MasukTubuhku masih terperangkap dalam dekapan Tuan Adrian. Bibir bawahku kugigit, rasa gugup mencekik saat tatapan tajamnya menusukku dari jarak yang begitu dekat.
“T-tolong lepaskan aku dulu, Tuan.”
Jantungku berdegup tidak karuan. Tidak lama kemudian, lengannya perlahan melonggar. Begitu bebas, aku segera bangkit dan menjauh, berdiri di sisi ranjang sambil merapikan pakaian yang sedikit kusut.
Tuan Adrian ikut bangkit, lalu duduk di tepi ranjang. Pandangannya tidak lepas dariku.
“Maaf, Tuan ....” Aku berusaha menjawab pertanyaan tadi, meski dengan jantung yang masih berdebar kencang. “Saya ke sini untuk membangunkan Anda. Sekar bilang ... itu salah satu tugas saya di rumah ini.”
Tuan Adrian menghela napas cukup keras sehingga aku bisa mendengarnya. Terlihat jelas bahwa ia tidak senang terhadap apa yang kulakukan. Kamar pun kembali sunyi, hanya detik jam dinding yang terdengar, menambah canggung suasana.
Aku menundukkan kepala, takut kalau Tuan Adrian benar-benar marah. Namun, kata yang keluar darinya hanyalah sebuah kata perintah.
“Keluarlah.”
Aku terkejut, wajahku terangkat spontan. “H-hm?”
“Kau tidak dengar?” tanyanya dingin. “Aku bilang keluar. Aku ingin mandi.”
Aku meremas ujung bajuku, ragu tetapi nekat berucap cepat, “Saya akan menyiapkan pakaian Tuan.”
Sejenak ia menatapku datar, tetapi kemudian memalingkan wajah.
“Terserah.” Tuan Adrian bangkit, menyibak selimut dan melangkah ke kamar mandi.
Begitu pintu kamar mandi tertutup, aku menarik napas panjang, lega. Lalu, aku menoleh ke sekeliling. Terlihat ada sebuah ruangan kecil yang terhubung dengan kamar ini, jadi aku mencoba melihat ke sana.
Begitu lampu kamar itu kunyalakan, aku tertegun. Ruangan tersebut dipenuhi dengan deretan lemari besar dengan etalase kaca di tengah ruangannya, penuh dengan berbagai aksesori.
Aku tidak membayangkan seorang pria memiliki begitu banyak koleksi pakaian dan barang mewah. Rasa kagum hanya sebentar, sebelum aku kembali fokus, dan dengan hati-hati mulai memilih setelan pakaian untuk Tuan Adrian.
Aku harus melakukan ini sebaik mungkin, dan semoga ia menyukai pilihanku. Aku harus bisa menyenangkan Tuan Adrian. Jangan sampai aku membuatnya kesal lagi.
Setelah selesai, kuletakkan pakaian pilihanku itu di atas ranjang yang sudah kurapikan. Lalu, aku keluar dari kamar dan menuju ruang makan untuk menyiapkan sarapan.
Namun, Adrian tetap bersikap acuh. Pakaian yang sudah kupilihkan untuknya tidak ia pakai. Begitu juga dengan makanan yang kubawa, ia tidak menyentuhnya sedikit pun.
Hatiku hancur, rasanya seperti usahaku sama sekali tidak dihargai. Ingin marah, tetapi aku sadar Tuan Adrian sudah mengeluarkan begitu banyak uang untukku.
“Hh ....” Aku harus sabar. Aku masih harus membalas budinya. Tidak apa diabaikan hari ini, aku akan mencoba lagi besok, sampai ia bisa melihat kesungguhanku.
Dengan wajah lesu aku kembali ke rumah bunga. Sekar hanya butuh sekali melihatku untuk tahu apa yang terjadi. Ia tidak bertanya banyak, hanya mengajakku berjalan-jalan berkeliling rumah bunga.
Perlahan hatiku sedikit terhibur. Berbagai bunga dan tanaman hias tumbuh indah di sekitar rumah yang kutempati.
