Pemandangan sebuah rumah mewah di kawasan perumahan elit kota Jakarta. Taman yang luas mengelilingi bangunan rumah. Ada sekitar sepuluh security yang berjaga di setiap titik penjagaan yang telah ditentukan.
Di sebuah ruang khusus Alanis kini sudah dihadapkan dengan sosok garang bernama Tresno Senopati, pria 60an yang merupakan big boss Tresno Bank, salah satu bank paling top di Indonesia dan tak lain adalah ayah dari Adam Tresno, korban kecelakaan yang meninggal ditabrak oleh Alanis.
Mata Tresno tajam menatap di saat Alanis hanya bisa tertunduk takut. Ingatan Alanis terbawa pada pertemuan pertama kalinya dia dengan Tresno.
FLASHBACK
Sebelum sidang pengambilan keputusan, Tresno menemui Alanis di ruang tunggu sidang. Tresno tampak sangat emosi. Dia baru sanggup menemui orang yang membunuh anak sulung kesayangannya.
“Apapun hasil sidang nantinya, saya tidak peduli. Selama saya hidup saya harus melihat kamu menderita! Sakit hati saya memang tidak akan sembuh, tapi setidaknya hanya itu yang bisa memuaskan saya!”
Alanis hanya bisa tertunduk lesu. Penyesalan yang sudah menumpuk dalam hatinya, kini ditambah sebuah ancaman yang dia rasakan sebagai beban jika suatu hari nanti dia bebas dan bertemu kembali dengan Tresno.
END FLASHBACK
“Saya tidak bisa membunuh kamu karena saya bukan pembunuh. Jadi terima tawaran saya, bekerja disini sebagai pelayan! Jadi setiap saat saya bisa memaki-maki kamu untuk membalaskan sakit hati saya terhadap kamu!”
Alanis tersadar dari lamunannya di saat suara tegas Tresno kembali menyerang pendengarannya.
Bicara tentang pekerjaan, otak Alanis langsung melayang mengingat sosok TT.
Dia sudah diterima bekerja, satu tempat dengan lelaki yang saat ini terus menyusup ke dalam pikirannya.
“Saya sudah punya pekerjaan, Pak. Maaf,” tolak Alanis secara halus dan hati-hati.
BRAGHHH! Tresno menggebrak meja. Amarahnya mulai tak terkendali. Verawati, istri Tresno yang juga berada disana coba menenangkan Tresno agar tidak marah-marah lagi.
Verawati sebenarnya merasa kasihan sama Alanis. Selain itu dia juga sudah mengikhlaskan kepergian putra sulungnya dan memaafkan Alanis. Namun dia tidak bisa melarang suaminya untuk bertahan menyimpan dendam kepada Alanis.
“Oke. Saya kasih pilihan. Menderita disini sebagai pelayan saya atau menderita di luar sana dan Ibu kamu yang sudah tua itu akan menyaksikannya! Kamu tega melihatnya?” ucap dengan menurunkan nada suaranya, tapi terdengar lebih sadis.
JRENG! Mendengar nama ibunya terseret, Alanis tersentak. Dia tak bisa membiarkannya, tapi Alanis juga terlalu takut untuk menerima tawaran Tresno. DILEMA!
Malam sudah menampakkan wajahnya di langit kota Jakarta. Pink Shop sudah tutup dan seluruh karyawan sudah pulang. Namun TT masih terduduk cemas di sofa ruangannya sambil memegang berkas milik Alanis yang disitu tertera identitas dan alamat Alanis.
TT masih terpikir tentang kejadian yang menimpa Alanis tadi sore. Dia tampak khawatir, meski gengsinya menolak untuk mengakui kalau sebenarnya dia peduli pada Alanis.
“Ngapain gue jadi mikirin dia sih!” celoteh jaim TT.
TT melempar asal berkas yang dia pegang. Namun baru beberapa detik dia mengambilnya lagi. Dia menghela nafas yang sangat panjang.
