Share

003 - PASRAH

Pemandangan sebuah rumah mewah di kawasan perumahan elit kota Jakarta. Taman yang luas mengelilingi bangunan rumah. Ada sekitar sepuluh security yang berjaga di setiap titik penjagaan yang telah ditentukan.

     Di sebuah ruang khusus Alanis kini sudah dihadapkan dengan sosok garang bernama Tresno Senopati, pria 60an yang merupakan big boss Tresno Bank, salah satu bank paling top di Indonesia dan tak lain adalah ayah dari Adam Tresno, korban kecelakaan yang meninggal ditabrak oleh Alanis.

Mata Tresno tajam menatap di saat Alanis hanya bisa tertunduk takut. Ingatan Alanis terbawa pada pertemuan pertama kalinya dia dengan Tresno.

FLASHBACK

Sebelum sidang pengambilan keputusan, Tresno menemui Alanis di ruang tunggu sidang. Tresno tampak sangat emosi. Dia baru sanggup menemui orang yang membunuh anak sulung kesayangannya.

“Apapun hasil sidang nantinya, saya tidak peduli. Selama saya hidup saya harus melihat kamu menderita! Sakit hati saya memang tidak akan sembuh, tapi setidaknya hanya itu yang bisa memuaskan saya!”

Alanis hanya bisa tertunduk lesu. Penyesalan yang sudah menumpuk dalam hatinya, kini ditambah sebuah ancaman yang dia rasakan sebagai beban jika suatu hari nanti dia bebas dan bertemu kembali dengan Tresno.

END FLASHBACK

“Saya tidak bisa membunuh kamu karena saya bukan pembunuh. Jadi terima tawaran saya, bekerja disini sebagai pelayan! Jadi setiap saat saya bisa memaki-maki kamu untuk membalaskan sakit hati saya terhadap kamu!”

Alanis tersadar dari lamunannya di saat suara tegas Tresno kembali menyerang pendengarannya.

Bicara tentang pekerjaan, otak Alanis langsung melayang mengingat sosok TT.

Dia sudah diterima bekerja, satu tempat dengan lelaki yang saat ini terus menyusup ke dalam pikirannya.

“Saya sudah punya pekerjaan, Pak. Maaf,” tolak Alanis secara halus dan hati-hati.

BRAGHHH! Tresno menggebrak meja. Amarahnya mulai tak terkendali. Verawati, istri Tresno yang juga berada disana coba menenangkan Tresno agar tidak marah-marah lagi.

Verawati sebenarnya merasa kasihan sama Alanis. Selain itu dia juga sudah mengikhlaskan kepergian putra sulungnya dan memaafkan Alanis. Namun dia tidak bisa melarang suaminya untuk bertahan menyimpan dendam kepada Alanis.

“Oke. Saya kasih pilihan. Menderita disini sebagai pelayan saya atau menderita di luar sana dan Ibu kamu yang sudah tua itu akan menyaksikannya! Kamu tega melihatnya?” ucap dengan menurunkan nada suaranya, tapi terdengar lebih sadis.

JRENG! Mendengar nama ibunya terseret, Alanis tersentak. Dia tak bisa membiarkannya, tapi Alanis juga terlalu takut untuk menerima tawaran Tresno. DILEMA!

Malam sudah menampakkan wajahnya di langit kota Jakarta. Pink Shop sudah tutup dan seluruh karyawan sudah pulang. Namun TT masih terduduk cemas di sofa ruangannya sambil memegang berkas milik Alanis yang disitu tertera identitas dan alamat Alanis.

TT masih terpikir tentang kejadian yang menimpa Alanis tadi sore. Dia tampak khawatir, meski gengsinya menolak untuk mengakui kalau sebenarnya dia peduli pada Alanis.

“Ngapain gue jadi mikirin dia sih!” celoteh jaim TT.

TT melempar asal berkas yang dia pegang. Namun baru beberapa detik dia mengambilnya lagi. Dia menghela nafas yang sangat panjang.

“Elo ngerepotin gue banget sih!” gumam sebal TT sambil lihat pas foto Alanis yang tertera di berkas.

Alanis melangkah gontai memasuki gang rumahnya. Wajahnya gusar memikirkan pertemuannya tadi dengan Tresno. Pilihan yang diberikan Tresno membuat situasi Alanis  semakin sulit.

“Gue baru aja bebas, seenggaknya kasih gue sedikit waktu untuk bernafas,” batin Alanis mengeluh.

Tiba-tiba sebuah tangan memegang pundak Alanis dari belakang. Alanis tersentak.

“Arghhh!” jerit lemah Alanis.

Saat Alanis berbalik ekspresi keterkejutannya berubah menjadi sebuah kelegaan.

