Share

Bab 5

Penulis: Noona_im
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-18 09:53:05

Entahlah, Liana sendiri tidak tahu, apakah keputusannya untuk tetap bertahan bersama Juna adalah langkah yang benar atau justru kesalahan yang akan semakin menyakiti dirinya di kemudian hari.

Namun, jujur saja, selain Sienna, ada alasan lain yang membuatnya masih bertahan di tengah badai yang menghantam rumah tangganya. Alasan itu sederhana namun begitu kuat: rasa cintanya pada Juna.

Tak mudah menghapus cinta yang telah tumbuh subur selama bertahun-tahun di hatinya. Meski rasa itu kini bercampur dengan luka dan kekecewaan mendalam, ia tak bisa begitu saja menghilangkan kenangan indah yang pernah mereka lalui bersama.

Enam tahun pernikahan mereka, ditambah tiga tahun masa pacaran, bukanlah waktu yang singkat. Dalam rentang waktu itu, begitu banyak kenangan manis yang tersimpan di sudut-sudut hidupnya. Senyuman Juna, perhatian kecilnya, bahkan janji-janji yang dulu pernah diucapkannya—semua itu terukir terlalu dalam di hatinya hingga sulit dilupakan begitu saja. Maka, apakah salah jika Liana memilih untuk tetap bertahan, setidaknya untuk mencoba?

Namun, Liana sadar, kekuatan untuk terus melangkah tidak selamanya ada. Ia tahu, hatinya tidak sekuat baja. Tapi untuk saat ini, ia masih ingin memperjuangkan apa yang pernah mereka bangun bersama.

Keputusan ini, tentu saja, bukan hanya tergantung pada dirinya. Semua akan bergantung pada Juna. Apakah pria itu benar-benar masih ingin memperbaiki segalanya, atau malah memilih untuk terus membiarkan luka ini semakin memburuk.

Selama Sienna dirawat di rumah sakit, Juna terus mendampingi anaknya, bahkan lelaki itu mengajukan izin tidak bekerja. Walaupun rumah sakit tempat Sienna dirawat adalah tempat yang sama di mana Juna bekerja, pria itu hanya meninggalkan ruang rawat jika ada pasien darurat yang membutuhkan bantuannya.

Tiga hari berlalu. Pagi tadi, Sienna akhirnya diperbolehkan pulang. Juna dengan setia mengantarkan mereka kembali ke rumah. Namun, kebahagiaan kecil itu tak bertahan lama.

Baru saja mereka sampai di rumah, Juna mendapat panggilan. Dengan wajah gugup dan sikap terburu-buru, ia meminta izin pada sang istri.

"Bun," panggil Juna pelan.

"Hm?" jawab Liana singkat tanpa menoleh.

"Ayah dapat panggilan dari rumah sakit," kata Juna sambil menggaruk tengkuknya, sebuah kebiasaan yang selalu muncul saat ia gugup.

Liana mendongak, menatap Juna dengan tatapan dingin. "Panggilan darurat lagi?"

"Iya, Bun. Ada pasien yang butuh penanganan segera," jawab Juna cepat.

Liana mendengus kecil, memalingkan wajahnya ke arah Sienna di sampingnya. Wanita itu tetap memberikan anggukan pelan, membiarkan Juna pergi. Meski di balik persetujuannya, ada rasa curiga yang diam-diam menyusup ke dalam hati. Gelagat Juna yang gugup membuat pikirannya kembali berputar ke arah yang ia coba hindari selama ini.

Liana tidak bodoh, Liana tahu jika perempuan yang menjadi istri kedua suaminya berada di rumah sakit itu juga. Liana juga tahu, bahwa beberapa kali saat suaminya meminta izin untuk menangani pasien darurat, suaminya itu malah menemuni wanita tersebut.

Liana tahu semua itu. Bahkan, ia tahu bahwa perempuan itu adalah pasien tetap Juna, yang sudah lama berada dalam pengawasan suaminya. Informasi ini ia dapat dari seorang suster yang cukup dekat dengannya.

Namun, Liana memilih diam. Bukan karena ia tak peduli, melainkan karena hatinya belum siap untuk menerima kenyataan yang lebih pahit. Liana belum sanggup menggali lebih dalam, belum kuat menghadapi kenyataan pernikahan kedua suaminya.

Saat ini, Liana mencoba mengesampingkan luka dan kecurigaan yang menghantui pikirannya. Ia harus tetap tegar dan waras demi putri kecilnya, Sienna, yang tidak tahu apa-apa tentang badai yang tengah melanda rumah tangga orang tuanya.

