"Dimana Arabella dan Matteo?" teriakan Leon kencang membangunkan seisi penghuni mansion, memeriksa kamar utama yang telah dibersihkan dari serpihan kaca digantikan lebih bagus seperti semula.
Namun, dia tidak menemukan wanita itu berbaring di atas ranjangnya, dan bayi laki-laki yang seharusnya berada di kamar seberang pun tak ada. Keduanya telah menghilang tanpa sepengetahuannya. "Anthony, Lawrence; brengsek kalian!" Berulang-ulang di atas tangga memandang pengawal dan pelayan bergegas menghadap majikan di tengah malam. "Anna, Lorenzo, kemana mereka pergi, dan mengapa kamarnya kosong?" Semua menunduk tidak berani menjawab pertanyaan, kecuali Anthony yang beranjak menemui dan menyuruh lainnya pergi tidur lagi. "Sebaiknya kita berbicara di ruang kerja ayahmu saja, kebetulan aku belum tidur, menunggu kau pulang sejak tadi malam." Mengawasi kegundahan putra mahkota sepulang dia bersenang-senang bersama kekasih model cantik, tapi ternyata tetap kembali ke mansion mencari dua orang yang tak lagi asing baginya. Fenomena aneh tapi nyata, seseorang butuh orang lain sebagai pegangan di kala sedih dan rindu. "Dimana Arabella dan bayinya?" Leon sudah tak sabar menunggu jawaban pengawal ayahnya setelah duduk di sofa, dan membiarkan mengambil minuman untuk mereka. "Kau sengaja melepaskan mereka, setelah mengetahui aku pergi menemui Esperanza tadi pagi!" Dengan kasar merampas gelas yang disodorkan, lalu meneguk tandas tanpa tersisa, dan menuang ulang tanpa bantuannya. Anthony menahan sabar menaruh gelas di atas meja. Berbagi sekotak rokok dengan Tuan Muda, dan memulai pembicaraan kedua kali terjadi di waktu dini hari. "Bukankah dari awal kau bilang sendiri, mereka bukan anak dan istrimu. Kenapa sikapmu sekarang malah ingin melindungi?" tanyanya penasaran, menggali sesuatu yang hilang dari pencarian soal Arabella. "Pagi tadi Bella ditinggalkan begitu saja olehmu, tanpa ingin merawat luka yang disebabkan tunanganmu. Lalu, untuk apa dia bertahan di sini, jika tuan rumah keluar menghindari kekacauan?" Wanita mungil pergi tidak membawa apa-apa seperti keadaan semula mereka bertemu. Bayi Matteo sedang tertidur dalam gendongan Arabella, lalu pamitan dan meminta maaf atas kesalahan merusak kenyamanan seisi penghuni mansion. Anthony memang melepas kepergian menggunakan sebuah taksi, namun Lawrence ditugaskan diam-diam mengejar keduanya mengikuti kemanapun mereka pergi. "Sorry, bukan maksudku mau memarahi semua orang," tukas Leon di samping orang kepercayaan keluarga. "Tapi, Arabella tak memiliki siapapun di negeri ini, dan kita belum mengetahui orang tua atau kerabat, lalu bagaimana bisa kabur begitu saja membawa anaknya yang baru dilahirkan, dan mengurus semua sendirian?" Dia hanya khawatir bila terjadi sesuatu dengan mereka berdua. "Apa kau mengirim seseorang untuk mengintai di mana dia tinggal sekarang?" Asap mengepul dari mulut Anthony seolah menjawab sesuai pertanyaan putra Dario Constanzo. Kini pukul empat pagi, Arabella lelah tertidur setelah menyusui putranya. Tak perlu lagi takut diancam dan dilukai oleh kekasih bengis Leon, saat terbangun ketika matahari menjelang seperti kejadian kemarin. Situasi lebih baik daripada berada di mansion, sesuai keinginan busuk Esperanza. "Berhati-hatilah memutuskan sesuatu yang tak bisa diselesaikan di kemudian hari; Arabella dan Matteo memang ditakdirkan hanya hidup berdua, karena kau bukanlah suami, ataupun ayah bayinya!" Master Anthony mengakhiri percakapan dengan sekali tegukan tandas. Rasa kantuk mulai mengalahkan logika. Berkata penuh omong kosong tiada guna. Mereka membutuhkan tidur mengembalikan energi yang terkuras, demi mencerna hubungan putra Dario Constanzo dengan dua orang wanita, dan seorang bayi tampan yang belum diketahui siapa