Home / Romansa / Gadis Kesayangan Tuan Adrian / Punggung Lebar Tuan Adrian

Share

Punggung Lebar Tuan Adrian

Author: Nooraya
last update Last Updated: 2025-10-09 20:12:35

Aku masih diam terpaku di tempatku. Entah kenapa, di situasi seperti ini kakiku justru tidak bisa digerakkan.

Tuan Adrian mendekat, masih dengan hanya bertelanjang dada. “Apakah memasuki ruang pribadi orang lain adalah kebiasaan burukmu?”

Aku menelan ludah, memaksa suara keluar. “Ma-maaf, Tuan. Saya tidak bermaksud. Saya hanya ... ingin menjelaskan tentang kejadian kemarin.”

Kini langkahnya berhenti hanya dua langkah di depanku. Aroma sabunnya yang maskulin membuat wajahku terasa panas.

“Menjelaskan ... atau hanya mencari alasan?” Tuan Adrian bertanya dengan nada datar, akan tetapi hal itu cukup mampu untuk membuatku tertekan.

Aku menggeleng cepat, jemariku meremas ujung baju. “Tidak, Tuan. Saya sungguh tidak bermaksud melukai Nina. Itu hanya ... tidak sengaja.”

“Tidak sengaja, tapi terlihat jelas kau mengangkat kaki untuk menjegalnya hingga terjatuh.”

Aku tercekat. Bagaimana ia bisa tahu?

“Kau pikir, ada di mana kau waktu itu? Ada banyak mata dan kamera yang merekam. Danu bahkan harus mengurus semua itu untukmu.”

Benar. Pasti ada video yang tersebar dan sampai ke Tuan Adrian, baik dari rekaman CCTV maupun dari para mahasiswa yang kemarin ada di kantin.

Pada akhirnya aku hanya bisa menunduk. Aku tahu itu salahku.

“Maaf ... Tuan,” ucapku penuh penyesalan.

Helaan napas berat Tuan Adrian terdengar. “Sudahlah. Kalian masih bocah, wajar kalau bersikap kekanakan. Biarkan kami para orang tua yang menyelesaikan. Sekarang, keluarlah.”

Disebut sebagai bocah dan kekanakan membuatku sedikit tidak terima. Bocah mana yang bertengkar karena diisukan menjadi simpanannya? batinku.

Aku mendongak, membalas tatapannya. Mulutku ingin sekali membantah, tetapi tidak ada suara yang keluar. Aku justru terjebak dalam sorot mata Tuan Adrian yang tajam, seolah sedang menimbang isi pikiranku.

Tuan Adrian kembali maju selangkah demi selangkah. Aku spontan mundur, mengimbangi langkahnya, hingga ....

“Masih tidak mau pergi?” tanyanya.

Kakiku terantuk sofa di tengah kamar. Aku terkejut, kehilangan keseimbangan, lalu terjatuh ke belakang. Naluri membuatku menggapai lengan Tuan Adrian, dan ia pun menyambut tanganku.

Namun, yang terjadi setelahnya ... kami berdua justru jatuh ke sofa. Tubuh kekar Tuan Adrian menimpaku, membuat napasku tercekat.

Tubuhku membeku. Nafasku terhenti seketika saat menyadari betapa dekatnya kami. Dadaku berdegup terlalu keras, seakan ingin melompat keluar dari tulang rusuk.

Tanganku yang masih menempel pada lengannya membuatku kaku dan semakin salah tingkah. Kulit Tuan Adrian terasa hangat, lembut, tetapi juga kokoh. Aku bisa merasakan lekuk otot yang tegang di balik kulitnya.

Aku ingin melepaskannya, tetapi tubuhku justru enggan melakukannya. Sentuhan tidak disengaja itu membuatku sadar betapa nyatanya sosok pria matang di hadapanku saat ini.