Saat kami sampai di halaman samping, mataku terpana melihat taman kecil yang tertata rapi, dengan kolam ikan yang bening di tengahnya. Rasanya begitu tenang berada di sini.
“Nona bisa berkebun di sela waktu luang,” kata Sekar dengan senyum lembut.
Kalimat itu seketika membuatku menoleh padanya. Sambil tersenyum tipis aku berucap, “Benarkah? Aku senang sekali. Aku memang suka bunga dan juga berkebun.”
Sekar menganggukinya. Lalu, kembali kutatap bunga mawar di hadapanku, kumainkan kelopaknya. “Aku tidak menyangka Tuan Adrian begitu menyukai bunga, sampai-sampai membuat taman seindah ini.”
“Sebenarnya ... bukan Tuan Adrian yang menyukai bunga,” ucap Sekar menanggapi ocehanku.
Aku kembali menoleh ke arahnya, penasaran. “Lalu?”
Namun, Sekar dengan cepat menggeleng dan tersenyum hambar, seolah enggan bercerita. “Bukan apa-apa, Nona.”
Di tengah ketidakpahamanku itu, tiba-tiba seorang pria muncul. Wajahnya tegas, sikapnya kaku, mengingatkanku pada Tuan Adrian, hanya saja usianya tampak lebih muda.
“Oh, Kak Danu,” sahut Sekar.
“Maaf mengganggu waktu Nona,” ucap pria bernama Danu itu.
Sekar lantas memperkenalkan Danu padaku, “Beliau adalah Danu, Nona. Salah satu orang kepercayaan Tuan Adrian.”
Danu menunduk hormat padaku.
Danu datang bersama beberapa orang lain, masing-masing dari mereka membawa banyak sekali barang. Kotak-kotak besar dan juga tas-tas karton.
“Ada keperluan apa ke sini, Kak? Dan ... semua ini apa?” Sekar menanyakan pertanyaan yang sama dengan yang ada di pikiranku.
“Aku ke sini karena perintah Tuan Adrian untuk memberikan semua barang ini.”
Aku terdiam saat mendengarnya. Entahlah, tiba-tiba sesuatu yang hangat menyebar di dadaku.
Meski dingin, meski acuh, ternyata Tuan Adrian masih tetap memperhatikanku. Hatiku pun sedikit tersentuh. Mungkin ... di balik sikap kerasnya, ia bukan pria kejam seperti yang kubayangkan.
Kami bertiga kemudian melanjutkan perbincangan kami di dalam rumah. Sekar membantuku membawa beberapa barang kecil, sementara orang-orang yang bersama Danu sibuk menurunkan kotak-kotak besar dan menatanya di ruang tengah.
Aku menatap semua itu dengan bingung. Rasanya terlalu banyak untukku.
Danu lalu menghampiriku. Sikapnya tetap kaku, tetapi suaranya terdengar sopan. “Nona, ada sesuatu lagi yang perlu saya sampaikan. Sesuai perintah Tuan Adrian, saya sudah mengurus semua pendaftaran Nona di salah satu universitas bergengsi di kota ini. Mulai besok, Nona bisa kembali melanjutkan kuliah.”
Aku membeku di tempat. Butuh beberapa detik bagiku untuk mencerna ucapannya. “K-kuliah ... aku bisa kuliah lagi?” tanyaku tak percaya, suaraku bergetar.
Danu mengangguk singkat. “Benar. Semua administrasi sudah selesai. Jadwal kuliah dan perlengkapannya pun sudah saya siapkan. Nona tinggal datang saja.”
Seketika mataku terasa panas merasakan air mata yang ingin jatuh. Aku tidak tahu harus berkata apa. Selama ini, aku tidak pernah berani bermimpi bisa kembali menempuh pendidikan setelah semua yang terjadi padaku.
Sekar yang berdiri di sampingku menepuk lembut punggungku, ikut tersenyum haru melihat reaksiku.
Aku menunduk, mencoba menyembunyikan perasaan yang meletup-letup dalam dadaku. Bagaimana pun dinginnya sikap Tuan Adrian, ternyata diam-diam ia begitu memerhatikan masa depanku. Aku benar-benar harus berterima kasih padanya dan kelak harus membalas budinya.
