Share

Hadiah dari Tuan

Author: Nooraya
last update Last Updated: 2025-10-09 20:05:49

Tubuhku masih terperangkap dalam dekapan Tuan Adrian. Bibir bawahku kugigit, rasa gugup mencekik saat tatapan tajamnya menusukku dari jarak yang begitu dekat.

Sesaat Tuan Adrian hanya menatapku. Dahinya berkerut. “Apa yang kau lakukan di kamarku?” Suaranya berat, dingin, dan sedikit serak karena baru bangun tidur.

Dengan sedikit takut aku buru-buru meminta, “T-tolong lepaskan aku dulu, Tuan.”

Jantungku berdegup tidak karuan. Tidak lama kemudian, lengannya perlahan melonggar. Begitu bebas, aku segera bangkit dan menjauh, berdiri di sisi ranjang sambil merapikan pakaian yang sedikit kusut.

Tuan Adrian ikut bangkit, lalu duduk di tepi ranjang. Pandangannya tidak lepas dariku.

“Maaf, Tuan ....” Aku berusaha menjawab pertanyaan tadi, meski dengan jantung yang masih berdebar kencang. “Saya ke sini untuk membangunkan Anda. Sekar bilang ... itu salah satu tugas saya di rumah ini.”

Tuan Adrian menghela napas cukup keras sehingga aku bisa mendengarnya. Terlihat jelas bahwa ia tidak senang terhadap apa yang kulakukan. Kamar pun kembali sunyi, hanya detik jam dinding yang terdengar, menambah canggung suasana.

Aku menundukkan kepala, takut kalau Tuan Adrian benar-benar marah. Namun, kata yang keluar darinya hanyalah sebuah kata perintah.

“Keluarlah.”

Aku terkejut, wajahku terangkat spontan. “H-hm?”

“Kau tidak dengar?” tanyanya dingin. “Aku bilang, keluar. Aku ingin mandi.”

Aku meremas ujung bajuku, ragu tetapi nekat berucap cepat, “Saya akan menyiapkan pakaian Tuan.”

Sejenak ia menatapku datar, tetapi kemudian memalingkan wajah. “Terserah.” Tuan Adrian bangkit, menyibak selimut dan melangkah ke kamar mandi.

Begitu pintu kamar mandi tertutup, aku menarik napas panjang, lega. Lalu, aku menoleh ke sekeliling. Terlihat ada sebuah ruangan kecil yang terhubung dengan kamar ini, jadi aku mencoba melihat ke sana.

Begitu lampu kamar itu kunyalakan, aku tertegun. Ruangan tersebut dipenuhi dengan deretan lemari besar dengan etalase kaca di tengah ruangannya, penuh dengan berbagai aksesori.

Aku tidak membayangkan seorang pria memiliki begitu banyak koleksi pakaian dan barang mewah. Rasa kagum hanya sebentar, sebelum aku kembali fokus, dan dengan hati-hati mulai memilih setelan pakaian untuk Tuan Adrian.

Aku harus melakukan ini sebaik mungkin, dan semoga ia menyukai pilihanku. Aku harus bisa menyenangkan Tuan Adrian. Jangan sampai aku membuatnya kesal lagi.

Setelah selesai, kuletakkan pakaian pilihanku itu di atas ranjang yang sudah kurapikan. Lalu, aku keluar dari kamar dan menuju ruang makan untuk menyiapkan sarapan.

Namun, Adrian tetap bersikap acuh. Pakaian yang sudah kupilihkan untuknya tidak ia pakai. Begitu juga dengan makanan yang kubawa, ia tidak menyentuhnya sedikit pun.

Hatiku hancur, rasanya seperti usahaku sama sekali tidak dihargai. Ingin marah, tetapi aku sadar Tuan Adrian sudah mengeluarkan begitu banyak uang untukku.

“Hh ....” Aku harus sabar. Aku masih harus membalas budinya. Tidak apa diabaikan hari ini, aku akan mencoba lagi besok, sampai ia bisa melihat kesungguhanku.

Dengan wajah lesu aku kembali ke rumah bunga. Sekar hanya butuh sekali melihatku untuk tahu apa yang terjadi. Ia tidak bertanya banyak, hanya mengajakku berjalan-jalan berkeliling rumah bunga.

Perlahan hatiku sedikit terhibur. Berbagai bunga dan tanaman hias tumbuh indah di sekitar rumah yang kutempati.

