Langkah Arabella terhenti di sebuah rak susu bagi ibu hamil. Pilihannya jatuh pada satu merek belakangan ini sering diminum walau sebenarnya tak menyukai sama sekali. “Demi bayiku, apapun terbaik untuknya akan dilakukan,” paksanya cepat sambil meraih satu kotak di rak paling atas.
Oh, sial! Kakinya terlalu pendek, begitupun tangan, namun terus berjinjit menarik kemasan susu.“Sini biar kubantu!” Seseorang berseru di belakang punggung.
Sontak Arabella berbalik memandang pria asing yang telah menolong. “Terima kasih, oh tidak-kk, kau... ?“ Suaranya tiba-tiba tercekat hebat, dan bola mata membelalak tak percaya. Lalu tubuh yang mungil bergidik mundur menabrak rak.
“Hey, ada apa, kenapa melihatku takut begitu?” tegur seorang pria bertubuh tinggi dan besar khawatir wanita muda terus memegangi kandungan mencegahnya mendekati. “Bukankah ini susu yang kau cari?”
Ia menggeleng tanpa sadar menepis kuat hingga kotak susu itu terlempar jauh. Kakinya mulai melemah, dan jantung berdebar kencang tidak beraturan. “Maaf, aku harus pergi!” sahutnya, melawan situasi semakin tak nyaman sebelum bintang-bintang bermunculan mengelilingi pikiran. Seiring kegelapan mendadak datang menerjang.
“Oh, Tuhan, tolong selamatkan aku!”
Arabella tumbang namun diselamatkan pria asing menolongnya sekali lagi sebelum luruh jatuh ke lantai.
----------
“Tuan Leonardo, apa yang sebenarnya terjadi?” Lawrence terkejut, sebagai sopir dan pengawal pribadi ketika menemukan Tuan Muda sedang membopong wanita hamil lalu bergegas ke rumah sakit terdekat. Sungguh kejadian yang luar biasa. “Bukankah tadi anda hanya ingin membeli minuman di supermarket?”“Diamlah, berhenti bertanya macam-macam karena aku sendiri tak tahu jawabannya sama sekali!” Ia kesal dan panik saat mereka berada di luar ruang gawat darurat. “Aku cuma membantu mengambil sekotak susu dari rak atas, tetapi wanita itu malah ketakutan melihatku, benar-benar aneh!”
Lawrence diam seribu bahasa dibentak keras majikan. Wanita hamil tak dikenal mereka sedang pingsan kini langsung ditangani dokter dan perawat. Sementara Tuan Muda terlihat bimbang berjalan terus bolak balik di seberang ruang gawat darurat merasa tugasnya sudah selesai menolong meninggalkan wanita itu di tempat yang aman.
Namun tak lama kemudian seorang dokter menemui setelah memberi instruksi lebih dulu ke perawat agar membawa pasien baru ke ruang rawat inap. “Tuan, apa kau suaminya?” Dokter Alicia menunjuk langsung ke Tuan Leonardo. “Istrimu masih belum sadar, tensinya tinggi menyebabkan pusing kepala berlebihan, apa tadi dia sempat terjatuh dan membentur sesuatu?”
“Istri-ku?” Leon tergagap lalu melirik ke pengawal tak jauh darinya ikut terkejut atas pernyataan dokter. “Tapi, Tuan Muda, bukan.... “ bela Lawrence, dan kalimatnya langsung disanggah wanita berseragam putih bersih.
“Tuan, masa persalinan istrimu beberapa hari lagi, sebaiknya mendampingi dan membuat dia lebih nyaman. Sekarang kami pindahkan pasien ke ruang rawat inap menunggu kesadaran pulih kembali untuk melakukan pemeriksaan lebih intens.”
"Hey, apa-apaan ini?" batin Leon berteriak kebingungan.
Dokter kandungan telah pergi tak bisa menanyakan masalah wanita hamil kini menjadi tanggung jawabnya. Mereka baru sekali bertemu, bukan pasangan suami – istri disangkakan dokter tadi.
Sungguh sial! Waktunya terbuang banyak mengurus remeh temeh sepulang dari rapat kantor lalu berniat membeli sebotol minuman jadi gagal total gara-gara menemani wanita asing melotot kasar, dan membuang bantuannya mengambilkan sekotak susu.
