Share

5

Setiap kejujuran yang berhasil kita ungkapkan, akan membawa kelegaan dan kebahagiaan tersendiri dalam hati kita. Tekanan dan beban akan kita bawa saat tidak bisa jujur mengatakan apa yang sebenarnya terjadi, memendam sesuatu bukanlah hal yang teramat mudah.

Aku harus jujur mengatakan yang sebenarnya pada Ayah. Biar semua terungkap jelas kebohongan dan sandiwara yang dilakukan istrinya selama ini. Aku juga pasti bisa bernafas lega dan terbebas dari tekanan ibu selama ini.

Apalagi saat ini aku tahu Ayah sedang marah dan kecewa pada tindakan ibu. Aku harus bisa mengambil hati ayahku sendiri, jangan sampai wanita jahat itu mengambil alih perhatian ayah kembali.

"Se-sebenarnya tiap hari aku makan nasi aja Yah, terkadang pake kuah sayur tapi itu juga jarang." lirihku pada ayah.

"Apa?, masak sih Nak . . .kamu benar kan nak tidak sedang berbohong?". tanya ayah seolah tak percaya.

"Iya Yah". jawabku singkat.

"Apa ini ibumu yang memintamu, lagian kan kamu juga yang memasak". ucap ayah.

"Iya benar Yah, setiap aku selesai masak ibu langsung mengambil alih makanan itu lalu bergegas makan dengan anak-anaknya". tuturku pada ayah.

"Jadi selama ini dia hanya bersandiwara pada ayah Nak". lirih ayah.

"Udahlah yah, mungkin ini memang sudah menjadi nasipku aku harus terima dan aku juga sudah terbiasa kok". sahutku kemudian, aku mencoba tegar dan tak menampakkan kesedihanku.

"Ayah terlalu jahat padamu sayang, sampai hal kaya gini aja bertahun-tahun ayah sama sekali tidak tau".  gumamnya lagi.

Aku memilih diam dan tak merespon ucapan ayah. Segera menghabiskan piring didepanku menjadi fokusku kali ini. Ada sedikit kelegaan saat aku sudah bisa berkata jujur pada ayah. Semoga saja ia bisa memberikan nasehat untuk istrinya itu.

Sebaiknya aku bicarakan saja soal rencanaku kuliah diluar kota. Agar aku bisa terbebas dari kelakuan ibu yang selalu semena-mena padaku.

"Yah, bolehkah Sandra ngomong sesuatu", ucapku saat aku telah selesai dengan sesi makanku, rasa kenyang langsung menghampiriku.

"Tentu boleh sayang, mau ngomong apa anak ayah satu ini?". tanyanya antusias.

"Sandra boleh enggak ngajuin biasiswa keluar kota?", tanyaku hati-hati, takut juga nanti jika sampai membuat ayah marah padaku.

"Tentu boleh sayang, semua akan ayah lakukan yang terbaik untukmu".  ucapnya, aku benar-benar terkejut tak kusangka jika ia menyetujui rencanaku.

"Soal ibu bagaimana, pasti ia enggak setuju Yah, sekolah aja aku disuruh berhenti". ucapku parau.

"Soal itu jangan kau fikirkan, yang terpenting sekarang kamu harus fokus pada pendidikanmu dulu". pintanya menenangkanku.

"Maksud Ayah?". tanyaku penasaran.

"Ayah sudah terlalu muak dengan tingkah dan perilaku ibumu sayang, ayah ingin berpisah darinya". ucap ayah, sontak membuatku yang sedang minum tersedak.

Uhuk. . .uhukk . . .

"Maksud ayah, ayah mau cerai gitu dengan ibu?". tanyaku kemastikan.

"Iya Nak, dari pada Ayah terus membuat hidupmu menderita, kita hidup berdua saja pasti lebih tenang dan beban tanggugan ayah juga ikut berkurang". tuturnya padaku.

"Apa sudah Ayah pikirkan matang-matang, jangan mengambil keputusan dikala pikiran masih diselimuti emosi!". ucapku mengingatkan.

"Tentu saja sayang, ini kan nantinya bakal membuatmu terbebas dari kesewenang-wenangan ibumu itu". tegas ayah kemudian.

"Aku sih terserah ayah saja, yang terpenting ayah bahagia itu saja sudah cukup untukku". sahutku kemudian.

Ayah hanya diam dan terus melanjutkan makannya hingga tandas. Semoga saja perpisahan menjadi jalan terbaik. Apalagi ibu juga tak mau berperan sebagai istri, semua pekerjaan rumah aku yang harus mengerjakan.

Seandainya perpisahan ini terjadi, lantas bagaimana dengan anak-anak ibu. Setahuku bapak kandungnya sudah tidak peduli, meski soal keuangan tiap bulan selalu memberi, namun kasih sayang dan perhatian tak pernah diberikan.

"Nak, kita mampir sebentar kemakam ibumu yuk, ayah kangen!". ajak ayah, sontak membuatku terkejut. Bagaimana tidak selama menikah dengan istri barunya tak pernah sekalipun ayah mengunjungi makam ibu.

"Ayah serius mau mengajakku ke makam ibu?". tanyaku seolah tak percaya.

"Tentu saja sayang, maafkan ayah ya, selama ini tak bisa berkunjung ke makam ibumu". lirihnya padaku.

"Memangnya kenapa yah, apa ada yang melarang?". tanyaku penuh selidik.

"Iya, ibumu memberi syarat itu, ayah dilarang mengujungi makam ibumu agar dia bisa sayang padamu". tutur ayah kemudian.

