Saat ini aku tengah duduk di ruang tunggu rumah sakit dengan ditemani Danu yang berdiri tidak jauh dariku. Sejak tadi jemariku tidak hentinya bergerak gelisah menunggu kabar tentang Nina.
Tidak lama kemudian, pintu ruangan di depanku terbuka. Seorang dokter dan perawat berjalan keluar melewati kami dengan disusul oleh sepasang laki-laki dan perempuan yang kini berhenti di hadapanku dan Danu. Degup jantungku semakin keras. Tanpa bertanya, aku pun tahu siapa mereka, kedua orang tua Nina. Si ibu menatapku tajam, sorot matanya bagai pisau yang siap merobek kulitku kapan saja. “Kamu yang namanya Melati?” Suaranya terdengar dingin. Aku tercekat. “I-iya ... Tante.” “Panggil aku Nyonya.” Ibu Nina mengoreksi. Aku menundukkan pandangan sembari menelan ludahku sendiri. Dari ekor mata, kulihat Danu melangkah maju. Dengan suara tenang namun mantap ia berkata, “Maaf ... Nyonya dan Tuan Hatmoko, benar?” Pasangan itu menoleh pada Danu, menunggu penjelasan. Danu kembali melanjutkan, “Izinkan saya memperkenalkan diri. Saya Danu, asisten Tuan Adrian Hartono.” “Oh, jadi perempuan ini salah satu simpanan Adrian?” Suara berat Tuan Hatmoko terdengar penuh cemooh. Aku refleks menatapnya, tidak terima disebut seperti itu. Namun belum sempat aku mengatakan apapun, Danu sudah mendahuluiku. “Tuan ... saya harap, Tuan dan Nyonya bijak dalam menggunakan kata.” “Tch!” Tuan Hatmoko mendengus tajam. “Untuk apa berhati-hati terhadap perempuan liar sepertinya? Dia sudah membuat putriku masuk rumah sakit!” “Saya tahu, apa yang terjadi memang sangat disayangkan,” ungkap Danu hati-hati. “Atas nama Tuan Adrian, saya ingin meminta maaf kepada Tuan dan Nyonya. Dan Nona Melati ...,”—Danu menoleh padaku—“saya yakin, ia tidak bermaksud menyakiti Nona Nina. Betul begitu bukan, Nona?” Aku mengangguk cepat. “I-iya. Saya sungguh tidak sengaja. Saya ... benar-benar minta maaf.” Namun, permintaan maafku sepertinya tidak bisa mereka terima begitu saja. Nyonya Hatmoko masih menatapku penuh ketidaksenangan. Danu kembali berucap penuh kerendahan hati. “Sebagai bentuk penyesalan, Tuan Adrian akan bertanggung jawab penuh atas semua biaya pengobatan Nona Nina. Jadi, mohon—” “Bertanggung jawab penuh?” Tuan Hatmoko memotong dengan nada suara tinggi. “Jangan kalian pikir kami akan menerima itu, dan masalah selesai. Anak perempuanku hampir mati, asal kau tahu! Kau kira itu bisa ditebus hanya dengan uang? Tidak semudah itu. Kami akan bawa masalah ini ke jalur hukum.” Aku tercekat. Rasanya udara di ruang tunggu ini hilang. Aku ingin membuka mulut untuk memohon, tetapi lidahku kelu. Danu masih berusaha membujuk. “Tuan, saya mohon pertimbangkan kembali. Selama ini Hatmoko Corp. Dan Hartono Grup memiliki hubungan yang baik. Jangan sampai karena masalah ini hubungan keduanya menjadi renggang.” “Aku tidak peduli. Kalian pikir ... kalian itu superior, huh? Sehingga kalian berpikir bahwa kami akan takut kehilangan hubungan baik dengan Hartono Grup?” Danu sejenak terdiam. Kemudian, ia menarik napas dan tersenyum tipis. “Tidak, Tuan. Saya tidak berani. Saya hanya berharap Tuan berpikir matang sebelum mengambil keputusan.” Kali ini Nyonya Hatmoko menyerang dengan nada lebih tajam. “Bukankah Tuan Adrian itu terkenal sangat disiplin dan tegas? Lalu, kenapa sekarang kalian malah meminta damai untuk kesalahan perempuan ini? Seistimewa itukah dia? “Aku tahu Tuan Adrian suka mengoleksi perempuan untuk kesenangannya, tapi aku sungguh heran, bagaimana bisa dia membiarkan perempuan liar ini berada di tempat beradab seperti Cahaya Bangsa? Benar-benar tidak cocok.” Kata-kata kasar