“Lawrence!” panggilnya kencang di selasar. Emosi Leon kini memuncak. “Bawa tas wanita itu ke sini, dan cepat cek identitasnya, jaga rahasia jangan sampai keluarga atau media pers tahu keberadaan kami di rumah sakit ini!” Perintahnya begitu cepat hingga pengawal melesat keluar menuju mobil. Barang bawaan wanita asing itu tertinggal di sana.
Suara roda brankar rumah sakit berderak ditarik dua orang perawat mengagetkan Leon masih terlalu sulit mencerna kejadian satu jam lalu. Saat melihat paras pucat wanita hamil, hatinya jadi sedikit tersentuh. "Siapa kau sebenarnya?" tanyanya berulangkali. Detik-detik menunggu pasien siuman bagai roller coaster dalam hidup Tuan Leonardo Dario Constanzo.
Akhirnya wanita muda itu membuka mata ketika mereka berada di ruang rawat inap. Pandangan Arabella mulai fokus ke langit plafon dan dinding putih, lalu berpindah ke seseorang yang tampak cemas. "Mengapa aku ada di sini?" Bola matanya melebar marah ke pria brengsek tidak pernah beranjak dari sisinya. "Kau lagi, kenapa mengikutiku terus, pergilah, aku tak membutuhkanmu!" usirnya kasar mencoba bangkit dari ranjang rumah sakit.
Leon berdiri tertegun membiarkan wanita itu melakukan perbuatan nekat pergi dari rumah sakit, turun susah payah dan merapikan baju menutupi perut besar seperti pemain drum. Belum beberapa langkah melewatinya terdengar erangan kencang keluar dari mulut Arabella, dan tak sengaja mencengkram kuat jas hitam segera memeluknya dari sesuatu lebih berbahaya.
"Dokter, Dokter!" teriakan Leon membahana sampai ke tengah selasar. "Dasar perawat bodoh, mereka pergi dalam situasi darurat begini!" Memegangi wanita hamil yang menyusahkan dirinya sejak malam tadi. Erangan kesakitan tak berhenti hampir merusak gendang telinga.
"Arghhh, dasar bajingan, semua gara-gara kau kini aku seperti ini!" Arabella memukul kesal ke dadanya.
Raut Leon semakin pias mendengar omelannya. "Eh, gara-gara aku?" balik bertanya, dan menatap tajam mata wanita asing sedang menahan kesakitan luar biasa. "Hey, aku bukan suamimu, tak pernah mengenal apalagi menyentuh dirimu, jika bukan karena kau pingsan sudah ditinggalkan di supermarket tadi!"
Plak-k! Tamparan keras Arabella di pipi bajingan sebagai balasan kata-kata jahat dilontarkan menghentikan sesaat penderitaan dialami selama berbulan-bulan.
Dokter Alicia segera memisahkan pertengkaran mereka lalu menyuruh membaringkan di atas ranjang. "Tuan, letakkan istrimu, biar diperiksa kandungannya sedang terjadi kontraksi hebat mungkin beberapa saat lagi akan melahirkan." Dan benar saja, air ketuban pecah dari bawah perutnya mengalir deras membasahi lantai putih rumah sakit.
Kontan dokter langsung meminta perawat memindahkan ke ruang operasi membuat situasi kalang kabut karena pasien hamil baru tiba di rumah sakit ternyata segera melahirkan di luar perkiraan mereka. "Tuan, ganti jas dengan baju rumah sakit, anda harus tetap bersama istrimu sampai bayi kalian lahir nanti!" tegasnya tanpa basa-basi lebih memikirkan keselamatan ibu dan bayi.
Keadaan darurat membuat Leon mau tidak mau ikut terlibat di dalamnnya. Sudah kepalang basah ia tak bisa lagi menghindar karena perkataan wanita asing mengukung ke dalam banyak pertanyaan di pikiran. Begitu pun di dalam ruang operasi, Arabella ketakutan menghadapi sendirian. Kesalahan terbesar bajingan itu segera terbayar saat melahirkan bayi tak berdosa di malam ini. Persis di malam petaka dimana semua telah bermula dan kini segera berakhir.
