***
Aldo mendekati penjaga Pabrik tersebut, berbeda dengan di kota, jika di kota akan dijaga oleh Satpam sebagai petugas keamanan. Namun, di desa ini terlihat tiga orang penjaga seperti preman.
"Permisi, apa benar ini Pabrik terbesar satu-satunya di desa ini?" tanya Aldo berbasa-basi.
"Ya, kamu siapa? Sepertinya bukan berasal dari desa sini," ucap salah seorang penjaga itu.
"Nama saya Danu, saya dari desa lain, maksud saya kemari ingin ikut bekerja di sini," papar Aldo yang memulai aksinya menyamar.
"Hmm, baiklah ... ayo ikut saya menemui Juragan Tono!" ajak penjaga itu.
Aldo pun mengikuti langkah pria berbadan kekar tersebut. Terlihat banyak para pekerja berbagai kalangan, ada yang sudah sangat senja usianya, ada pula yang masih belia, pria dan wanita semua terlihat fokus menjalankan pekerjaannya.
Seketika Aldo melirik seorang wanita yang tampak sangat berbeda, wajahnya cantik, matanya hitam pekat nan tajam. Namun, terkesan dingin, sangat berbeda dari semua gadis yang lain, tidak ada ekspresi apa pun di wajahnya, seperti mayat hidup.
"Siapa namamu?" tanya Juragan Tono yang membuat pandangan Aldo teralihkan.
"Saya Al ... maksud saya, Danu. Nama saya Danu Juragan," jawab Aldo yang hampir keceplosan.
"Laki-laki setampan dan sebersih kamu, apa bisa bekerja? Di sini peraturan sangat keras, tidak menerima yang bermalas-malasan, masuk kerja di sini berarti menyetujui semua yang diperintahkan! Tidak boleh protes atau pun membangkang!" Papar Juragan Tono dengan jelas.
"Saya bersedia mengikuti semua peraturan yang diterapkan," sahut Aldo penuh keyakinan.
"Bagus, kamu bisa menyimpan barangmu di bangunan yang sudah saya sediakan, tapi ingat, bagi siapa pun yang tidak memiliki tempat tinggal di sini, maka boleh menempati gubuk yang tersedia, namun tidak gratis, setiap bulan gajihmu akan dipotong sebagai bayaran tempat tinggal yang saya berikan." Juragan Tono menjelaskan dengan akurat.
"Baik, Juragan." Aldo menjawab tanpa ragu-ragu.
Hari memang sudah sangat sore, perjalanan yang ditempuh dari kota ke desa cukup memakan waktu, para buruh pekerja di Pabrik ini pun semua mulai bubar.
Ayu kembali beristirahat ke dalam gudang, berbeda memang tempat yang Ayu huni dengan para pekerja yang lain. Ayu hanya diizinkan tinggal di dalam gudang yang mana tempat ia dulu dipasung.
Sebagian teman Ayu ada yang pulang ke rumah masing-masing, ada pula yang tinggal di tempat yang sudah disediakan Juragan Tono. Bagi mereka yang memiliki rumah sendiri, maka akan lebih beruntung karena tidak harus membayar sewa perbulannya.
Aldo yang baru pertama kalinya memasuki desa, merasa bingung dengan fasilitas yang seadanya, Namun demi terjawabnya semua dugaan tentang desa ini, Aldo pun merelakan hidup susah di desa.
Malam ini Aldo tidak bisa tidur dengan tenang, Aldo mengelilingi seluruh bangunan yang disediakan Juragan Tono itu.
Tiba-tiba Aldo berhenti di sebuah tempat ....
"Tempat apa ini? Sepertinya berbeda dari gubuk yang lain, gelap sekali di dalamnya, apa ini tempat kosong?" gumam Aldo dalam hati.
Deg! Seketika pintu terbuka, Aldo nyaris berteriak karena mengira hantu yang keluar.
"Kamu! Saya fikir ...." ucap Aldo terputus.
"Hantu?" Sambung Ayu datar.
Setelah berkata demikian, Ayu berlalu begitu saja.
"Hey, tunggu!" Aldo mengejar langkah Ayu.
Ayu tetap berjalan tanpa menghiraukan Aldo, kini Ayu berada di samping gang bangunan, Ayu berdiri di depan pohon besar, kemudian duduk sendirian merenung di sana.
"Apa yang gadis itu lakukan tengah malam begini duduk di luar sendirian? Mana di bawah pohon rimbun pula," gumam Aldo yang merasa merinding.
Aldo hanya memperhatikan dari belakang, ia penasaran dan ingin mencari tahu.
Ayu kini kembali menuju gudang, tanpa Ayu sadari, Aldo masih mengikutinya secara diam-diam.
Ayu masuk dan mengunci pintu gudang yang telah menjadi kamarnya itu.