Nyonya Hatmoko menampar wajahku. Mataku panas, berair, tetapi aku berusaha menahannya agar tidak jatuh. Apa sungguh sehina itu aku di mata mereka? “Nyonya.” Suara Danu tidak tinggi, tetapi cukup dingin. Sudah tidak ada lagi senyum di wajahnya. “Saya rasa sudah cukup. Jaga ucapan Anda. Bagaimanapun, saat ini Nona Melati adalah tanggung jawab Tuan Adrian. Dan percayalah, Tuan Adrian tidak akan tinggal diam jika ada yang menyinggungnya.” Suasana mendadak menegang. Orang-orang lain di ruang tunggu kini menatap kami dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. Namun, alih-alih mengajak mundur, Tuan Hatmoko justru melindungi istrinya. Ia mendekat, jaraknya kini hanya tinggal selangkah dari Danu. “Oh, jadi kau berani menakut-nakuti kami dengan nama Adrian?” Tatapannya menantang. “Silakan. Justru dengan begini aku semakin ingin menyeret perempuan kecilnya ini ke meja hijau. Biar seluruh kota tahu siapa dia.” Aku terdiam, tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan. Danu pun memilih untuk tidak menanggapi lebih jauh. Suasana menjadi tegang, tidak ada lagi kata yang terucap sampai akhirnya kami meninggalkan rumah sakit. Perjalanan pulang ke rumah Cempaka terasa panjang. Mobil yang membawa kami dipenuhi keheningan. Danu duduk di kursi depan, sementara aku di kursi belakang, menatap jalanan dari balik kaca jendela. Negosiasi tadi berakhir tanpa kesepakatan. Yang ada justru hanya meninggalkan kebencian lebih mendalam. Mobil kami akhirnya tiba di kediaman Cempaka. Tepat sebelum aku turun, suara Danu memecah keheningan. “Silakan beristirahat, Nona. Tidak perlu terlalu mencemaskan persoalan dengan Nona Nina. Tuan Adrian telah berpesan bahwa beliau sendiri yang akan menanganinya.” Aku menunduk sejenak, lalu memberanikan diri bertanya, “Kak Danu... apakah aku sudah terlalu merepotkan Tuan Adrian?” Danu menoleh sebentar, tersenyum tipis. “Tidak, Nona. Sejujurnya, ini bukan lagi perkara antara Anda dan Nona Nina. Persoalan ini sudah menyangkut Tuan Hatmoko dan Tuan Adrian.” Aku masih belum sepenuhnya memahami, tetapi setidaknya aku bisa menangkap maksud Danu. Aku pun terdiam, lalu mengangguk pelan. “Baiklah, aku mengerti.” Namun malam itu, aku sama sekali tidak bisa tidur. Pikiranku terus kembali pada kejadian tadi siang di kampus, serta tatapan penuh benci dari orang tua Nina. Aku keluar kamar, berdiri di balkon rumah bunga dan menatap ke arah rumah utama. Aku menarik napas panjang, lalu menghembuskannya kasar. Dalam hati aku berjanji, besok pagi, aku harus menemui Tuan Adrian dan meminta maaf. Apa pun yang terjadi, aku tidak boleh membuatnya menyesal telah menerimaku di sini dan menguliahkanku. Aku mengepalkan tangan di depan dada. “Ya, besok pagi, aku harus menemuinya dan meminta maaf.” ** Pagi pun tiba. Aku bangun dengan semangat, bersiap-siap pergi ke rumah utama untuk melakukan tugasku. Namun, saat keluar kamar dan menuruni tangga, aku melihat Sekar sudah menungguku di bawah. “Makanan untuk sarapan Tuan Adrian-nya mana? Sini, biar aku antarkan.” “E ... Nona,”—Sekar terlihat ragu—“Tuan Adrian berpesan bahwa ... beliau tidak ingin bertemu dengan Nona.” Aku terdiam, seketika tidak bisa lagi tersenyum. Ada perasaan kecewa dan juga takut, takut Adrian benar-benar marah padaku karena kejadian kemarin. “Jangan tersinggung atau sedih, Nona. Tuan Adrian hanya—” “Tidak.” Aku berucap tegas, “Aku akan tetap menemuinya.” Gampang menyerah itu bukan sifatku. Pokoknya, aku harus memberitahukan kejadian sebenarnya antara aku dan Nina. Aku tidak boleh membuat Tuan Adrian salah paham dan marah padaku. Aku melangkah