Panik, cemas, khawatir menjadi satu.Tiada seorang datang menemani kecuali pria yang tak pernah diketahui selama ini tiba-tiba saja hadir kedua kali dalam hidupnya. Air mata deras membasahi pipi. Ruang operasi menakutkan dengan perawat hilir mudik menyiapkan peralatan dan dokter bersiap-siap menjalankan tugasnya.
"Nyonya, berhentilah menangis, tenang dan atur nafasmu sebaik mungkin agar bayimu keluar selamat tanpa harus melakukan operasi caesar," saran Dokter Alicia, kemudian meminta pria bersama pasien menenangkan hatinya. "Tuan, tolong hiburlah sejenak istrimu, sebelum kalian menyaksikan bintang kesayangan keluar dari rahimnya melihat dunia."
Leon tersentak penuturan dokter meminta menghibur wanita asing yang menampar dan membentak dirinya. Salah satu cara agar diam dengan membungkam mulut mungil itu dengan mulutnya. Arabella gelagapan, dicium begitu manis dan lembut perlahan berubah mendalam menghanyutkan, melupakan seluruh kejadian yang telah berlalu.
Ketika bibir mereka berpisah, barulah sadar bayi tampan tak sabar melihat kedua orang tuanya.
***Di sebuah villa mewah megah, Rudolf sedang memberi pengarahan ke seluruh karyawan mengenai jamuan makan malam menyambut tamu pemilik villa. "Tugas kalian seperti biasa sebelumnya, jangan sampai ada kekacauan yang terjadi nanti!" Tangan Arabella berpautan gelisah memikirkan bayi Matteo ditemani pengasuh di rumah. Hari pertama yang berat memulai pekerjaan paruh waktu. Selesai jamuan makan, merapikan ruangan dan pulang. "Ayo Bella, jangan diam berdiri di situ saja, sebentar lagi tamu Tuan Duncan tiba!" seru Rudolf mengatur anak buahnya menuju dapur bersiap menyajikan makanan. Tak lama satu persatu tamu undangan tiba memasuki ruangan, senda gurau sebentar dengan tuan rumah sampai akhirnya para pelayan menyajikan makanan pembuka hingga penutup. Pesta jamuan makan berlangsung hanya beberapa jam, selebihnya hanya tinggal beberapa tamu masih menikmati minuman dan percakapan penting. Ia pun bersiap pulang bersama teman kerja, hatinya terasa tak karuan jika harus meninggalkan Matteo sen
Musim dingin yang kejam kini lebih hangat dengan kehadirannya. "Aihhh, betapa tampan dirimu, sayang," puji Celine tiada habis menggendong bayi sahabatnya. "Ayahmu pasti juga sama rupawan seperti dirimu!" Ia menikmati waktu sebelum bekerja lagi di shift malam. "Sudahlah, letakkan Matteo di ranjang, berdandanlah dari sekarang dan segera berangkat," tegur Arabella ke sahabat karib terus memanjakan putranya. "Oh ya, jangan lupa tanyakan ke Rudolf, bila membutuhkan karyawan baru!" Celine menggeleng, "Anakmu baru berusia tiga bulan, kenapa harus ditinggalkan lagi?" protesnya keras. "Dia masih butuh asimu, Bella!" Namun ia malah bersikeras ingin tetap bekerja. "Kami perlu makan dan sewa tempat tinggal, tabungan sudah habis begitu juga uangmu aku pinjam gara-gara harus membantu melarikan diri dari Milan," sahutnya tak mau kalah. "Oh, Bella." Dipeluk gadis sebaya dengannya yang terus mengalami kesusahan belakangan ini. Hamil tanpa suami, diburu oleh ayahnya bayi. "Mengapa tak bilang k
