Ranjang tempat di mana Sahara berada, terbuat dari kayu jati asli yang berat. Warnanya senada dengan pintu dan lemari. Sangat klasik tapi dibubuhi sentuhan modern dengan perabot tambahannya. Juga kamar mandinya.
Sahara menyipitkan mata. Cahaya matahari dari luar benar-benar mengganggu. Begitu terang. Dia yakin semua bintik di tubuhnya hingga yang terkecil dengan mudah terlihat.
“Bagaimana kalau di sini?” Roy merebahkan tubuh Sahara di tengah ranjang.
“Om,” panggil Sahara dengan suara tercekat. Dia telentang dengan tangannya kembali berusaha menarik bra-nya yang tadi sudah turun.
Roy menumpukan kedua tangannya mengungkung tubuh Sahara. Kepalanya menunduk dan menatap wajah gadis itu dengan teliti. Pandangannya sedikit buram. Alkohol yang diminumnya tadi ternyata sudah bereaksi.
Roy menghela napas pendek. “Hmmm?” Roy menaikkan alisnya, menatap bola mata Sahara yang ternyat
“Oh, shit!” maki Sahara. Sahara refleks mengangkat pinggulnya. “Ini menjijikkan,” gumam Sahara. “Menjijikkan?” Roy mengangkat wajahnya. Setelah memaksakan diri ternyata kata menjijikkan keluar dari mulut Sahara. Roy bangkit meraih kedua tangan Sahara. Meluruskan tangan itu di kedua sisi tubuh gadis yang menatapnya dengan wajah kesal. “Nikmati ini,” ucap Roy, menahan kedua tangan Sahara dan kembali menunduk di antara kedua paha gadis itu. Roy menyapukan lidahnya. Dari bawah ke atas celah hangat yang berusaha ditutupi Sahara dengan kakinya. Usaha Sahara menutup bagian paling intim dari tubuhnya itu sia-sia belaka. Tangannya tertahan di kedua sisi tubuhnya. Jangankan untuk beringsut mundur, mengangkat pinggulnya saja dia tak bisa. Pekikan panjang keluar dari mulutnya. Napasnya sudah tersengal-sengal. Menahan sensasi lidah lembut Roy yang bergerak liar di tiap sudut pangkal pahanya. Sahara sepert
“Sakit?” tanya Roy. Pertanyaan paling manusiawi selama tiga belas tahun terakhir dalam hidupnya. Bisa-bisanya dia merasakan iba pada gadis yang sedang berada di bawah tubuhnya. Roy melihat kelopak mata Sahara mengerjap, memicingkan matanya dengan kerut kesakitan. Gadis itu mengigit bibir bawahnya. “Aku benci Om. Aku nggak mau melakukan ini sekarang. Aku nggak nyaman. Jangan paksa aku,” isak Sahara, memukul lengan Roy berkali-kali. “Aduh,” pekik Sahara, mengangkat kepalanya dan melihat kejantanan Roy mencoba mendorongnya. “Sakit?” gumam Roy pada dirinya sendiri. Tangisan Sahara membuat kepalanya berdenyut. Kenapa dia harus merasa kasihan? Dia bahkan tak ada menyakiti tubuh gadis itu. Dia hanya mau menidurinya dengan cara yang benar. Bagi seorang perawan katanya memang menyakitkan di awal. Tapi selebihnya Sahara akan bisa menikmati. “Lain kali aja, Om,” tangis Sahara. “Sentuh,” pinta Roy. “Ini
Semua makanan yang terlihat menggugah selera, luput dari perhatian Sahara. Clara menyodorkan dua jenis menu yang menurutnya pasti disukai Sahara. “Aku udah kenyang,” ucap Sahara. “Anda terlihat lelah, Nyonya. Harusnya makan Anda lebih banyak dari itu,” cetus Clara, melirik piring Sahara yang sebagian besarnya masih bersih. Cuma tersisa sepotong bistik daging di atas sendoknya. “Mmmm—Bibi ....” Sahara memandang Clara ragu-ragu. Dia tak tahu harus memanggil Clara apa. Wanita itu sudah tua dan dari wajahnya jelas bahwa dia bukan penduduk negara Indonesia. “Panggil aku Clara. Jangan panggil aku bibi kecuali aku menikah dengan pamanmu,” ujar Clara tertawa. “Oke. Clara. Jam berapa biasanya Pak Roy pulang?” tanya Sahara meletakkan dua sikunya di atas meja. “Harusnya Anda bertanya pada Novan. Apa perlu aku memanggilnya?” Clara yang tadinya duduk di kursi
Roy nyaris tertawa melihat perubahan di wajah Sahara. Dia menyadari kalau gadis itu pasti masih terperangah menatapnya. Roy tak mau menoleh. Dia masuk ke kamarnya dan menutup pintu. Usianya sudah empat puluh tahun. Dan dia tak sempat bermain-main dengan tema jatuh cinta pada pandangan pertama yang diusulkan Novan. Dia membuka dua kancing kemejanya dan pergi menuju bar di sudut kamar. Kembali menuangkan setengah gelas whisky untuk mengantarkannya tidur malam itu. Roy duduk di sebuah sofa yang mengarah ke halaman dengan gelas whisky di tangannya. Pikirannya kembali ke cerita saat semuanya dimulai. Usianya baru 26 tahun saat dia menemukan foto ayahnya bersama seorang pria. “Itu teman dekat papamu. Mereka sama-sama imigran dari Brasil. Temannya memiliki modal besar membangun apartemen mewah. Papamu menjadi kontraktornya. Mereka sangat dekat.” Saat itu ibunya ikut memandang foto itu. “Sekarang, ke mana teman dekat Papa ini?” tanya Roy. Pertany