Saat kami sampai di halaman samping, mataku terpana melihat taman kecil yang tertata rapi, dengan kolam ikan yang bening di tengahnya. Rasanya begitu tenang berada di sini.

“Nona bisa berkebun di sela waktu luang,” kata Sekar dengan senyum lembut.

Kalimat itu seketika membuatku menoleh padanya. Sambil tersenyum tipis aku berucap, “Benarkah? Aku senang sekali. Aku memang suka bunga dan juga berkebun.”

Sekar menganggukinya. Lalu, kembali kutatap bunga mawar di hadapanku, kumainkan kelopaknya. “Aku tidak menyangka Tuan Adrian begitu menyukai bunga, sampai-sampai membuat taman seindah ini.”

“Sebenarnya ... bukan Tuan Adrian yang menyukai bunga,” ucap Sekar menanggapi ocehanku.

Aku kembali menoleh ke arahnya, penasaran. “Lalu?”

Namun, Sekar dengan cepat menggeleng dan tersenyum hambar, seolah enggan bercerita. “Bukan apa-apa, Nona.”

Di tengah ketidakpahamanku itu, tiba-tiba seorang pria muncul. Wajahnya tegas, sikapnya kaku, mengingatkanku pada Tuan Adrian, hanya saja usianya tampak lebih muda.

“Oh, Kak Danu,” sahut Sekar.

“Maaf mengganggu waktu Nona,” ucap pria bernama Danu itu.

Sekar lantas memperkenalkan Danu padaku, “Beliau adalah Danu, Nona. Salah satu orang kepercayaan Tuan Adrian.”

Danu menunduk hormat padaku.

Danu datang bersama beberapa orang lain, masing-masing dari mereka membawa banyak sekali barang. Kotak-kotak besar dan juga tas-tas karton.

“Ada keperluan apa ke sini, Kak? Dan ... semua ini apa?” Sekar menanyakan pertanyaan yang sama dengan yang ada di pikiranku.

“Aku ke sini karena perintah Tuan Adrian untuk memberikan semua barang ini.”

Aku terdiam saat mendengarnya. Entahlah, tiba-tiba sesuatu yang hangat menyebar di dadaku.

Meski dingin, meski acuh, ternyata Tuan Adrian masih tetap memperhatikanku. Hatiku pun sedikit tersentuh. Mungkin ... di balik sikap kerasnya, ia bukan pria kejam seperti yang kubayangkan.

Kami bertiga kemudian melanjutkan perbincangan kami di dalam rumah. Sekar membantuku membawa beberapa barang kecil, sementara orang-orang yang bersama Danu sibuk menurunkan kotak-kotak besar dan menatanya di ruang tengah.

Aku menatap semua itu dengan bingung. Rasanya terlalu banyak untukku.

Danu lalu menghampiriku. Sikapnya tetap kaku, tetapi suaranya terdengar sopan. “Nona, ada sesuatu lagi yang perlu saya sampaikan. Sesuai perintah Tuan Adrian, saya sudah mengurus semua pendaftaran Nona di salah satu universitas bergengsi di kota ini. Mulai besok, Nona bisa kembali melanjutkan kuliah.”

Aku membeku di tempat. Butuh beberapa detik bagiku untuk mencerna ucapannya. “K-kuliah ... aku bisa kuliah lagi?” tanyaku tak percaya, suaraku bergetar.

Danu mengangguk singkat. “Benar. Semua administrasi sudah selesai. Jadwal kuliah dan perlengkapannya pun sudah saya siapkan. Nona tinggal datang saja.”

Seketika mataku terasa panas merasakan air mata yang ingin jatuh. Aku tidak tahu harus berkata apa. Selama ini, aku tidak pernah berani bermimpi bisa kembali menempuh pendidikan setelah semua yang terjadi padaku.

Sekar yang berdiri di sampingku menepuk lembut punggungku, ikut tersenyum haru melihat reaksiku.

Aku menunduk, mencoba menyembunyikan perasaan yang meletup-letup dalam dadaku. Bagaimana pun dinginnya sikap Tuan Adrian, ternyata diam-diam ia begitu memerhatikan masa depanku. Aku benar-benar harus berterima kasih padanya dan kelak harus membalas budinya.