Tuan Adrian, pria ini memiliki daya tarik yang sulit kuabaikan

Mataku naik perlahan, bertemu dengan sorot matanya yang masih menatap tajam. Namun, kali ini ada sesuatu yang lain di sana. Tidak hanya marah atau menilai, melainkan ... seolah meneliti reaksiku.

Aku bisa merasakan hembusan napasnya di wajahku, dekat sekali. Terlalu dekat. Seketika wajahku terasa panas, seluruh tubuhku juga menegang tanpa kendali.

Genggaman tangan Tuan Adrian di pergelangan tanganku semakin menguat. Dia lantas berucap dengan suara rendah, “Baru dua hari di sini, dan kau sudah menimbulkan kekacauan.”

Aku menelan ludah. Jantungku semakin menggila. “Sa-saya ... tidak bermaksud ....” Hanya itu yang bisa keluar dari mulutku.

Tarak wajahku dan Tuan Adrian begitu dekat hingga aku bisa merasakan hembusan napasnya di pipiku. “Ingat, Melati ...,” ucapnya pelan, nyaris seperti bisikan. “Jaga sikapmu, karena sekarang ... yang kau bawa adalah namaku.”

Aku terdiam, tubuhku kaku. Dan untuk pertama kalinya, aku merasa benar-benar terperangkap dalam lingkaran seorang pria. Adrian Hartono, seorang pria matang yang telah membeli hidupku.

“I-Iya ....” Suaraku nyaris seperti bisikan.

Alis Tuan Adrian sedikit terangkat. “Iya apa?”

Tekanan dalam nada suaranya membuat bulu kudukku meremang. Aku berusaha mengumpulkan keberanian. “Iya ... saya akan menjaga nama Tuan. Saya tidak akan membuat masalah lagi.”

“Bagus. Aku harap kau sungguh-sungguh dengan ucapanmu.”

Aku hanya bisa mengangguk cepat, tidak sanggup mengeluarkan suara. Jantungku pun masih berdegup kacau ketika cengkeraman di tanganku akhirnya melonggar.

Begitu Tuan Adrian bangkit, udara yang semula terasa menekan kini perlahan kembali mengisi paru-paruku.

“Sekarang, keluarlah.” Pria itu kembali menyuruhku meninggalkan kamarnya. Ia berbalik dan berjalan tenang menuju ruang pakaian, meninggalkanku yang masih tergeletak di sofa.

**

Setelah kejadian di kamar Tuan Adrian, aku benar-benar berusaha lebih berhati-hati. Aku tidak ingin membuat masalah lagi, apalagi sampai menyeret namanya.

Namun, sejak perkelahianku dengan Nina, rupanya kampus tidak lagi menjadi tempat yang ramah untukku. Meskipun sudah tidak ada lagi video kami yang tersebar, dan semua menjadi diam seolah tidak pernah terjadi apapun, nyatanya orang-orang di kampus tetap menghindariku.

Bahkan, tatapan cemooh dan bisikan-bisikan miring tentangku masih kerap kudengar. Hanya bedanya, sekarang mereka tidak mengatakannya secara terang-terangan di hadapanku.

Rumor tentang kedekatanku dengan Tuan Adrian yang sudah melekat lah yang membuat jarak di antara kami semakin jauh.

Entah apa yang sudah dilakukan Tuan Adrian dan Danu sehingga tidak ada satu pun yang berani menyinggungku. Apapun itu, ada rasa syukur karena aku tidak lagi diganggu. Namun, ada juga perasaan sedih karena kini aku semakin merasa terasingkan.

Aku berjalan menyusuri koridor kampus seorang diri. Tidak ada yang menyapaku, tidak ada yang mengajak bicara, dan tidak ada yang mau berteman denganku.

Aku duduk sendiri di bangku taman, membuka buku hanya sebagai alasan agar tidak terlihat terlalu kesepian. Kupasang earphohe wireless di kedua telingaku, sekalipun tidak ada musik, setidaknya itu bisa meredam bisikan mahasiswa-mahasiswa di sekitar.

