Share

4

Sebuah rahasia besar, meski disimpan serapat apapun pasti akan terkuak jika sudah waktunya tiba. Sering kali kita mengabaikan semua itu, tapi Sang pemilik hidup pasti akan selalu memberi peringatan melalui caranya.

Aku benar-benar dibuat penasaran oleh Ayah dan ibu. Iya, apalagi kalau bukan soal syarat dan perjanjian ayah pada ibu sebelum keduanya menikah. Kenapa sekarang ibu seolah takut berhadapan dengan ayah. Padahal sebelumnya ia dalam hal apapun tak pernah mau mengalah dengan Ayah

"Coba kau ucapkan lagi syarat dan perjanjian yang aku berikan dulu!". pinta ayah pada ibuku.

"Iya salah satunya aku harus menyayangi dan menerima sandra seperti anak kandungku sendiri".  lirih ibu.

"Jika kamu melanggar bagaimana?". tanya ayah, aku tahu dari suaranya jika ia sepertinya masih marah dengan istrinya.

"A-aku harus siap berpisah denganmu Mas?". ucapnya terbata.

Mendengar ucapan ibu, baru aku tahu dan terjawab sudah rasa penasaranku selama ini. Ternyata ini yang menjadi penyebab kenapa ibu hanya terlihat baik saat ayah dirumah saja.

Ia bahkan selalu memintaku untuk tidak menceritakan keburukannua pada Ayah. Aku pikir itu tidaklah penting, ternyata semua itu menyimpan rahasua besar.

"Sekarang kamu camkan itu, harusnya kamu bisa berubah, apa masih kurang selama belasan tahun aku memberimu kesempatan agar bisa menyayangi Sandra". tegas Ayah.

"Iya, iya Mas aku tau itu". jawab ibu lesu.

"Ternyata dengan tertinggalnya dompetku, aku bisa tau semua kebusukan yang kamu tutupi selama ini!" tegas Ayah.

Tak kudengar lagi pembicaraan Ayah dan ibu. Mereka hanya saling diam, entah apa yang  mereka lakukan.

Tap. . .

Tapp. . .

Terdengar langkah kaki, mungkin itu Ayah yang mau mengambil dompetnya. Ternyata Tuhan memiliki cara sendiri untuk menunjukkan siapa orang itu, dia selama ini selalu bersikap baik padaku jika didepan Ayah saja.

Tok. . .

Tokk. .

Terdengar jelas pintu kamarku ada yang mengetuk, apa itu Ayah. Kenapa ia malah ingin menemuiku. 

Krieeet. .

"Ayah, ada apa?". tanyaku saat membuka pintu.

"Bolehkah ayah masuk kamarmu Nak". pintanya padaku.

"Tentu saja, mari silahkan masuk yah . . duduk sini Yah!". ajakku padanya.

"Maafkan ayah ya Nak". ucapnya padaku.

"Maaf, maaf untuk apa Yah, aku nggak ngerti?". tanyaku padanya.

"Seharusnya Ayah tau dari awal, bagaiman ibumu sebenarnya, Ayah harusnya juga lebih mengerti dengan keluhanmu". ucapnya lesu.

"Iya aku maafin, toh semua sudah terjadi Yah, untuk apa juga harus kita bahas dan sesali. Mungkin sudah waktunya Allah menunjukkan pada Ayah". balasku kemudian.

"Kamu udah makan Nak?". tanya Ayah padaku.

Apa aku harus jujur jika jarang dikasih makan ibu saat dirumah. Dengan berbekal makanan dari teman-temanku itulah aku bisa bertahan dan kuat melakukan pekerjaan sehari-hari.

Tapi jika aku berbohong pada ayah, maka akan senang hati ibu dan kebusukannya akan terus berlajut. Aku harus membuka kejahatan yang ibu lakukan padaku selama ini.

"Be-belum Yah, Sandra kan baru pulang sekolah". lirihku.

"Kan sampai rumah tinggal makan sudah tersedia". ucap Ayah, sepertinya ia tengah menyindir ibu yang ikut berdiri diambang pintu kamarku.

"A-aku kan harus masak dulu Yah, gimana mau makan belum ada makanan matang". ucapku terbata, kulihat ibu memberiku lirikan tajam hingga seolah menembus kerelung hatiku.

"Jadi bukan ibumu itu ya yang selama ini memasak dirumah?". tanya Ayah.

"Bu-bukan Yah". jawabku singkat.