Di malam harinya, aku duduk sendirian di kamar, tersenyum menatap barang-barang baru yang ada di hadapanku. Ponsel, laptop, tas, semuanya adalah barang-barang dengan merek mahal yang selama ini aku impikan.
Hatiku seolah bergetar, tetapi kurasa itu bukan karena barang-barang tersebut. Kebaikan Tuan Adrian lah yang membuatku senyum-senyum sendiri malam ini.
Terima kasih ... Tuan Adrian.
**
Aku berdiri termenung sendirian di dalam lift. Apa yang terjadi barusan di ruang kerja Tuan Adrian terus berputar di kepalaku.Apa yang ia katakan dan lakukan untukku ... sedikit-banyak menghangatkan hati.Awalnya aku memang marah. Rasanya ia melangkah terlalu jauh dan mengambil keputusan seenaknya. Namun semakin kupikirkan, alasan untuk marah itu malah semakin lemah.Meski Tuan Adrian bilang bahwa ia menyerahkan sahamnya karena ada rencana lain, tetap saja semua itu berawal dari masalahku dengan Nina. Lagi-lagi, akulah yang menyeretnya ke dalam masalahku.Karena aku, Tuan Adrian sendiri yang harus turun langsung menghadapi Tuan Hatmoko. Dia juga yang meminta agar Nina dikirim ke luar negeri, agar Nina tidak bisa lagi menggangguku. Semua itu ... demi aku.Semua risiko ditanggung oleh Tuan Adrian. Sementara aku ... hanya perlu melanjutkan hidup dengan tenang.Tuan Adrian tidak menuntut apa pun dariku sebagai balasan. Ia hanya ingin aku patuh padanya dan menjauhi Kak Arga.Kata-kata Tua
Aku berdiri tidak jauh dari tempat Tuan Adrian duduk. Untuk beberapa saat, tidak ada satu kata pun yang keluar dari kami.Hanya ada keheningan yang memenuhi ruangan. Aku dan Tuan Adrian seolah tenggelam dalam pikiran masing-masing. Ada terlalu banyak hal yang ingin kukatakan, dan terlalu banyak hal yang ingin kudengar darinya.Entah penjelasan, teguran, atau apa pun itu, yang jelas kepalaku saat ini penuh dan kacau.“Ada yang ingin kau katakan, Melati?” Suara Tuan Adrian akhirnya memecah kesunyian itu.Aku membuka mulut, tetapi masih tidak ada kata keluar. Setelah menarik napas panjang, barulah aku bisa berkata, pelan.“Apakah benar ... kalau Nina pindah ke luar negeri karena Anda yang memintanya, Tuan?”Tuan Adrian memandangku. Tatapannya sama sekali tidak goyah.“Ya.” Sesingkat itu ia menjawab.Dadaku seperti ditarik sampai sesak. “Kenapa Anda melakukannya?”Masih dengan tenang Tuan Adrian menjawab, “Aku tidak suka masalah yang berlarut. Jika ada cara untuk menyelesaikannya dengan c
Aku menahan napas, berusaha menangkap lebih jelas suara-suara dari balik pintu ruang istirahat Tuan Adrian.“Kau mengundangku ke sini ... apa kau sudah akan memberikan saham yang kau janjikan padaku?” Suara Tuan Hatmoko terdengar tajam.Tuan Adrian tidak langsung menjawab. Ia hanya tersenyum tipis. “Apa saham itu benar-benar sangat berarti untuk Anda, Tuan Hatmoko?”“Tch.” Suara Tuan Hatmoko penuh kesal. “Ini bukan soal penting atau tidak penting. Ini soal kesepakatan kita. Ingat! Karena perempuan kampung itu, anakku harus menanggung akibatnya. Dia bahkan mengalami gegar otak ringan dan terpaksa tinggal di luar negeri.”Jantungku serasa berhenti sesaat. Setelahnya, aku refleks menarik kepalaku menjauh dari pintu.Perempuan kampung? Aku? Apa maksudnya itu?“Aku juga sudah menepati janjiku,” lanjut Tuan Hatmoko. “Pihak kami diam. Kami tidak memperpanjang masalah itu, padahal Nina yang paling dirugikan dalam hal ini.”Perlahan aku kembali mendekat, menyatukan telingaku ke celah kecil pin