"Tapi selama ini beliau tidak pernah menyayangiku Yah, baik juga pas ada ayah aja". ujarku kemudian. Aku sudah tak peduli jika mendapat omelan dari ibu, yang terpenting sekarang aku bisa jujur bicara dengan Ayah.

Semoga saja ayah bisa mengerti apa yang aku rasakan kini. Kelakuan ibu memang benar-benar seperti ibu tiri yang diceritakan disinetron televisi. Aku tak menyangka jika harus mengalaminya di dunia nyata ini, bahkan harus menerima nasip yang sama.

"Maka dari itulah Nak, nggak usah kita pedulikan lagi ibumu, ayo kita ke makam!". ajak ayah padaku.

"Iya yah, aku ikut ayah saja bagaimana nanti baiknya". tukasku kemudian.

Ayah bergegas mendekati Mak iyah untuk membayar makanan kami. Hari ini benar-benar membawa keberuntungan untukku. Mimpi apa aku semalam hingga siang ini aku bisa makan di warung Mak iyah yang aku inginkan sejak dulu.

"Semua jadi berapa Mbak?". tanya Ayah kemudian.

"Nggak usah bayar Dek, tadi sudah ada yang membayar kok".  jawabnya yang membuat kami terkejut.

"Siapa orangnya yang bayar Mbak?". tanya Ayah penasaran.

"Tadi katanya temannya Sandra gitu" . jawab Mak iyah ramah.

"Baik makasih Mak".  sahutku singkat.

Aku dan ayah bergegas menuju sepeda butut yang ia parkir dibawah pohon mangga gadung kepunyaan Mak iyah. Suasana begitu asri dan rindang membuat pengunjung betah berlama-lama disini.

 

"Ayo naik Nak!".  pinta Ayah padaku.

"Iya Yah". jawabku singkat, aku segera mendudukkan pantat ini dibelakang ayah. Ayah bergegas mengayuh sepeda tua itu, sepeda yang telah memberi kami begitu banyak kenangan pada sosok Nenek.

Disepanjang perjalanan aku terus kefikiran siapa sebenarnya yang telah membayar makanan kami. Salahku juga yang terlalu fokus pada obrolan dengan ayah, hingga tak kuhiraukan orang-orang yang berada di warung Mak iyah. Siapapun itu aku akan mengucapkan banyak terimakasih.

Tak butuh waktu lama, Ayah sudah membawaku ke pemakanan yang berada didekat komplek masjid. Disinilah makam ibuku berada, wanita berhati suci yang begitu tulua menyangiku.

"Dek, ini kami datang". Ucap Ayah saat kami sudah berada dipusaran makam ibu.

"Iya Bu, ini Sandra datang. . . Aku kangen banget sama ibu" ucapku berkaca-kaca.

Kupeluk erat nisan ibu, rasa nyaman langsung menyambutku. Tak terasa air mata ini menetes begitu saja tanpa bisa aku tahan. Mungkin karna aku terlalu merindukan sosok beliau.

Ayah langsung membawaku kedalam dekapannya. Ia bergegas mengusap lembut air mata yang sudah membasahi seluruh pipiku.

"Jangan nangis Nak, nanti ibu sedih!". Pinta Ayah padaku.

"Iya Yah". Jawabku singkat, segera kuhapus air mata ini, aku berusaha untuk menghentikan mata ini agar tidak menangis.

Dengan dipimpin Ayah, kami berdua mendo'akan ibu. Semoga Allah memgampuni dan memberi tempat terbaik untuk ibu disana.

Setelah selesai berdo'a mata Ayah tampak berkaca-kaca, kesedihan tergambar jelas pada raut wajahnya. 

"Yah, jangan nangis ya!". Pintaku padanya.

"I-iya, Ayah enggak nangis kok. Cuma kangen ibumu saja dan juga Ayah menyesal telah memberi ibu baru untukmu". tuturnya padaku.

"Suadahlah, jangan diingat lagi. . . Nanti ibu ikutan sedih disana!". Pintaku menenangkannya.

Benar saja Ayah buru-buru mengusap air mata yang mulai membanjiri kedua pipinya. Ia lantas tersenyum padaku, reflek akupun membalas senyuam penuh arti itu.

"Kita pulang yuk Yah!". ucapku kemudian.

"I-iya Nak, ayo udah mau sore juga" jawab Ayah kemudian.

Aku lantas mengikuti langkah Ayah untuk kembali menaiki sepeda tua itu, seulas senyum tergambar jelas dari wajah Ayah.

"Naik Nak!". Pinta Ayah padaku. Aku bergegas naik pada boncengan yang berada dibelakang sepeda ayah.

Pelan dan pasti sepeda tua itu membawa kami meninggalkan area pemakaman. Aku juga merasa senang dan lega sekali saat Ayah sudah mau mengajakku mengujungi ibu.

Dulu biasanya hanya aku dan Nenek yang rutin tiap waktu mengunjungi pusaran ibu. Kini baru aku tau jika ibu tirikulah yang selama ini melarang ayah berkunjung ke makam ibu.

"Yah, kalau ibu marah gimana?". Tanyaku ragu.

"Udah jangan kau pikirkan lagi". Jawab Ayah menenangkanku. Meski sedikt ragu namun tetap kuiyakan saja jawaban Ayah.

Aku sebenarnya juga penasaran, apa yang akan diperbuat ibu tiriku saat Ayah sudah mengetahui kebusukannya. Akankah ia bisa berubah dan memohon pada Ayah agar tidak berpisah dengannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status