MasukSelamat membaca. 🙏🙂 Yang baca cerita ini, komen dong. 🙏😁
Yudis datang ke rumah sakit, mendapati tidak ada yang menjaga Ziana di ruang rawatnya. Dia memindai sekitar yang sepi. Tidak ada tanda-tanda akan ada orang yang datang. Lelaki itu pun menerobos masuk dan membangunkan Ziana. Siang itu, Ziana sedang tertidur sendirian. Sandra keluar untuk membeli makanan. Tanpa basa-basi, Yudis langsung mencengkeram rahang Ziana. Jelas saja Ziana yang tadi dalam kondisi tidak sadar, terbangun kaget. "Rupanya kau masih hidup--" Dia menyeringai, mengintimidasi. "Harusnya kamu mati saja, toh nyawa orang sepertimu sebenarnya sangat tidak berharga." Ziana tidak bisa bicara karena pipi yang ditekan sampai membuat rahangnya serasa akan remuk. "Tapi baiklah, karena rencana kemarin gagal. Aku akan melanjutkannya sekarang." Tangan Yudis beralih menyusuri leher Ziana lalu mencekiknya. "Le--pas!" Ziana berontak dengan menarik tangan Yudis, namun tenaganya kalah jauh. Sampai akhirnya Sandra datang. "Kak Yudis, apa yang sedang kamu lakukan!" sentaknya mengage
Ekspresi putrinya sangat menggelikan. Arhan tersenyum miring mencibirnya. Namun, dia yang sedang dalam kondisi hati yang baik tidak mempermasalahkan. "Pulanglah. Ada yang ingin Ayah bicarakan dengan dia," bisik Arhan pada Sandra. Sandra menatap ayahnya mencoba menebak apa yang hendak ayahnya bicarakan. "Apa itu tentang--""Benar," sahut Arhan cepat. Dia yakin putrinya mengerti apa yang hendak Arhan katakan pada Ziana. "Baiklah." Sandra menarik napas dalam, setelahnya menarik dua pemuda itu bersamanya. "Kalian juga ikut pulang! Biarkan ayahku yang menjaganya malam ini." "Eh, kalian mau ke mana--" Ziana juga tampak keberatan saat dia ditinggal hanya dengan Arhan. Tentu ketimbang dijaga Arhan, Ziana lebih nyaman bersama Sandra. Berada di dekat Arhan masih membuat Ziana selalu gugup, berdebar, tak jarang sampai susah napas. Setelah semuanya pergi, tinggal Arhan saja. Dia berdiri dengan tangan di saku. "Aku sudah lebih baik. Pak Arhan tidak perlu--""Saya juga tidak berniat menunggu
"Maaf, bukan maksudku--" Ofi bergeleng penuh rasa bersalah. "Aku--""Sudahlah, Ayah--" Sandra bersuara. "Sudah siang, Ayah harus pulang dulu sebelum ke kantor kan?" Sandra mendekati ayahnya, membujuknya agar tidak bersikap lebih dingin. "Aku akan jagain Zia." Untuk meluluhkan ayahnya, Sandra tidak lupa untuk memasang senyum dan bersikap manis. Bagaimana pun dia paling tahu cara menghadapi ayahnya. Arhan berdeham. Dia mengalihkan tatapannya pada jam tangan. "Kamu ingin saya antar? Ayo--" Arhan menoleh pada Evan yang sejak tadi berdiri penuh harap. Senyumnya yang tadi sempat memudar kini kembali menyala. Anak itu berjingkrak meraih tangan Arhan ingin digandeng. "Ayo, Om!" seru Evan riang. Dia berpamitan pada Sandra dan bergegas keluar bersama Arhan. Ofi juga menyusul, sebelum itu Sandra sempat memberinya semangat. "Tante enggak perlu canggung, tadi Ayah hanya reflek saja. Dia tetap menghargaimu." Ofi mengangguk dan membalas Sandra dengan seulas senyum. Usai kepergian mereka, ki
Suara Arhan menyadarkan Ziana kalau pemiliknya memang ada di hadapannya sekarang. Juga pipi yang terasa hangat di telapak tangannya. "P--Pak Arhan--" Ziana gugup, dia ingin menarik tangannya, namun lebih dulu dicekal oleh Arhan. "Baguslah kamu sudah sadar dan memiliki tenaga untuk menggoda--" "A--pa? Tidak. Aku hanya memastikan, aku pikir ini tidak nyata." Jelas sekali Ziana panik dan salah tingkah, dia bahkan tidak sadar kepala dan kakinya masih sakit. Untuk sesaat, tidak ada yang mereka katakan selain saling tatap dengan suasana yang aneh. Arhan melepaskan tangan Ziana, bersamaan dengan kedatangan seorang perawat dan juga dokter jaga. "Dia baru saja sadar, Dokter. Silahkan diperiksa," ucap Arhan menggeser posisinya dan membiarkan dokter memeriksa kondisi Ziana. Ziana memalingkan wajahnya yang menghangat. Jantungnya masih berdebar hebat ketika dokter wanita itu menekan stetoskop ke dadanya. "Apa Anda merasa cemas atau sesak napas? Pusing kepala?" tanya dokter itu memast
Sebelum keluar mobil, Sandra berbisik pada Ziana. Dia mengatakan sesuatu yang harus Ziana lakukan. Kemudian dia memberikan uang pada si supir. "Pak, Anda tidak perlu keluar. Tetap di dalam mobil kalo kita pergi ya--" pesan Sandra. Jumlah uang itu cukup banyak sebagai tebusan untuk rasa bersalahnya karena sudah membuat si supir ikut dalam masalah. Ziana menghitung sampai tiga, lalu membuka pintu dengan keras sampai membuat orang di luar terbentur dan terdorong. "Hiyaaah!" teriak Sandra mengayunkan tas yang dibawanya untuk memukul kepala botak lelaki yang menghadangnya. Setelah membuat keributan kecil, keduanya berlari sesuai dengan rencana. Mereka mencari tempat ramai untuk meminta bantuan dengan langkah yang cukup gesit. "Mau ke mana kalian! Tunggu!" Mereka tidak tinggal diam. Dua orang yang tadi membawa mobil mengejar dengan berlari, sementara dua orang yang berboncengan sepeda motor kembali menunggangi motor itu. "Ingat, Zi, tetap menatap lurus. Jangan hiraukan orang di bela
Ziana menelan ludah. Dia menjawab dengan terbata, "A--aku baik-baik saja."Arhan terkenal sebagai lelaki berkuasa yang tidak hanya dingin dan tegas, tapi juga sebagai sosok paling disegani di keluarga.Jika ada masalah yang terjadi dalam keluarganya, dialah yang berperan paling dominan dalam mengambil keputusan. Membuat masalah dengan salah satu anggota keluarga Arhan, berarti secara tidak langsung juga mengusik pria dewasa itu. Tidak bisa dibayangkan, jika Arhan turun tangan untuk memberi balasan pada Ziana ... bisa dipastikan gadis itu akan hilang dari peredaran. "Ayah, aku baru menemukan Ziana. Tolong jangan mempersulitnya," ucap Sandra sebelum ayahnya bicara lagi. Gadis itu berpikiran sama seperti Ziana, mungkin takut ayahnya akan marah. Arhan mendesah, menghela napas dengan tenang. Sekilas dia memperhatikan Ziana. Wajahnya masih sedikit sembab. Mungkin karena banyak pikiran membuat gadis itu juga terlihat kuyu. "Ayah tidak kurang kerjaan sampai harus mempersulit gadis keci







