Share

2.

Rasa penasaran terkadang membuat seseorang melakukan segala cara untuk menemukan jawabannya. Meski berbagai cara harus dilalui, tapi pada akhirnya rasa puas pasti bakal didapat ketika semua rasa itu terjawab.

Seusai jam pelajaran selesai, aku bergegas pulang, tentu saja aku menunggu keadaan lengang terlebih dahulu untuk menghindari ejekan teman-temanku.

"San, bareng aku yuk!", ajak Adit yang tiba-tiba saja nongol dari belakangku. Ia bergegas mendekatiku tak lupa senyum penuh arti ia berikan untuku. Membuatku menjadi salah tingkah saja.

"En-enggak usah deh Dit, aku jalan kaki saja" tolakku padanya. Tak enak juga jika tiap hari terus-terusan nebeng motornya.

"Ayolah, biar cepat sampai rumah. . .mana panas begini coba, biar kamu juga bisa langsung beristirahat nantinya" .ucap Adit, ia terus saja membujukku.

"Kamu duluan aja Dit, aku masih ada perlu sebentar". sahutku sedikit sungkan.

"Baiklah, tapi lain kali jangan menolak ajakanku lagi ya!". pinta Adit padaku.

Aku hanya tersenyum dan mengangguk.

Adit langsung bergegas meninggalkanku. Aku sebenarnya ingin ikut nebeng Adit lagi, tapi bagiamana lagi aku harus mamapir kekebun memetik sayuran hijau sebagai laukku nanti. Yah lumayan lah, bisa hemat nantinya.

Setiap hari hanya nasi yang aku makan, itupun juga sisa makanan ibu dan adik-adik tiriku. Kuah sayur terkadang disisakan sebagai laukku, itupun benar-benar kuah tanpa ada sayuran sama sekali.

Pem. . .

Pemm. .

Suara tlakson motor menyadarkanku dari lamunan. Seorang cowok berhenti didepanku, dilihat dari baju yang ia pake sepertinya ia adalah cowok yang menemuiku tadi pagi.

"Ada apa, kamu ini sebenarnya siapa sih?", tanyaku penasaran, aku sedikit takut sebab saat ini jalanan kebetulan juga lagi sepi. Mana panas begini lagi, agak menyesal juga kenapa aku tadi enggak mau dibonceng sama Adhit.

"Sampai kapan sih kamu bakal hidup menderita seperti ini". ucapnya, ia sama sekali tak menghiraukan pertanyaanku.

"Jangan tanya aku, karna akupun tak tau!". jawabku sedikit ketus.

"Aku tuh kasihan sama kamu". tuturnya, sontak membuatku sedikit terkejut.

"Kalau kamu kasian tolong jangan buatku penasaran, siapa kamu sebenarnya?".  tanyaku penuh selidik.

"Apa aku harus jawab?". tanyanya balik padaku.

"Harus donk, biar aku tak penasaran". sahutku kemudian.

Ternyata cowok ini nyebelin juga. Cuma jawab namanya saja dari tadi susah sekali. Dia nggak tau apa kalau aku telat pulang bisa-bisa gendang telingaku pecah mendegar omelan ibu tiriku.

Kulihat ia terus diam dan memperhatika ku. Diperlakukan seperti itu membuat nyaliku sedikit ciut, apalagi selama ini aku sering membaca kejahatan dijalanan yang bermacam-macam.

"Tolong jawab donk, please!". pintaku padanya.

"Baiklah jika itu permintaanmu, akan kubuka maskerku". sahutnya kemudian.

Kulihat ia segera menurunkan jubah yang menutupi kepalanya, ia juga melepas kasker yang melekat pada wajahnya. Betapa terkejutnya aku melihat siapa cowok yang membuatku penasaran ini.

"JOHAN!". seruku terkejut.

"Iya San, ini aku Johan. . . cowok cupu yang bernasip sama sepertimu, pembedanya hanya pada keluarga, aku hidup ditengah keluarga yang serba ada". tuturnya yang membuatku terpukau.

Sebenarnya Johan ini enggak cupu-cupu amat, cuma kacamatanya aja yang membuat ia terkesan menjadi anak jaman dulu. Jika tanpa kacamata dia benar-benar menjadi cowok yang ganteng dan berkelas.

"Kamu kenapa selalu mengikutiku Jho?". tanyaku penasaran.

