Aku membuka jendela mobil dan membiarkan udara pagi Kota Metro menerpa wajahku. Kutarik napas panjang, mencoba mengubur kisah kelam hidupku di balik senyum tipis yang saat ini kutampilkan.
Sudah saatnya aku memulai kehidupan baruku, tanpa bayang-bayang ketakutan dan kekhawatiran. Sudah tidak ada lagi sosok bapak yang akan menyulitkan hidupku. Aku, gadis desa yang sejak kecil terbiasa bekerja keras dan bergulat dengan keterbatasan. Dulu, aku rela banting tulang demi mengumpulkan uang demi membayar kuliah. Namun, semua jerih payah itu sirna begitu saja ketika semuanya raib diambil bapak untuk membayar hutang karena kalah berjudi. Uang yang kukumpulkan dengan keringat dan air mata itupun sekejap hilang bersama dengan mimpi-mimpiku. Saat itu aku tidak punya pilihan lain selain berhenti kuliah. Kampus lamaku menolak memberi keringanan lebih banyak lagi. Harapanku pun pupus. Meski rasa sesak itu masih membekas sampai saat ini, luka yang paling menyayat bukanlah tentang kehilangan kesempatan untuk kuliah, melainkan dikhianati oleh bapakku sendiri. Dia yang merupakan orang tuaku, dengan tega menyeretku—darah dagingnya sendiri—ke rumah bordil demi untuk mendapatkan uang. Aku masih bisa merasakan dinginnya udara di malam itu. Perasaan takut, marah, dan putus asa bercampur jadi satu. Namun, aku masih beruntung. Malam itu Tuhan berbaik hati padaku, mempertemukanku dengan Paman Wira, sosok lelaki yang tidak pernah kukenal sebelumnya. Paman Wira adalah teman lama ibuku yang tidak sengaja sedang ada urusan pekerjaan di kota asalku. Dia yang saat itu melihatku diseret oleh bapak lantas menghentikan langkah bapak. Usai mengetahui duduk perkaranya, Paman Wira pun menawarkan jalan keluar lain selain membawaku ke rumah bordil. Ia menjanjikan uang yang lebih banyak, dua sampai tiga kali lipat dari yang bisa diberikan rumah bordil kepada bapak. Bapak awalnya tampak ragu. “Jangan main-main denganku. Kalau kau berbohong, nyawamu taruhannya,” ucapnya dengan tatapan curiga. Tubuhku bergetar. Kata-kata itu seperti cambuk yang menghantamku. Aku ingin berteriak, ingin kabur, tetapi kakiku seakan terpaku ke tanah. Paman Wira menatap bapak dengan tenang. “Kalau aku berbohong, kau bisa mencariku di tempat kerjaku. Aku tidak akan lari. Tapi jangan seret dia ke sana. Dia masih terlalu muda untuk diperlakukan seperti itu.” Air mataku menetes tanpa bisa kutahan. Entah karena takut, atau karena ternyata masih ada seseorang yang membelaku dengan begitu berani. Pada akhirnya, nominal yang dijanjikan Paman Wira berhasil membuat bapakku berpikir kembali. Ia kemudian menerima tawaran itu dan menyerahkanku pada Paman Wira. Sejak malam itu, hidupku pun berubah. Paman Wira membawaku ke rumah Cempaka, tempat tinggal Tuan Adrian dan menukarku dengan uang lima ratus juta. Sebelumnya, aku selalu merasa sebagai perempuan yang tidak beruntung dan hina. Namun, melihat seperti apa hidupku saat ini membuatku mengubah pemikiran. Bahwa aku adalah perempuan yang beruntung karena dipertemukan dengan Paman Wira, dan melalui dirinya aku mengenal Tuan Adrian. Mulai hari ini, kehidupanku telah berubah. Aku akan menggunakan kesempatan kedua yang diberikan Tuhan kepadaku ini dengan sebaik-baiknya. Mobil mewah yang mengantarku mulai memasuki halaman kampus yang luas dan megah. Jantungku berdetak semakin cepat. Hari ini adalah hari pertamaku sebagai mahasiswi di