Namun, tidak lama kemudian ....

“Permisi.”

Samar-sama kudengar seseorang berucap cukup dekat. Aku mengangkat kepalaku, mengalihkan fokus dari deretan huruf di buku.

Begitu pandanganku terangkat, kulihat seorang laki-laki berdiri di sampingku. Dia tersenyum padaku, memperlihatkan betapa manisnya lubang semut di pipinya. Kemeja kremnya digulung rapi sampai siku, membuatnya tampak santai tetapi tetap berwibawa.

Aku seketika menutup buku di pangkuanku. Melepas dua earphone di telinga. “Iya?” tanyaku hati-hati.

“Jurusan managemen bisnis, kan?” tanya laki-laki itu.

Aku mengangguk. “Iya.”

Dia kembali tersenyum lalu berkata, “Baguslah.” Kemudian, mengulurkan selembar pamflet padaku. “Ini.”

Aku menerima pamflet itu dengan ragu.

“Dua hari lagi akan ada seminar khusus untuk mahasiswa fakultas bisnis. Project angkatan 22, angkatanku, untuk memenuhi salah satu mata kuliah. Kalau ada waktu ... silakan hadir. Mungkin saja bisa jadi gambaran buat kamu di semester atas nanti. Kamu angkatan 23, kan?”

Lagi-lagi aku hanya mengangguk.

“Baiklah, aku harap nanti kamu bisa hadir.” Dia kembali tersenyum, yang mana hal itu membuatku ikut tersenyum juga.

“Iya, Kak ... terima kasih.”

“Hem.” Laki-laki yang merupakan kakak tingkatku itupun mengangguk terlebih dulu sebelum akhirnya melangkah pergi. Namun, baru satu langkah ia menjauh, dia kembali berbalik. “Oh iya, boleh aku tahu siapa namamu?”

Aku menunjuk diriku sendiri saking tidak yakin dengan hal itu. “Aku?”

“Iya, kamu.”

Aku pun segera menjawab, “Melati, Kak.”

Dia mengangguk-angguk samar. “Oke. Semangat ya, Melati. Jangan pedulikan suara sumbang orang lain.” Mata coklatnya menatapku teduh.

Sebenarnya aku sedikit bingung dia tiba-tiba berkata demikian. Namun, aku tetap tersenyum padanya. “Iya, Kak.”

Laki-laki itupun kembali berjalan meninggalkanku. Ketika punggungnya sudah jauh, aku menunduk menatap pamflet di tanganku.

Entah mengapa, hatiku sedikit hangat karena interaksi singkat itu. Setidaknya masih ada seseorang yang berani menghampiriku dan mengajakku bicara, walau hanya untuk hal sederhana.

Tiba-tiba aku teringat. “Ah, aku lupa menanyakan namanya.”

**

Aku sampai di rumah bunga ketika langit sudah gelap. Hari ini sangat melelahkan, aku ingin segera mandi dan tidur.

Namun ... rupanya hari ini dewi keberuntungan belum berpihak padaku. Saat memasuki ruang tamu, terlihat tiga orang wanita dengan gaun malam yang elegan menungguku di sana.

Aku melihat Sekar berdiri tidak jauh dari mereka, dan begitu melihatku, dia langsung berjalan cepat menghampiriku. “Nona ....”

“Siapa?” tanyaku pelan.

Belum sampai Sekar menjawab, ketiga wanita tadi sudah berdiri menghadapku, mereka meneliti diriku dari ujung kepala sampai kaki.

