เข้าสู่ระบบAku menelan ludah, memaksa suara keluar. “Ma-maaf, Tuan. Saya tidak bermaksud. Saya hanya ... ingin menjelaskan tentang kejadian kemarin.”
Berjalan mendekat, kini Tuan Adrian berhenti hanya dua langkah di depanku. Aroma sabunnya yang maskulin membuat wajahku terasa panas.
“Menjelaskan ... atau hanya mencari alasan?” Tuan Adrian bertanya dengan nada datar, akan tetapi hal itu cukup mampu untuk membuatku tertekan.
Aku menggeleng cepat, jemariku meremas ujung baju. “Tuan, saya sungguh tidak bermaksud melukai Nina. Itu hanya ... tidak sengaja.”
“Sengaja atau tidak bukan poin utamanya,” potong Adrian. “Ada banyak mata dan kamera yang merekam. Dan apa yang mereka lihat dan tafsirkan adalah kebenarannya, terlepas apa niat utamamu.”
Pada akhirnya aku hanya bisa menunduk. “Maaf ... Tuan,” ucapku penuh penyesalan.
Helaan napas berat Tuan Adrian terdengar. “Sudahlah. Sudah kuketahui dari awal dirimu masih bocah, wajar kalau bersikap kekanakan. Jadi, biarkan kami orang dewasa yang menyelesaikannya. Sekarang, keluarlah.”
Disebut sebagai bocah dan kekanakan membuatku sedikit tidak terima.
‘Bocah mana yang bertengkar karena diisukan menjadi simpanannya?’ batinku.
Aku mendongak, membalas tatapannya. Mulutku ingin sekali membantah, tetapi tidak ada suara yang keluar. Aku justru terjebak dalam sorot mata Tuan Adrian yang tajam, seolah sedang menimbang isi pikiranku.
“Masih tidak mau pergi?” tanyanya.
Tuan Adrian kembali maju selangkah demi selangkah. Aku spontan mundur, mengimbangi langkahnya, hingga ....
Kakiku terantuk sofa di tengah kamar!
Aku terkejut, kehilangan keseimbangan, lalu terjatuh ke belakang. Naluri membuatku menggapai lengan Tuan Adrian, dan ia pun menyambut tanganku.
Namun, yang terjadi setelahnya ... kami berdua justru jatuh ke sofa. Tubuh kekar Tuan Adrian menimpaku, membuat napasku tercekat.
Tubuhku membeku. Nafasku terhenti seketika saat menyadari betapa dekatnya kami. Dadaku berdegup terlalu keras, seakan ingin melompat keluar dari tulang rusuk.
Dalam yang canggung ini, mendadak suara Tuan Adrian terdengar berkata, “Jadi … ini caramu untuk meminta maaf?”
Jantungku berdebar keras satu kali, dan wajahku merona merah.
Pria ini … apa yang dia bicarakan?!
Tanganku yang masih menempel pada lengannya membuatku kaku dan semakin salah tingkah. Kulit Tuan Adrian terasa hangat, lembut, tetapi juga kokoh. Aku bisa merasakan lekuk otot yang tegang di balik kulitnya.
Aku menelan ludah. Jantungku semakin menggila. “Sa-saya ... tidak bermaksud ....” Hanya itu yang bisa keluar dari mulutku.
Tarak wajahku dan Tuan Adrian begitu dekat hingga aku bisa merasakan hembusan napasnya di pipiku. “Ingat, Melati ...,” ucapnya pelan, nyaris seperti bisikan. “Jaga sikapmu, karena sekarang ... yang kau bawa adalah namaku.”
Aku terdiam, tubuhku kaku. Dan untuk pertama kalinya, aku merasa benar-benar terperangkap dalam lingkaran seorang pria. Adrian Hartono, seorang pria matang yang telah membeli hidupku.
“I-Iya ....” Suaraku nyaris seperti bisikan.
Alis Tuan Adrian sedikit terangkat. “Iya apa?”
Tekanan dalam nada suaranya membuat bulu kudukku meremang. Aku berusaha mengumpulkan keberanian. “Iya ... saya akan menjaga nama Tuan. Saya tidak akan membuat masalah lagi.”
“Bagus. Aku harap kau sungguh-sungguh dengan ucapanmu.”
Aku hanya bisa mengangguk cepat, tidak sanggup mengeluarkan suara. Jantungku pun masih berdegup kacau ketika cengkeraman di tanganku akhirnya melonggar.