Universitas Cahaya Bangsa, salah satu universitas ternama di Kota Metro. Orang-orang menoleh, menatapku penuh tanda tanya saat Danu membukakan pintu untukku. Mungkin, mereka mengira aku adalah putri dari keluarga terpandang. Padahal, kenyataannya jauh sekali dari itu. Aku melangkah menyusuri halaman Universitas Cahaya Bangsa. Bangunan kampus ini begitu besar, dengan taman hijau yang luas dan rapi. Semuanya tampak seperti dunia lain yang jauh dari kehidupanku di kota kecil dulu. Di kelas pertamaku, beberapa mahasiswa dan mahasiswi mencoba mendekatiku. Mereka terlihat ramah, tetapi entah kenapa aku merasa ada yang janggal. Keramahan itu seolah dibuat-buat. “Hai, mahasiswi baru, ya? Namamu siapa? Aku Nina.” Seorang perempuan berambut hitam bergelombang mengulurkan tangannya. Aku sempat tertegun, tetapi kemudian segera menyambut uluran itu. “Melati.” “Oh, hey Mel, salam kenal, ya!” katanya ceria. Aku hanya tersenyum tipis dan mengangguk. “Oh iya, kamu tinggal di mana? Siapa tahu rumah kita dekat, jadi bisa main bareng.” Nina kembali bertanya. “Aku ... tinggal di kediaman Cempaka.” Wajah Nina yang tadinya antusias seketika berubah. “K-Kediaman Cempaka?” Aku mengangguk pelan, heran dengan reaksinya. “Kediaman Cempaka ... maksudmu, rumah pengusaha kaya, Adrian?” Aku kembali mengangguk. Wah, aku tidak menyangka kalau Tuan Adrian seterkenal itu. Bahkan seorang mahasiswi muda saja bisa mengenalinya. “O-oh ... oke. Ya sudah, aku ke bangkuku dulu.” Nina buru-buru pergi. Setelahnya, aku samar-samar mendengar suara bisik-bisik. Entah apa yang mereka bicarakan, aku hanya bisa merasakan tatapan aneh yang mulai tertuju padaku. Saat jam istirahat, aku pergi ke kantin fakultas. Suasana terasa berbeda. Orang-orang menatapku dengan sinis, seolah mencibir. Tatapan itu benar-benar kontras dengan sambutan ramah pagi tadi. Bruk! “Aduh!” Karena melamun, aku menabrak seseorang. Segera aku menunduk. “Maaf-maaf!” Ternyata, orang itu adalah Nina. Bajunya basah terkena es jeruk yang dibawanya. “Nina, maaf banget. Aku ganti minumanmu, ayo aku temani ke toilet dulu.” Aku mencoba menarik tangannya, tetapi dia justru menghempaskan tanganku. “Gak usah! Gue gak butuh bantuan lo, apalagi uang haram lo!” Aku tertegun, dadaku terasa seperti dipukul keras. “Apa maksudmu? Kenapa kamu ngomong begitu?” Nina tersenyum miring. “Halah, jangan pura-pura. Semua orang juga tahu, wanita-wanita Cempaka itu apa.” Aku benar-benar bingung. “Apa maksudmu?” “Sudahlah ... jangan sok polos.” Nina meraih segelas es teh dari temannya, dan .... Surr! Air dingin mengucur di kepalaku. Gelak tawa pun pecah di sekitarku. Tanganku gemetar, mengepal kuat. Aku bukannya takut, melainkan marah. “Dasar murahan. Malu gak sih, kuliah di tempat bagus tapi dari hasil jual diri?” Kata-kata itu menusuk jantungku. Aku mendongak, menatap Nina tajam. “Jaga mulutmu.” Nina tertawa mengejek. “Kenapa? Gak terima kalau kebongkar?” Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba meredam emosi. “Nina, kita baru kenal. Aku gak pernah punya masalah sama kamu. Kenapa kamu memperlakukanku seperti ini?” “Karena di mana pun, gak ada tempat buat cewek murahan kayak lo!” Ini adalah hari pertamaku di sini, aku tidak mau membuat masalah. Demi meredam suasana, aku pun memilih untuk berbalik, berniat pergi dari sana. Namun, baru selangkah aku pergi, Nina menarik rambutku kasar hingga membuatku jatuh ke lantai. Aku mendongak, melihatnya hendak melangkahiku. Aku pun mengangkat kakiku dan menjegalnya. “Aw!” Nina terjatuh dan berteriak nyaring. Aku reflek tersenyum tipis, mungkin karena puas melihatnya jatuh. Akan tetapi, sepertinya itu membuat Nina tidak senang. “Sialan!” Ia kembali bangkit, lalu menghampiriku dan kembali menjambak rambutku. Mendapat perlakuan seperti itu, tentu aku memberontak. Kudorong tubuh Nina dengan sekuat tenaga, hingga dia .... Duk. Tubuh Nina terhempas ke samping dan ... kepalanya membentur tiang beton. Suasana mendadak hening. Aku terpaku dengan napas yang masih memburu. “Nina!” teriak teman-teman Nina panik dan berlari menghampirinya. Aku berdiri kaku dengan tangan gemetar, tidak tahu harus apa. Sungguh, aku tidak bermaksud melukainya.Tuan Adrian menarik kerah baju Kak Arga dan mendorongnya menjauh dariku. Sementara itu, aku dibantu berdiri oleh Kak Danu.“Hati-hati, Nona,” ucapnya pelan.Aku tidak bisa mengalihkan pandanganku dari Tuan Adrian dan Kak Arga. Keduanya kini berdiri saling berhadapan. Tidak ada satu pun kata terucap di antara mereka, tetapi tatapan mata keduanya seakan berbicara.“Tuan ...,” panggilku ragu.Tanpa mengalihkan pandangan dari Kak Arga, Tuan Adrian memberi perintah kepada Kak Danu. “Bawa Melati masuk ke mobil.”Kak Danu hanya mengangguk, lalu menuntunku menuju mobil.“Tapi, Kak ... mereka ....” Aku khawatir, takut Tuan Adrian salah paham terhadap Kak Arga.“Tidak apa-apa, Nona ikut saja,” ucap Kak Danu dengan nada menenangkan.Pada akhirnya aku pun menurut. Aku masuk ke dalam mobil Tuan Adrian.Dari bangku belakang, aku masih bisa melihat Kak Arga di luar sana, tampak ingin mengatakan sesuatu, tetapi Tuan Adrian lebih dulu berbicara kepadanya sebelum kemudian berbalik pergi.Aku tidak tahu
Setelah Danu pergi dan Tuan Adrian mempersilakanku masuk, aku pun melangkah ke dalam ruang kerja yang cukup luas dengan desain hitam putih yang elegan namun misterius itu.“Kau membawakanku makanan?” tanya Tuan Adrian tanpa menoleh.Aku yang awalnya masih terpana mengagumi ruangannya segera beralih pada pemiliknya. “Benar, Tuan.”“Bibi Asri yang menyuruhmu?” tanyanya lagi, masih dengan tatapan tertuju pada dokumen di atas mejanya.Aku buru-buru menjawab, “Tidak, Tuan. Ini ... inisiatif saya sendiri. Jadi, jangan marahi Bibi Asri. Beliau bahkan sudah mencegah saya.”Pulpen di tangan Tuan Adrian yang sejak tadi terus bergerak lincah di atas kertas seketika berhenti. Tatapannya terangkat, menusuk ke arahku. “Kalau begitu bawa saja makanan itu pergi.”Ia kembali menunduk, sibuk menandatangani dokumen-dokumennya.Sungguh pria yang sulit dihadapi, batinku. Aku menggigit bibir, berpikir cepat mencari cara agar usahaku tidak sia-sia. Lalu, aku teringat sesuatu.Perlahan kubuka salah satu kota
Berbeda dari pagi-pagi sebelumnya, kali ini aku tidak langsung membuka pintu kamar Tuan Adrian begitu saja. Aku masih sedikit trauma dengan kejadian kemarin. Rasanya seperti ... jika aku kembali masuk tanpa permisi, mungkin kali ini aku benar-benar tidak akan selamat. Aku menarik napas panjang sebelum mulai mengetuk pintu. Satu, dua, tiga kali aku mengetuk, masih tidak juga ada jawaban. Aku pun mengetuk semakin keras. Karena tetap tidak ada respon dari dalam, aku mengepalkan tangan lebih kuat dan mulai “menggedor” pintu dengan sekuat tenaga, tanpa jeda. Tidak lama kemudian .... Klek. Pintu kamar itu terbuka dari dalam. Kini terlihat Tuan Adrian berdiri di ambang pintu dengan wajah sedikit kesal dan rambut yang masih berantakan. Ia hanya mengenakan kemeja tidur berwarna hitam yang bagian atasnya terbuka lebar, memperlihatkan sebagian dadanya. Aku menelan ludah dan membatin, kenapa orang ini selalu terlihat seksi di pagi hari? Padahal dia baru saja bangun tidur. Tatapan dingin T
