Entahlah, Liana sendiri tidak tahu, apakah keputusannya untuk tetap bertahan bersama Juna adalah langkah yang benar atau justru kesalahan yang akan semakin menyakiti dirinya di kemudian hari.
Namun, jujur saja, selain Sienna, ada alasan lain yang membuatnya masih bertahan di tengah badai yang menghantam rumah tangganya. Alasan itu sederhana namun begitu kuat: rasa cintanya pada Juna. Tak mudah menghapus cinta yang telah tumbuh subur selama bertahun-tahun di hatinya. Meski rasa itu kini bercampur dengan luka dan kekecewaan mendalam, ia tak bisa begitu saja menghilangkan kenangan indah yang pernah mereka lalui bersama. Enam tahun pernikahan mereka, ditambah tiga tahun masa pacaran, bukanlah waktu yang singkat. Dalam rentang waktu itu, begitu banyak kenangan manis yang tersimpan di sudut-sudut hidupnya. Senyuman Juna, perhatian kecilnya, bahkan janji-janji yang dulu pernah diucapkannya—semua itu terukir terlalu dalam di hatinya hingga sulit dilupakan begitu saja. Maka, apakah salah jika Liana memilih untuk tetap bertahan, setidaknya untuk mencoba? Namun, Liana sadar, kekuatan untuk terus melangkah tidak selamanya ada. Ia tahu, hatinya tidak sekuat baja. Tapi untuk saat ini, ia masih ingin memperjuangkan apa yang pernah mereka bangun bersama. Keputusan ini, tentu saja, bukan hanya tergantung pada dirinya. Semua akan bergantung pada Juna. Apakah pria itu benar-benar masih ingin memperbaiki segalanya, atau malah memilih untuk terus membiarkan luka ini semakin memburuk. Selama Sienna dirawat di rumah sakit, Juna terus mendampingi anaknya, bahkan lelaki itu mengajukan izin tidak bekerja. Walaupun rumah sakit tempat Sienna dirawat adalah tempat yang sama di mana Juna bekerja, pria itu hanya meninggalkan ruang rawat jika ada pasien darurat yang membutuhkan bantuannya. Tiga hari berlalu. Pagi tadi, Sienna akhirnya diperbolehkan pulang. Juna dengan setia mengantarkan mereka kembali ke rumah. Namun, kebahagiaan kecil itu tak bertahan lama. Baru saja mereka sampai di rumah, Juna mendapat panggilan. Dengan wajah gugup dan sikap terburu-buru, ia meminta izin pada sang istri. "Bun," panggil Juna pelan. "Hm?" jawab Liana singkat tanpa menoleh. "Ayah dapat panggilan dari rumah sakit," kata Juna sambil menggaruk tengkuknya, sebuah kebiasaan yang selalu muncul saat ia gugup. Liana mendongak, menatap Juna dengan tatapan dingin. "Panggilan darurat lagi?" "Iya, Bun. Ada pasien yang butuh penanganan segera," jawab Juna cepat. Liana mendengus kecil, memalingkan wajahnya ke arah Sienna di sampingnya. Wanita itu tetap memberikan anggukan pelan, membiarkan Juna pergi. Meski di balik persetujuannya, ada rasa curiga yang diam-diam menyusup ke dalam hati. Gelagat Juna yang gugup membuat pikirannya kembali berputar ke arah yang ia coba hindari selama ini. Liana tidak bodoh, Liana tahu jika perempuan yang menjadi istri kedua suaminya berada di rumah sakit itu juga. Liana juga tahu, bahwa beberapa kali saat suaminya meminta izin untuk menangani pasien darurat, suaminya itu malah menemuni wanita tersebut. Liana tahu semua itu. Bahkan, ia tahu bahwa perempuan itu adalah pasien tetap Juna, yang sudah lama berada dalam pengawasan suaminya. Informasi ini ia dapat dari seorang suster yang cukup dekat dengannya. Namun, Liana memilih diam. Bukan karena ia tak peduli, melainkan karena hatinya belum siap untuk menerima kenyataan