"Dokter yakin hasil tes DNA ini benar-benar menunjukkan aku-lah ayah dari Matteo?" seru Leonardo tak percaya berharap dugaannya salah. "Perlukah untuk mengambil sampel ulang agar bisa dianalisa kembali?" Ia merasa bimbang data laporan diberikan tertera 99 persen akurat dan tepat, bayi itu darah dagingnya keturunan Dario Constanzo. Sang dokter memaklumi sikap penolakan klien. "Tidak menjadi masalah bagi rumah sakit menguji ulang lagi, asalkan Tuan dan bayinya hadir dalam pengambilan sampel," ujarnya bijaksana demi kebenaran diinginkan kedua pihak. "Hasilnya keluar dua minggu lebih cepat dengan proses yang hati-hati di laboratorium kami." "Terima kasih!" Leonardo langsung keluar ruang periksa setelah konsultasi selesai. Di selasar, Anthony bergegas menemuinya menanyakan hasilnya. "Kau sakit apa, dan bagaimana hasilnya setelah bertemu dokter?" cecarnya khawatir. Tuan Muda malah menyerahkan secarik kertas analisa dari laboratorium. "Hei, ini tentang apa?" tunjuknya bingung tak me
Dua minggu berlalu. Leon tidak pernah menghubungi atau menanyakan keadaan Arabella. Perjalanan bisnis berlanjut dari Napoli ke kota lain. Situasi yang tegang di antara mereka kian membuat jarak semakin jauh. Hanya sedikit waktu Tuan Muda menyempatkan bicara lewat panggilan video-nya untuk Matteo. Pelayan Anna senang menunjukkan bayi lucu sering tertawa ketika mengobrol dengan tuannya begitu akrab seperti ayah dan anak. Dari jauh Arabella menatapnya pedih. Kebahagiaan Matteo jika memiliki ayah yang peduli, tapi rasa takut bila tidak menerima ibunya telah menyembunyikan kehamilan selama ini. Dia tak mau menjebak Leonardo, bahkan ingin merawat bayinya sendirian. Hatinya kini menuntut sebuah pelarian lagi. "Aku harus secepatnya keluar dari sini selagi dia belum kembali ke mansion, jangan sampai terlambat lagi!" pikirnya berulangkali. Pengawal dan pelayan bersikap baik menghormati seakan dia nyonya rumah dengan memenuhi segala keperluan sesuai perintah tuannya. Seharusnya tiada al
Pukul dua dini hari. Botol minuman dituang kembali ke gelas. Meneguknya tandas mengisi berulangkali menghilangkan rasa kesal. Ulah wanita sialan yang menampar begitu membekas lalu berlari di saat bayinya menangis kelaparan. Alasan terbaik menyingkir sebelum bisa membalas lebih kejam atas perbuatannya. Leon menarik laci mencari botol minuman berharga mahal yang sering menemani kesendirian. Tangannya tak sengaja meraih sesuatu yang unik; sebuah kalung dengan liontin oval. Sudah lama ia menyimpan tanpa tahu siapa pemiliknya. "Bukan ini yang kucari!" Dilempar di atas meja begitu saja, lalu mengambil botol, dan meneguk tanpa gelasnya lagi. Sebatang rokok di tangan membimbing lamunannya ke dunia khayalan; membayangkan Arabella lembut mengajak bercinta semalaman. "Oh, kau memang wanita begitu istimewa," gumannya tak berdaya. Baru kali ini merasakan seorang wanita mampu menjerat hatinya dengan cara berbeda. Bukan tampilan cantik berwajah palsu seperti bekas tunangan. Ya, Esperanza b
Di selasar rumah sakit, Arabella terkejut kedatangan pria itu tepat waktu ketika mereka baru saja dipanggil dokter Eric ke ruang periksa. Beberapa menit kemudian Matteo dicek demamnya mulai menurun, dan thermometer menunjukkan sebuah angka normal. Dosis obat yang diberikan sesuai dengan umur bayi itu sejak dilahirkan. "Tuan dan Nyonya Leonardo Dario Constanzo, kondisi putra kalian baik-baik saja, mohon perhatikan asupan asi termasuk pola makan ibunya juga mempengaruhi," ucap dokter setelah pemeriksaan menyeluruh. Panggilan nyonya diabaikan Arabella sejenak. Ia lebih antusias keadaan Matteo menanyakan banyak hal soal kebutuhan makan dan minumnya, "Mengapa bayiku terus menyusui dalam sehari 7-8 kali di minggu-minggu awal kelahirannya?"Ia kelelahan bangun setiap malam, namun tugasnya menjadi seorang Ibu memaksanya terus bertanggung jawab demi bayinya. "Itu hal yang normal, Nyonya," jawab Dokter Eric tenang. "Bagi ibu menyusui bayi laki-laki memang butuh asi lebih banyak di bulan per