Begitu Tuan Adrian bangkit, udara yang semula terasa menekan kini perlahan kembali mengisi paru-paruku.
“Sekarang, keluarlah.” Pria itu kembali menyuruhku meninggalkan kamarnya. Ia berbalik dan berjalan tenang menuju ruang pakaian, meninggalkanku yang masih tergeletak di sofa.
**
Setelah kejadian di kamar Tuan Adrian, aku benar-benar berusaha lebih berhati-hati. Aku tidak ingin membuat masalah lagi, apalagi sampai menyeret namanya.
Namun, sejak perkelahianku dengan Nina, rupanya kampus tidak lagi menjadi tempat yang ramah untukku. Meskipun sudah tidak ada lagi video kami yang tersebar, dan semua menjadi diam seolah tidak pernah terjadi apapun, nyatanya orang-orang di kampus tetap menghindariku.
Bahkan, tatapan cemooh dan bisikan-bisikan miring tentangku masih kerap kudengar. Hanya bedanya, sekarang mereka tidak mengatakannya secara terang-terangan di hadapanku.
Rumor tentang kedekatanku dengan Tuan Adrian yang sudah melekat lah yang membuat jarak di antara kami semakin jauh.
Entah apa yang sudah dilakukan Tuan Adrian dan Danu sehingga tidak ada satu pun yang berani menyinggungku. Apapun itu, ada rasa syukur karena aku tidak lagi diganggu. Namun, ada juga perasaan sedih karena kini aku semakin merasa terasingkan.
Aku berjalan menyusuri koridor kampus seorang diri. Tidak ada yang menyapaku, tidak ada yang mengajak bicara, dan tidak ada yang mau berteman denganku.
Aku duduk sendiri di bangku taman, membuka buku hanya sebagai alasan agar tidak terlihat terlalu kesepian. Kupasang earphohe wireless di kedua telingaku, sekalipun tidak ada musik, setidaknya itu bisa meredam bisikan mahasiswa-mahasiswa di sekitar.
Namun, tidak lama kemudian ....
“Permisi.”
Samar-sama kudengar seseorang berucap cukup dekat. Aku mengangkat kepalaku, mengalihkan fokus dari deretan huruf di buku.
Begitu pandanganku terangkat, kulihat seorang laki-laki berdiri di sampingku. Dia tersenyum padaku, memperlihatkan betapa manisnya lubang semut di pipinya. Kemeja kremnya digulung rapi sampai siku, membuatnya tampak santai tetapi tetap berwibawa.
Aku seketika menutup buku di pangkuanku. Melepas dua earphone di telinga. “Iya?” tanyaku hati-hati.
“Jurusan managemen bisnis, kan?” tanya laki-laki itu.
Aku mengangguk. “Iya.”
Dia kembali tersenyum lalu berkata, “Baguslah.” Kemudian, mengulurkan selembar pamflet padaku. “Ini.”
Aku menerima pamflet itu dengan ragu.
“Dua hari lagi akan ada seminar khusus untuk mahasiswa fakultas bisnis. Project angkatan 22, angkatanku, untuk memenuhi salah satu mata kuliah. Kalau ada waktu ... silakan hadir. Mungkin saja bisa jadi gambaran buat kamu di semester atas nanti. Kamu angkatan 23, kan?”
Lagi-lagi aku hanya mengangguk.
“Baiklah, aku harap nanti kamu bisa hadir.” Dia kembali tersenyum, yang mana hal itu membuatku ikut tersenyum juga.
“Iya, Kak ... terima kasih.”
“Hem.” Laki-laki yang merupakan kakak tingkatku itupun mengangguk terlebih dulu sebelum akhirnya melangkah pergi. Namun, baru satu langkah ia menjauh, dia kembali berbalik. “Oh iya, boleh aku tahu siapa namamu?”
Aku menunjuk diriku sendiri saking tidak yakin dengan hal itu. “Aku?”
“Iya, kamu.”
Aku pun segera menjawab, “Melati, Kak.”
Dia mengangguk-angguk samar. “Oke. Semangat ya, Melati. Jangan pedulikan suara sumbang orang lain.” Mata coklatnya menatapku teduh.
Sebenarnya aku sedikit bingung dia tiba-tiba berkata demikian. Namun, aku tetap tersenyum padanya. “Iya, Kak.”