***

Sekarang ini, di ruang televisi, Liana duduk bersandar di sofa sambil menemani Sienna menonton kartun favoritnya. Tawa kecil Sienna sesekali terdengar, membuat hati Liana terasa sedikit hangat.

Bagi Liana, melindungi Sienna dari dampak buruk teknologi seperti gadget adalah prioritas. Ia hanya mengizinkan anaknya memegang ponsel untuk keperluan penting, seperti menelepon ayahnya atau berbicara dengan kakek dan neneknya. Selebihnya, Sienna lebih banyak menghabiskan waktu dengan bermain atau menonton acara anak-anak seperti saat ini.

Namun, di tengah suasana tenang itu, ketika sepasang ibu dan anak itu tengah asyik menonton acara televisi, tiba-tiba saja suara bel rumah berbunyi, memecah ketenangan.

"Bunda buka pintu dulu, ya, sayang?" ucap Liana lembut, sambil mengusap kepala putrinya.

"Iya, Bunda," jawab Sienna, matanya masih terpaku pada layar televisi.

Liana berdiri dan melangkah ke arah pintu dengan langkah perlahan, perasaan campur aduk mulai menyelimuti hatinya. Entah kenapa, firasatnya mengatakan bahwa sesuatu yang tak terduga akan segera terjadi.

Benar saja, begitu ia membuka pintu, tubuhnya mendadak kaku. Matanya membelalak, terkejut oleh pemandangan yang ada di hadapannya. Bibirnya bergetar, tetapi tak ada satu pun kata yang keluar.

"Bunda, boleh kami masuk?" suara itu lembut, namun terasa seperti duri yang menusuk dada.

Liana hanya menggeser tubuhnya ke samping secara otomatis, memberikan jalan. Pikirannya kosong, hanya bisa menatap tak percaya ke arah Juna, yang kini tengah mendorong masuk kursi roda yang diduduki oleh istri mudanya. Di kursi roda itu, wajah Aluna tampak pucat, tubuhnya lemah tetapi tetap berusaha tersenyum kecil.

Liana merasa seperti tersambar petir. Benarkah ini sedang terjadi? Apakah suaminya berniat membawa istri keduanya ke dalam rumah mereka?

"Ayah…" suara kecil Sienna terdengar, penuh kebahagiaan. Gadis kecil itu melompat turun dari sofa, berlari menghampiri Juna, dan langsung memeluknya erat.

Juna membalas pelukan itu, mencium kepala putrinya dengan penuh kasih. Namun, pelukan itu terhenti ketika Sienna melepaskan dirinya perlahan, menatap seseorang yang asing baginya dengan rasa penasaran.

"Ayah, Tante ini siapa? Kok diajak ke rumah kita?" tanyanya polos, kepalanya sedikit miring, menunjukkan kebingungan.

Juna terdiam. Ia membelai rambut panjang Sienna lembut, mencoba merangkai kata yang tepat. Tetapi sebelum ia sempat membuka mulut, suara Liana yang dingin dan tegas memotong suasana.

"Kita perlu bicara," ucapnya, nadanya penuh penekanan.

Juna menatap Liana sejenak, mengangguk pelan, lalu beralih kembali pada Sienna. "Sayang, tunggu di sini sebentar, ya. Temenin Tante dulu. Ayah mau ngobrol sama Bunda sebentar."

Sienna mengangguk kecil, meski raut wajahnya masih menunjukkan kebingungan.

Begitu mereka masuk ke kamar dan pintu tertutup, suasana langsung berubah. Liana memutar tubuhnya, menatap Juna dengan sorot mata yang tajam, seperti bara api yang siap membakar habis.

"Ngapain kamu bawa dia ke sini, hah?" suaranya rendah, tetapi jelas mengandung amarah yang terpendam.

"Bun, dia 'kan sekarang istri Ayah juga. Ayah punya tanggung jawab untuk--"

"Tanggung jawab?!" Liana memotong dengan nada yang lebih tinggi, dadanya naik-turun menahan emosi. "Kamu pikir aku peduli sama tanggung jawab kamu ke dia? Kenapa harus bawa dia ke sini? Apa gak cukup kamu hancurin hati aku, Mas?!"

Juna menarik napas dalam, mencoba tetap tenang meskipun jelas ia gugup. "Bun, dia lagi sakit, dan Ayah gak mungkin biarin dia sendirian. Ayah cuma mau--"

"Apa belum cukup semua luka yang kamu kasih ke aku? Sekarang kamu tega bawa dia ke sini?" Suara Liana bergetar. Matanya mulai berkaca-kaca, meskipun ia berusaha keras menahannya.

