Share

3

Terkadang sebuah cobaan dan ujian mampu membawa kita bangkit dari keterpurukan. Ibarat kita langsung bisa naik kelas apabila kita mampu melewati setiap prosesnya.

Setelah aku meninggalkan Johan ditepi jalan, aku bergegas pulang. Dirumah ternyata sudah berdiri ibu tiriku diambang pintu, dengan senyuman licik dan sinis ia mulai menyambutku. Terlihat jelas kemarahan disudut matanya yang tajam itu.

Bisa kutebak segala cacian pasti ia keluarkan untukku. Aku hanya diam dan menunduk melewatinya yang berdiri diambang pintu.

"Dari mana saja kamu, tau enggak ini jam berapa?". tanyanya sinis.

"Tau Buk, tapi maaf Sandra tadi ada tugas tambahan jadi tak bisa pulang lebih awal". jawabku tertunduk, aku mencoba berbohong padanya, tak mungkin juga kukatakan apa yang sebenarnya bisa kena pukul aku nanti.

"Sudah saya bilang kan, kamu berhenti sekolah saja, lebih baik uang ayahmu itu buat adik-adikmu yang lebih berhak". tuturnya, sontak membuat mataku terbelalak.

Bagaimana tidak, aku ini anak kandung ayahku masak uangnya lebih berhak diberikan pada anak tirinya, kan ya aneh. Aku memilih diam dan kembali melangkah menuju kamarku.

Untung saja sebelum nenek meninggal, ia telah membuatkanku kamar. Kalau tidak aku pasti disuruh tidur digudang belakang. Pernah beberapa kali ibu memintaku untuk memberi kamar ini pada putrinya, tapi dengan tegas tentu saja kutolak.

"Kebiasaan ya, orang tua ngomong main nyelonong saja. . .tak memiliki sopan santun!".  murka ibu, aku lebih memilih tak menanggapi ucapannya itu.

Dikamar aku langsung membuka tas sekolahku, didalamnya aku tadi masih menyisihkan potongan roti pemberian Eva, sahabat terbaikku di sekolah.

Bergegas aku berganti pakaian dan melahap habis potongan roti tadi. Memang siEva sudah tau luar dalamku, termasuk sikap ibu padaku.

Tok. . .

tokk. .

Ini pasti ibu yang mengetuk pintu, ada apa lagi sih dia. Selain lihai dalam mengomeliku ia juga paling tidak sabaran tiap memerintahkanku.

"San, buruan masak. . . nggak lihat apa adik-adikmu udah pada kelaparan!". panggilnya padaku.

"Iya-iya sebentar". jawabku cepat. Aku segera menuju dapur, sudah bisa aku tebak pasti semua pekerjaan tengah menantiku. Sebenarnya apa sih yang ibu kerjakan ketika aku sekolah, semua selalu saja diberikan padaku.

"Lelet banget jadi cewek!". cibirnya padaku.

"Maaf Buk, kenapa sih selama ini ibu tidak pernah mau menganggapku anak, apa salahku Bu?". tanyaku parau.

"Tak perlu kamu tau, karna selamanya saya tak akan menganggapmu . . Camkan itu!". tegasnya, sontak membuat benteng pertahananku runtuh. Air mata kutahan sekuatnya agar tak menetes didepan beliau.

Aku bergegas lari menuju kamar, tak kuhiraukan lagi cacian dan umpatan ibu yang ia lontarkan untukku. Hati ini benar-benar hancur seolah krsabaranku selama ini sia-sia semata.

BRAAK!!

Kututup pintu ini dengan kekuatan ekstra, paling tidak aku bisa menyalurkan emosiku. Pengorbananku selama ini ternyata sia-sia dan dihargai oleh ibu. Padahal kedudukabku disini lebih darinya, iya karna rumah ini adalah rumahku. Rumah yang diwariskan almarhum nenek pada ibu sebelumnya.

"SANDRA!". teriak ibu memanggilku.

Tak kuhiraukan lagi. Aku lebih memilih diam dan mengeluarkan semua tangisku. Ada perasaan lega tersendiri saat air mata ini akhirnya bisa tumpah tanpa ada perlawanan. Kubiarkan ia menetes sederas-derasnya, mungkin karna selama ini terlalu lama aku tahan.