"Kita duduk disana yuk, kita ngobrol-ngobrol dulu!". pintanya, tentu saja langsung kutolak.

"Aku enggak bisa Jho, bisa kena omel habis-habisan nanti jika aku sampai pulang telat". tuturku padanya.

"Sesekali kan gak apa-apa San, kamu udah besar jangan kau ditindas ibu tirimu terus". balas Johan padaku.

"Aku enggak bisa Jho, bisa mati kelaparan aku nanti" lirihku terisak.

"Jangan menjadi cewek yang lemah donk San!, lagian kan sudah cukup lama kamu disiksa begini". ucapnya, sontak membuatku sedikit tersadar.

"Iya kamu benar Jho, tapi aku bisa apa. . . Aku hanya anak kecil yang masih bergantung pada orang tua". gumamku lirih.

Sebenarnya ada keinginan dalam diri ini untuk lari dari kenyataan, tapi bagaimana lagi. Aku diluar bisa apa, aku tak punya apa-apa yang bisa kujadikan pegangan hidup.

"Serahkan semua pada pemilik hidup San, kamu kan anak yang berprestasi. . .kenpa enggak kamu coba daftar beasiswa saja biar bisa kuliah". tuturnya padaku.

"Kuliah itu biayanya tidak sedikit Jho, uang darimana coba, masak ia cuma ngandelin beasiswa saja". tukasku pada Johan.

"Iya, tapi itu satu-satunya cara agar kamu bisa terlepas dari cengkraman ibu tirimu itu". tandas Johan.

"Kok bisa Jho?". tanyaku masih agak bingung.

"Kamu ambil kampus yang diluar kota, sejauh mungkin dari sini agar tak selalu diusik ibumu yang jahat itu". tutur Johan membuatku tersadar.

"Kamu benar Jho, sebenarnya kemarin aku juga mendapat penawaran dari pihak sekolah, tapi aku masih bimbang". jelasku padanya.

"Udah ambil aja, jangan kau hiraukan soal biaya nanti diam-diam aku pasti membantumu . . . yah meski hanya sedikit heheee". tutur Johan terkekeh.

"Maksudmu apaan sih Jho, nggak jelas". pungkasku kemudian.

Aku bergegas bangkit untuk pulang. Untung saja sepanjang jalan tadi aku sudah memetik beberapa lembar sayur bayam, lumayan juga bisa kujadikan sayur, sebagai teman makan siangku nanti.

Hari ini aku dibuat penasaran oleh Johan, sudah tadi ia muncul dengan tudung dan masker diwajahnya.

Ditambah lagi ini ia mau memberiku uang diam-dian, emang ia pikir aku cewek apaan. Akan aku cari tau apa maksud Johan barusan, jangan sampai ada maksud tertentu dibalik semua kebaikannya nanti.

Mengapa hidupku ini penuh baget dengan misteri, aku ini memang jalan hidupku. Tak bisakah aku untuk merubahnya menjadi manusia yang lebih dihargai lagi oleh sesamaku.

**

Aku malah jadi teringat saat masih ada Nenek dulu. Ia begitu sayang dan selalu memanjakanku dengan segala keterbatasan yang ia miliki. Ia juga selalu mengajarkanku untuk selali bisa bersabar dan mengalah.

"San, wanita itu harus memiliki rasa kesabaran yang tinggi, jangan sampai mau dikalahkan oleh nafsu dan emosi!". Tuturnya kala itu.

"Tapi Mbah, Ibu sudah sangat keterlaluan. . . Sakit banget rasanya". jawabku tak terima.

"Iya Mbah tau, tapi kamu sabar dulu. Suatu saat nanti pasti ia akan menerima balasannya dan Allah akan menjawab do'a-do'a kita". tuturnya lagi.

"Kapan itu Mbah?". tanyaku antusias.

"Embah juga enggak tau San, semua itu rahsia Allah sang pemilik hidup, kita sebagai hambanya cukup berdo'a dan bersabar saja". Ucapnya penuh arti.

"Iya Mbah, aku akan terus bersabar. 

 . . Semoga Allah cepat menjawab do'a kita ya".  jawabku kala itu.

Hingga sampai sekarang pun aku masih terus berdo'a dan sabar menghadapi Ibu tiriku. Berharap suatu saat nanti ia bisa berubah dan mau menerimaku. Aku sungguh penasaran kenapa ia bisa sebenci ini padaku, padahal aku selalu menuruti segala apa yang diperintahnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status