"Bunda, kalau Ayah suruh dia tinggal di tempat lain, bakal susah buat Ayah jaga kalian. Bunda tahu sendiri, 'kan, gimana kerjaan Ayah. Waktu Ayah sangat sempit, Bun," ucap Juna, suaranya penuh nada memohon.

Liana menatap Juna dengan tatapan dingin, kedua tangannya menyilang di dada. "Susah bagi waktu? Kalau tahu susah, ngapain nikah lagi? Kamu pikir itu solusi? Memang dasar laki-laki semuanya sama saja—buaya!"

"Bun, jangan gitu! Ayah punya alasan kenapa Ayah nikahin dia," Juna membela diri, mencoba tetap tenang.

Liana mendengus, tawanya hambar. "Alasan? Apa lagi alesan klise yang mau kamu bilang kali ini?!"

"Bun, ini bukan soal--"

"Halah! Terus aja alasan! Kamu cuma nyari pembenaran buat kesalahan kamu!" Liana memotong tegas, nadanya semakin tinggi.

Juna menarik napas panjang, mencoba menahan emosinya. "Dengerin Ayah dulu, Bun. Ayah cuma--"

"Udahlah, Mas. Aku capek! Terserah kamu aja!" Liana memotong lagi, suaranya bergetar karena amarah yang bercampur luka.

Tanpa menunggu jawaban, Liana berbalik, membuka pintu kamar, dan melangkah keluar dengan langkah cepat. Di ruang tengah, Sienna yang masih menonton televisi langsung menoleh ketika melihat Bundanya mendekat.

"Bunda, kenapa?" tanya Sienna polos, memiringkan kepala.

Liana tersenyum kecil, meskipun hatinya masih terasa berat. "Bunda temenin Senna ke kamar, ya, Sayang. Ayo, kita istirahat."

Ia menggandeng tangan kecil putrinya dengan lembut, namun sebelum membawa gadis kecilnya masuk ke kamar,

Liana sempat melirik penuh kebencian pada wanita yang telah menghancurkan keluarga kecilnya.

Bersambung...

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Gadis Penyakitan Perebut Suamiku    Bab 19

    Pukul sebelas malam, Juna akhirnya tiba di rumah setelah menjalani hari yang begitu melelahkan. Biasanya, kehadiran Liana dan Sienna di rumah menjadi penyemangatnya. Suara tawa Sienna, perhatian lembut Liana, dan makanan hangat di meja makan—semua itu cukup untuk membuat lelahnya terobati. Namun sekarang berbeda. Beberapa hari ini rumahnya terasa sunyi, seolah kehilangan jiwa. Juna meletakkan tas kerjanya di sofa ruang tamu sambil menghela napas berat. Saat ia hendak melangkah menuju kamarnya, sebuah suara lembut menyapanya. “Den, baru pulang?” Juna sedikit terkejut. Ia hampir lupa bahwa ada orang lain di rumah ini. Lastri, pembantu yang ditugaskan oleh orang tua Aluna, muncul dari kamar istri mudanya sambil membawa cangkir kosong. “Oh, Bik,” ucap Juna singkat, sedikit kaku. Dalam kepenatan dan kekacauan pikirannya, ia hampir lupa bahwa Aluna dan pembantunya masih ada di sini. Ia memaksakan senyum ke

  • Gadis Penyakitan Perebut Suamiku    Bab 18

    Setelah menimbang berulang kali, Juna akhirnya memutuskan untuk menemui Aluna di kamarnya. Rasa bersalah terus menghantui pikirannya, terutama setelah menyaksikan bagaimana ibunya dengan dingin melemparkan kata-kata tajam kepada gadis itu. Meski pernikahan mereka terjadi karena ancaman, Aluna kini adalah istrinya. Dan Juna tahu, suka atau tidak, gadis itu adalah tanggung jawabnya. Langkahnya terhenti tepat di depan pintu kamar Aluna. Ia menghela napas panjang, mencoba meredakan rasa canggung yang menyeruak di dadanya. Pernikahan itu baginya lebih seperti beban daripada kebahagiaan. Tapi ia juga tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa Aluna tidak sepenuhnya bersalah. Ketukan pelan terdengar di pintu. Tak ada jawaban. Juna mengetuk lagi, kali ini sedikit lebih keras. "Aluna, ini saya." Sunyi. Menyadari tidak ada respons, Juna membuka pintu perlahan. Kamar itu gelap, hanya diterangi c

