Terkadang sebuah cobaan dan ujian mampu membawa kita bangkit dari keterpurukan. Ibarat kita langsung bisa naik kelas apabila kita mampu melewati setiap prosesnya.
Setelah aku meninggalkan Johan ditepi jalan, aku bergegas pulang. Dirumah ternyata sudah berdiri ibu tiriku diambang pintu, dengan senyuman licik dan sinis ia mulai menyambutku. Terlihat jelas kemarahan disudut matanya yang tajam itu.Bisa kutebak segala cacian pasti ia keluarkan untukku. Aku hanya diam dan menunduk melewatinya yang berdiri diambang pintu."Dari mana saja kamu, tau enggak ini jam berapa?". tanyanya sinis."Tau Buk, tapi maaf Sandra tadi ada tugas tambahan jadi tak bisa pulang lebih awal". jawabku tertunduk, aku mencoba berbohong padanya, tak mungkin juga kukatakan apa yang sebenarnya bisa kena pukul aku nanti."Sudah saya bilang kan, kamu berhenti sekolah saja, lebih baik uang ayahmu itu buat adik-adikmu yang lebih berhak". tuturnya, sontak membuat mataku terbelalak.Bagaimana tidak, aku ini anak kandung ayahku masak uangnya lebih berhak diberikan pada anak tirinya, kan ya aneh. Aku memilih diam dan kembali melangkah menuju kamarku.Untung saja sebelum nenek meninggal, ia telah membuatkanku kamar. Kalau tidak aku pasti disuruh tidur digudang belakang. Pernah beberapa kali ibu memintaku untuk memberi kamar ini pada putrinya, tapi dengan tegas tentu saja kutolak."Kebiasaan ya, orang tua ngomong main nyelonong saja. . .tak memiliki sopan santun!". murka ibu, aku lebih memilih tak menanggapi ucapannya itu.Dikamar aku langsung membuka tas sekolahku, didalamnya aku tadi masih menyisihkan potongan roti pemberian Eva, sahabat terbaikku di sekolah.Bergegas aku berganti pakaian dan melahap habis potongan roti tadi. Memang siEva sudah tau luar dalamku, termasuk sikap ibu padaku.Tok. . .tokk. .Ini pasti ibu yang mengetuk pintu, ada apa lagi sih dia. Selain lihai dalam mengomeliku ia juga paling tidak sabaran tiap memerintahkanku."San, buruan masak. . . nggak lihat apa adik-adikmu udah pada kelaparan!". panggilnya padaku."Iya-iya sebentar". jawabku cepat. Aku segera menuju dapur, sudah bisa aku tebak pasti semua pekerjaan tengah menantiku. Sebenarnya apa sih yang ibu kerjakan ketika aku sekolah, semua selalu saja diberikan padaku."Lelet banget jadi cewek!". cibirnya padaku."Maaf Buk, kenapa sih selama ini ibu tidak pernah mau menganggapku anak, apa salahku Bu?". tanyaku parau."Tak perlu kamu tau, karna selamanya saya tak akan menganggapmu . . Camkan itu!". tegasnya, sontak membuat benteng pertahananku runtuh. Air mata kutahan sekuatnya agar tak menetes didepan beliau.Aku bergegas lari menuju kamar, tak kuhiraukan lagi cacian dan umpatan ibu yang ia lontarkan untukku. Hati ini benar-benar hancur seolah krsabaranku selama ini sia-sia semata.BRAAK!!Kututup pintu ini dengan kekuatan ekstra, paling tidak aku bisa menyalurkan emosiku. Pengorbananku selama ini ternyata sia-sia dan dihargai oleh ibu. Padahal kedudukabku disini lebih darinya, iya karna rumah ini adalah rumahku. Rumah yang diwariskan almarhum nenek pada ibu sebelumnya."SANDRA!". teriak ibu memanggilku.Tak kuhiraukan lagi. Aku lebih memilih diam dan mengeluarkan semua tangisku. Ada perasaan