“Jadi ... kau perempuan barunya Adrian?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Gadis Kesayangan Tuan Adrian   Sungguh Sebuah Kemajuan

    Tuan Adrian menarik kerah baju Kak Arga dan mendorongnya menjauh dariku. Sementara itu, aku dibantu berdiri oleh Kak Danu.“Hati-hati, Nona,” ucapnya pelan.Aku tidak bisa mengalihkan pandanganku dari Tuan Adrian dan Kak Arga. Keduanya kini berdiri saling berhadapan. Tidak ada satu pun kata terucap di antara mereka, tetapi tatapan mata keduanya seakan berbicara.“Tuan ...,” panggilku ragu.Tanpa mengalihkan pandangan dari Kak Arga, Tuan Adrian memberi perintah kepada Kak Danu. “Bawa Melati masuk ke mobil.”Kak Danu hanya mengangguk, lalu menuntunku menuju mobil.“Tapi, Kak ... mereka ....” Aku khawatir, takut Tuan Adrian salah paham terhadap Kak Arga.“Tidak apa-apa, Nona ikut saja,” ucap Kak Danu dengan nada menenangkan.Pada akhirnya aku pun menurut. Aku masuk ke dalam mobil Tuan Adrian.Dari bangku belakang, aku masih bisa melihat Kak Arga di luar sana, tampak ingin mengatakan sesuatu, tetapi Tuan Adrian lebih dulu berbicara kepadanya sebelum kemudian berbalik pergi.Aku tidak tahu

  • Gadis Kesayangan Tuan Adrian   Menu Spesial untuk Tuan

    Setelah Danu pergi dan Tuan Adrian mempersilakanku masuk, aku pun melangkah ke dalam ruang kerja yang cukup luas dengan desain hitam putih yang elegan namun misterius itu.“Kau membawakanku makanan?” tanya Tuan Adrian tanpa menoleh.Aku yang awalnya masih terpana mengagumi ruangannya segera beralih pada pemiliknya. “Benar, Tuan.”“Bibi Asri yang menyuruhmu?” tanyanya lagi, masih dengan tatapan tertuju pada dokumen di atas mejanya.Aku buru-buru menjawab, “Tidak, Tuan. Ini ... inisiatif saya sendiri. Jadi, jangan marahi Bibi Asri. Beliau bahkan sudah mencegah saya.”Pulpen di tangan Tuan Adrian yang sejak tadi terus bergerak lincah di atas kertas seketika berhenti. Tatapannya terangkat, menusuk ke arahku. “Kalau begitu bawa saja makanan itu pergi.”Ia kembali menunduk, sibuk menandatangani dokumen-dokumennya.Sungguh pria yang sulit dihadapi, batinku. Aku menggigit bibir, berpikir cepat mencari cara agar usahaku tidak sia-sia. Lalu, aku teringat sesuatu.Perlahan kubuka salah satu kota

  • Gadis Kesayangan Tuan Adrian   Kemajuan di Pagi Lainnya

    Berbeda dari pagi-pagi sebelumnya, kali ini aku tidak langsung membuka pintu kamar Tuan Adrian begitu saja. Aku masih sedikit trauma dengan kejadian kemarin. Rasanya seperti ... jika aku kembali masuk tanpa permisi, mungkin kali ini aku benar-benar tidak akan selamat. Aku menarik napas panjang sebelum mulai mengetuk pintu. Satu, dua, tiga kali aku mengetuk, masih tidak juga ada jawaban. Aku pun mengetuk semakin keras. Karena tetap tidak ada respon dari dalam, aku mengepalkan tangan lebih kuat dan mulai “menggedor” pintu dengan sekuat tenaga, tanpa jeda. Tidak lama kemudian .... Klek. Pintu kamar itu terbuka dari dalam. Kini terlihat Tuan Adrian berdiri di ambang pintu dengan wajah sedikit kesal dan rambut yang masih berantakan. Ia hanya mengenakan kemeja tidur berwarna hitam yang bagian atasnya terbuka lebar, memperlihatkan sebagian dadanya. Aku menelan ludah dan membatin, kenapa orang ini selalu terlihat seksi di pagi hari? Padahal dia baru saja bangun tidur. Tatapan dingin T