“Om,” panggil Sahara lagi. Dia melihat Roy sama sekali tak menolehnya. Pria itu malah terlihat berlama-lama membasuh kepalanya di bawah pancuran. Pancuran berada di sisi kanan dan dia hanya melihat sisi tubuh Roy dari samping. Dalam hati dia bersikukuh untuk tak melihat ke bagian lagian. “Om, aku nanya. Om tadi ngapain sama Inke?!” teriak Sahara. Roy mendengar teriakan gadis itu dan menolehkan kepala. Tangannya mengusap uap dari air hangat yang mengembun di kaca. Tangannya terus mengusap sampai sisi kaca itu kembali transparan. Lalu dia menumpukan kedua tangannya di dinding kaca dan menatap Sahara. Gadis itu tengah melontarkan tatapan sengit padanya. “Apa sangat penting mengetahui apa yang kulakukan bersama seniormu di club itu?” tanya Roy, menaikkan alisnya memandang Sahara yang mulai salah tingkah. Sahara mulai salah tingkah tak tahu harus menatap ke bagian mana. Menatap wajah Roy sama saja
“Seorang wanita? Baru bisa menyetir?” gumam Roy, membuka pintu mobil dan keluar. “Ya, ampun.” Wanita itu menunduk memandang bagian depan mobilnya. “Maaf—maaf, aku nggak sengaja.” Wanita itu menutup mulutnya, menatap Roy yang baru tiba di dekatnya. “Anda mau ke mana?” tanya Roy dengan tatapan menyelidik. Jalanan itu buntu. Berkelok-kelok dan akan berakhir di depan gerbang rumahnya. Kanan-kiri jalanan adalah kebun pohon jati yang merupakan miliknya. Enam tahun yang lalu dia membeli perkebunan pohon jati yang bagian paling ujungnya dia ubah menjadi tempat tinggal. “Ma—af,” ucap wanita itu saat membuka mulutnya. Roy masih belum mengerti saat wanita itu berlari kembali masuk ke dalam mobilnya. Sejurus kemudian, dia baru memahami keadaan saat tiga orang pria keluar dari mobil yang menabraknya. “Pak Roy, makasih karena udah bayar tagihan saya di club penari telanjang. Bagaimana? Menyukai salah satu pelacur di sana? Yang mana favorit Anda?” Seorang pria yang beberapa waktu lalu menunggak t
Sudah lima hari Sahara seperti bermain kucing-kucingan dengan Roy. Memang tak mengherankan kalau dia tak bisa dengan mudah menemukan Roy di bangunan sebesar itu. Sahara sudah cukup kesal. Setiap pagi rasa-rasanya dia sudah bangun lebih pagi. Tapi tetap saja pria itu sepertinya pintar sekali menghindar. “Di mana Pak Roy?” tanya Sahara pagi itu pada Clara. Dia menuju dapur tempat di mana Clara sedang menginstruksikan sesuatu kepada dua orang asistennya di dapur. Sepasang pria wanita berusia di awal tiga puluhan. Clara pernah mengatakan bahwa asistennya adalah sepasang suami istri. “Baru saja pergi,” jawab Clara, memandang nyonya rumah yang pukul enam pagi sudah mengenakan dress semata kaki, dengan model karet yang berkedut di bagian perutnya. Model itu membuat payudara Sahara tampak semakin besar. Roy benar-benar pintar memilih istri. Muda dan cantik. Clara tersenyum karena pikirannya. “Dia nggak ada ngomong sesuatu
Sama seperti dugaan Roy sebelumnya. Saat tiba di depan pagar, dia tak melihat siluet seorang gadis berada di balik tirai dan memandang keluar. Dia meletakkan mobilnya di depan teras, dan mencampakkan kunci mobilnya pada Pak Wandi. Langkahnya lebar-lebar, bergegas menuju kamarnya di sayap kiri lantai dua. Di jalan tadi, dia sudah menelepon Novan untuk menyiapkan kotak P3K untuk mengobati lengannya. Lukanya tak terlalu dalam tapi panjang dan mulai berdenyut. Darahnya mulai mengering karena benang-benang fibrin sudah mulai menutup lukanya. Roy sudah duduk di sofanya saat Novan tiba. “Siapa pelakunya?” tanya Novan saat membuka kotak P3K yang diletakkannya di atas meja kecil. “Donald. Yang namanya pernah kusebutkan kemarin,” sahut Roy. “Sisa sampah dari masa lalu,” sambung Roy lagi. “Saya akan membersihkan dan mengoleskan salep luka. Ini tidak perlu dijahit. Untungnya ini hanya goresan yang tidak dalam.” Novan dengan cekatan membasahi kasa dan mulai menyeka luka Roy. “Fortunately …,” g