เข้าสู่ระบบLawrence tergesa-gesa ke rumah sakit membawakan pakaian ganti Tuan Leonardo, mengetuk pelan pintu kamar pasien menemui boss berada di dalam sejak tadi malam.
Leon menyuruhnya keluar sementara dia berganti baju, dan membiarkan pasien tidur tenang setelah melalui operasi kelahiran yang melelahkan. Bayinya tampan telah belajar menyusui, lalu dikembalikan ke ruang perawatan. Sepuluh menit kemudian, Leonardo mengajak Lawrence berbicara di luar. "Apa yang kau dapatkan tentang wanita itu?" Sebuah kartu identitas disodorkan padanya, keterangan tak berguna dijelaskan pengawal dalam beberapa kata, "Tidak ada yang istimewa darinya, Tuan," jawabnya gugup. "Maksudmu?" Dia mengernyitkan dahi, membaca nama Arabella tertera di sana. "Adakah riwayat kriminal, atau catatan lain tentang keluarganya?" tanyanya lagi. Jawaban yang sama, pengawal tak mengetahui seluk beluk wanita bernama Arabella. "Tidak ada sama sekali, Tuan. Semua sudah diperiksa lewat kolega di kepolisian," Lawrence mengakhiri perbincangan mereka. Konyol-! Benar-benar aneh, tak ada riwayat apapun mengenai Arabella harus diketahui Leon saat ini. Wanita itu seolah kutukan baginya tak mampu dilepaskan begitu saja. Ciuman mesra mereka di ruang operasi menggugah perasaan untuk mengenal lebih dalam wanita misterius yang melahirkan bayi tampan di sisinya. "Kau tunggu di sini, aku akan keluar sebentar menyelidiki semua ini!" perintah Leonardo tegas. Beranjak cepat keluar, menutupi kepala dengan tudung jaket dan kaca mata hitam tanpa perlu diketahui oleh banyak orang di sekeliling. Mobil hitam mewah kencang melaju pergi dari area rumah sakit. Kepalanya mulai terasa pening. Kebingungan tiada habis berjam-jam bersama wanita asing, namun belum mendapatkan informasi utuh soal dirinya. Kini yang Leon butuhkan santai sejenak di bar ditemani minuman dan teman kencan penghibur dari keletihan sepanjang malam. ---------- Hari Ke Empat Arabella masih berada di rumah sakit dengan kondisi sudah lebih baik setelah melahirkan bayi secara normal. Dokter memberi banyak saran merawat bayi ketika mereka diperbolehkan pulang sore ini. "Jaga dirimu baik-baik, dan banyaklah istirahat setelah melewati masa melelahkan. Suami-mu memahami apa yang dialami tidaklah mudah, gangguan psikologi pun bisa terjadi bagi seorang ibu. Segeralah konsultasi mengatasi gejalanya sebelum kian berlanjut." "Baiklah, terima kasih atas bantuannya. Sebaiknya aku berkemas sekarang, dan mengurus administrasi." Arabella merasa cemas, berhari-hari di rumah sakit tak sanggup memikirkan biaya ditanggung setelah keluar dari sini. Disibak selimut dan beranjak pelan, memulai kehidupan panjang bersama putranya. Dokter Alicia melihat kegugupan istri dari suami tampan dan kaya raya, dan berkata, "Tuan Leonardo mengurus sejak awal anda masuk rumah sakit, tapi di mana dia sekarang? Dan mengapa belum menjemput nyonya untuk pulang bersama?" Sejak kemarin pasien ditinggalkan sendirian mengurus bayinya, dan hanya ditemani pengawal yang berjaga di luar. Arabella tersenyum menutupi kejanggalan terjadi di antara dia dan bajingan bernama Leon. Lebih baik pria itu memang tidak muncul selamanya dalam hidupnya lagi. "Oh, mungkin sedang sibuk rapat di kantor. Lawrence yang selalu menemaniku di sini," sangkalnya dengan alasan dibuat-buat. "Jika dokter tidak keberatan, aku pulang sekarang bersama bayiku." Tidak ada siapapun yang bisa menahan lebih lama di rumah sakit. Arabella dan bayinya pergi sejauh mungkin dari Leon. Pertemuan empat hari lalu merupakan petaka kedua baginya. Bajingan itu sungguh tak mengenalinya saat di masa