Di malam harinya, aku duduk sendirian di kamar, tersenyum menatap barang-barang baru yang ada di hadapanku. Ponsel, laptop, tas, semuanya adalah barang-barang dengan merek mahal yang selama ini aku impikan.

Hatiku seolah bergetar, tetapi kurasa itu bukan karena barang-barang tersebut. Kebaikan Tuan Adrian lah yang membuatku senyum-senyum sendiri malam ini.

Terima kasih ... Tuan Adrian.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Gadis Kesayangan Tuan Adrian   Sungguh Sebuah Kemajuan

    Tuan Adrian menarik kerah baju Kak Arga dan mendorongnya menjauh dariku. Sementara itu, aku dibantu berdiri oleh Kak Danu.“Hati-hati, Nona,” ucapnya pelan.Aku tidak bisa mengalihkan pandanganku dari Tuan Adrian dan Kak Arga. Keduanya kini berdiri saling berhadapan. Tidak ada satu pun kata terucap di antara mereka, tetapi tatapan mata keduanya seakan berbicara.“Tuan ...,” panggilku ragu.Tanpa mengalihkan pandangan dari Kak Arga, Tuan Adrian memberi perintah kepada Kak Danu. “Bawa Melati masuk ke mobil.”Kak Danu hanya mengangguk, lalu menuntunku menuju mobil.“Tapi, Kak ... mereka ....” Aku khawatir, takut Tuan Adrian salah paham terhadap Kak Arga.“Tidak apa-apa, Nona ikut saja,” ucap Kak Danu dengan nada menenangkan.Pada akhirnya aku pun menurut. Aku masuk ke dalam mobil Tuan Adrian.Dari bangku belakang, aku masih bisa melihat Kak Arga di luar sana, tampak ingin mengatakan sesuatu, tetapi Tuan Adrian lebih dulu berbicara kepadanya sebelum kemudian berbalik pergi.Aku tidak tahu

  • Gadis Kesayangan Tuan Adrian   Menu Spesial untuk Tuan

    Setelah Danu pergi dan Tuan Adrian mempersilakanku masuk, aku pun melangkah ke dalam ruang kerja yang cukup luas dengan desain hitam putih yang elegan namun misterius itu.“Kau membawakanku makanan?” tanya Tuan Adrian tanpa menoleh.Aku yang awalnya masih terpana mengagumi ruangannya segera beralih pada pemiliknya. “Benar, Tuan.”“Bibi Asri yang menyuruhmu?” tanyanya lagi, masih dengan tatapan tertuju pada dokumen di atas mejanya.Aku buru-buru menjawab, “Tidak, Tuan. Ini ... inisiatif saya sendiri. Jadi, jangan marahi Bibi Asri. Beliau bahkan sudah mencegah saya.”Pulpen di tangan Tuan Adrian yang sejak tadi terus bergerak lincah di atas kertas seketika berhenti. Tatapannya terangkat, menusuk ke arahku. “Kalau begitu bawa saja makanan itu pergi.”Ia kembali menunduk, sibuk menandatangani dokumen-dokumennya.Sungguh pria yang sulit dihadapi, batinku. Aku menggigit bibir, berpikir cepat mencari cara agar usahaku tidak sia-sia. Lalu, aku teringat sesuatu.Perlahan kubuka salah satu kota

  • Gadis Kesayangan Tuan Adrian   Kemajuan di Pagi Lainnya

    Berbeda dari pagi-pagi sebelumnya, kali ini aku tidak langsung membuka pintu kamar Tuan Adrian begitu saja. Aku masih sedikit trauma dengan kejadian kemarin. Rasanya seperti ... jika aku kembali masuk tanpa permisi, mungkin kali ini aku benar-benar tidak akan selamat. Aku menarik napas panjang sebelum mulai mengetuk pintu. Satu, dua, tiga kali aku mengetuk, masih tidak juga ada jawaban. Aku pun mengetuk semakin keras. Karena tetap tidak ada respon dari dalam, aku mengepalkan tangan lebih kuat dan mulai “menggedor” pintu dengan sekuat tenaga, tanpa jeda. Tidak lama kemudian .... Klek. Pintu kamar itu terbuka dari dalam. Kini terlihat Tuan Adrian berdiri di ambang pintu dengan wajah sedikit kesal dan rambut yang masih berantakan. Ia hanya mengenakan kemeja tidur berwarna hitam yang bagian atasnya terbuka lebar, memperlihatkan sebagian dadanya. Aku menelan ludah dan membatin, kenapa orang ini selalu terlihat seksi di pagi hari? Padahal dia baru saja bangun tidur. Tatapan dingin T