Aldo pun kembali beristirahat di gubuk yang ia tempati. Jumlah gubuk yang disediakan Juragan Tono ini lumayan banyak, setiap buruh memiliki gubuk masing-masing tanpa harus berkongsi.
Aldo merebahkan tubuhnya di atas tikar khas pedesaan, tidak ada ranjang mau pun kasur empuk, hanya beralaskan tikar dan sebuah bantal.
"Siapa gadis itu? Kenapa ia tinggal di gudang yang tidak layak huni? Sikapnya juga sangat aneh." Sejuta pertanyaan hadir di benak Aldo, hingga akhirnya Aldo terlelap.
***
Pagi telah tiba, terlihat para buruh sudah krasak-krusuk berdatangan, Aldo pun mulai menjalani aktivitas barunya.
"Heh, anak baru! Kamu dapat bagian mencongkel hari ini," ucap seorang pengawas gendut yang terlihat sangar.
"Baik kang," sahut Aldo menurut.
Kemudian terlihat Ayu yang baru muncul, dengan pandangan kosong, Ayu berjalan begitu santai.
Semua mata kini mengarah padanya, teman-teman kerja Ayu terlihat sangat cemas, mereka tahu sebentar lagi Ayu akan kembali dihukum, karena keterlambatannya bekerja.
"Gadis keras kepala! Sini kamu!" Perintah pengawas gendut yang bernama Tole.
Ayu mendekat tanpa berkata apapun.
"Sini tanganmu itu!" Perintah Tole lagi.
Ayu membentangkan kedua telapak tangannya, kemudian ...
Plak!
Plak!
Plak!
Tiga kali sebatan rotan yang cukup besar mendarat di tangan yang sudah tampak kasar dan penuh luka itu, Ayu hanya diam tidak menangis atau pun bersuara, tidak ada ekspresi apapun, padahal sungguh sebatan dari Tole itu sangat keras.
Aldo terperanjat, ingin rasanya berontak akan kekerasan itu. Namun, Aldo sadar, dirinya ke sini dengan sebuah samaran.
"Ya Tuhan, sepertinya benar desa ini penuh kekejaman," batin Aldo.
Semua yang ada di Pabrik itu hanya diam dan menunduk, tidak ada satu orang pun yang berani bersuara.
Ayu melangkah santai seakan tak terjadi apa-apa, kemudian Ayu duduk sembari mengerjakan tugasnya.
Aldo semakin heran melihat Ayu tak bereaksi sama sekali.
"Yu, besok-besok jangan datang telat lagi, aku gak tega lihat kamu dihukum setiap hari," bisik Dewi dengan sangat pelan.
Ayu bahkan tak merespon ucapan Dewi.
Dewi adalah seorang wanita cantik yang sangat iba akan kondisi Ayu, walau Ayu tidak banyak bicara, bahkan sangat jarang membuka suaranya. Namun, Dewi tetap peduli pada Ayu.
Bersambung.
Harga diri laki-laki.Part: 11.***Delisa diantarkan pulang ke rumah. Mikayla menyambut dengan antusias.Ia memeluk sang putri begitu erat. Lalu tersadar Delisa memegangi boneka pemberian Maya.Mikayla langsung marah dan merampasnya."Buang boneka jelek ini, Delisa! Mami tak suka melihatnya!" hardik Mikayla.Delisa menangis karena boneka kesayangannya itu terpental jauh keluar."Mikayla! Kau sungguh keterlaluan!" bentak Gio."Aku keterlaluan, Mas? Apa Mas tak salah bicara? Delisa adalah putriku, kenapa Mas membuatnya dekat dengan wanita lain? Kalau Mas ingin hidup dengan Maya silakan! Tapi, jangan pernah bawa Delisa lagi!""Delisa ambil boneka itu dan masuk ke dalam kamar ya, Nak! Papi mau bicara dengan Mani," ujar Gio.Delisa menurut. Ia dengan cepat mengambil kembali boneka dari Maya, laku membawanya masuk ke dalam kamar."Mas, aku sudah menerima keputusanmu untuk bercerai. Kita akan segera bertemu di pengadilan. Tapi, hak asuh Delisa tentu akan menjadi milikku. Lagi pula, Mas send