“Elo ngerepotin gue banget sih!” gumam sebal TT sambil lihat pas foto Alanis yang tertera di berkas.
Alanis melangkah gontai memasuki gang rumahnya. Wajahnya gusar memikirkan pertemuannya tadi dengan Tresno. Pilihan yang diberikan Tresno membuat situasi Alanis semakin sulit.
“Gue baru aja bebas, seenggaknya kasih gue sedikit waktu untuk bernafas,” batin Alanis mengeluh.
Tiba-tiba sebuah tangan memegang pundak Alanis dari belakang. Alanis tersentak.
“Arghhh!” jerit lemah Alanis.
Saat Alanis berbalik ekspresi keterkejutannya berubah menjadi sebuah kelegaan.
“Mas TT eh Pak TT!” sapa Alanis dengan gugup. Wajahnya yang tadi suram, kini menampilkan senyum yang manis.
Di minimarket yang lokasinya tak jauh dari rumah Alanis, TT dan Alanis menempati kursi tenda yang disediakan. Kopi hangat milik TT dan minuman kaleng milik Alanis menemani perbincangan canggung mereka.
“Kenapa ngobrolnya nggak di rumah saya saja, Pak?” tanya Alanis dengan bahasa yang sangat formal.
“Ada siapa gitu di rumah kamu?” jawab datar TT tanpa memandang Alanis.
“Ada mama saja,”
“Papa kamu kerja?”
Alanis tertunduk sedih. Pipi chubby Alanis menggembung disana. Pertanyaan TT mengingatkannya kembali pada mendiang papanya.
“Papa saya sudah meninggal,” balas Alanis namun tetap memberikan senyum tipis di akhir kalimatnya.
TT jadi merasa tidak enak dan bersimpati pada Alanis. Berat juga beban hidup gadis malang itu, begitu pikir TT.
“Maaf,” ucap singkat TT dengan tulus.
Suasana jadi canggung lagi setelah permintaan maaf dari TT.
TT kemudian menanyakan tentang kejadian saat Alanis berada di mobil bersama dua orang pria.
Alanis tertegun. Ternyata memang benar dugaan Alanis. Sosok pria dibalik helm itu adalah TT. Bertambah lagi list sifat TT yang direkam dalam memori otaknya.
“Ganteng, ketus, penolong, baik hati, tegas dan perhatian sama gue.”
Alanis menata sikapnya senormal mungkin agar tak terlihat dia sedang dilanda kepercayaan diri yang overload.
“Saya tahu kok yang di motor itu siapa, pak. Stiker segitiga merah di helm pak TT lucu,” kata Alanis yang hampir saja melepaskan tawa gelinya jika tidak buru-buru menutup mulutnya.
TT mendengus sebal. Sebenarnya dia juga jijik sendiri dengan logo stiker tokonya. Tapi mau bagaimana lagi. Untuk bisnis pakaian dalam wanita, bentuk segitiga yang paling bikin mata betah untuk memandangnya.
Namun selanjutnya muncul pertanyaan tak terduga dari TT.
“Mereka itu debt collector? Mobil kamu ditarik leasing? Kredit kamu nunggak?” tanya polos TT.
Kini Alanis tak mampu lagi menahan tawa. Style jaim TT dalam bicaranya menjadi tampak lucu di mata Alanis.
Saat Alanis tertawa, diam-diam TT mengamati. Seolah dia terbawa untuk menikmati salah satu wajah ciptaan Tuhan yang tercantik di muka bumi ini.
Tanpa sadar sejenak TT tersenyum kagum namun sepersekian detik sel gengsi dalam diri TT mengingatkan dirinya.
“Wanitalah yang harus memuji ketampanan gue.”
TT kembali ke mode asalnya, JAGA IMAGE. Alanis lalu menjelaskan kejadian yang dia alami tadi siang dengan cara berbohong. Dia ketakutan saat mendengar cerita seram di radio mobil saat dalam perjalanan. Dan orang-orang yang bersama Alanis adalah saudaranya.