  • Gadis Kesayangan Tuan Adrian   Kunjungan Penghuni Rumah Jelita

    “Jadi ... kau perempuan barunya Adrian?”Kalimat itu meluncur tajam dari mulut salah satu wanita di hadapanku. Aku tidak mengerti, kenapa banyak orang menyebutku dengan sebutan seolah-olah aku perempuan murahan seperti itu?“Maaf, apa maksud Anda? Saya tidak mengerti,” ujarku hati-hati.“Tcih.” Seorang wanita bergaun merah marun dengan potongan bahu terbuka menyilangkan tangan di dada. Tatapannya sinis. “Jangan berpura-pura polos. Bisa tinggal di sisi Adrian, artinya kau sudah menjual dirimu sendiri padanya.”Wanita di sebelahnya menimpali dengan nada tajam, “Aku heran, selera Tuan Adrian kali ini benar-benar menurun.”Yang terakhir ikut menambahkan dengan senyum mengejek. “Kau sama sekali tidak terlihat istimewa, tapi bisa menempati rumah ini. Jadi, selain tubuhmu, apa lagi yang sudah kau jual padanya?”Aku menatap mereka dengan tidak percaya. Jadi, hal seperti itukah yang mereka pikirkan tentangku?Meski ketiga wanita itu berdiri dengan anggun, aura mereka begitu menekan hingga memb

  • Gadis Kesayangan Tuan Adrian   Punggung Lebar Tuan Adrian

    Aku masih diam terpaku di tempatku. Entah kenapa, di situasi seperti ini kakiku justru tidak bisa digerakkan.Tuan Adrian mendekat, masih dengan hanya bertelanjang dada. “Apakah memasuki ruang pribadi orang lain adalah kebiasaan burukmu?”Aku menelan ludah, memaksa suara keluar. “Ma-maaf, Tuan. Saya tidak bermaksud. Saya hanya ... ingin menjelaskan tentang kejadian kemarin.”Kini langkahnya berhenti hanya dua langkah di depanku. Aroma sabunnya yang maskulin membuat wajahku terasa panas.“Menjelaskan ... atau hanya mencari alasan?” Tuan Adrian bertanya dengan nada datar, akan tetapi hal itu cukup mampu untuk membuatku tertekan.Aku menggeleng cepat, jemariku meremas ujung baju. “Tidak, Tuan. Saya sungguh tidak bermaksud melukai Nina. Itu hanya ... tidak sengaja.”“Tidak sengaja, tapi terlihat jelas kau mengangkat kaki untuk menjegalnya hingga terjatuh.”Aku tercekat. Bagaimana ia bisa tahu?“Kau pikir, ada di mana kau waktu itu? Ada banyak mata dan kamera yang merekam. Danu bahkan haru

  • Gadis Kesayangan Tuan Adrian   Hari yang Kacau

    Saat ini aku tengah duduk di ruang tunggu rumah sakit dengan ditemani Danu yang berdiri tidak jauh dariku. Sejak tadi jemariku tidak hentinya bergerak gelisah menunggu kabar tentang Nina.Tidak lama kemudian, pintu ruangan di depanku terbuka. Seorang dokter dan perawat berjalan keluar melewati kami dengan disusul oleh sepasang laki-laki dan perempuan yang kini berhenti di hadapanku dan Danu.Degup jantungku semakin keras. Tanpa bertanya, aku pun tahu siapa mereka, kedua orang tua Nina.Si ibu menatapku tajam, sorot matanya bagai pisau yang siap merobek kulitku kapan saja. “Kamu yang namanya Melati?” Suaranya terdengar dingin.Aku tercekat. “I-iya ... Tante.”“Panggil aku Nyonya.” Ibu Nina mengoreksi.Aku menundukkan pandangan sembari menelan ludahku sendiri.Dari ekor mata, kulihat Danu melangkah maju. Dengan suara tenang namun mantap ia berkata, “Maaf ... Nyonya dan Tuan Hatmoko, benar?”Pasangan itu menoleh pada Danu, menunggu penjelasan.Danu kembali melanjutkan, “Izinkan saya memp

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status