Laki-laki itupun kembali berjalan meninggalkanku. Ketika punggungnya sudah jauh, aku menunduk menatap pamflet di tanganku.
Entah mengapa, hatiku sedikit hangat karena interaksi singkat itu. Setidaknya masih ada seseorang yang berani menghampiriku dan mengajakku bicara, walau hanya untuk hal sederhana.
Tiba-tiba aku teringat. “Ah, aku lupa menanyakan namanya.”
**
Aku sampai di rumah bunga ketika langit sudah gelap. Hari ini sangat melelahkan, aku ingin segera mandi dan tidur.
Namun ... rupanya hari ini dewi keberuntungan belum berpihak padaku. Saat memasuki ruang tamu, terlihat tiga orang wanita dengan gaun malam yang elegan menungguku di sana.
Aku melihat Sekar berdiri tidak jauh dari mereka, dan begitu melihatku, dia langsung berjalan cepat menghampiriku. “Nona ....”
“Siapa?” tanyaku pelan.
Belum sampai Sekar menjawab, ketiga wanita tadi sudah berdiri menghadapku, mereka meneliti diriku dari ujung kepala sampai kaki.
“Jadi ... kau perempuan barunya Adrian?”
Aku berdiri termenung sendirian di dalam lift. Apa yang terjadi barusan di ruang kerja Tuan Adrian terus berputar di kepalaku.Apa yang ia katakan dan lakukan untukku ... sedikit-banyak menghangatkan hati.Awalnya aku memang marah. Rasanya ia melangkah terlalu jauh dan mengambil keputusan seenaknya. Namun semakin kupikirkan, alasan untuk marah itu malah semakin lemah.Meski Tuan Adrian bilang bahwa ia menyerahkan sahamnya karena ada rencana lain, tetap saja semua itu berawal dari masalahku dengan Nina. Lagi-lagi, akulah yang menyeretnya ke dalam masalahku.Karena aku, Tuan Adrian sendiri yang harus turun langsung menghadapi Tuan Hatmoko. Dia juga yang meminta agar Nina dikirim ke luar negeri, agar Nina tidak bisa lagi menggangguku. Semua itu ... demi aku.Semua risiko ditanggung oleh Tuan Adrian. Sementara aku ... hanya perlu melanjutkan hidup dengan tenang.Tuan Adrian tidak menuntut apa pun dariku sebagai balasan. Ia hanya ingin aku patuh padanya dan menjauhi Kak Arga.Kata-kata Tua
Aku berdiri tidak jauh dari tempat Tuan Adrian duduk. Untuk beberapa saat, tidak ada satu kata pun yang keluar dari kami.Hanya ada keheningan yang memenuhi ruangan. Aku dan Tuan Adrian seolah tenggelam dalam pikiran masing-masing. Ada terlalu banyak hal yang ingin kukatakan, dan terlalu banyak hal yang ingin kudengar darinya.Entah penjelasan, teguran, atau apa pun itu, yang jelas kepalaku saat ini penuh dan kacau.“Ada yang ingin kau katakan, Melati?” Suara Tuan Adrian akhirnya memecah kesunyian itu.Aku membuka mulut, tetapi masih tidak ada kata keluar. Setelah menarik napas panjang, barulah aku bisa berkata, pelan.“Apakah benar ... kalau Nina pindah ke luar negeri karena Anda yang memintanya, Tuan?”Tuan Adrian memandangku. Tatapannya sama sekali tidak goyah.“Ya.” Sesingkat itu ia menjawab.Dadaku seperti ditarik sampai sesak. “Kenapa Anda melakukannya?”Masih dengan tenang Tuan Adrian menjawab, “Aku tidak suka masalah yang berlarut. Jika ada cara untuk menyelesaikannya dengan c
Aku menahan napas, berusaha menangkap lebih jelas suara-suara dari balik pintu ruang istirahat Tuan Adrian.“Kau mengundangku ke sini ... apa kau sudah akan memberikan saham yang kau janjikan padaku?” Suara Tuan Hatmoko terdengar tajam.Tuan Adrian tidak langsung menjawab. Ia hanya tersenyum tipis. “Apa saham itu benar-benar sangat berarti untuk Anda, Tuan Hatmoko?”“Tch.” Suara Tuan Hatmoko penuh kesal. “Ini bukan soal penting atau tidak penting. Ini soal kesepakatan kita. Ingat! Karena perempuan kampung itu, anakku harus menanggung akibatnya. Dia bahkan mengalami gegar otak ringan dan terpaksa tinggal di luar negeri.”Jantungku serasa berhenti sesaat. Setelahnya, aku refleks menarik kepalaku menjauh dari pintu.Perempuan kampung? Aku? Apa maksudnya itu?“Aku juga sudah menepati janjiku,” lanjut Tuan Hatmoko. “Pihak kami diam. Kami tidak memperpanjang masalah itu, padahal Nina yang paling dirugikan dalam hal ini.”Perlahan aku kembali mendekat, menyatukan telingaku ke celah kecil pin