  • Gadis Kesayangan Tuan Adrian   Kunjungan Penghuni Rumah Jelita

    “Jadi ... kau perempuan barunya Adrian?”Kalimat itu meluncur tajam dari mulut salah satu wanita di hadapanku. Aku tidak mengerti, kenapa banyak orang menyebutku dengan sebutan seolah-olah aku perempuan murahan seperti itu?“Maaf, apa maksud Anda? Saya tidak mengerti,” ujarku hati-hati.“Tcih.” Seorang wanita bergaun merah marun dengan potongan bahu terbuka menyilangkan tangan di dada. Tatapannya sinis. “Jangan berpura-pura polos. Bisa tinggal di sisi Adrian, artinya kau sudah menjual dirimu sendiri padanya.”Wanita di sebelahnya menimpali dengan nada tajam, “Aku heran, selera Tuan Adrian kali ini benar-benar menurun.”Yang terakhir ikut menambahkan dengan senyum mengejek. “Kau sama sekali tidak terlihat istimewa, tapi bisa menempati rumah ini. Jadi, selain tubuhmu, apa lagi yang sudah kau jual padanya?”Aku menatap mereka dengan tidak percaya. Jadi, hal seperti itukah yang mereka pikirkan tentangku?Meski ketiga wanita itu berdiri dengan anggun, aura mereka begitu menekan hingga memb

  • Gadis Kesayangan Tuan Adrian   Punggung Lebar Tuan Adrian

    Aku masih diam terpaku di tempatku. Entah kenapa, di situasi seperti ini kakiku justru tidak bisa digerakkan.Tuan Adrian mendekat, masih dengan hanya bertelanjang dada. “Apakah memasuki ruang pribadi orang lain adalah kebiasaan burukmu?”Aku menelan ludah, memaksa suara keluar. “Ma-maaf, Tuan. Saya tidak bermaksud. Saya hanya ... ingin menjelaskan tentang kejadian kemarin.”Kini langkahnya berhenti hanya dua langkah di depanku. Aroma sabunnya yang maskulin membuat wajahku terasa panas.“Menjelaskan ... atau hanya mencari alasan?” Tuan Adrian bertanya dengan nada datar, akan tetapi hal itu cukup mampu untuk membuatku tertekan.Aku menggeleng cepat, jemariku meremas ujung baju. “Tidak, Tuan. Saya sungguh tidak bermaksud melukai Nina. Itu hanya ... tidak sengaja.”“Tidak sengaja, tapi terlihat jelas kau mengangkat kaki untuk menjegalnya hingga terjatuh.”Aku tercekat. Bagaimana ia bisa tahu?“Kau pikir, ada di mana kau waktu itu? Ada banyak mata dan kamera yang merekam. Danu bahkan haru

  • Gadis Kesayangan Tuan Adrian   Hari yang Kacau

    Saat ini aku tengah duduk di ruang tunggu rumah sakit dengan ditemani Danu yang berdiri tidak jauh dariku. Sejak tadi jemariku tidak hentinya bergerak gelisah menunggu kabar tentang Nina.Tidak lama kemudian, pintu ruangan di depanku terbuka. Seorang dokter dan perawat berjalan keluar melewati kami dengan disusul oleh sepasang laki-laki dan perempuan yang kini berhenti di hadapanku dan Danu.Degup jantungku semakin keras. Tanpa bertanya, aku pun tahu siapa mereka, kedua orang tua Nina.Si ibu menatapku tajam, sorot matanya bagai pisau yang siap merobek kulitku kapan saja. “Kamu yang namanya Melati?” Suaranya terdengar dingin.Aku tercekat. “I-iya ... Tante.”“Panggil aku Nyonya.” Ibu Nina mengoreksi.Aku menundukkan pandangan sembari menelan ludahku sendiri.Dari ekor mata, kulihat Danu melangkah maju. Dengan suara tenang namun mantap ia berkata, “Maaf ... Nyonya dan Tuan Hatmoko, benar?”Pasangan itu menoleh pada Danu, menunggu penjelasan.Danu kembali melanjutkan, “Izinkan saya memp

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status