  • Gadis Penyakitan Perebut Suamiku    Bab 17

    "Kamu ini mikir dulu tidak sih sebelum bertindak?" Ratih kembali melanjutkan omelannya ketika ia mendudukkan diri di sofa ruang tamu. Sungguh ia merasa kesal dan gemas sekali pada Juna. Kalau saja tidak ingat jika Juna merupakan anak semata wayangnya, sudah dipastikan wajah tampan Juna akan habis dicakar atau bahkan dikuliti olehnya. Lagipula Ratih heran, tidak ada angin tidak ada hujan, bisa-bisanya putranya itu menikah lagi. Apa kurangnya Liana coba? Dasar membuat malu saja! "Heh Juna! Apa kamu tidak ingat siapa yang sudah berjasa sampai bisa membuatmu seperti sekarang ini?" Emosinya masih menggebu-gebu, ia menatap nyalang pada sang putra yang masih diam membisu. "Dan kamu apa tidak ingat betapa susahnya kamu dulu berjuang untuk mendapatkan Liana?" Juna menunduk, ingatannya melayang pada saat dulu ia mendekati Liana. Liana merupakan wanita yang sangat can

  • Gadis Penyakitan Perebut Suamiku    16

    Juna kembali berjalan mondar-mandir memikirkan caranya. Tapi konsentrasinya terganggu oleh suara gedoran pintu yang sangat keras. "Siapa sih gak sopan banget!" Ia bersungut kesal, kemudian melangkah menuju pintu utama. "Bisa gak sih kalau bertamu ke rumah orang itu yang so--ah aw aw aw." Juna mengaduh kesakitan ketika sebuah tangan menarik daun telinganya tanpa perasaan--tepat saat ia membuka pintu. "Dasar anak kurang ajar! Gak sopan! bikin malu keluarga!" ujar si pelaku dengan geram, yang ternyata adalah Ratih, Ibu kandung Juna. Dengan gemas wanita itu masih menjewer telinga putra semata wayangnya. "Aw sakit Bu, lepasin." Pinta Juna memelas. Telinganya sungguh terasa panas. "Sudah Bu, lepasin. Juna sudah dewasa, jangan kaya gini. Malu sama orang yang lihat." Aryo--ayah Juna--turut meminta agar istrinya itu melepaskan tangannya dari sang anak. Aryo merasa kasihan pada putranya.

  • Gadis Penyakitan Perebut Suamiku    Bab 15

    Nyaris satu minggu Juna tidak bertemu dengan Liana dan Sienna. Laki-laki itu benar-benar menuruti saran dari Seno untuk memberikan waktu agar Liana bisa merenung dan menenangkan diri. Meski begitu berat menahan rindu karena tidak bertemu dengan istri dan anak tercintanya, tapi Juna mencoba untuk bersabar. Semua itu ia lakukan agar rumah tangganya kembali utuh dan harmonis. Biarlah ia sedikit mengalah--menekan egonya, yang terpenting keluarga kecilnya bisa kembali seperti sedia kala. Namun begitu, setiap hari Juna tetap mengirimi Liana pesan-pesan singkat seperti; [Bunda, gimana kabar kamu sama Senna di sana? Kalau kabar Ayah di sini kurang baik Bun ☹️ Ayah kangen banget sama Bunda dan Senna. Kalian cepat pulang ya] Atau seperti; [Bunda maafin Ayah ya.. Ayah cinta Bunda sama Senna 😘] Semua pesan-pesan yang Juna

  • Gadis Penyakitan Perebut Suamiku    Bab 14

    "Saya punya penawaran yang menarik untukmu," ujar Tama dengan suara berat dan penuh tekanan. Juna, yang sedari tadi hanya terdiam dengan tatapan kosong, sontak teralihkan perhatiannya. Matanya menatap laki-laki paruh baya di depannya dengan kebingungan. "P-penawaran apa maksud Anda, Tuan?" Tama menyeringai tipis, senyumnya terkesan meremehkan. "Saya tidak akan memperpanjang kasus kecelakaan ini, dengan satu syarat. Kau harus bertanggung jawab sepenuhnya." Juna mengangguk cepat, mengira ia hanya perlu menanggung biaya medis. "Tentu. Saya akan menanggung semua biaya rumah sakit. Saya benar-benar menyesal atas kejadian ini." Namun respon Tama membuat detak jantung Juna berdebar kencang. Senyum meremehkan itu semakin lebar. "Apa kau pikir saya tidak mampu membayar biaya rumah sakit ini? Kau tahu siapa saya, bukan?" Juna terdiam. Tentu ia tahu. Tama Atmaja, pengusaha kaya raya dengan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status