Setelah beberapa saat saling menatap tajam, akhirnya Kak Arga memutuskan tatapan itu lebih dulu. Ia meletakkan berkas di tangannya ke atas meja, tepat seperti yang diperintahkan Tuan Adrian.Melihat itu, Tuan Adrian hanya berkata singkat, “Sekarang pergilah.”Tanpa banyak bicara, Kak Arga bangkit. “Baik. Kalau begitu, saya kembali ke bawah, Tuan.”“Hm,” sahut Tuan Adrian tanpa menoleh. Sementara itu, Kak Arga menunduk hormat, lalu sempat sekilas menatapku, sebelum akhirnya keluar dari ruangan.Begitu Kak Arga pergi dan pintu kembali tertutup, ruangan kerja ini pun kembali sunyi.Aku melirik ke arah Tuan Adrian. Lalu bertanya ragu, “Tuan ... mau saya suapi lagi?”Ia tidak langsung memberiku jawaban. Melainkan, malah membuka botol minuman yang kubawa dan meneguknya pelan sambil bersandar pada sofa.Baru setelah ia meletakkan botol itu ke meja, Tuan Adrian menjawab, “Tidak usah. Letakkan saja di sini, nanti aku makan sendiri.” Nada suaranya berubah dingin lagi.Entahlah, aku tidak menger
Pagi ini aku baru tahu kalau sejak kemarin Tuan Adrian tidak pulang. Sekar yang memberitahu, sementara ia tahu dari Kak Danu. Katanya, kemarin Tuan Adrian lembur sampai larut dan akhirnya memutuskan untuk tidak pulang.Informasi itu membuatku sedikit kecewa. Sebab, pagi ini aku sudah memiliki semangat lebih untuk melayani Tuan Adrian.Sebenarnya, Tuan Adrian lembur sampai tidak pulang seperti ini sama sekali tidak mengejutkan. Namun, untuk kali ini terasa sedikit berbeda.Entahlah, mungkin karena beberapa hari kemarin suasananya seperti sedang perang dingin, dan hari ini aku ingin mulai mencairkan suasana, tetapi malah mendapatkan realitanya yang tidak sesuai dengan ekspektasiku.“Nona,” panggil Sekar, “tadi Kak Danu juga berpesan, supaya Nona menyiapkan pakaian ganti dan juga bekal makanan untuk Tuan Adrian ke kantor.”Aku sedikit bingung, mencoba mencerna baik-baik perintah itu. Meyakinkan diri bahwa aku tidak salah dengar. “Oh ... iya.”Permintaan itu tidak aneh sebenarnya, tetapi
“Bagaimana kabarmu dengan Adrian, Melati?”Pertanyaan itu datang begitu saja dari Nyonya Vanya, tenang, lembut, dan juga tidak terduga sama sekali.Aku menjawabnya dengan suara yang lirih, bahkan untukku sendiri. “Baik ... Nyonya.”Mata Nyonya Vanya sempat mengarah ke permukaan meja sebelum kembali terarah padaku. Ada sorot di matanya yang seolah sedang menilai luka tidak terlihat.“Kalau benar begitu,” ucapnya pelan, “aku ikut senang.”Aku mengangguk perlahan, berusaha tampak tenang meski jantungku sedang berdetak panik.Beberapa detik berlalu dengan hening, sebelum Nyonya Vanya kembali berbicara dengan suara yang terdengar lebih dalam. “Berhubungan dengan pria seperti Adrian ... pastinya tidak mudah, kan, Melati?”Aku langsung terdiam. Kata-katanya mengenai sisi terdalamku yang sedang terluka.Tidak ada nada sindiran. Tidak ada nada meremehkan. Hanya ... sebuah ungkapan jujur dari seorang perempuan yang tampaknya memahami rasa itu.Aku mencoba berbicara, namun satu-satunya kata yan