Meski terus mendapat tatapan tajam dari ibu, aku seolah tak peduli. Lebih baik aku katakan jujur saja apa adanya, sudah muak rasanya jika harus ikut-ikutan membantu menutupi keburukan ibu selama ini. Toh dia tak pernah menganggapku anak juga.

Ibu akan salah tinggkah jika pandangan Ayah menatap ke arahnya. Ternyata baru aku tahu jika ia sebenarnya takut juga pada ayah. Apalagi jika sudah begini adanya. Keburukannya sudah ternongkar.

"Kita keluar yuk Nak". ajak ayah padaku.

"Keluar, mau kemana yah?" tanyaku penasaran sekaligus antusias.

"Kita ke warung pojok desa, disana kamu nanti bisa makan sepuasnya, Ayah yang bayarin!".  tutur ayah, sontak membuatku membelalakkan mata. Untuk pertama kalinya aku diajak makan keluar oleh Ayah.

"Ayah enggak lagi sedang becanda kan?". tanyaku memastikan.

"Ayah serius Nak, ayo".  ajaknya lagi.

Ayah langsung menuntunku jalan, diabaikannya istrinya yang berdiri diujung pintu itu. Beliau seakan masih marah dengan kejadian tadi. Kejadian yang benar-benar mengganggu indra pendengaranku.

Dengan mengayuh sepeda butut tua, ayah membawaku ke sebuah warung kecil disudut desa. Disana menjajakan aneka masakan khas desa, harganya pun sebenarnya sangat murah, tapi tetap saja aku tak mampu untuk membelinya. Membayangkan bisa makan enak disini saja aku tak pernah berani, karna aku tak pernah memiliki uang.

"Mbak, nasinya 2 porsi ya!". pinta Ayah pada Mak iyah, sipemilik warung.

"Siap, pengen dikasih sayur dan lauk apa?." tanya Mak iyah ramah.

"Aku sayur sop aja Mbak, tambahin sambal dan tempe goreng ya". pinta ayah antusias, ia segera melirik kearahku.

"A-aku kasih sayur lodehnya aja Mak, banyakin kuahnya ya". ucapku terbata.

"Mau lauk apa?." tanya Ayah padaku.

"Enggak usah Yah, sama sayur saja pasti sudah nikmat kok, apalagi jika dibanyakin kuahnya". jelasku padanya. Ayah nampak tersenyum, namun raut keheranan tergambar jelas diwajah teduhnya itu.

Kami bergegas membawa piring pesanan kami ke bangku yang tersedia. Jam makan siang sudah lewat, tak heran disini sudah agak sepi. Biasanya warung ini selalu ramai pelanggan saat jam makan siang tiba. Bahkan terkadang banyak yang pada antri hanya untuk mendapat giliran makan.

Aku dan Ayah begitu menikmati makanan dipiring kami. Apalagi aku, sangat lahap menghabiskan isi piringku ini. Jarang-jarang aku bisa makan sayur yang banyak anpasnya kaya gini, biasanya kuah sayur menjadi santapanku sehari-hari.

"Nak, tolong kamu jawab jujur pada Ayah, kenapa kamu makannya kaya gini?".  tanya Ayah yang membuatku bingung, harus jujur atau tidak.

"Kaya gini gimana yah?". tanyaku kemudian.

"Enggak mau pake lauk, mana kuahnya minta dibanyakin lagi, ada apa sih sebenarnya?". tanya ayah penasaran, mata teduh itu terus menatap tajam kearahku.

Apakah harus aku ceritakan juga bagaimana makanku sehari-hari dirumah?. Aku tak bisa membayangkan seperti apa reaksi Ayah saat tau makanan keseharian putrinya. Aku jadi bimbang sendiri, bilang enggak ya.

Aku jadi teringat akan nasehat nenek dulu, ia yang selalu memintaku untuk menutupi semua ini agar rumah tangga Ayahku berjalan dengan harmonis tanpa ada pertengkaran

"Nduk, kamu sabar ya. . . Biarkan Ayahmu tau sendiri bagaimana kelakuan istrinya itu, kamu tak perlu mengadukan semua ini padanya" ucapnya kala itu.

"Tapi Mbah, mau sampai kapan aku harus diam dan menerima semua ini" jawabku kemudian, namun bukannya menjawab nenek hanya diam dan tersenyum penuh arti padaku.

Dan sekarang baru aku bisa lihat, jika Ayah sudah mengetahui semuanya. Bahkan rasa kecewa dan amarah tergambar jelas pada raut wajahnya. Entah apa yang akan dilakukan terhadap ibu nantinya, aku berharap itu menjadi jalan terbaik untuk kami nantinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status