yang lebih pahit. Liana belum sanggup menggali lebih dalam, belum kuat menghadapi kenyataan pernikahan kedua suaminya. Saat ini, Liana mencoba mengesampingkan luka dan kecurigaan yang menghantui pikirannya. Ia harus tetap tegar dan waras demi putri kecilnya, Sienna, yang tidak tahu apa-apa tentang badai yang tengah melanda rumah tangga orang tuanya. *** Sekarang ini, di ruang televisi, Liana duduk bersandar di sofa sambil menemani Sienna menonton kartun favoritnya. Tawa kecil Sienna sesekali terdengar, membuat hati Liana terasa sedikit hangat. Bagi Liana, melindungi Sienna dari dampak buruk teknologi seperti gadget adalah prioritas. Ia hanya mengizinkan anaknya memegang ponsel untuk keperluan penting, seperti menelepon ayahnya atau berbicara dengan kakek dan neneknya. Selebihnya, Sienna lebih banyak menghabiskan waktu dengan bermain atau menonton acara anak-anak seperti saat ini. Namun, di tengah suasana tenang itu, ketika sepasang ibu dan anak itu tengah asyik menonton acara televisi, tiba-tiba saja suara bel rumah berbunyi, memecah ketenangan. "Bunda buka pintu dulu, ya, sayang?" ucap Liana lembut, sambil mengusap kepala putrinya. "Iya, Bunda," jawab Sienna, matanya masih terpaku pada layar televisi. Liana berdiri dan melangkah ke arah pintu dengan langkah perlahan, perasaan campur aduk mulai menyelimuti hatinya. Entah kenapa, firasatnya mengatakan bahwa sesuatu yang tak terduga akan segera terjadi. Benar saja, begitu ia membuka pintu, tubuhnya mendadak kaku. Matanya membelalak, terkejut oleh pemandangan yang ada di hadapannya. Bibirnya bergetar, tetapi tak ada satu pun kata yang keluar. "Bunda, boleh kami masuk?" suara itu lembut, namun terasa seperti duri yang menusuk dada. Liana hanya menggeser tubuhnya ke samping secara otomatis, memberikan jalan. Pikirannya kosong, hanya bisa menatap tak percaya ke arah Juna, yang kini tengah mendorong masuk kursi roda yang diduduki oleh istri mudanya. Di kursi roda itu, wajah Aluna tampak pucat, tubuhnya lemah tetapi tetap berusaha tersenyum kecil. Liana merasa seperti tersambar petir. Benarkah ini sedang terjadi? Apakah suaminya berniat membawa istri keduanya ke dalam rumah mereka? "Ayah…" suara kecil Sienna terdengar, penuh kebahagiaan. Gadis kecil itu melompat turun dari sofa, berlari menghampiri Juna, dan langsung memeluknya erat. Juna membalas pelukan itu, mencium kepala putrinya dengan penuh kasih. Namun, pelukan itu terhenti ketika Sienna melepaskan dirinya perlahan, menatap seseorang yang asing baginya dengan rasa penasaran. "Ayah, Tante ini siapa? Kok diajak ke rumah kita?" tanyanya polos, kepalanya sedikit miring, menunjukkan kebingungan. Juna terdiam. Ia membelai rambut panjang Sienna lembut, mencoba merangkai kata yang tepat. Tetapi sebelum ia sempat membuka mulut, suara Liana yang dingin dan tegas memotong suasana. "Kita perlu bicara," ucapnya, nadanya penuh penekanan. Juna menatap Liana sejenak, mengangguk pelan, lalu beralih kembali pada Sienna. "Sayang, tunggu di sini sebentar, ya. Temenin Tante dulu. Ayah mau ngobrol sama Bunda sebentar." Sienna mengangguk kecil, meski raut wajahnya masih menunjukkan kebingungan. Begitu mereka masuk ke kamar dan pintu tertutup, suasana langsung berubah. Liana memutar tubuhnya, menatap Juna dengan sorot mata yang tajam, seperti bara api yang siap membakar habis. "Ngapain kamu bawa dia ke