lalu. Suatu kesempatan cantik meninggalkannya tanpa perlu menjelaskan apa-apa. Baru saja selesai berkemas barang bawaan, terdengar suara bariton menyebut namanya. "Hai, Bella!" Terasa kaku lidah Leon pertama kali memanggil nama wanita asing itu. "Tadi aku bertemu dokter di selasar, dan bilang kalian boleh pulang hari ini." Tanpa sadar manik birunya menyapu ke kamar pasien yang dipenuhi buket bunga segar, balon menyambut sang bayi menggantung sampai ke plafon, dan sebuah boneka beruang besar berada di sudut kamar. "Dasar Lawrence brengsek!" Umpatnya pelan. Leon tak mengira pengawalnya menghias aneka rupa di ruang rawat wanita asing itu sehabis bersalin empat hari lalu. "Terima kasih, Tuan!" Arabella ketus. "Aku pulang sendiri membawa bayi. Tolong tinggalkan saja nomor telepon dan rekeningmu, biar ku bayar setelah urusan rumah sakit selesai." Begitu cepat kata-katanya kasar terlontar demi pergi menghindari bajingan itu, dan segera memanggil taksi, lalu menghilang dari hidupnya. Sikap pria itu malah biasa saja, duduk tenang di atas ranjang menatapnya lekat, sambil bertanya, "Di mana kalian tinggal? Biar aku antar pulang sampai ke rumah!" Arabella menggeleng tidak setuju, berhutang budi lebih banyak dari yang disanggupi, belum lagi biaya untuk melahirkan di rumah sakit mewah dan mahal butuh bertahun-tahun bekerja keras melunasi. "Tidak, tidak! Kau tak perlu bersusah payah mengantar kami pulang, sudah cukup bantuanmu beberapa hari ini!" cegahnya kuat-kuat. Tiba-tiba seorang suster menyela perdebatan datang membawa bayi laki-laki terbungkus selimut berwarna biru, lalu menyerahkan ke ibunya. "Putra kalian sangat tampan dan pintar, jarang sekali rewel selama di ruang perawatan." Lalu, suster kedua menyiapkan kursi roda mengantar ke teras rumah sakit, "Silakan, Nyonya, bila anda sudah siap." Tuan Muda tak tinggal diam menyuruh pengawalnya mengangkat tas bawaan pasien mengiringi mereka keluar. Suasana hening di sepanjang perjalanan. Arabella memeluk erat bayi yang belum sempat dia berikan nama sejak lahir. Pikiran mengawang-awang melanjutkan petualangan hidup tanpa suami dan ayah bayinya. Leonardo terus mendorong kursi roda perlahan, sesekali memandang ibu dan bayi yang menjadi bagian dari teka-teki dirinya. Oh, sial-! Dari jarak jauh melihat keramaian di luar lobby. Para wartawan menghembus berita panas soal pengusaha kaya raya dan wanita misterus memeluk bayi. "Lawrence!" bentaknya kesal. "Sudah berapa kali aku bilang, tutupi semua rahasia selama kami di rumah sakit! Mengapa mereka datang menyerbu ke sini?" Dia tak mungkin mundur, semua sudah terjadi di depan mata. Yang dikhawatirkannya, psikologis Bella dan bayi tak menerima situasi heboh menyerang mereka semua. Dasar wartawan keparat! "Tuan, aku sudah berusaha merahasiakan identitasmu dan wanita itu, pihak rumah sakit juga tidak ingin ada kegaduhan mengganggu pelayanan pasien." Dengan cepat Lawrence menyingkirkan wartawan yang mendesak bos-nya segera membuat pernyataan pers. "Pergilah kalian! Jangan berkerumun di sini, ini urusan pribadi, bukan konsumsi publik!" Tak berapa lama, keamanan rumah sakit bekerja keras mengalihkan perhatian pemburu berita membiarkan pasien dan keluarga pulang dengan tenang. Tubuh Arabella gemetar ketakutan memeluk bayinya, dan berusaha menutupi wajah mereka dari liputan pers yang mengerikan. Dia tak mengira, bajingan itu ternyata pria terkenal, bukan orang biasa. "Tuan, biarkan kami pulang sendiri, pergilah selamatkan anda!" desaknya keras, menghindar dari kericuhan yang mulai mengganggu ketenangan tidur sang bayi. Suara tangis bayi