Alanis takut kalau dia jujur, akan banyak pertanyaan dari TT yang ujung-ujungnya bisa membuat statusnya sebagai mantan napi diketahui oleh TT. Alanis belum siap untuk itu.
TT percaya saja. Alasannya menemui Alanis sekarang hanya karena penasaran. TT gengsi mengakui dia khawatir. Namun Alanis justru bisa merasakan bahwa yang dilakukan TT itu adalah bentuk perhatian meski belum terlalu pede kalau TT menyukai Alanis.
“Kamu besok mulai kerja kan? Jangan terlambat!” kata TT sebelum pergi.
Alanis bingung menjawabnya. Dia masih belum menentukan pilihan. Apakah akan bekerja di toko milik TT atau menerima tawaran kejam dari Tresno.
“Iya, Pak.” Kata Alanis meski jawaban itu hanya sebagai formalitas untuk menutupi kebingungannya.
Menjelang tidur Alanis menatap langit-langit kamar yang kusam dan berdebu. Dia masih terus coba untuk menentukan pilihan.
Andaikan tak ada ancaman Tresno yang menyebut Ibunya, tentu dia bisa memulai cerita baru untuk menutup masa lalu dengan bekerja di toko milik TT.
Saat jiwa Alanis masih berperang, Amartha masuk untuk mengucapkan selamat tidur pada putri tercintanya.
“Kalau kamu sudah siap, ceritakan sama mama apa yang tadi terjadi sama kamu di rumah konglomerat itu,” ucap Amartha sebelum menutup pintu.
Alanis mengangguk lemah. Kondisi Amartha yang tampak makin lemah dan batuknya yang semakin parah sepertinya telah memaksa Alanis untuk menentukan pilihannya sekarang juga.
Alanis mematikan lampu dan berharap dalam mimpinya dia bisa berkisah indah agar sejenak bisa melupakan pahitnya realita hidup yang terjadi padanya.
**
Kesibukan Pink Shop telah dimulai sejak beberapa saat lalu toko dibuka. Ada seseorang yang belum tampak kehadirannya di sana dan ada satu orang juga yang resah mencari-cari ke manakah orang yang belum datang itu.
TT mendatangi salah satu karyawannya yang bertugas memeriksa absen karyawan.
“Si anak baru belom dateng?” tanya tegas TT padahal sebenarnya cemas. TETAP GENGSI!
“Belum, Pak TT!” jawab si karyawan.
TT ngedumel tak jelas. Sebal mengetahui kabar Alanis belum nampak datang ke toko.
“Niat kerja nggak sih!?” gumam kesal TT.
Sampai di ruangannya kekesalan TT belum juga reda. Dia mondar-mandir di sana.
“Tadi malam bilang iya. Buktinya?” oceh kesal TT.
Pandangan TT tertuju berkas profil Alanis yang masih tersimpan di meja kerjanya. TT jadi terpikir sebuah ide.
“Oh ya HUTANG! Gue nggak suka orang yang nunggak hutang!” ucap TT pada dirinya sendiri.
TT mencari-cari alasan pembelaan diri biar tidak ketahuan sedang mencemaskan Alanis. Dia lalu ambil ponsel dan menekan nomor Alanis yang tertera di berkas.
“ALANIIISS!”
Teriakan menggelegar Tresno menggema di seisi ruangan makan.
Alanis buru-buru datang sambil membawakan segelas juice. Alanis memakai baju pelayan yang seragam dengan pelayan-pelayan lain di rumah Tresno.
“Lambat sekali kamu kerja! Saya gaji kamu besar!” bentak Tresno.
Alanis hanya bisa tertunduk menahan sedihnya. Untuk ke sekian kali dia diperlakukan kejam oleh Tresno padahal belum setengah hari sejak Alanis memutuskan untuk menerima tawaran Tresno.
Gadis itu sembunyi-sembunyi mau lihat ponselnya karena sedari tadi Alanis merasakan getaran tapi tak bisa mengangkat. Alanis diawasi juga oleh kepala pelayan yang diperintahkan langsung oleh Tresno.