sini, hah?" suaranya rendah, tetapi jelas mengandung amarah yang terpendam. "Bun, dia 'kan sekarang istri Ayah juga. Ayah punya tanggung jawab untuk--" "Tanggung jawab?!" Liana memotong dengan nada yang lebih tinggi, dadanya naik-turun menahan emosi. "Kamu pikir aku peduli sama tanggung jawab kamu ke dia? Kenapa harus bawa dia ke sini? Apa gak cukup kamu hancurin hati aku, Mas?!" Juna menarik napas dalam, mencoba tetap tenang meskipun jelas ia gugup. "Bun, dia lagi sakit, dan Ayah gak mungkin biarin dia sendirian. Ayah cuma mau--" "Apa belum cukup semua luka yang kamu kasih ke aku? Sekarang kamu tega bawa dia ke sini?" Suara Liana bergetar. Matanya mulai berkaca-kaca, meskipun ia berusaha keras menahannya. "Bunda, kalau Ayah suruh dia tinggal di tempat lain, bakal susah buat Ayah jaga kalian. Bunda tahu sendiri, 'kan, gimana kerjaan Ayah. Waktu Ayah sangat sempit, Bun," ucap Juna, suaranya penuh nada memohon. Liana menatap Juna dengan tatapan dingin, kedua tangannya menyilang di dada. "Susah bagi waktu? Kalau tahu susah, ngapain nikah lagi? Kamu pikir itu solusi? Memang dasar laki-laki semuanya sama saja—buaya!" "Bun, jangan gitu! Ayah punya alasan kenapa Ayah nikahin dia," Juna membela diri, mencoba tetap tenang. Liana mendengus, tawanya hambar. "Alasan? Apa lagi alesan klise yang mau kamu bilang kali ini?!" "Bun, ini bukan soal--" "Halah! Terus aja alasan! Kamu cuma nyari pembenaran buat kesalahan kamu!" Liana memotong tegas, nadanya semakin tinggi. Juna menarik napas panjang, mencoba menahan emosinya. "Dengerin Ayah dulu, Bun. Ayah cuma--" "Udahlah, Mas. Aku capek! Terserah kamu aja!" Liana memotong lagi, suaranya bergetar karena amarah yang bercampur luka. Tanpa menunggu jawaban, Liana berbalik, membuka pintu kamar, dan melangkah keluar dengan langkah cepat. Di ruang tengah, Sienna yang masih menonton televisi langsung menoleh ketika melihat Bundanya mendekat. "Bunda, kenapa?" tanya Sienna polos, memiringkan kepala. Liana tersenyum kecil, meskipun hatinya masih terasa berat. "Bunda temenin Senna ke kamar, ya, Sayang. Ayo, kita istirahat." Ia menggandeng tangan kecil putrinya dengan lembut, namun sebelum membawa gadis kecilnya masuk ke kamar, Liana sempat melirik penuh kebencian pada wanita yang telah menghancurkan keluarga kecilnya. Bersambung...Juna mengetuk pintu kamar Sienna. Waktu kini sudah menunjukkan pukul delapan, namun istri dan anaknya, sedari tadi belum kunjung ke luar juga.Juna khawatir, takut keduanya malah sakit akibat menahan lapar. "Bunda, Senna, makan dulu yuk, kalian 'kan belum makan apa-apa dari tadi," ucapnya sembari terus mengetuk pintu. "Gak apa-apa kalau Bunda mau marah sama Ayah. Tapi Bunda sama Senna harus makan. Ayah gak mau kalian sakit. Please Bun, buka pintunya."Selang beberapa saat pintu kamar tersebut akhirnya terbuka membuat senyuman di bibir Juna mengembang dengan seketika. Ia lantas berucap lembut. "Makan bersama ya, Bun? Ayah udah beli makanan, udah Ayah disiapin juga di meja makan."Liana hanya mengangguk satu kali untuk menanggapi, wanita itu kemudian berjalan lebih dulu sambil menggendong Sienna.Juna menghela napas lelah. Jelas sekali bahwa sang istri masih sangat marah padanya. Liana bahkan tidak ingin mengucapka