ayahnya. ----------------- Berat rasanya bagi Arabella bangun setelah tengah malam Matteo rewel terus disusui, namun tetap tak mau tertidur nyenyak mengganggu ibunya agar menimang hingga pukul tujuh pagi. Sofa bed bukanlah tempat nyaman bagi mereka. Flat terlalu kecil menjadi satu antara dapur, ruang tamu dan tempat tidur; yang hanya mampu disewa Arabella selama tiga bulan. Kepindahan dari kota kecil di Perancis ke Italia adalah kebodohan terbesar baginya. Dia tidak sengaja bertemu bajingan itu lagi, padahal telah berusaha melupakan dan mencampakkan jauh-jauh hari. Kini mereka harus pergi lagi, dan Arabella harus bekerja keras mengisi tabungan terkuras memenuhi kebutuhan saat kehamilan datang tanpa direncanakan. "Harus kemana lagi aku meminta pertolongan?" lirihnya pelan mengusap pipi Matteo yang kian memerah. Ketukan keras di pintu membuatnya terkejut, bukan seperti Nyonya Alda yang begitu lemah lembut datang menjenguk. Terburu-buru dia membuka, dan bajingan pengganggu tersenyum sambil membawakan sarapan. "Pagi Bella, sepertinya kau belum sempat makan sejak semalam?" Leon langsung masuk tanpa diundang, dan berdiri sejenak menatap flat kecil berisi perabotan yang sederhana di dalam. Tatapannya tertumbuk di sofa kecil berubah menjadi ranjang. Di sanalah Matteo tertidur tanpa alas tebal, bukan seperti di mansion miliknya. Tanpa mainan juga bantal empuk di sekelilingnya. Menyedihkan! "Apa yang kalian lakukan di sini?" tegurnya khawatir. Arabella semakin tak senang atas kehadiran pria yang mengamati seisi flat mencemooh kehidupannya. "Kami tak mengundang dan menginginkanmu, pergilah urus kekasihmu sendiri!" Begitu jelas dia mengusir keluar dari segala kerumitan rahasia yang telah disimpan selama ini. Bajingan itu tak bergeming malah duduk di kursi, membuka bungkusan besar mengeluarkan semua isinya di atas meja. Bau harum semerbak makanan, segelas kopi dan susu coklat hangat tercium menggugah selera. "Makanlah bersamaku lalu kita bicara soal alasanmu meninggalkan mansion," ujar Leon mengajak Arabella mengambil kursi di samping. "Duduklah, jangan kaku seperti batu, bertengkar butuh energi dan semalaman kau lelah menyusui anakmu!" Kali ini ia memerintah bukan berbaik hati setelah kesal semalaman menunggu di mobil, mengintai tempat tinggalnya menunggu pagi datang. Lawrence mencari sarapan tak jauh dari mereka berada kemudian pulang. Wanita mungil itu tetap tertegun sampai Leon menyeret lengannya, dan memberikan sepotong kue lezat. "Kau ingin disuapi pakai tanganku atau mulutku?" godanya mengurai suasana kaku di antara mereka. Bola mata Arabella melebar, merampas kue darinya tak mau bergurau lagi. Tawa kecil terdengar dari mulut bajingan yang menganggap kejadian kemarin cuma lelucon. Dia makan tanpa selera, walau perutnya lapar belum sempat membuat sarapan. Kali ini Arabella memilih diam dan mengunyah lebih menyenangkan daripada berbicara. Putra Dario Constanzo lekat mengamati wanita selalu bersamanya belakangan ini. Begitu natural, cantik alami tanpa make up tebal sejak bertemu pertama kali. Tubuh pendek darinya tak mampu mengambil kemasan susu di rak paling atas; lalu, berjinjit kaki dengan perut tambun, sungguh pemandangan yang menggelikan menggerakkan hati Leon untuk langsung membantu. Kesempatan dia bertanya lebih jauh, mengapa Bella ketakutan saat melihatnya, lalu pingsan dan tersadar di rumah sakit langsung memaki kemudian menampar tanpa tahu kesalahan yang diperbuatnya. Sarapan lumayan mengenyangkan dan menenangkan. Mereka pun menyeruput minuman hangat sesudahnya. "Terima kasih atas makanannya; sekarang kau boleh pergi, dan jangan pernah kembali lagi!" ucap Arabella, beranjak menuju pintu menyuruh pria itu keluar dari flat. Namun, lengannya dicengkram bajingan yang tak