Sekian detik berlalu, tak ada respon apapun dari Bagas. Hanya dadanya saja yang terlihat kembang kempis dengan raut wajah yang berubah warna menjadi merah menyala pertanda emosi yang semakin memuncak naik.
"Kenapa diem aja? Ayo, buruan bunuh anak sialan ini! Bunuh aku, Bagas! Pakai apapun yang bisa mempercepat nyawa dalam tubuh ini hilang. Supaya nggak akan ada lagi sosok gadis kecil pembawa petaka dalam kehidupan yang super sempurnamu itu, Bagas Yudistira!" ucap Agni lantang dengan tangan yang memukul-mukul dadanya sendiri.Suasana panas di halaman rumah terasa sampai ke depan gerbang di mana Tirtha berada. Rasa iba mulai menjalar dalam hati pria itu melihat bagaimana pilunya nasib seorang wanita yang baru beberapa hari ditemuinya itu."Lagian, kenapa nggak dari dulu aja sih lu bunuh gue, hah?! Kenapa kalian harus pertahanin manusia pembawa petaka kayak gue ini untuk terus hidup tapi cuma buat disiksa? Kenapa pula gue dilahirin kalau endingnya kayak"Agni, awas!" Tirtha reflek berteriak kala melihat Bagas yang tengah memegang sebilah pisau tajam dan hendak mengarahkannya ke arah Agni.Kakinya mengayun cepat, berlari sekencang yang ia bisa melewati gerbang yang belum tertutup sempurna setelah dilewati Agni tadi.Namun, nahas! Pisau itu sudah terlanjur menancap sempurna di tubuh seorang perempuan diiringi teriakan kesakitan sebelum Tirtha sampai di halaman rumah itu."Ibu!" Agni memekik kencang dengan mata yang membulat sempurna ketika melihat Tari ditusuk pisau oleh Bagas sebab ingin melindunginya.Tari mematung, tangannya memegangi perut yang kini mulai mengalirkan darah segar berwarna merah sebelum akhirnya jatuh tergeletak ke samping.Agni langsung maju ke depan, menghampiri Tari. Ia angkat kepala wanita yang telah melahirkan dan melindunginya itu ke atas pangkuannya. Air mata terus saja berderai melihat Tari yang meringis kesakitan.Tari mulai menyadari bahaya yang segera
"Minum dulu," ujar Tirtha menyodorkan sebotol air mineral ke arah Agni yang duduk terdiam di depan sebuah ruangan di mana Tari tengah mendapatkan penanganan.Agni menoleh, netranya memandang air mineral yang berada di hadapannya dan Tirtha secara bergantian. "Minumlah! Kondisimu juga butuh dipulihkan. Tenang, ini hanya air mineral yang masih tersegel rapi, belum aku campuri apapun di dalamnya," ucap Tirtha kembali berusaha mendekatkan minuman itu ke hadapan Agni. Agni menerima uluran air mineral tersebut. "Makasih, ya!" ucapnya kemudian menengguk beberapa tegukan air.Tirtha mengangguk dan duduk di sebelah gadis yang terus saja memandangi daun pintu tertutup di hadapannya itu."Beliau pasti baik-baik aja. Dokter sedang berjuang menanganinya, dan kamu ... kamu juga harusnya berjuang dalam mendoakan ibumu dari sini."Agni kembali menoleh ke arah Tirtha, hanya sekejap, sebelum akhirnya kembali memalingkan wajah saat dirasa setitik bening di matanya mulai berkumpul dengan titik-titik
Seorang pria datang setengah berlari ke arah Agni yang duduk membungkuk menelungkupkan kepalanya hingga menyentuh lutut. "Ni ...," panggil pria itu yang kemudian berlutut di hadapan Agni. "Are you oke?" tanyanya membelai lembut rambut di kepala gadis yang mempunyai tanda bintang di lengannya itu.Gadis itu mengangkat kepala saat mendengar suara yang tak asing itu memanggil akhiran dari namanya. Wajah jelita itu terlihat memerah dengan banyak bekas air mata yang menghiasi wajahnya."Vid, ibu, vid ...." Sesenggukan, Agni terlihat susah payah menceritakan segala sesak di relung hatinya."Tua Bangka itu menyakiti Ibu karena kebodohan gue, Vid. Harusnya ... harusnya malam itu gue gak pergi. Harusnya gue melindungi ibu.""Gue marah ... Gue marah saat gue pulang dan ngeliat luka di wajah ibu sangat parah, lebih parah dari sebelumnya. Gue ... Gue pukul lelaki itu, Vid. Gue ngehajar dia. Sampe gatau gimana ceritanya, saat gue lengah ibu