lega tersendiri saat air mata ini akhirnya bisa tumpah tanpa ada perlawanan. Kubiarkan ia menetes sederas-derasnya, mungkin karna selama ini terlalu lama aku tahan."Kamu nggak denger apa ibu ngomong, buruan masak! pekerjaan dapur udah menunggumu!". murkanya.Dorr. . . Dorrr. . DorrBeliau bahkan sampai mengedor pintu kamarku. Namun keputusanku sudah bulat, tak akan kuhiraukan lagi. Sesekali memang aku perlu berani melawan kegalakan dan kesemena-menaannya padaku."SANDRA!". teriaknya lagi, kenapa juga enggak beliau aja yang mengerjakan pekerjaan rumah.Prok. . .prokk. . .prokk. . ."Jadi begini ya ternyata, kelakuanmu sama anakku saat aku tak ada dirumah". ucap Ayah, sepertinya ia mendengar semuanya tadi, semoga saja benar begitu. Memang selama ini aku masih merahasiakan semua itu dari Ayah."E-enggak Mas, kamu salah denger kali . . Aku cuma nyuruh Sandra keluar untuk makan bareng aja kok sama adik-adiknya". jawabnya beralibi."Benarkah seperti itu Dek?". tanya Ayah pada iatrinya itu, aku dari dalam kamar hanya bisa nguping dengan menempelkan telingga rapat-rapat pada dinding."Benarlah Mas, masak aku bohong kan enggak mungkin". jawabnya percaya diri."Tapi sayangnya aku tadi sudah mendengar umpatanmu sejak awal, segitu bencinya kau sama anakku padahal aku yang telah menafkahi anakmu juga!". terang ayah."Bu-bukan begitu Mas". ucap ibu terbata."Terus apa, dulu kau memaksaku agar mau menikahimu aku setuju, apa kamu lupa dengan syarat yang aku beri?". tanya ayah, aku jadi penasaran sebenarnya ada syarat apa dari ayah untuk ibu tiriku itu."Iya aku masih ingat Mas". ujarnya lirih."Kenapa sebegitu bencinya dan tak bisa menganggap Sandra anakmu sendiri?", tanya ayah lagi."Bu-bukan seperti itu Mas". jawab ibu, tumben sekali beliau mau berbicara lirih, malah cenderung kalah dengan Ayah."Terus apa, jadi selama ini kau jadikan anakku pembantu geratisan dirumahnya sendiri!". tegas Ayah kemudian."Aku, aku cuma mendidiknya agar bisa mandiri sedari kecil. . . i-iya itu saja". jelasnya beralibi."Mendidik, kenapa tak kau didik saja anakmu sendiri, biar bisa mandiri juga sedari kecil. . . Kamu benar-benar pilih kasih!". murka ayah.Aku yang hanya bisa mendegar keributan ini cukup terkejut juga. Tumben sekali ayah mau melawan ibu, dan beruntungnya ibu tampak tak berdaya melawan kemarahan ayah padanya."Aku, aku minta maaf Mas!". ucap ibu pada ayah."Minta maaf kenapa, apa kamu lupa akan syarat dan peejanjian kita dulu?". tanya ayah, dari nada suaranya aku tahu jika ia masih marah."Iya, iya Mas aku masih ingat kok". jawabnya lirih."inget? Coba kamu ucapkan lagi syarat dan perjanjian yang aku beri untukmu?". pinta ayah pada ibu.Aku yang sejak tadi sudah penasaran, segera menempelkan telinga ini lebih rapat lagi pada daun pintu. Sebenarnya apa yang membuat ibu begitu kalah dengan syarat itu?, apa sih isinya?. Akan aku dengarkan baik-baik.Semoga saja bisa menjadi sedikit kelegaan untukku nanti, aku benar-benar sudah tidak tahan menghadapi Ibu. Meski bagaimanapun beliau aou tetap berusaha untuk menghormatinya, namun sepertinya semua itu tak berarti apa-apa dimatanya. Ia bahkan terus saja membenci dan memeperlakukanku dengan tidak baik.