mau diusir, menyuruhnya duduk mendengar kemarahannya. Dasar pria gila-! Umpat Arabella menepis tangan kasar. "Kini giliranku berbicara, kau yang menjawab seluruh pertanyaanku!" Leon menatap garang, sikapnya jauh berbeda seolah menghukum pengawal. "Kenapa kau begitu takut melihatku pertama kali? Apa memang kita pernah bertemu, dan saling mengenal sebelumnya di suatu waktu?" Tangan kecil Arabella berpautan gelisah. Bajingan itu sedang menyelidiki soal dirinya, dan tak melepaskan sama sekali. "Tidak, kita tidak pernah bertemu!" berdusta menutupi sepotong kisah petaka, akhirnya menjebak mereka di flat ini. "Maaf, aku tidak sengaja menamparmu di rumah sakit karena menahan kesakitan, ketika kontraksi yang hebat sebelum air ketuban pecah saat itu." Penjelasannya sedikit masuk akal, namun Leon belum mau berhenti bertanya, "Di mana keluarga, dan orang tuamu? Kalian tak mungkin tinggal di tempat sempit begini, bukan tempat layak membesarkan putramu!" Dicecar seperti itu membuat Arabella murka, "Kau tak berhak menghakimi kehidupanku! Aku akan bekerja keras membayar biaya persalinan kemarin, sekarang pergilah!" Leonardo terbahak mendengar jawabannya. "Biayanya 50 kali lipat dari sewa flat ini, belum termasuk biaya operasi melahirkan, rawat inap pasien VVIP di rumah sakit, serta dokter terbaik dan termahal di kota Milan," ejeknya menertawai sikap keras kepala Arabella. "Sebaiknya berterus terang saja di mana keluargamu berada, biar aku yang mengantarkan kalian ke sana!" Hening. Bulir air mata Arabella mengalir jatuh di pipi. ***Wow-! Celine memuji kecantikan sahabatnya, Arabella. Gaun pesta ulang tahun merah membara membuat semua mata terpana. Pesona gadis pelayan berubah menjadi ratu semalam. "Sepertinya gaun ini terlalu ketat bagiku, sebaiknya aku lepas saja tak pantas seorang pengasuh bayi memakai ini!" protesnya, mengaca ketat lekuk tubuhnya di gaun. "No way-!" Celine melarangnya. "Susah payah merias dirimu seperti ini, tetiba kau berubah pikiran. Ayo, Bella, kita sudah ditunggu di bawah!" Ditarik lengannya keluar kamar sebelum Maximo datang mengomel karena terlalu lama berdandan. Semua pria paling sebal menanti wanita saat sedang berbelanja dan merias diri. Pesta ulang tahun Arabella ke 25 diadakan di halaman mansion Dario Constanzo, dihadiri keluarga dan kerabat dekat, termasuk seluruh penghuni ikut merayakan hari istimewa tunangan Tuan Muda Leonardo. Master Anthony dan Lawrence mengenakan jas pesta, tetapi pandangan mengawasi waspada sekeliling area. Kejadian penculikan Arabella jangan sam
Ranjang panas mereka berantakan, semalaman terus bergumul sampai kelelahan. "Oh, sayang, kau sungguh hebat memuaskan diriku!" Dante memeluk Esperanza erat tak mau lagi kehilangan gadis cantik pujaan. Esperanza membalasnya dengan ciuman yang dalam membuat Dante kepayahan. Sudah dua kali bercinta masih belum mau berhenti. Pria tampan yang jatuh hati sejak dulu, namun dia baru menyadari kehadirannya saat benar-benar membutuhkan seseorang. "Aku tidak pernah mau berhenti mencintaimu, hanya kau-lah obat penawar sakit hatiku ke orang-orang yang melukai diriku selama ini, membalaskan dendam pada saat tak memiliki kekuatan lagi." Dante membelai rambutnya perlahan, lalu mengusap punggung polos begitu halus di kulitnya. Gadis jalang yang sedang tersakiti berubah lembut dan sendu di hari mereka bertemu. "Tenanglah sayang, masih banyak waktu menghadapi musuh-musuhmu," ujarnya menenangkan pikirannya. "Beristirahatlah sekarang nanti kita lanjutkan lagi." "Terima kasih, cintaku!" Esperanza