“Mas TT eh Pak TT!” sapa Alanis dengan gugup. Wajahnya yang tadi suram, kini menampilkan senyum yang manis.

Di minimarket yang lokasinya tak jauh dari rumah Alanis, TT dan Alanis menempati kursi tenda yang disediakan. Kopi hangat milik TT dan minuman kaleng milik Alanis menemani perbincangan canggung mereka.

“Kenapa ngobrolnya nggak di rumah saya saja, Pak?” tanya Alanis dengan bahasa yang sangat formal.

“Ada siapa gitu di rumah kamu?” jawab datar TT tanpa memandang Alanis.

“Ada mama saja,”

“Papa kamu kerja?”

Alanis tertunduk sedih. Pipi chubby Alanis menggembung disana. Pertanyaan TT mengingatkannya kembali pada mendiang papanya.

“Papa saya sudah meninggal,” balas Alanis namun tetap memberikan senyum tipis di akhir kalimatnya.

TT jadi merasa tidak enak dan bersimpati pada Alanis. Berat juga beban hidup gadis malang itu, begitu pikir TT.

“Maaf,” ucap singkat TT dengan tulus.

Suasana jadi canggung lagi setelah permintaan maaf dari TT.

TT kemudian menanyakan tentang kejadian saat Alanis berada di mobil bersama dua orang pria.

Alanis tertegun. Ternyata memang benar dugaan Alanis. Sosok pria dibalik helm itu adalah TT. Bertambah lagi list sifat TT yang direkam dalam memori otaknya.

“Ganteng, ketus, penolong, baik hati, tegas dan perhatian sama gue.”

Alanis menata sikapnya senormal mungkin agar tak terlihat dia sedang dilanda kepercayaan diri yang overload.

“Saya tahu kok yang di motor itu siapa, pak. Stiker segitiga merah di helm pak TT lucu,” kata Alanis yang hampir saja melepaskan tawa gelinya jika tidak buru-buru menutup mulutnya.

TT mendengus sebal. Sebenarnya dia juga jijik sendiri dengan logo stiker tokonya. Tapi mau bagaimana lagi. Untuk bisnis pakaian dalam wanita, bentuk segitiga yang paling bikin mata betah untuk memandangnya.

Namun selanjutnya muncul pertanyaan tak terduga dari TT.

“Mereka itu debt collector? Mobil kamu ditarik leasing? Kredit kamu nunggak?” tanya polos TT.

Kini Alanis tak mampu lagi menahan tawa. Style jaim TT dalam bicaranya menjadi tampak lucu di mata Alanis.

Saat Alanis tertawa, diam-diam TT mengamati. Seolah dia terbawa untuk menikmati salah satu wajah ciptaan Tuhan yang tercantik di muka bumi ini.

Tanpa sadar sejenak TT tersenyum kagum namun sepersekian detik sel gengsi dalam diri TT mengingatkan dirinya.

“Wanitalah yang harus memuji ketampanan gue.”

TT kembali ke mode asalnya, JAGA IMAGE. Alanis lalu menjelaskan kejadian yang dia alami tadi siang dengan cara berbohong. Dia ketakutan saat mendengar cerita seram di radio mobil saat dalam perjalanan. Dan orang-orang yang bersama Alanis adalah saudaranya.

Alanis takut kalau dia jujur, akan banyak pertanyaan dari TT yang ujung-ujungnya bisa membuat statusnya sebagai mantan napi diketahui oleh TT. Alanis belum siap untuk itu.

TT percaya saja. Alasannya menemui Alanis sekarang hanya karena penasaran. TT gengsi mengakui dia khawatir. Namun Alanis justru bisa merasakan bahwa yang dilakukan TT itu adalah bentuk perhatian meski belum terlalu pede kalau TT menyukai Alanis.

“Kamu besok mulai kerja kan? Jangan terlambat!” kata TT sebelum pergi.

Alanis bingung menjawabnya. Dia masih belum menentukan pilihan. Apakah akan bekerja di toko milik TT atau menerima tawaran kejam dari Tresno.

“Iya, Pak.” Kata Alanis meski jawaban itu hanya sebagai formalitas untuk menutupi kebingungannya.

Menjelang tidur Alanis menatap langit-langit kamar yang kusam dan berdebu. Dia masih terus coba untuk menentukan pilihan.

     Andaikan tak ada ancaman Tresno yang menyebut Ibunya, tentu dia bisa memulai cerita baru untuk menutup masa lalu dengan bekerja di toko milik TT.

Saat jiwa Alanis masih berperang, Amartha masuk untuk mengucapkan selamat tidur pada putri tercintanya.

“Kalau kamu sudah siap, ceritakan sama mama apa yang tadi terjadi sama kamu di rumah konglomerat itu,” ucap Amartha sebelum menutup pintu.