Harga diri laki-laki.Part: 10.***Mikayla terus menanamkan rasa benci di hati Delisa pada Maya. Gadis kecil itu tak tahu kalau kalau sebenarnya Mami yang ia bela justru lebih dalam menoreh luka."Delisa, sayang ... sebentar lagi Papimu akan datang. Ini waktunya Delisa membuat Papi memilih kita! Mami tak mau berpisah dengan Papi. Delisa juga tak mau kan sayang?" "Iya, Mi. Delisa tak mau Papi memilih Tante jahat itu!"Mikayla tersenyum senang. Ia berharap rencananya kali ini berhasil.Tak lama kemudian bel rumah berbunyi. Gio datang dengan wajah cemasnya."Papi, Delisa tak mau melihat Papi bersama Tante jahat itu lagi," ujar Delisa.Mikayla hanya diam dan seolah tak mendengar perkataan Putrinya."Kenapa Delisa bicara begitu, sayang? Tante Maya itu adalah Tante Delisa. Dia tidak jahat," sahut Gio lembut.Gio melempar pandangan ke arah Mikayla. Ia tahu, pasti semua yang dikatakan Delisa adalah ajaran darinya."Tidak, Papi! Tante itu bukan Tante Delisa! Dia jahat! Dia sudah merebut Papi
Harga diri laki-laki.Part: 9***Gio pindah ke sebuah apartemen yang telah berhasil ia beli. Saat hendak memejamkan mata, bayangan peristiwa satu tahun yang lalu kembali muncul dalam memori otaknya.Saat itu Gio baru pulang dari luar kota. Ia memang pulang lebih awal dari rencananya.Suasana rumah begitu sepi. Gio berpikir kalau Delisa sudah pasti sudah tidur. Gio yang ingin memberi kejutan pada sang istri, masuk ke dalam rumah secara diam-diam dengan menggunakan kunci cadangan yang ia bawa.Namun, malah sebaliknya. Gio yang dibuat begitu terkejut ketika mendapati sang istri sedang bersama pria lain di dalam kamar mereka."Mikayla!" hardik Gio.Mikayla yang tengah terkapar lemah di bawah selimut menjadi pucat karena terkejut."Bajingan!"Gio menarik pria yang bersama Mikayla. Pukulan bertubi-tubi Gio layangkan pada pemuda yang bernama Hendri itu."Mati kau pecundang!" maki Gio.Hendri terluka parah, tapi ia pun sempat membalas Gio hingga kening Gio berdarah."Mas, cukup! Ampun, Mas
Harga diri laki-laki.Part: 8***"Mas," lirih Mikayla mendekat.Gio bergeming, tatapannya kosong ke depan."Mas, apa memang tak ada tempat bagiku dalam hatimu lagi, Mas? Aku bersedia melakukan apa saja, asal Mas melupakan kesalahan besarku di masa lalu," papar Mikayla.Lastri juga turut mendekat ke arah Mikayla dan menepuk lembut pundak sang menantu kesayangan."Maaf, tapi aku sungguh tak bisa melupakan kejadian itu, Mikayla. Walau sudah setahun berlalu, bayangan saat melihat kau tengah satu ranjang dengan laki-laki itu selalu terngiang dalam ingatanku. Aku tidak sudi menyentuhmu lagi. Aku merasa begitu geli dan menjinjikkan ketika membayangkan peristiwa silam."Mikayla sangat terpukul dengan pernyataan sang suami. Tubuhnya goyah, bahkan hampir tersungkur ke lantai. Namun, Lastri dengan sigap memeluk menantu tersayangnya."Diam kau Gio!" hardik Lastri."Mama yang diam!" sambung Reno."Selama ini Papa selalu mengalah pada Mama. Tepat di mana harga diri Gio, putra satu-satunya yang Pap
Harga diri laki-laki.Part: 7***Lastri pulang ke rumahnya, menceritakan masalah ini pada Reno, sang suami."Pa, ternyata Mas Arkan memiliki istri lain sebelum menikahi Mery."Reno terkejut hingga membuat ekspresi wajah tuanya semakin lucu."Jangan ngada-ngada, Ma.""Papa gak percayaan banget sih. Tadi Mama baru saja dari rumah istri pertama Mas Arkan, dia juga memiliki seorang putri. Yang mengkhawatirkan, putrinya itu sedang dekat dengan Gio," papar Lastri antusias."Kok bisa, Ma? Kenapa selama ini tak ada berita sama sekali tentang Anak dan istri Mas Arkan itu? Harusnya putri dari istri pertamanya juga diakui di depan publik.""Ngapain pakai diakui segala. Mereka itu beda kelas dengan Mbak Mery, Pa. Pastinya Mas Arkan lebih memilih berlian lah dari pada butiran debu begitu," cibir Lastri.Reno menggeleng-geleng heran. Istrinya tak pernah berubah. Semua hanya diukur dengan harta."Terserah Mama saja. Papa malah penasaran dengan sosok saudari Mikayla itu.""Jangan katakan saudari Mik