“Dia?” kata Alanis saat menatap layar ponsel.
Alanis lihat 4 panggilan tak terjawab dari TT. Alanis bingung sendiri, dia mau bilang apa sama TT. Alanis terlalu malu untuk bilang menolak sama TT.
“Alanis!” sentak seorang perempuan kepada Alanis.
Imas si kepala pelayan, 45 tahun umurnya dan sudah mengabdi lama kepada keluarga Tresno. Imas merebut handphone milik Alanis.
“KERJA!” bentak singkat Imas tapi mengerikan.
Bersamaan dengan itu handphone Alanis bergetar. Alanis mau ambil handphone tapi ditepis oleh Imas dengan kasar. Alanis sempat lihat bahwa yang menelepon itu adalah TT.
“Jangan sampai mbak Imas angkat! Jangan!” batin Alanis berharap-harap cemas dalam hatinya.
Namun harapan Alanis tak terkabul. Imas menjawab panggilan dari TT.
“Alanis lagi kerja! Jangan telpon-telpon lagi!”
Imas langsung menutup telpon tanpa memberi kesempatan si penelepon untuk bicara. Imas pergi sambil membawa handphone Alanis setelah memberitahu kalau dia akan mengembalikannya saat jam pulang kerja.
Alanis pasrah dan merelakan jika nanti TT beranggapan kalau dia berbohong meski hatinya tetap berharap setidaknya bertemu sekali lagi dengan TT untuk menjelaskan semuanya.
Alanis sudah kadung menumbuhkan perasaannya untuk TT sejak di pertemuan mereka pertama kali.
Di ruang kerjanya, TT baru saja menaruh ponsel di meja. Ekspresi wajahnya menyiratkan sebuah kecurigaan. Namun bukan pada Alanis, melainkan tentang suara perempuan yang tadi berbicara kasar padanya di telepon.
“Gue kenal banget suara itu!” ucap TT dengan sangat yakin.
*****
To be continue >>> 004
Suasana makan pagi di rumah Tresno. Para pelayan menyiapkan berbagai jenis makanan enak dan bergizi yang dibuat khusus oleh chef pilihan Verawati.Namun di meja makan bernilai ratusan juta, dari 10 kursi yang tersedia hanya terisi oleh dua orang. Tresno dan Verawati. Sepi dan hening, kehangatan yang tersisa hanyalah saat Verawati yang selalu bersikap lembut dan perhatian pada suaminya.Suasana jadi lebih berisik saat Tresno dan Verawati dikejutkan dengan kedatangan si anak hilang mereka yang sudah berbulan-bulan tidak pulang ke rumah karena sibuk mengurus bisnisnya sendiri.“Selamat pagi papi dan mami. Anak bungsu kalian pulang nih,” sapa TT dengan nada ramah, namun lebih dimaksudkan untuk menyindir sang ayah.Sang Ibu langsung memeluk sayang TT untuk meluapkan rasa kangennya bertemu TT. Verawati juga menyindir Tresno untuk menyambut TT. Tresno bersikap dingin karena masih kesal pada TT itu yang tidak menuruti keinginannya untuk belajar mengurus Bank.Tresno sebenarnya ingin TT yang
TT membuka kaca helm full face-nya, turun dari motor sambil membawa sebuah helm lain lalu memberikannya begitu saja pada Alanis.“Nih. Yukk jalan?” ajak TT dengan menjaga mode jaimnya agar terlihat tetap berwibawa di depan Alanis.Alanis malah bengong. Kok ini orang bisa ada disini pikirnya.TT bisa menebak jalan pikiran Alanis. Dia sudah mempersiapkan skenario yang matang sebelumnya agar Alanis tidak curiga.“Saya ada meeting di dekat sini dan kebetulan lihat kamu,” lanjut TT dengan cara bicara yang sangat formal tanpa menunggu Alanis bersuara terlebih dulu.Alanis bisa percaya apa yang dikatakan oleh TT. Namun ada satu hal yang mungkin saja membuat dia akan menolak ajakan TT.Motor dan berkendara di jalan Raya!Efek trauma Alanis bisa saja membuat dia terlihat memalukan di depan TT. Akan banyak pertanyaan nanti dari TT. Itulah yang paling dicemaskan olehnya.“Mau nggak? Saya sekalian mau tanya kenapa kamu tidak jadi bekerja di toko saya,” sambung TT.Alanis makin bertambah pusing. A
