rubah kecil itu mungkin memiliki pengikut yang masih bisa mengganggu Melati.” “Baik, Tuan.” Danu terlihat sedikit gelisah. “E ... Tuan, bagaimana dengan Tuan Hatmoko?” “Biar itu menjadi urusanku. Aku tahu apa yang harus kulakukan.” “Tapi, Tuan ... Tuan dan Nyonya Besar—” “Itu juga akan menjadi urusanku. Kau fokus saja menjaga Melati untukku.” Danu pun pada akhirnya terdiam dan mengangguk. “Baik.” “Satu lagi.” Tuan Adrian menatap Danu tajam. “Jangan biarkan wanita itu memasuki rumah Cempaka lagi. Aku sudah memperingatkan para pengawal, dan ini adalah peringatan kedua. Aku tidak akan memberi peringatan untuk yang ketiga kali.” “Saya mengerti, Tuan. Maaf untuk masalah pagi ini.” “Hem. Kau boleh pergi sekarang.” Danu menunduk hormat sebelum berbalik menuju pintu. Aku yang panik segera mundur dua langkah, menjauh dari pintu. Begitu pintu terbuka, aku tersenyum kaku sambil melambaikan tangan pada Danu. “Hei!” sapaku kikuk.Tuan Adrian menarik kerah baju Kak Arga dan mendorongnya menjauh dariku. Sementara itu, aku dibantu berdiri oleh Kak Danu.“Hati-hati, Nona,” ucapnya pelan.Aku tidak bisa mengalihkan pandanganku dari Tuan Adrian dan Kak Arga. Keduanya kini berdiri saling berhadapan. Tidak ada satu pun kata terucap di antara mereka, tetapi tatapan mata keduanya seakan berbicara.“Tuan ...,” panggilku ragu.Tanpa mengalihkan pandangan dari Kak Arga, Tuan Adrian memberi perintah kepada Kak Danu. “Bawa Melati masuk ke mobil.”Kak Danu hanya mengangguk, lalu menuntunku menuju mobil.“Tapi, Kak ... mereka ....” Aku khawatir, takut Tuan Adrian salah paham terhadap Kak Arga.“Tidak apa-apa, Nona ikut saja,” ucap Kak Danu dengan nada menenangkan.Pada akhirnya aku pun menurut. Aku masuk ke dalam mobil Tuan Adrian.Dari bangku belakang, aku masih bisa melihat Kak Arga di luar sana, tampak ingin mengatakan sesuatu, tetapi Tuan Adrian lebih dulu berbicara kepadanya sebelum kemudian berbalik pergi.Aku tidak tahu
Setelah Danu pergi dan Tuan Adrian mempersilakanku masuk, aku pun melangkah ke dalam ruang kerja yang cukup luas dengan desain hitam putih yang elegan namun misterius itu.“Kau membawakanku makanan?” tanya Tuan Adrian tanpa menoleh.Aku yang awalnya masih terpana mengagumi ruangannya segera beralih pada pemiliknya. “Benar, Tuan.”“Bibi Asri yang menyuruhmu?” tanyanya lagi, masih dengan tatapan tertuju pada dokumen di atas mejanya.Aku buru-buru menjawab, “Tidak, Tuan. Ini ... inisiatif saya sendiri. Jadi, jangan marahi Bibi Asri. Beliau bahkan sudah mencegah saya.”Pulpen di tangan Tuan Adrian yang sejak tadi terus bergerak lincah di atas kertas seketika berhenti. Tatapannya terangkat, menusuk ke arahku. “Kalau begitu bawa saja makanan itu pergi.”Ia kembali menunduk, sibuk menandatangani dokumen-dokumennya.Sungguh pria yang sulit dihadapi, batinku. Aku menggigit bibir, berpikir cepat mencari cara agar usahaku tidak sia-sia. Lalu, aku teringat sesuatu.Perlahan kubuka salah satu kota
Berbeda dari pagi-pagi sebelumnya, kali ini aku tidak langsung membuka pintu kamar Tuan Adrian begitu saja. Aku masih sedikit trauma dengan kejadian kemarin. Rasanya seperti ... jika aku kembali masuk tanpa permisi, mungkin kali ini aku benar-benar tidak akan selamat. Aku menarik napas panjang sebelum mulai mengetuk pintu. Satu, dua, tiga kali aku mengetuk, masih tidak juga ada jawaban. Aku pun mengetuk semakin keras. Karena tetap tidak ada respon dari dalam, aku mengepalkan tangan lebih kuat dan mulai “menggedor” pintu dengan sekuat tenaga, tanpa jeda. Tidak lama kemudian .... Klek. Pintu kamar itu terbuka dari dalam. Kini terlihat Tuan Adrian berdiri di ambang pintu dengan wajah sedikit kesal dan rambut yang masih berantakan. Ia hanya mengenakan kemeja tidur berwarna hitam yang bagian atasnya terbuka lebar, memperlihatkan sebagian dadanya. Aku menelan ludah dan membatin, kenapa orang ini selalu terlihat seksi di pagi hari? Padahal dia baru saja bangun tidur. Tatapan dingin T