Alanis mengangguk lemah. Kondisi Amartha yang tampak makin lemah dan batuknya yang semakin parah sepertinya telah memaksa Alanis untuk menentukan pilihannya sekarang juga.

Alanis mematikan lampu dan berharap dalam mimpinya dia bisa berkisah indah agar sejenak bisa melupakan pahitnya realita hidup yang terjadi padanya.

**

Kesibukan Pink Shop telah dimulai sejak beberapa saat lalu toko dibuka. Ada seseorang yang belum tampak kehadirannya di sana dan ada satu orang juga yang resah mencari-cari ke manakah orang yang belum datang itu.

TT mendatangi salah satu karyawannya yang bertugas memeriksa absen karyawan.

“Si anak baru belom dateng?” tanya tegas TT padahal sebenarnya cemas. TETAP GENGSI!

“Belum, Pak TT!” jawab si karyawan.

TT ngedumel tak jelas. Sebal mengetahui kabar Alanis belum nampak datang ke toko.

“Niat kerja nggak sih!?” gumam kesal TT.

Sampai di ruangannya kekesalan TT belum juga reda. Dia mondar-mandir di sana.

“Tadi malam bilang iya. Buktinya?” oceh kesal TT.

Pandangan TT tertuju berkas profil Alanis yang masih tersimpan di meja kerjanya. TT jadi terpikir sebuah ide.

“Oh ya HUTANG! Gue nggak suka orang yang nunggak hutang!” ucap TT pada dirinya sendiri.

TT mencari-cari alasan pembelaan diri biar tidak ketahuan sedang mencemaskan Alanis. Dia lalu ambil ponsel dan menekan nomor Alanis yang tertera di berkas.

 “ALANIIISS!”

Teriakan menggelegar Tresno menggema di seisi ruangan makan.

Alanis buru-buru datang sambil membawakan segelas juice. Alanis memakai baju pelayan yang seragam dengan pelayan-pelayan lain di rumah Tresno.

“Lambat sekali kamu kerja! Saya gaji kamu besar!” bentak Tresno.

Alanis hanya bisa tertunduk menahan sedihnya. Untuk ke sekian kali dia diperlakukan kejam oleh Tresno padahal belum setengah hari sejak Alanis memutuskan untuk menerima tawaran Tresno.

Gadis itu sembunyi-sembunyi mau lihat ponselnya karena sedari tadi Alanis merasakan getaran tapi tak bisa mengangkat. Alanis diawasi juga oleh kepala pelayan yang diperintahkan langsung oleh Tresno.

“Dia?” kata Alanis saat menatap layar ponsel.

Alanis lihat 4 panggilan tak terjawab dari TT. Alanis bingung sendiri, dia mau bilang apa sama TT. Alanis terlalu malu untuk bilang menolak sama TT.

“Alanis!” sentak seorang perempuan kepada Alanis.

Imas si kepala pelayan, 45 tahun umurnya dan sudah mengabdi lama kepada keluarga Tresno. Imas merebut handphone milik Alanis.

“KERJA!” bentak singkat Imas tapi mengerikan.

Bersamaan dengan itu handphone Alanis bergetar. Alanis mau ambil handphone tapi ditepis oleh Imas dengan kasar. Alanis sempat lihat bahwa yang menelepon itu adalah TT.

     “Jangan sampai mbak Imas angkat! Jangan!” batin Alanis berharap-harap cemas dalam hatinya.

Namun harapan Alanis tak terkabul. Imas menjawab panggilan dari TT.

“Alanis lagi kerja! Jangan telpon-telpon lagi!”

Imas langsung menutup telpon tanpa memberi kesempatan si penelepon untuk bicara. Imas pergi sambil membawa handphone Alanis setelah memberitahu kalau dia akan mengembalikannya saat jam pulang kerja.

     Alanis pasrah dan merelakan jika nanti TT beranggapan kalau dia berbohong meski hatinya tetap berharap setidaknya bertemu sekali lagi dengan TT untuk menjelaskan semuanya.

Alanis sudah kadung menumbuhkan perasaannya untuk TT sejak di pertemuan mereka pertama kali.

Di ruang kerjanya, TT baru saja menaruh ponsel di meja. Ekspresi wajahnya menyiratkan sebuah kecurigaan. Namun bukan pada Alanis, melainkan tentang suara perempuan yang tadi berbicara kasar padanya di telepon.

“Gue kenal banget suara itu!” ucap TT dengan sangat yakin.

*****

To be continue >>> 004

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Alnayra
nah loh terdeteksi kan, pasti mas TT ini masih satu keturunan sama pak tresno
goodnovel comment avatar
Inthary
jangan² TT anak lain mereka
goodnovel comment avatar
Miss K
kasihan alanis ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status