kencang, berbaur teriakan wartawan yang terus menyerang. "Tuan Leonardo, siapa wanita itu, dan bayi yang dibawanya?" Lalu, cecaran pertanyaan lainnya, "Apakah mereka anak dan istri-mu, sejak kapan kalian menikah, dan mengapa publik tak tahu tentang kebahagiaan kalian selama ini?" Lawrence buru-buru menghalau wartawan mengikuti mereka ke mobil. "Tenanglah, Tuan Leonardo segera memberikan pernyataan, tolong biarkan mereka pulang beristirahat lebih dulu!" Secara cepat Leonardo mengangkat Arabella dari kursi roda ke dalam mobil. Sebelum menutup pintu, berbalik berbicara ke wartawan, "Anak dan istri-ku pulang ke mansion bersamaku, sebaiknya kalian pergilah sebelum keadaan menjadi kacau!" Sebuah ancaman tegas membuyarkan keinginan pihak media massa yang berangsur menyingkir. Dua mobil baru saja datang di belakang, membawa pengawal pribadi yang ditarik dari perusahaan untuk mengatasi masalah mereka. Dengan garang, enam pria berbadan kekar menyusun barikade, membiarkan mobil boss mereka bebas pergi dari kepungan wartawan, lalu menyusul cepat keluar area rumah sakit mengawal sampai ke mansion. ***"Hai, Ben!" sapanya genit saat membuka pintu untuknya. "Apa kau sudah makan malam?" tanyanya pura-pura perhatian. "Tidak, aku belum lapar. Ayo masuklah kita minum dulu berbincang di dalam saja," ajaknya melepaskan mantel sekretaris Eliza. Wow-! Gaun malam seksi terlihat membahayakan matanya. Sekretaris CEO tak main-main melancarkan aksi malam ini. "Silakan duduk, aku ambilkan minum untukmu dulu," beranjak ke dapur menyiapkan dua gelas dan sebotol wine. Eliza tak sabar langsung memeluknya dari belakang. "Kau begitu tampan, sayang," menyentuh seluruh tubuh yang gagah dan masih muda tak seperti ayahnya. Benedict menantangnya, berbalik menghadapi wanita iblis penggoda rumah tangga orang tuanya. "Kau pasti kesepian setelah Papa Enzo tiada?" to the point. "Ternyata kau tak sebodoh yang dikira selama ini. Tuan Enzo sangat baik padaku, awalnya cuma berkeluh kesah soal Caterina yang sering berselingkuh. Hingga akhirnya kami terus bersama bercinta di kantor dan di hotel." Pengakua
Don Riccardo yang berada di Roma langsung kembali ke Napoli. Perjalanan bisnisnya dipersingkat membantu Leonardo menemukan sepupu yang diculik seseorang tak diketahui. Di ruang kerja, mereka berkumpul mengatur strategi. Pengawal Julian di Milan sedang meretas lokasi terakhir dari nomor gawai Marilyn yang digunakan. "Tuan Leonardo, posisi mereka masih di luar apartemen bukan wilayah yang jauh. Setelah itu nomornya tak bisa dihubungi kembali, musuh sengaja membuang gawai untuk menghilangkan jejak," melapor dengan cepat. Bastardo! umpatnya kesal. "Kita kehilangan jejak penculik Marilyn sejak empat jam lalu, semakin lama tidak terlacak, kesempatan mereka terus menyakiti adik sepupuku!" "Tenanglah Leon, pengawalku menyisir apartemenmu. Kita tunggu laporannya dulu," tukas Don Riccardo. Raut Benedict murung. Nyawa Marilyn diujung tanduk. Bingung menyelamatkan hidupnya jika mereka belum bergerak mengejar musuh. "Apakah tak sebaiknya ikuti perintahnya saja, menukar aset warisan
Mansion berubah ramai, Zio Enzo disambut baik semua orang setelah sebulan penuh dirawat di rumah sakit. Leonardo bersikeras paman dan keluarganya berlibur panjang di kediaman Dario Constanzo. "Kenapa Papa tak boleh pulang ke Napoli?" sungut putri bungsu sebal. "Daripada kami harus bolak balik untuk menjenguk ke Milan." "Hey!" Don Constanzo mengomel. "Kami tak kembali ke sana jika kalian belum mampu mengurus perusahaan ayahmu!" Benedict membela Marilyn, "Tapi, II Nonno, sepenuhnya manajemen bisnis masih dipegang Xavier. Dasar Leon brengsek! Gara-gara merger perusahaan, kami malah jadi budaknya!" Plak-! Dengan cepat mengeplak kepala. "Perusahaan ayahmu tak akan pernah aku kembalikan ke kalian jika memakai gaya bisnis seperti ibumu lagi!" Ketiga anaknya langsung tertawa melihat ayah dan sepupu terus berseteru di depan mereka. Raut Arabella merengut perlakuan suaminya memang kasar meski mereka bersaudara. "Leon, jangan begitu! Kakakku pasti mau mengajarinya sampai Ben dan Mar