cepat menuju rumah utama. Sekar terus berusaha menahanku, tetapi aku sama sekali tidak menghiraukannya. Semakin dekat aku berjalan, semakin kuat pula degup jantungku. Dan ketika sampai di depan kamar Tuan Adrian, tanpa pikir panjang aku langsung masuk ke kamarnya tanpa mengetuk pintu. Pikirku, mungkin ia masih tidur, sama seperti kemarin. Namun, saat sudah berada di dalam kamar, aku tidak menemukan Tuan Adrian ada di tempat tidurnya. Mataku pun mencarinya ke seluruh ruangan, sampai akhirnya aku menemukan sosok yang kini berdiri di depan cermin ruangan sebelah. Tubuh tinggi tegap itu membelakangiku, hanya berbalut handuk yang melingkar di pinggang dan menutupi sebagian tubuh bawahnya. Punggungnya lebar, bersih, dan terdapat tatto rajawali yang mengepakkan sayap. Dengan butiran air yang masih menetes dari rambutnya yang basah, sosok itu sungguh sexy. Aku terpaku, dan tanpa sengaja mata serta mulutku terbuka lebar. “Woah ....” Sadar ada kata yang keluar dari mulutku, aku pun segera membekap mulutku. Namun sial, sosok pria yang kukagumi itu sudah terlanjur menyadari keberadaanku. Dia berbalik ke arahku. “Melati.” Ah, kembali harus kuhadapi pagi mendebarkan lainnya.Tuan Adrian menarik kerah baju Kak Arga dan mendorongnya menjauh dariku. Sementara itu, aku dibantu berdiri oleh Kak Danu.“Hati-hati, Nona,” ucapnya pelan.Aku tidak bisa mengalihkan pandanganku dari Tuan Adrian dan Kak Arga. Keduanya kini berdiri saling berhadapan. Tidak ada satu pun kata terucap di antara mereka, tetapi tatapan mata keduanya seakan berbicara.“Tuan ...,” panggilku ragu.Tanpa mengalihkan pandangan dari Kak Arga, Tuan Adrian memberi perintah kepada Kak Danu. “Bawa Melati masuk ke mobil.”Kak Danu hanya mengangguk, lalu menuntunku menuju mobil.“Tapi, Kak ... mereka ....” Aku khawatir, takut Tuan Adrian salah paham terhadap Kak Arga.“Tidak apa-apa, Nona ikut saja,” ucap Kak Danu dengan nada menenangkan.Pada akhirnya aku pun menurut. Aku masuk ke dalam mobil Tuan Adrian.Dari bangku belakang, aku masih bisa melihat Kak Arga di luar sana, tampak ingin mengatakan sesuatu, tetapi Tuan Adrian lebih dulu berbicara kepadanya sebelum kemudian berbalik pergi.Aku tidak tahu
Setelah Danu pergi dan Tuan Adrian mempersilakanku masuk, aku pun melangkah ke dalam ruang kerja yang cukup luas dengan desain hitam putih yang elegan namun misterius itu.“Kau membawakanku makanan?” tanya Tuan Adrian tanpa menoleh.Aku yang awalnya masih terpana mengagumi ruangannya segera beralih pada pemiliknya. “Benar, Tuan.”“Bibi Asri yang menyuruhmu?” tanyanya lagi, masih dengan tatapan tertuju pada dokumen di atas mejanya.Aku buru-buru menjawab, “Tidak, Tuan. Ini ... inisiatif saya sendiri. Jadi, jangan marahi Bibi Asri. Beliau bahkan sudah mencegah saya.”Pulpen di tangan Tuan Adrian yang sejak tadi terus bergerak lincah di atas kertas seketika berhenti. Tatapannya terangkat, menusuk ke arahku. “Kalau begitu bawa saja makanan itu pergi.”Ia kembali menunduk, sibuk menandatangani dokumen-dokumennya.Sungguh pria yang sulit dihadapi, batinku. Aku menggigit bibir, berpikir cepat mencari cara agar usahaku tidak sia-sia. Lalu, aku teringat sesuatu.Perlahan kubuka salah satu kota