Setelah melalui beberapa penanganan, Tari akhirnya dipindahkan ke ruang perawatan. Nafas lega berhembus dari diri Agni kala mendengar bahwa luka yang ibunya alami tidak begitu parah. Ia hanya perlu menjalani beberapa pengobatan di bawah pantauan media selama beberapa hari ke depan.Dan di sinilah gadis itu berada, terduduk di samping ranjang sang bunda yang terbaring dengan mata terpejam.Hingga suara ketukan pintu membuat Agni menolehkan kepala. Ia kemudian berjalan menuju pintu dan membukanya. Seketika, netranya terbelalak kala melihat siapa yang datang. Matanya menatap bengis pada salah dari seorang tersebut.—"Dia keterlaluan, Opa! Maaf yang selalu diucapkan hanya berlaku di depan Opa. Selebihnya, dia seolah lupa dengan kata maafnya sendiri," papar Agni berdiri dengan telunjuk yang mengarah tepat ke wajah Bagas yang terlihat memiliki luka lebih parah dari saat terakhir ia melihatnya. Dapat ditebak, jika Yudi
Setelah pertemuannya dengan Yudistira dan Bagas malam itu, Agni langsung memutuskan untuk memindahkan Tari ke rumah sakit lain. Ruang rawat yang sudah diketahui oleh Bagas beresiko besar mengancam keselamatan ibunya. Bagas bisa saja melakukan apapun yang ia mau dan itulah yang Agni khawatirkan."Ibu tunggu di sini dulu, ya. Agni mau ke depan dulu," pamitnya pada sang Bunda yang dijawab anggukan singkat.Gadis itu berjalan cepat menyusuri lorong rumah sakit, menuju bagian resepsionis. Ia berniat meminta bantuan rumah sakit untuk tidak memberikan informasi apapun jika ada seseorang yang bertanya tentang keberadaan ibunya selain dirinya.Agni sebenarnya bisa meminta bantuan Yudistira untuk memberikannya pengawalan. Namun, niatnya itu kembali ia urungkan sebab satu dari alasan lainnya. Bahkan, Yudistira pun tak tahu bahwa ia memindahkan sang bunda ke rumah sakit lain. Sekali lagi, semuanya ia lakukan untuk melindungi dirinya dan bundanya.La
"Lu bukan orang pertama yang ngira dia pacar gue," ucap Agni tertawa pelan. Ia menghela napasnya panjang kala mengingat betapa banyaknya orang yang menyebut David adalah kekasihnya."Benar begitu, 'kan?"Gadis itu menggeleng cepat. "Dia sahabat gue.""Hanya sahabat?""Ya. Apalagi?" tanyanya menoleh ke samping, menatap pria yang ternyata juga tengah menatapnya saat itu."Rasa yang tergambar antara kalian berdua kayak nyata dan lebih dari sekedar persahabatan.""Oh, ya?" Tirtha mengangguk.Agni mengalihkan tatapannya kembali ke arah depan. Terdiam, ingatannya kemudian kembali mengingat pada ungkapan rasa yang selalu David utarakan akhir-akhir ini.Ada sebuah rasa bersalah yang timbul di hatinya kala lagi dan lagi, bahkan berulang kali ungkapan rasa itu kembali ia tolak.Bukan tanpa alasan. Dirinya terlalu takut menjalani sebuah hubungan yang serius dengan seorang pria. Apalagi yang ditawarkan D
Arsen Davidson, pria tampan berdarah Indonesia-Jerman yang biasa dipanggil Arsen oleh keluarga serta seluruh rekan bisnis dan bawahannya itu terlihat bergerak gelisah di dalam ruang meeting. Bolak-balik matanya mengecek ponsel, menanti notifikasi balasan dari salah seorang gadis yang amat dinanti, yang namanya terukir indah di dalam hati. Merasa kesal dengan sang putra yang sama sekali tidak bisa fokus pada pembahasan meeting, Aaric Davidson—Ayah Arsen, pun merogoh ponsel, jemarinya bergerak lincah di atas layar sebelum kemudian meletakkan benda itu ke dalam saku jasnya kembali.Getar ponsel yang sejak tadi terus digenggamnya seketika terasa, membuat Arsen menatap cepat ke arah ponsel di tangan. Namun, ekspresinya berubah ketika mendapati bahwa ternyata ayahnya-lah yang mengirimi pesan tersebut.Aaric : [Fokus, Arsen! Ini meeting penting dan kau masih saja melirik ponselmu itu! Letakkan segera dan kembali fokus, atau kurebut ponselmu sekarang di depan para kolega!]Pria itu memutar
David memejamkan mata dengan napas yang terlihat memburu. Terus berusaha untuk menahan segala emosi yang mulai menguasai diri."Ya, oke. Aku minta maaf. Aku cuma terlalu capek sekaligus cemburu di waktu yang bersamaan. Maafin aku," ujar David menundukkan kepalanya dengan mata yang masih terpejam.Susah payah pria itu menahan segala rasa yang membakar hati hingga dadanya terlihat kembang kempis. Mencoba menekan segala ego demi bisa tetap berada di sisi wanita pujaannya. David maju beberapa langkah mendekat ke arah Agni, mencoba meraih tangan wanitanya. Namun, belum sampai tangan itu menyentuh, Agni sudah lebih dulu menjauhkan dirinya dari David. Membuat pria itu kembali menghela napas panjang, mencoba mengerti meski sebetulnya sulit untuk ia mengerti."Agni." Suara lemah seorang wanita terdengar dari dalam ruangan. Membuat Agni mengalihkan tatapan amarahnya dari sosok David dan berjalan ke dalam, ke tempat di mana ibunya tengah terbaring.