Harga diri laki-laki.Part: 6***"Tenang dulu, Ma. Aku butuh dukungan Mama saat ini. Aku tidak rela kehilangan Mas Gio," ujar Mikayla."Mama akan selalu ada di pihakmu, sayang."Lastri kembali memeluk Mikayla.--Sementara di sisi lain, Maya juga tengah memeluk tubuh sang Ibu."May, maafkan Ibu, Nak. Seharusnya dulu Ibu bisa mempertahankan kebahagiaanmu," lirih Asih."Ini bukan salah Ibu. Namun, yang aku sesali sekarang, kenapa harus istri dari Tuan Gio yang menjadi Adik tiriku, Bu. Kenapa?Asih perlahan merenggangkan pelukannya. "Ada apa, Nak?"Maya menarik napas panjang, mata indah itu tertutup beberapa detik sebelum bersuara kembali."Tuan Gio selalu mendekatiku di kantor, Bu. Aku sudah berusaha menjauhinya. Walaupun tak ada tindakan yang berlebihan selain makan siang. Namun, hal itu berlangsung selama dua bulan ini."Asih mengerutkan keningnya sambil berpikir. "Apa mungkin Gio menyukaimu?""Aku tak tahu, Bu.""Kalau benar, maka jauhilah, Nak! Sakit hati Ibu memang sangat dalam,
Harga diri laki-laki.Part: 5***Maya mencoba menyadarkan Mikayla. Sedangkan Asih tak peduli sama sekali. Luka di hati wanita paruh baya itu sudah berkarat. Hingga untuk melunturkannya butuh waktu lama, bahkan tak akan mungkin bisa kembali pulih."Tuan, tolong ambilkan minyak angin yang ada di atas meja itu!" Gio dengan sigap bergerak. Maya mengoleskan ke hidung, dan bagian belakang leher Mikayla. Perlahan Mikayla mulai sadar, Maya juga memberikan minum."Minum dulu! Kamu pasti syok," ujar Maya.Mikayla meneteskan air mata, ia duduk dan langsung memeluk Asih dengan erat."Maafkan saya, Bu. Saya tidak tahu kalau ternyata Ayah dan Bunda saya pernah menoreh luka begitu dalam pada keluarga Ibu," lirih Mikayla terisak.Asih bergeming, ia tak membalas pelukan Mikayla. Dalam hati Asih pun ikut menangis.Siapa yang harus dipersalahkan?Mikayla?Bukankah Mikayla tak tahu apa-apa?"Sekarang kamu sudah tahu semuanya. Lalu apa tanggapanmu?" tanya Maya datar.Mikayla melepaskan pelukannya, dan
Judul: Harga diri laki-laki.Part: 4***Pagi harinya, Gio bangun dengan disambut wajah cemberut oleh Delisa."Hey, Anak Papi! Kenapa wajahnya masam di pagi hari ini?" tanya Gio sambil menaikan Delisa di atas pangkuannya."Delisa marah sama Papi," ujar Delisa."Lho, marah kenapa?" Gio menautkan alisnya menanggapi ucapan putri tercinta."Tadi malam Delisa sudah siap-siap buat makan di luar, tapi Papi malah tidur cepat.""Oh, jadi itu alasan Delisa marah?""Iya."Mikayla hanya mendengarkan sambil tersenyum."Baiklah, sayang. Sebagai tanda maaf Papi. Hari ini kita jalan-jalan sampai sore. Mumpung wekeend," ujar Gio."Beneran, Pi? Asyik! Mami siap-siap yuk!" ajak Delisa antusias.Mikayla ikut senang. Ia dan Delisa langsung bergegas untuk bersiap.Sedangkan Gio hanya berniat membahagiakan putrinya.--Kini Gio, Mikayla dan Delisa bermain di area taman. Tak jauh dari sana juga ada restoran. "Sayang, kita makan siang dulu yuk!" ajak Gio pada Delisa."Ayo, Pi." Sementara Mikayla seperti ta
Judul: Harga diri laki-laki.Part: 3***"Bu, boleh aku menanyakan sesuatu?" tanya Maya pada Ibunya."Tanyakan saja, Nak!"Maya menarik nafas berat, kemudian bertanya. "Dimana kuburan Ayah?"Asih bergeming, seketika mata tua itu langsung berembun.Maya tahu, sang Ibu pasti tak suka membahas soal ini. Namun, Maya sangat penasaran."Baiklah, Maya. Ibu rasa ini sudah waktunya memberitahumu," ucap Asih.Maya mendengarkan dengan serius."Ibu akan mengantarkanmu ke tempat pemakamannya besok. Setelah itu tidak perlu menanyakan tentang Ayahmu lagi pada Ibu.""Maafkan aku, Bu. Sebagai seorang Anak, aku hanya ingin mengunjungi Ayahku. Walaupun kenyataannya Ayah sudah berbuat tidak adil pada kita. Namun, Ayah sudah tak ada. Bukankah sebaiknya kita memaafkan kesalahannya?"Asih Terdiam. Sakit hatinya masih belum hilang. Saat itu Arkan Santosa sukses dalam usahanya. Kehidupan Asih dan keluarga berubah drastis.Maya yang berusia dua tahun, belum mengerti apa-apa. Asih merasa suaminya berubah semenj