Hari berduka kembali bagi keluarga Enzo Constanzo setelah Caterina mengakhiri hidupnya secara tragis. Jasadnya ditemukan di apartemen bersama dua orang tanpa busana. Leonardo menyuruh pengawal memendam mereka di tempat yang jauh tak diketahui orang banyak, kecuali Zia Caterina yang dikremasi, lalu abunya dilarung ke Teluk Napoli. Benedict, putra sulung, terus termenung sejak semalam melihat kenyataan pahit ibunya berkhianat terhadap keluarganya sendiri. Bajingan Raffaele menjerumuskan istri Enzo Constanzo ke dalam jurang yang dalam setelah diselidiki aliran dana ke bisnis properti yang tak menguntungkan. Semua karena harta ayahnya dikeruk habis demi cinta bertepuk sebelah tangan. Isabelle, gadis muda lebih bodoh dari Caterina terjerat pesona pria paruh baya, atasannya. "Sudahlah, semua telah terjadi," hibur Leonardo. "Kau sekarang masih memiliki adik yang perlu dijaga sampai dia dewasa." "Mengapa kau tak mencegahnya sebelum itu terjadi?" Benedict menuding. "Ibuku seperti
Caterina mencoba menghubungi Raffaele namun tak diangkat panggilannya beberapa kali. Mengajaknya bertemu di apartemen rahasia mereka. Dasar brengsek! umpatnya bertambah marah setelah pertemuan merger perusahaan yang menyesakkan hatinya. Kegagalan menguasai aset Enzo membuatnya kalang kabut tak bisa mendanai bisnis properti mereka. Baru saja dia membuka pintu mobil, sebuah pesan penting dikirimkan oleh Raul. "Nyonya, kekasihmu sedang bercumbu di apartemen saat ini! Sebaiknya kau segera ke sana memeriksanya." Bajingan kau, Raffaele! desisnya kencang. Kemudian menelepon pembunuh bayaran pernah disewa dua minggu lalu. "Darimana kau tahu hal itu? Jangan macam-macam jika berani berdusta padaku!" Dengan serius dia menjawab, "Aku melakukan ini tanpa dibayar menyelidiki siapa sesungguhnya bajingan yang kau cintai sampai suamimu sendiri harus dihabisi!" "Lalu, apa buktinya dia mengkhianatiku?" Caterina tidak mau dipermainkan lagi. "Okay, aku kirimkan photo mereka bermesraan saa
Jejak pembunuh bayaran ditemukan hampir melintasi bandara Napoli menuju Spanyol. Master Anthony dan dua pengawal Don Riccardo menyeretnya ke mobil. "Hey, siapa kalian?" Raul memberontak. Master Anthony menodong senjata ke musuh, "Diamlah bedebah!" "Apa yang kalian inginkan dariku?" tanyanya tanpa bersalah mengira mereka salah tangkap. Bugh-! Sebuah tinju melayang membuatnya pingsan. Setengah jam kemudian dibawa ke sebuah gudang di pelabuhan menemui tuan mereka, terbangun dengan kaki dan tangannya diikat di sebuah kursi, mulutnya disumpal kain. "Leon, ini orangnya yang menembak pamanmu, Enzo!" "Biarkan dia bicara sebelum kalian menembaknya!" Raul ketakutan membela diri. "Hey, aku hanya disuruh seseorang, dan tak tahu jika itu pamanmu!" Bugh-! Leonardo menghajar kembali. "Jalang keparat yang menyuruhmu, bukan?" "Ampun Tuan!" meminta agar tak dipukul lagi. "Tugasku menghabisi dua orang bernama Enzo, dan Carlotta. Dia membayarku sangat banyak." Bukti transfer di ga







![Penyesalan Tuan CEO [Mantan Kekasihku]](https://acfs1.goodnovel.com/dist/src/assets/images/book/43949cad-default_cover.png)