Untungnya kamar itu terletak di lantai dua yang terpisah. Sebuah ruangan tunggal tanpa ada ruangan lain yang bisa dilintasi oleh para pegawai Roy di rumah itu. Kalau tidak, mungkin erangan Roy bakal terdengar sampai ke luar ruangan. Matanya memejam dengan dua tangan mengumpulkan rambut Sahara di belakang kepalanya.
“Kamu sangat cepat belajar,” bisik Roy, memandang Sahara yang mendongak menatap matanya.
Tangan kiri Sahara berada dalam genggaman Roy, dan tangan kanan gadis itu menggenggam benda yang membuat celah di antara kedua pahanya nyeri. Sesuatu yang menurutnya menyakitkan, tapi juga membuatnya lupa akan penderitaan hidupnya selama ini. Roy tak pernah memaksanya. Dia dengan sadar mengikuti permainan Roy dan menikmati sebuah hubungan dewasa.
Sahara menyusurkan lidahnya untuk menggoda Roy. Dan Roy yang gemas akan tingkah gadis itu mengangkat tangan Sahara dan menyesap jemari itu satu persatu. Saat erangan ketidak
Pandangan Roy hanya dipenuhi oleh wajah Sahara yang terus menautkan pandangan sambil mengigit bibirnya.“Om—” Tubuh Sahara menjepitnya, seketika Roy mengerang nikmat.“Kamu nggak apa-apa? Aku harus bergerak, jangan tahan aku di sana,” ucap Roy, menyunggingkan senyum tipis.Roy menggeser tubuhnya keluar sedikit, sebelum kembali mendorong masuk, bahkan lebih dalam dari sebelumnya. Sahara begitu hangat dan lembut, juga luar biasa ketat mencengkeramnya. Dengan menyeimbangkan berat di kedua sisi tubuhnya, Roy bergerak maju mundur perlahan. Selembut yang dia bisa. Rasanya lama sekali, namun dia menahan diri untuk tetap bergerak santai, lembut dan tak menuntut.Sementara itu, alkohol yang diteguknya tadi mulai mengisi pikirannya dengan pelepasan yang cepat, liar, dan mendesak. Roy berusaha menyadarkan dirinya dengan segenap tekad. Bahwa gadis yang sedang berada di bawah tubuhny
Roy merasa lebih dekat dengan Sahara dibandingkan sebelumnya. Namun dia masih menginginkan lebih malam itu. Segenap sel di tubuhnya mendambakan penyatuan tubuh yang sempurna seperti yang mereka raih sesaat yang lalu di atas ranjang. Roy mengabaikan tuntutan gila-gilaan di pangkal pahanya, dan menyisihkan waktu mendengarkan Sahara. Memeluk Sahara seperti saat itu terasa menyenangkan dan damai. Apa mungkin … dia mulai mencintai Sahara? Sialan. Cinta. Sejak kapan Roy memasukkan cinta ke dalam salah satu kemungkinan saat mencari gadis itu? Gagasan tentang cinta saja sudah terasa berbahaya dan tidak aman bagi Roy. Selama ini dia menanganinya seperti menghadapi benda berbahaya yang mudah meledak. Tak ada cinta. Roy tak perlu cinta untuk meredam rasa denyut di antara kedua pahanya. Air mulai mengisi bath tub menggenangi sebatas paha mereka. Di bawah permukaan air, tangan Sahara menggenggam tangan Roy. “Om,” pangg
Roy merasakan tubuhnya sangat enteng. Ini adalah kali pertama dia tidur memeluk seorang wanita di ranjangnya. Dalam ikatan jelas, sebagai suami istri. Walau tujuannya jauh melenceng dari konsep sebenarnya. Tangannya masih merasakan kulit punggung Sahara yang kehalusannya bagai beludru. Tubuh mereka menyatu di bawah selimut. Tatapannya masih menelusuri wajah Sahara.Sangat cantik, sangat polos, dan begitu memabukkan ….Roy memejamkan mata, meninggalkan suasana kamar sejuk karena hembusan pendingin udara yang disetel sedang. Pikirannya melayang, perlahan masuk ke dalam mimpi yang berusaha dia lupakan.“Pokoknya kamu harus ikut. Ini investor besar, Shel. Perusahaanku semakin berkembang dan investor asing mulai berdatangan. Ini kesempatan kita. Setelah ini semua berhasil, kita akan segera menikah. Aku janji.” Dia duduk di balik meja kerjanya sambil memasukkan segala berkas yang diperlukan untu