Setelah beberapa saat saling menatap tajam, akhirnya Kak Arga memutuskan tatapan itu lebih dulu. Ia meletakkan berkas di tangannya ke atas meja, tepat seperti yang diperintahkan Tuan Adrian.Melihat itu, Tuan Adrian hanya berkata singkat, “Sekarang pergilah.”Tanpa banyak bicara, Kak Arga bangkit. “Baik. Kalau begitu, saya kembali ke bawah, Tuan.”“Hm,” sahut Tuan Adrian tanpa menoleh. Sementara itu, Kak Arga menunduk hormat, lalu sempat sekilas menatapku, sebelum akhirnya keluar dari ruangan.Begitu Kak Arga pergi dan pintu kembali tertutup, ruangan kerja ini pun kembali sunyi.Aku melirik ke arah Tuan Adrian. Lalu bertanya ragu, “Tuan ... mau saya suapi lagi?”Ia tidak langsung memberiku jawaban. Melainkan, malah membuka botol minuman yang kubawa dan meneguknya pelan sambil bersandar pada sofa.Baru setelah ia meletakkan botol itu ke meja, Tuan Adrian menjawab, “Tidak usah. Letakkan saja di sini, nanti aku makan sendiri.” Nada suaranya berubah dingin lagi.Entahlah, aku tidak menger
Pagi ini aku baru tahu kalau sejak kemarin Tuan Adrian tidak pulang. Sekar yang memberitahu, sementara ia tahu dari Kak Danu. Katanya, kemarin Tuan Adrian lembur sampai larut dan akhirnya memutuskan untuk tidak pulang.Informasi itu membuatku sedikit kecewa. Sebab, pagi ini aku sudah memiliki semangat lebih untuk melayani Tuan Adrian.Sebenarnya, Tuan Adrian lembur sampai tidak pulang seperti ini sama sekali tidak mengejutkan. Namun, untuk kali ini terasa sedikit berbeda.Entahlah, mungkin karena beberapa hari kemarin suasananya seperti sedang perang dingin, dan hari ini aku ingin mulai mencairkan suasana, tetapi malah mendapatkan realitanya yang tidak sesuai dengan ekspektasiku.“Nona,” panggil Sekar, “tadi Kak Danu juga berpesan, supaya Nona menyiapkan pakaian ganti dan juga bekal makanan untuk Tuan Adrian ke kantor.”Aku sedikit bingung, mencoba mencerna baik-baik perintah itu. Meyakinkan diri bahwa aku tidak salah dengar. “Oh ... iya.”Permintaan itu tidak aneh sebenarnya, tetapi
“Bagaimana kabarmu dengan Adrian, Melati?”Pertanyaan itu datang begitu saja dari Nyonya Vanya, tenang, lembut, dan juga tidak terduga sama sekali.Aku menjawabnya dengan suara yang lirih, bahkan untukku sendiri. “Baik ... Nyonya.”Mata Nyonya Vanya sempat mengarah ke permukaan meja sebelum kembali terarah padaku. Ada sorot di matanya yang seolah sedang menilai luka tidak terlihat.“Kalau benar begitu,” ucapnya pelan, “aku ikut senang.”Aku mengangguk perlahan, berusaha tampak tenang meski jantungku sedang berdetak panik.Beberapa detik berlalu dengan hening, sebelum Nyonya Vanya kembali berbicara dengan suara yang terdengar lebih dalam. “Berhubungan dengan pria seperti Adrian ... pastinya tidak mudah, kan, Melati?”Aku langsung terdiam. Kata-katanya mengenai sisi terdalamku yang sedang terluka.Tidak ada nada sindiran. Tidak ada nada meremehkan. Hanya ... sebuah ungkapan jujur dari seorang perempuan yang tampaknya memahami rasa itu.Aku mencoba berbicara, namun satu-satunya kata yan