Berbeda dari pagi-pagi sebelumnya, kali ini aku tidak langsung membuka pintu kamar Tuan Adrian begitu saja. Aku masih sedikit trauma dengan kejadian kemarin. Rasanya seperti ... jika aku kembali masuk tanpa permisi, mungkin kali ini aku benar-benar tidak akan selamat. Aku menarik napas panjang sebelum mulai mengetuk pintu. Satu, dua, tiga kali aku mengetuk, masih tidak juga ada jawaban. Aku pun mengetuk semakin keras. Karena tetap tidak ada respon dari dalam, aku mengepalkan tangan lebih kuat dan mulai “menggedor” pintu dengan sekuat tenaga, tanpa jeda. Tidak lama kemudian .... Klek. Pintu kamar itu terbuka dari dalam. Kini terlihat Tuan Adrian berdiri di ambang pintu dengan wajah sedikit kesal dan rambut yang masih berantakan. Ia hanya mengenakan kemeja tidur berwarna hitam yang bagian atasnya terbuka lebar, memperlihatkan sebagian dadanya. Aku menelan ludah dan membatin, kenapa orang ini selalu terlihat seksi di pagi hari? Padahal dia baru saja bangun tidur. Tatapan dingin T
“Jadi ... kau perempuan barunya Adrian?”Kalimat itu meluncur tajam dari mulut salah satu wanita di hadapanku. Aku tidak mengerti, kenapa banyak orang menyebutku dengan sebutan seolah-olah aku perempuan murahan seperti itu?“Maaf, apa maksud Anda? Saya tidak mengerti,” ujarku hati-hati.“Tcih.” Seorang wanita bergaun merah marun dengan potongan bahu terbuka menyilangkan tangan di dada. Tatapannya sinis. “Jangan berpura-pura polos. Bisa tinggal di sisi Adrian, artinya kau sudah menjual dirimu sendiri padanya.”Wanita di sebelahnya menimpali dengan nada tajam, “Aku heran, selera Tuan Adrian kali ini benar-benar menurun.”Yang terakhir ikut menambahkan dengan senyum mengejek. “Kau sama sekali tidak terlihat istimewa, tapi bisa menempati rumah ini. Jadi, selain tubuhmu, apa lagi yang sudah kau jual padanya?”Aku menatap mereka dengan tidak percaya. Jadi, hal seperti itukah yang mereka pikirkan tentangku?Meski ketiga wanita itu berdiri dengan anggun, aura mereka begitu menekan hingga memb
Aku masih diam terpaku di tempatku. Entah kenapa, di situasi seperti ini kakiku justru tidak bisa digerakkan.Tuan Adrian mendekat, masih dengan hanya bertelanjang dada. “Apakah memasuki ruang pribadi orang lain adalah kebiasaan burukmu?”Aku menelan ludah, memaksa suara keluar. “Ma-maaf, Tuan. Saya tidak bermaksud. Saya hanya ... ingin menjelaskan tentang kejadian kemarin.”Kini langkahnya berhenti hanya dua langkah di depanku. Aroma sabunnya yang maskulin membuat wajahku terasa panas.“Menjelaskan ... atau hanya mencari alasan?” Tuan Adrian bertanya dengan nada datar, akan tetapi hal itu cukup mampu untuk membuatku tertekan.Aku menggeleng cepat, jemariku meremas ujung baju. “Tidak, Tuan. Saya sungguh tidak bermaksud melukai Nina. Itu hanya ... tidak sengaja.”“Tidak sengaja, tapi terlihat jelas kau mengangkat kaki untuk menjegalnya hingga terjatuh.”Aku tercekat. Bagaimana ia bisa tahu?“Kau pikir, ada di mana kau waktu itu? Ada banyak mata dan kamera yang merekam. Danu bahkan haru
Saat ini aku tengah duduk di ruang tunggu rumah sakit dengan ditemani Danu yang berdiri tidak jauh dariku. Sejak tadi jemariku tidak hentinya bergerak gelisah menunggu kabar tentang Nina.Tidak lama kemudian, pintu ruangan di depanku terbuka. Seorang dokter dan perawat berjalan keluar melewati kami dengan disusul oleh sepasang laki-laki dan perempuan yang kini berhenti di hadapanku dan Danu.Degup jantungku semakin keras. Tanpa bertanya, aku pun tahu siapa mereka, kedua orang tua Nina.Si ibu menatapku tajam, sorot matanya bagai pisau yang siap merobek kulitku kapan saja. “Kamu yang namanya Melati?” Suaranya terdengar dingin.Aku tercekat. “I-iya ... Tante.”“Panggil aku Nyonya.” Ibu Nina mengoreksi.Aku menundukkan pandangan sembari menelan ludahku sendiri.Dari ekor mata, kulihat Danu melangkah maju. Dengan suara tenang namun mantap ia berkata, “Maaf ... Nyonya dan Tuan Hatmoko, benar?”Pasangan itu menoleh pada Danu, menunggu penjelasan.Danu kembali melanjutkan, “Izinkan saya memp