Sebuah rahasia besar, meski disimpan serapat apapun pasti akan terkuak jika sudah waktunya tiba. Sering kali kita mengabaikan semua itu, tapi Sang pemilik hidup pasti akan selalu memberi peringatan melalui caranya.Aku benar-benar dibuat penasaran oleh Ayah dan ibu. Iya, apalagi kalau bukan soal syarat dan perjanjian ayah pada ibu sebelum keduanya menikah. Kenapa sekarang ibu seolah takut berhadapan dengan ayah. Padahal sebelumnya ia dalam hal apapun tak pernah mau mengalah dengan Ayah"Coba kau ucapkan lagi syarat dan perjanjian yang aku berikan dulu!". pinta ayah pada ibuku."Iya salah satunya aku harus menyayangi dan menerima sandra seperti anak kandungku sendiri". lirih ibu."Jika kamu melanggar bagaimana?". tanya ayah, aku tahu dari suaranya jika ia sepertinya masih marah dengan istrinya."A-aku harus siap berpisah denganmu Mas?". ucapnya terbata.Mendengar ucapan ibu, baru aku tahu dan terjawab
Setiap kejujuran yang berhasil kita ungkapkan, akan membawa kelegaan dan kebahagiaan tersendiri dalam hati kita. Tekanan dan beban akan kita bawa saat tidak bisa jujur mengatakan apa yang sebenarnya terjadi, memendam sesuatu bukanlah hal yang teramat mudah.Aku harus jujur mengatakan yang sebenarnya pada Ayah. Biar semua terungkap jelas kebohongan dan sandiwara yang dilakukan istrinya selama ini. Aku juga pasti bisa bernafas lega dan terbebas dari tekanan ibu selama ini.Apalagi saat ini aku tahu Ayah sedang marah dan kecewa pada tindakan ibu. Aku harus bisa mengambil hati ayahku sendiri, jangan sampai wanita jahat itu mengambil alih perhatian ayah kembali."Se-sebenarnya tiap hari aku makan nasi aja Yah, terkadang pake kuah sayur tapi itu juga jarang." lirihku pada ayah."Apa?, masak sih Nak . . .kamu benar kan nak tidak sedang berbohong?". tanya ayah seolah tak percaya."Iya Yah". jawabku singkat."Apa ini ibumu
Akan selalu ada hikmah dibalik setiap kejadian. Begitupun dengan kesabaran, suatu saat pasti akan membuahkan sebuah kebahagiaan, kapan itu tunggu saja suatu saat akan tiba waktunya.Waktu sudah mau menjelang sore, saat aku dan Ayah tiba di halaman rumah. Diambang pintu berdiri ibu tiriku yang menyambut kedatangan kami dengan muka masam, serta sorot mata yang nampak tajam."Dari mana saja kalian?." tanya ibu penuh selidik."Itu bukan urusanmu, urus saja pekerjaan rumah yang memang seharusnya menjadi kewajibanmu!." jawab Ayah, ia langsung membimbingku masuk rumah.Merasa diabaikan Ayah, ibu bergegas mengikuti kami masuk kedalam rumah. Ia langsung duduk bergabung bersama kami dikursi tamu sederhana. Yah, hanya itulah yang kami miliki, itu aja juga peninggal
Hukum sebab akibat akan selalu ada. Entah perbuatan baik atau buruk suatu saat nanti kita pasti menerima balasannya.Sepekan setelah Ayah pulang tanpa Ibu, hari-hariku lebih merasa tenang dan damai. Begitupun dengan Ayah, ia terlihat lebih santai dalam menikmati hidup. Semoga saja hati Ayah benar-benar diliputi kebahagian."Yah, lagi apa?." tanyaku, aku langsung duduk disamping Ayah."Ehh. . .kamu San, nggak ngapa-ngapain sih Ayah." jawab Ayah tampak terkejut."Ayah sedang mikirin Ibu ya?." tanyaku hati-hati."Bukan sayang, Ayah malah lagi mencoba untuk melupakan beliau, meski bagaimana pun ia pernah menemani Ayah bertahun-tahun." tutur Ayah padaku.Benar juga apa yang