“Jadi ... kau perempuan barunya Adrian?”Kalimat itu meluncur tajam dari mulut salah satu wanita di hadapanku. Aku tidak mengerti, kenapa banyak orang menyebutku dengan sebutan seolah-olah aku perempuan murahan seperti itu?“Maaf, apa maksud Anda? Saya tidak mengerti,” ujarku hati-hati.“Tcih.” Seorang wanita bergaun merah marun dengan potongan bahu terbuka menyilangkan tangan di dada. Tatapannya sinis. “Jangan berpura-pura polos. Bisa tinggal di sisi Adrian, artinya kau sudah menjual dirimu sendiri padanya.”Wanita di sebelahnya menimpali dengan nada tajam, “Aku heran, selera Tuan Adrian kali ini benar-benar menurun.”Yang terakhir ikut menambahkan dengan senyum mengejek. “Kau sama sekali tidak terlihat istimewa, tapi bisa menempati rumah ini. Jadi, selain tubuhmu, apa lagi yang sudah kau jual padanya?”Aku menatap mereka dengan tidak percaya. Jadi, hal seperti itukah yang mereka pikirkan tentangku?Meski ketiga wanita itu berdiri dengan anggun, aura mereka begitu menekan hingga memb
Aku masih diam terpaku di tempatku. Entah kenapa, di situasi seperti ini kakiku justru tidak bisa digerakkan.Tuan Adrian mendekat, masih dengan hanya bertelanjang dada. “Apakah memasuki ruang pribadi orang lain adalah kebiasaan burukmu?”Aku menelan ludah, memaksa suara keluar. “Ma-maaf, Tuan. Saya tidak bermaksud. Saya hanya ... ingin menjelaskan tentang kejadian kemarin.”Kini langkahnya berhenti hanya dua langkah di depanku. Aroma sabunnya yang maskulin membuat wajahku terasa panas.“Menjelaskan ... atau hanya mencari alasan?” Tuan Adrian bertanya dengan nada datar, akan tetapi hal itu cukup mampu untuk membuatku tertekan.Aku menggeleng cepat, jemariku meremas ujung baju. “Tidak, Tuan. Saya sungguh tidak bermaksud melukai Nina. Itu hanya ... tidak sengaja.”“Tidak sengaja, tapi terlihat jelas kau mengangkat kaki untuk menjegalnya hingga terjatuh.”Aku tercekat. Bagaimana ia bisa tahu?“Kau pikir, ada di mana kau waktu itu? Ada banyak mata dan kamera yang merekam. Danu bahkan haru
Saat ini aku tengah duduk di ruang tunggu rumah sakit dengan ditemani Danu yang berdiri tidak jauh dariku. Sejak tadi jemariku tidak hentinya bergerak gelisah menunggu kabar tentang Nina.Tidak lama kemudian, pintu ruangan di depanku terbuka. Seorang dokter dan perawat berjalan keluar melewati kami dengan disusul oleh sepasang laki-laki dan perempuan yang kini berhenti di hadapanku dan Danu.Degup jantungku semakin keras. Tanpa bertanya, aku pun tahu siapa mereka, kedua orang tua Nina.Si ibu menatapku tajam, sorot matanya bagai pisau yang siap merobek kulitku kapan saja. “Kamu yang namanya Melati?” Suaranya terdengar dingin.Aku tercekat. “I-iya ... Tante.”“Panggil aku Nyonya.” Ibu Nina mengoreksi.Aku menundukkan pandangan sembari menelan ludahku sendiri.Dari ekor mata, kulihat Danu melangkah maju. Dengan suara tenang namun mantap ia berkata, “Maaf ... Nyonya dan Tuan Hatmoko, benar?”Pasangan itu menoleh pada Danu, menunggu penjelasan.Danu kembali melanjutkan, “Izinkan saya memp