“Jadi ... kau perempuan barunya Adrian?”Kalimat itu meluncur tajam dari mulut salah satu wanita di hadapanku. Aku tidak mengerti, kenapa banyak orang menyebutku dengan sebutan seolah-olah aku perempuan murahan seperti itu?“Maaf, apa maksud Anda? Saya tidak mengerti,” ujarku hati-hati.“Tcih.” Seorang wanita bergaun merah marun dengan potongan bahu terbuka menyilangkan tangan di dada. Tatapannya sinis. “Jangan berpura-pura polos. Bisa tinggal di sisi Adrian, artinya kau sudah menjual dirimu sendiri padanya.”Wanita di sebelahnya menimpali dengan nada tajam, “Aku heran, selera Tuan Adrian kali ini benar-benar menurun.”Yang terakhir ikut menambahkan dengan senyum mengejek. “Kau sama sekali tidak terlihat istimewa, tapi bisa menempati rumah ini. Jadi, selain tubuhmu, apa lagi yang sudah kau jual padanya?”Aku menatap mereka dengan tidak percaya. Jadi, hal seperti itukah yang mereka pikirkan tentangku?Meski ketiga wanita itu berdiri dengan anggun, aura mereka begitu menekan hingga memb
Aku masih diam terpaku di tempatku. Entah kenapa, di situasi seperti ini kakiku justru tidak bisa digerakkan.Tuan Adrian mendekat, masih dengan hanya bertelanjang dada. “Apakah memasuki ruang pribadi orang lain adalah kebiasaan burukmu?”Aku menelan ludah, memaksa suara keluar. “Ma-maaf, Tuan. Saya tidak bermaksud. Saya hanya ... ingin menjelaskan tentang kejadian kemarin.”Kini langkahnya berhenti hanya dua langkah di depanku. Aroma sabunnya yang maskulin membuat wajahku terasa panas.“Menjelaskan ... atau hanya mencari alasan?” Tuan Adrian bertanya dengan nada datar, akan tetapi hal itu cukup mampu untuk membuatku tertekan.Aku menggeleng cepat, jemariku meremas ujung baju. “Tidak, Tuan. Saya sungguh tidak bermaksud melukai Nina. Itu hanya ... tidak sengaja.”“Tidak sengaja, tapi terlihat jelas kau mengangkat kaki untuk menjegalnya hingga terjatuh.”Aku tercekat. Bagaimana ia bisa tahu?“Kau pikir, ada di mana kau waktu itu? Ada banyak mata dan kamera yang merekam. Danu bahkan haru
Saat ini aku tengah duduk di ruang tunggu rumah sakit dengan ditemani Danu yang berdiri tidak jauh dariku. Sejak tadi jemariku tidak hentinya bergerak gelisah menunggu kabar tentang Nina.Tidak lama kemudian, pintu ruangan di depanku terbuka. Seorang dokter dan perawat berjalan keluar melewati kami dengan disusul oleh sepasang laki-laki dan perempuan yang kini berhenti di hadapanku dan Danu.Degup jantungku semakin keras. Tanpa bertanya, aku pun tahu siapa mereka, kedua orang tua Nina.Si ibu menatapku tajam, sorot matanya bagai pisau yang siap merobek kulitku kapan saja. “Kamu yang namanya Melati?” Suaranya terdengar dingin.Aku tercekat. “I-iya ... Tante.”“Panggil aku Nyonya.” Ibu Nina mengoreksi.Aku menundukkan pandangan sembari menelan ludahku sendiri.Dari ekor mata, kulihat Danu melangkah maju. Dengan suara tenang namun mantap ia berkata, “Maaf ... Nyonya dan Tuan Hatmoko, benar?”Pasangan itu menoleh pada Danu, menunggu penjelasan.Danu kembali melanjutkan, “Izinkan saya memp