"Kamu nggak denger apa ibu ngomong, buruan masak! pekerjaan dapur udah menunggumu!".  murkanya.

Dorr. . . Dorrr. . Dorr

Beliau bahkan sampai mengedor pintu kamarku. Namun keputusanku sudah bulat, tak akan kuhiraukan lagi. Sesekali memang aku perlu berani melawan kegalakan dan kesemena-menaannya padaku.

"SANDRA!". teriaknya lagi, kenapa juga enggak beliau aja yang mengerjakan pekerjaan rumah.

Prok. . .

prokk. . .

prokk. . .

"Jadi begini ya ternyata, kelakuanmu sama anakku saat aku tak ada dirumah". ucap Ayah, sepertinya ia mendengar semuanya tadi, semoga saja benar begitu. Memang selama ini aku masih merahasiakan semua itu dari Ayah.

"E-enggak Mas, kamu salah denger kali . . Aku cuma nyuruh Sandra keluar untuk makan bareng aja kok sama adik-adiknya".  jawabnya beralibi.

"Benarkah seperti itu Dek?". tanya Ayah pada iatrinya itu, aku dari dalam kamar hanya bisa nguping dengan menempelkan telingga rapat-rapat pada dinding.

"Benarlah Mas, masak aku bohong kan enggak mungkin". jawabnya percaya diri.

"Tapi sayangnya aku tadi sudah mendengar umpatanmu sejak awal, segitu bencinya kau sama anakku padahal aku yang telah menafkahi anakmu juga!". terang ayah.

"Bu-bukan begitu Mas". ucap ibu terbata.

"Terus apa, dulu kau memaksaku agar mau menikahimu aku setuju, apa kamu lupa dengan syarat yang aku beri?". tanya ayah, aku jadi penasaran sebenarnya ada syarat apa dari ayah untuk ibu tiriku itu.

"Iya aku masih ingat Mas". ujarnya lirih.

"Kenapa sebegitu bencinya dan tak bisa menganggap Sandra anakmu sendiri?", tanya ayah lagi.

"Bu-bukan seperti itu Mas". jawab ibu, tumben sekali beliau mau berbicara lirih, malah cenderung kalah dengan Ayah.

"Terus apa, jadi selama ini kau jadikan anakku pembantu geratisan dirumahnya sendiri!". tegas Ayah kemudian.

"Aku, aku cuma mendidiknya agar bisa mandiri sedari kecil. . . i-iya itu saja". jelasnya beralibi.

"Mendidik, kenapa tak kau didik saja anakmu sendiri, biar bisa mandiri juga sedari kecil. . . Kamu benar-benar pilih kasih!".  murka ayah.

Aku yang hanya bisa mendegar keributan ini cukup terkejut juga. Tumben sekali ayah mau melawan ibu, dan beruntungnya ibu tampak tak berdaya melawan kemarahan ayah padanya.

"Aku, aku minta maaf Mas!". ucap ibu pada ayah.

"Minta maaf kenapa, apa kamu lupa akan syarat dan peejanjian kita dulu?". tanya ayah, dari nada suaranya aku tahu jika ia masih marah.

"Iya, iya Mas aku masih ingat kok". jawabnya lirih.

"inget? Coba kamu ucapkan lagi syarat dan perjanjian yang aku beri untukmu?".  pinta ayah pada ibu.

Aku yang sejak tadi sudah penasaran, segera menempelkan telinga ini lebih rapat lagi pada daun pintu. Sebenarnya apa yang membuat ibu begitu kalah dengan syarat itu?, apa sih isinya?. Akan aku dengarkan baik-baik.

Semoga saja bisa menjadi sedikit kelegaan untukku nanti, aku benar-benar sudah tidak tahan menghadapi Ibu. Meski bagaimanapun beliau aou tetap berusaha untuk menghormatinya, namun sepertinya semua itu tak berarti apa-apa dimatanya. Ia bahkan terus saja membenci dan memeperlakukanku dengan tidak baik.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status