Hari berganti esok. Kini TT sedang merapihkan kamarnya. Dia memutuskan untuk pindah lagi ke rumah orang tuanya. Alasannya? Sudah jelas karena Alanis.Tapi dasar si manusia jaim, TT tetap saja menyangkalnya, meski pada dirinya sendiri. TT menyampaikan pesan ke seluruh organ tubuhnya alasan dia pindah karena untuk menghemat biaya sewa apartemen dan biaya makan sehari-hari. TITIK!Sang Ibu, Verawati, sangat senang anaknya kembali ke rumah. Ia bantu-bantu TT untuk menata ulang kamar. Bahkan Verawati sampai mau panggil agent dekorasi khusus untuk mendesain ulang kamar TT demi menyambut kepulangan si anak bungsu kesayangan.“Nggak usahlah mami! Masih bagus ini juga,” tolak TTVerawati cemberut manja. Bersamaan dengan itu suara tegas dan menggelegar memotong suasana akrab antara sang Ibu dan anaknya.“Memang lebih baik tidak usah!” suara Tresno tiba-tiba terdengar di dalam kamar.Suasana hangat antara verawati dan TT kini berubah menjadi tegang.“Bagus! Siapa yang suruh kamu kembali ke rumah
Verawati akan menjawab pertanyaan TT tentang kenapa Alanis diperlakukan kejam oleh Tresno.“Alanis, itu, pelayan baru itu....”Perkataan Verawati terhenti saat seorang pelayan masuk dan mengabarkan Alanis terjatuh saat disuruh membersihkan toren penampungan air.TT langsung cemas. Saat Verawati menanyakan kondisi Alanis, sebelum pelayan menjawab TT terlebih dahulu secepat kilat keluar dari kamarnya.Verawati agak aneh melihat reaksi anaknya, tapi tidak memusingkannya saat ini. Ia fokus dulu ke kondisi Alanis. Pelayan bilang kakinya terkilir saja. Tujuan pelayan datang ingin bertanya apakah perlu dibawa ke rumah sakit atau tidak.Sedang terjadi perdebatan hebat di pos security antara Imas si kepala pelayan dan pak Tatang si security kepercayaan TT tentang kondisi Alanis yang saat ini ada di depan mereka.Gadis malang itu merintih kesakitan memegangi kakinya. Para pekerja yang jabatannya di bawah Imas dan Pak tatang hanya bisa menyaksikan tanpa mampu melerai.“Nggak perlu ke rumah saki
BUGHHH! PRAANG!TT memukul cermin di kamarnya hingga pecah, kepalan tangannya berdarah-darah. Kemarahan, kegelisahan, kegalauan melanda pikirannya saat ini.Dia terus teringat apa yang baru saja tadi dia dengar dari ayahnya tentang siapa sebenarnya sosok Alanis di mata keluarganya, terutama bagi sang ayah.FLASHBACKTresno bangkit dari duduknya mendekat ke TT, dia menatap tajam ke TT. Tresno mendorong telunjuknya ke jantung TT.“Gadis sialan itu yang menabrak Adam! DIA ADALAH PEMBUNUH KAKAKMU!” ucap Tresno dengan berteriak di kalimat keduanya.END FLASHBACKKenapa harus Alanis? Itu pikiran TT saat ini.“Arggh SIALLLL!” teriak TT melampiaskan emosinya.Memang dia sudah memaafkan siapa pun penabrak kakaknya yang sedari dulu sampai detik ini tidak pernah dia ketahui.Namun siapa pun itu, sumpah serapah di dalam diri TT mengeluh, harusnya jangan Alanis, gadis yang kini sedang menerobos masuk mengisi hatinya.“Harusnya gue nggak usah tahu, gue nggak usah nanya sama papi soal ini!” sesal TT