Langit belum sepenuhnya terang dan Roy telah memakai setelan lengkapnya untuk pergi ke kantor. Dia melangkah ke kebun belakang dan masuk ke paviliun tempat di mana ibunya berada. Wanita tua itu didapatinya masih tertidur pulas dan seketika terjaga saat dia membelai kepalanya. “Kamu terlalu sibuk sampai jarang ke sini menjenguk ibu,” ucap ibunya. Gustika Wijayanti. Wanita sederhana yang menikahi seorang pria berkebangsaan asing 41 tahun yang lalu. Berat badannya hanya tersisa separuh dibanding masa sehatnya dulu. Bagian tubuhnya sebelah kiri tak bisa bergerak karena serangan stroke 13 tahun lalu. “Sorry, Mam …,” sahut Roy tersenyum. “Kamu pasti bermimpi buruk lagi. Apa Shelly masih menghantuimu?” Wanita itu meraba punggung tangan Roy. “Bu … andai dulu aku lebih dulu mencari Shelly, apa gadis itu tetap akan hidup dan menemaniku? Apa aku terlalu sibuk dengan kehilangan rum
“Sahara ….” Roy menekan handle pintu dan ternyata tak terkunci. “Mau ke mana?” tanya Roy saat melihat Sahara sedang menyampirkan tasnya ke bahu.“Aku mau pergi menjenguk Bu Mis. Udah lama nggak ke rumah sakit.” Sahara lalu kembali ke depan kaca untuk mengecek dandanannya.“Biar Rini yang antar. Jangan terlalu lama—”“Aku mau belanja. Aku belum pernah diberi nafkah lahir selama menjadi istri. Apa gunanya nafkah batin sehebat apa pun,” gerutu Sahara.“Sorry?” Roy berdiri persis di belakang Sahara, memandang pantulan wajah gadis itu melalui cermin.“Intinya aku mau belanja. Aku mau menghabiskan seluruh isi mall. Itu juga kalau Om benar-benar kaya. Kalau nggak, aku cari laki-laki lain yang bisa membelikan semua yang kubutuhkan,” ujar Sahara lagi, memandang Roy yang memas
Rini menunduk melihat Sahara yang menangis meraung-raung menyembunyikan wajah di lipatan tangannya. Dia segera menjauhi gadis itu dan meraih ponsel di dalam tas.Rini menghubungi nomor telepon Novan. Sebelum berangkat tadi, Novan sempat menunjukkan jadwal Roy hari itu. Seharian hanya meeting. Tapi Rini sudah sangat mengerti, mengganggu Roy pasti sangat sulit.“Novan? Kamu di mana? Di ruang meeting atau di ruanganmu?” tanya Rini.“Kalau aku bisa menjawab telepon, itu artinya aku nggak lagi ikut meeting. Lagian aku cuma asisten, ajudan. Bukan sekretaris. Aku malah bersyukur nggak ikut meeting ke dalam. Ada apa?” tanya Novan di seberang.“Pengasuh Sahara meninggal barusan,” kata Rini.“Hah?!” pekik Novan di seberang sana. “Kamu jangan bercanda. Pak Roy udah bersedia membayar 1.5 milyar. Padahal
Proyek gedung perkantoran di Brasil adalah impian Roy sejak dulu. Sejak awal mula dia memutuskan untuk membalas Thomas, Roy sudah mempersiapkan kejutan-kejutan kecil untuk pria itu nantinya. Roy membeli pemukiman warga dan gedung-gedung lama yang berada di seberang gedung yang dimiliki Thomas.Memang membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mengambil sekumpulan wilayah yang berada di salah satu distrik utama di Sao Paulo. Tapi sepetak kawasan itu sekarang sudah menjadi milik Roy.Meeting yang sudah batal beberapa kali, berhasil diselesaikan Roy tanpa gangguan. Dia menolak semua panggilan masuk dan tak mengizinkan siapa pun yang tak berkepentingan masuk ke ruang meeting. Kini Roy bisa bernapas lega.Sebenarnya proyek itu sudah berjalan. Pengerukan pondasi dan pemasangan tiang-tiang sudah dilakukan dengan diawasi oleh empat orang insinyur asal Brasil.“Bekerja sebaik-baiknya samp
Roy melangkah masuk melewati pintu kamar yang sudah ditinggali Sahara enam bulan belakangan. Mata Roy menoleh sekilas sebelum duduk di tepi ranjang. Kakinya menyentuh kaki Sahara yang duduk di lantai. “Ayo, pulang. Kamu pasti capek,” ucap Roy, mengusap bahu Sahara yang tak mau memandangnya. “Jangan sentuh aku,” lirih Sahara. Nada suaranya sangat lemah. Dia bergeser menjauh agar tangan Roy tak bisa menyentuhnya. “Maafkan aku. Kita pulang sekarang.” Roy menunduk dan memegang kedua bahu Sahara. “Pulang? Aku nggak punya rumah. Rumahku di sini,” sahut Sahara tanpa menoleh. “Maaf. Tadi aku meeting dan mengatakan pada Novan untuk tak menggangguku. Jadi aku benar-benar tidak tau. Aku tau ini terdengar sebagai alasan. Tapi aku memang—” “Aku tau. Makanya aku nggak percaya Miss Rini mengatakan semua bunga dan pemakaman itu adalah bentuk kepedulian O