Rasa keingintahuan terkadang akan muncul tanpa kita bisa mencegahnya, terkadang pula kita melakukan berbagai cara agar bisa mencari jawaban atas rasa keingintahuan kita itu sendiri.Setelah belajar cukup lama, selama 3 tahun. Akhirnya tibalah saat ini ujian kelulusan, hari ini bakal dilaksanakan. Aku begitu semangat dan antusias, mengingat hari aku berada dititik puncak perjuanganku."Ndun, rumahmu bukannya didesa sebelah ya?," tanyaku pada Hindun salah satu teman disekolahku."Iya bener San, aku disini ikut Nenekku biar tidak terlalu jauh berangkat kesekolahnya," tuturnya padaku."Ndun, kamu tau enggak kabar ibu tiriku gimana?," tanyaku penasaran."Bukannya ia selalu jahat sama kamu ya San, ngapain lagi kamu pengen tau kabarnya. Setauku ia saat ini lagi jadi bahan gosip dilingkungan rumahku, dia tuh ya baru saja berpisah dari Ayahmu tapi sudah gandengan dengan duda bar
9. Rahasia AyahTak terasa ujian kelulusanku selesai juga. Aku merasa begitu senang dan juga lega, titik perjuanganku bisa kuhadapi dengan cukup lancar. Dirumah pun Ayah juga tampak tersenyum lega melihatku."Yah, bolehkah Sandra tanya sesuatu?,' tanyaku meminta persetujuan."Tanyalah Nak, jika Ayah mampu jawab ya bakal kujawab," balas Ayah, ia tampak membuang nafas kasar."Kemarin Ayah kan bilang aku suruh tenang aja, emang Ayah masih punya tabungan kah?," tanyaku hati-hati, meski sedikit ragu tetap kuberanikan diri ini untuk berbicara."Oh. . .soal itu, iya meski enggak banyak dan tak berwujud uang, Ayahmu ini masih punya tabungan kok bekal masa depanmu kelak." Jawabnya meyakinkanku."Iyahkah Yah, tapi kalau enggak berwujud uang terus apa donk Yah," tanyaku penasaran."Coba kamu tebak!, anak Ayah ini kan pintar, berprestasi lagi," pinta A
10. Mengharap Pak Bayu🌷🌷🌷🌷🌷🌷Aku pasrah mengikuti Pak Bayu kerumahnya. Entahlah, semua ini diluar perkiraanku. Semoga saja Pak Bayu benar-benar orang baik yang mau menolongku dalam kesulitan ini.Mobil yang dikendarai supir Pak Bayu melaju membelah kemacetan ibu kota. Pada akhirnya mobil itu berhenti disalah satu rumah mewah dan megah."Sudah sampai, ayo silahkan turun!," pinta Pak Bayu padaku."I-ini beneran rumah Bapak," ucapku tergagap."Iya, udah yuk santai aja kali. Disana ada anak dan istriku," jawabnya, ia mengiringiku masuk kedalam rumah.Tapp. . .tappp. ."PAPA," teriak gadis seusiaku, ia keluar dari dalam kamar."Haii sayang," sapa Pak Bayu."Ini siapa Pa?, kok ikut pulang bareng Papa sih," tanya seorang ibu, mun
11. Kesempatan Besar UntukkuDengan sedikit rasa penasaran, aku menaiki tangga demi tangga menuju ruangan Bu Maya. Sebenarnya pekerjaan apa yang bakal diberikan Bu Maya padaku, memikirkan semua itu membuat pikiranku berkelana kemana-mana.Begitu sampai didepan ruangan Bu Maya, aku terdiam cukup lama. Kuatur nafas ini setenang mungkin, bagaimana pun juga aku tak akan mengecewakan kebaikan Bu Maya selama ini.Tok. . Tokkk"Masuk aja Sandra!," pinta Bu Maya dari dalam."Siang Bu, apa benar Ibu tadi memanggilku?," tanyaku hati-hati."Iya benar sayang, duduk disini sebentar ya!. Ibu mau nyelesain pembukuan ini dulu," pintanya padaku, matanya masih saja fokus pada laptop yang berada didepannya.Sembari menunggu Bu Maya selesai dengan pekerjaannya. Mata ini terus saja mengagumi ruangan kerja Bu Maya yang sanga