Juna memasuki kamar sang anak, ia langsung disambut kalimat tanya dan tatapan tajam sang istri. "Ngapain kamu ke sini?!"Juna melangkah menghampiri anak dan istrinya yang berada di atas kasur, namun Liana lebih dulu beranjak dan mendekati suaminya, sehingga kini mereka berdiri ditengah-tengah ruangan."Bun, maafin Luna ya? Dia gak bermaksud bikin Senna mengabaikan panggilan kamu. Dia gak tahu kalau--""Bela aja terus istri muda kamu itu!" Sela Liana cepat."Ayah gak bela Luna, Bun. Ayah cuman--""Cuman apa, hah? Cuman gak terima dan gak suka kalau istri mudanya aku marahin?" ucap Liana dengan tatapan nyalang seraya melipat kedua tangannya di dada."Gak gitu Bunda..." Juna mencoba untuk menyentuh pundak Liana, namun dengan cepat wanita itu menepisnya."Susah payah aku ngedidik Senna dan menjauhkan dia dari handphone. Tapi malah dengan mudahnya istri mud
Meski kesal dan dalam keadaan suasana hati yang kacau, tapi Liana tidak bisa mengabaikan kewajibannya sebagai seorang istri dan ibu segitu saja. Maka dari itu, dipukul empat sore ini, seperti biasa ia berkutat di ruang dapur untuk menyiapkan makan malam untuk keluarga kecilnya."Sayang bantuin Bunda masak yuk!" Teriaknya memanggil sang putri.Dikarenakan Liana tidak memperbolehkan Sienna bermain gadget, untuk mensiasati agar anaknya tidak cepat bosan, Liana kerap kali mengajak Sienna untuk melakukan berbagai hal di rumah, termasuk mengajak Sienna untuk membantunya memasak.Menurut Liana hal itu lebih bermanfaat ketimbang membiarkan anaknya bermain gadget. Lagipula Sienna juga tipikal anak yang penurut dan senang-senang saja melakukan banyak hal bersama sang ibu.Namun ada yang sedikit berbeda kali ini. Biasanya anaknya itu akan langsung menghampiri ketika Liana memanggil, tapi sekarang sudah ditunggu beberapa saat, sang putri tidak kunjung datang juga, bahkan tidak menyahut sama sekal
Entahlah, Liana sendiri tidak tahu, apakah keputusannya untuk tetap bertahan bersama Juna adalah langkah yang benar atau justru kesalahan yang akan semakin menyakiti dirinya di kemudian hari.Namun, jujur saja, selain Sienna, ada alasan lain yang membuatnya masih bertahan di tengah badai yang menghantam rumah tangganya. Alasan itu sederhana namun begitu kuat: rasa cintanya pada Juna.Tak mudah menghapus cinta yang telah tumbuh subur selama bertahun-tahun di hatinya. Meski rasa itu kini bercampur dengan luka dan kekecewaan mendalam, ia tak bisa begitu saja menghilangkan kenangan indah yang pernah mereka lalui bersama.Enam tahun pernikahan mereka, ditambah tiga tahun masa pacaran, bukanlah waktu yang singkat. Dalam rentang waktu itu, begitu banyak kenangan manis yang tersimpan di sudut-sudut hidupnya. Senyuman Juna, perhatian kecilnya, bahkan janji-janji yang dulu pernah diucapkannya—semua itu terukir terlalu dalam di hatinya hingga sulit dilupakan begitu saja. Maka, apakah salah jika
Di dalam ruangan, Liana mendekati ranjang Sienna. Wajah putrinya terlihat pucat, dengan tubuh lemah terbaring di atas ranjang. "Bunda..." suara kecil Sienna menyambutnya. "Iya, Sayang? Apa yang sakit?" Liana berdiri di sisi ranjang, membelai lembut kepala putrinya. "Kepala Senna sakit, Bunda... badan Senna juga lemas..." keluh Senna dengan suara kecil, matanya sedikit terpejam karena lemah. "Sabar ya, Nak. Sebentar lagi kamu pasti sembuh," bisik Liana lembut, sambil membelai rambut putrinya. "Tapi Senna harus makan dan minum obat dulu, ya?" Senna menggeleng pelan. "Gak mau, Bunda..." "Kalau gak makan, sembuhnya lama, loh," bujuk Liana, mencoba tersenyum untuk menguatkan putrinya. "Gini deh, Senna mau apa? Bunda janji turutin." Mata Senna yang tadi redup kini berbinar kecil. "Senna mau Ayah, Bunda. Senna mau Ayah di sini..." Liana tertegun. Kata-kata sederhana dari putrinya itu menusuk hatinya yang sedang hancur berkeping. Ia berusaha menahan tangis, menyembunyikan rasa