Brankar melaju dengan sangat cepat membawa Amartha yang dalam kondisi tak sadarkan diri ke ruang ICU.Alanis menunggu cemas bagaimana hasil pemeriksaan dokter tentang kondisi ibunya. Seorang petugas rumah sakit lalu menyampaikan pesan agar Alanis segera mengurus administrasi dan pembayaran.Gadis malang itu jadi bingung sendiri, dia belum gajian. Uang simpanan pun tak ada. Mau minta tolong sama siapa? Alanis berpikir keras dan ada satu nama yang terlintas dalam pikirannya.“Mau nggak ya kira-kira dia nolongin gue lagi?” gumam ragu Alanis.Sementara itu di tempat lain, di waktu yang bersamaan,TT baru akan keluar toko bersama dengan Jenny. TT diajak oleh mantan calon iparnya itu pulang bersama pakai mobilnya.Jenny ingin pergi bersama TT, tapi enggan memakai motor.“Kalo mau bareng aku, ya pake motor!” tegas TT.Jenny cemberut. Namun daripada bikin TT marah dia akhirnya menyetujui tawaran TT.“Iya deh. Tapi jangan ngebut-ngebut! Aku takut,” pinta Jenny, MANJA.TT hanya mengangguk. Baru
Alanis memperkenalkan Yanto kepada TT.Alanis juga menjelaskan kalau Yanto adalah teman kuliahnya dulu yang sekarang jadi dokter di rumah sakit ini dan juga tadi telah membantu Alanis soal adminitrasi perawatan ibunya di rumah sakit.“Ohh, sudah dapat pahlawan baru ya sekarang?” sindir ketus TT.Alanis jadi merasa tidak enak dan menarik tangan TT untuk mengajaknya menjauh agar bisa ngobrol berdua tanpa ada Yanto.“Mas, kok gitu sih ngomongnya?” kata Alanis coba beri pengertian pada TT.“Emang begitukan kenyataannya?” balas TT nambah ketus.“Ya tapikan aku nggak enak sama Yanto, mas.”“Yanto? Harusnya kamu lebih nggak enak sama aku daripada sama dia!” sindir TT dengan lebih meninggikan suaranya.Alanis mendelik, bertanya-tanya kenapa TT jadi berubah seperti ini. Ada apa?Alanis yang tadinya bersikap sopan menjadi terpancing emosi. Tanpa kontrol dia mengatakan kecurigaannya pada lelaki yang kini ada di hadapannnya.“Apa karena Mas TT sering nolongin aku, sekarang mas bisa bersikap seena
Alanis menangis di depan pusara Ibunya. Satu-satunya keluarga Alanis yang tersisa kini telah tiada. Penyesalannya, kenapa hanya sedikit waktu yang dia rasakan bersama mama tercintanya setelah dia bebas dari penjara.Alanis merasa hanya kemalangan yang dia berikan kepada Ibunya, bukan kebahagiaan yang seharusnya diberikan seorang anak kepada orangtuanya.Sakit yang diderita Amartha, Alanis menyalahkan dirinya penyebab semua itu. Tragedi kecelakaan empat tahun lalu benar-benar telah menghancurkan keluarga bahagia milik Alanis, karena kesalahan Alanis.“Maafin Alanis, ma. Maaf. Mama pergi gara-gara Alanis.”Hanya kata maaf yang bisa terucap. Air mata yang mengalir nyaris tak terhenti. Tangisan sendu Alanis mewarnai suasana pemakaman yang tampak sepi. Tak banyak orang yang hadir disana.Di samping Alanis yang selalu mencoba menenangkan Alanis adalah seorang lelaki, tapi bukan TT. Yanto yang ada disana.“Elo yang kuat ya, Nis. Gue ada di sini sama elo,” ucap Yanto pada Alanis.Dan TT hanya