Suasana club malam di Paris yang biasanya hingar bingar dentuman music dan cahaya lampu kerlap kerlip menyinari tamu yang berdansa, sekarang berubah mencekam ketika ditemukan seorang pelacur kelas atas yang tewas di kamar VVIP. Petugas keamanan club malam yang melaporkan hal tersebut ke pihak kepolisian setelah mendengar pelayan menjerit kencang melihat Nona Stella Amigos sudah tak bernyawa. Detektif Bellamy dan Raphael langsung menuju tempat kejadian perkara, menyusuri bukti satu persatu di kamar VVIP. Tubuh gadis muda dan cantik diperiksa dari luar tidak nampak jejak kekerasan fisik dan seksual. Namun, semalam pelacur itu sedang menerima tamu pria hidung belang. Dari kamera cctv di selasar terekam keduanya bermesraan di luar sebelum masuk ke kamar. Bukti yang tak bisa dipungkiri lagi. "Wow-! Tuan Duncan McCarthy?" Raphael berteriak kaget mengenali pengusaha kaya raya di Paris. Pria yang beberapa kali masuk media, hidupnya penuh masalah. Detektif Bellamy mencatat seluruh
Di sebuah di club malam, Stella Amigos, gadis bayaran bertarif mahal yang sering menjadi teman kencan pria kaya raya sedang duduk sendirian di bar. "Hai, sayang." Seseorang berbisik di belakang. "Apakah boleh aku membelikanmu segelas minuman?" Dia mengecup daun telinga mungil membuat gairah gadis cantik itu meninggi. "Oh, Duncan..." desah Stella Amigos, mengenali rayuan manis pria yang dicintai. "Pasti kau sedang kesepian hingga harus datang ke sini. Bukankah ada Esperanza dan calon bayimu yang nanti menemani hidupmu?" Dan, terasa pinggang kecilnya dicengkram keras olehnya. "Jangan pernah kau sebut nama itu lagi di depanku!" Duncan marah. "Dia keguguran beberapa hari lalu, dan tidak ada bukti lagi bahwa aku ayahnya janin bayi itu. Sekarang kau satu-satunya penghibur hatiku yang sepi!" Senyum gadis pelacur mengembang sangat bahagia mendengar mantan model yang menjadi kekasih pria itu harus mengalami hal menyakitkan kehilangan bayi mereka. "Oh, sayang, maafkan kata-kata kasa
Di kaca sebuah meja rias, terpampang wajah lusuh, dan sinar matanya tak bercahaya lagi. Esperanza menatap dirinya dengan sedih setelah banyak kehilangan dalam hidupnya. Akhirnya, kembali ke apartemen mewahnya di Milan dan menyembunyikan rasa malu, atas hidupnya yang sudah tak berguna sejak perceraian memalukan saat pesta dansa di mansion mantan suaminya, Leonardo. Ditambah lagi dia harus mengalami keguguran akibat benturan keras setelah tamparan hebat dari Duncan McCarthy di penthouse Paris beberapa hari lalu. Kedua pria bersaudara ternyata belum mampu ditaklukkan hatinya. "Dasar keparat kalian!" Esperanza meluapkan amarah dengan melempar peralatan rias ke lantai. "Tunggu saja balasanku berikutnya! Kalian menghancurkan impianku, dan sekarang giliranku menghabisi orang-orang yang kalian cintai!" Ia menaruh dendam kesumat akibat ulah mereka yang tidak memberikan kesempatan berkarir sebagai model lagi. Dan, kantor fashion Maximo Brando telah mencoret namanya sejak pagelaran la
Suara kencang tangisan bayi membuat Arabella terbangun, lalu beranjak keluar mencari tahu. Saat membuka sebuah kamar, barulah ia sadar asal suara bayi itu nyata bukan halusinasi di kepalanya. Melongok ke keranjang bayi, dan menatap manik biru kecil yang menghipnotis dirinya untuk menggendong bayi tampan. "Hai, sayang, di mana ibumu?" tanyanya dengan nada lembut. Matteo berhenti menangis, mengenali suara ibunya dan harum tubuhnya. "Ma-ma! Ma-ma!" celotehnya terbata-bata. Tubuhnya kian berat di usianya enam bulan membuat Arabella limbung karena belum puĺih dari kecelakaan. Diletakkan bayi itu di karpet tebal untuk mengajaknya bermain, dan ikut duduk bersama menemani setelah kesepian ditinggalkan ibunya. "Hai, sayang, siapa namamu?" Arabella benar-benar ingin tahu, tapi bayi itu berkicau kata-kata lain yang tak dimengerti. Begitu menggemaskan pipi gembul terus diciumnya sampai dia mengekek tertawa. "Aku harap ibumu segera datang untuk menyuapimu makan, lihat perutmu sudah k