"Ayah—""Bunda—" Keduanya berucap bersamaan, dengan ekspresi terkejut yang serupa. Namun, perbedaan di antara mereka begitu nyata. Liana terkejut melihat suaminya bersama wanita lain, sementara Juna terkejut karena keberadaan istrinya di rumah sakit, terlebih saat Liana memergokinya bersama seorang gadis. Dalam sekejap, kegelisahan menyelimuti pria tersebut. "S-siapa dia, Yah? Kenapa kamu—" "A-ayah bisa jelasin, Bun." Juna buru-buru memotong, sebelum Liana menyelesaikan kalimatnya. Ia menoleh pada gadis yang duduk di kursi roda. "Luna, kamu ke ruangan lebih dulu, ya?" Aluna mengangguk, ia tidak mengatakan sepatah katapun, sebab ia takut hanya akan membuat semuanya menjadi semakin rumit. Lantas Juna memanggil seorang suster yang kebetulan lewat untuk mengantarkan Aluna ke ruangannya.Setelah Aluna pergi, suasana berubah tegang. Liana menatap Juna tajam, matanya memerah, mencerminkan amarah yang membara bercampur luka yang baru saja terbuka. "Jadi, ini alasan kenapa kamu gak bisa
Tiga hari telah berlalu sejak Juna terakhir kali menghubungi Liana. Selama itu pula, pria itu belum sekali pun pulang ke rumah. Meski begitu Juna terus mencoba menghubungi sang istri meski panggilannya tidak pernah dijawab.Liana memilih untuk menonaktifkan ponselnya. Rasa kecewa dan kesal terhadap Juna yang lebih mementingkan pekerjaan membuatnya enggan mendengar alasan apa pun. Baginya, kata maaf melalui telepon tidak cukup. Ia dan Sienna tidak membutuhkan itu—mereka membutuhkan kehadiran Juna. Pagi itu, seperti biasa, Liana mencoba membangunkan Sienna. "Sayang, bangun yuk. Hari ini kamu harus sekolah," ucapnya lembut sambil mengetuk pintu kamar anaknya.Namun, tak ada jawaban dari dalam. Liana akhirnya masuk dan mendekati ranjang Sienna. Ia menggoyangkan tubuh putrinya pelan. Tapi begitu tangannya menyentuh lengan Sienna, ia langsung merasakan kehangatan yang tidak biasa. "Ya tuhan, badan kamu panas sekali, Nak." Liana dengan cepat menyentuh wajah Sienna, memastikan apa yang di
Sienna duduk di kursi kecil berwarna merah di sudut kafe, menggoyang-goyangkan kakinya yang mungil sambil memandangi pintu masuk. Balon warna-warni tergantung di dinding, dan kue ulang tahun besar berbentuk unicorn berada di atas meja. Anak-anak lain sudah mulai menikmati permainan dan kudapan, tetapi mata Sienna tetap terpaku pada pintu.Gadis kecil itu turun dari kursi, melangkah menghampiri bundanya yang tengah berdiri di luar area kafe. "Ayah mana Bunda, kok belum datang?"Liana menunduk, berjongkok agar sejajar dengan putrinya. Ia memasang senyum kecil meski hatinya diliputi resah karena sang suami belum juga tiba. "Sebentar ya, Bunda coba telepon Ayah lagi," ucapnya sambil mengelus lembut rambut Sienna. Sienna mengangguk, memandang ibunya dengan harapan besar. Sementara itu, Liana mengangkat ponselnya lagi, mencoba menghubungi sang suami--Juna, untuk kesekian kalinya. Namun, seperti sebelumnya, panggilan itu tidak juga dijawab. "Kenapa sih, Yah? Kok gak diangkat-angkat?" gum