Meski kesal dan dalam keadaan suasana hati yang kacau, tapi Liana tidak bisa mengabaikan kewajibannya sebagai seorang istri dan ibu segitu saja. Maka dari itu, dipukul empat sore ini, seperti biasa ia berkutat di ruang dapur untuk menyiapkan makan malam untuk keluarga kecilnya.
"Sayang bantuin Bunda masak yuk!" Teriaknya memanggil sang putri. Dikarenakan Liana tidak memperbolehkan Sienna bermain gadget, untuk mensiasati agar anaknya tidak cepat bosan, Liana kerap kali mengajak Sienna untuk melakukan berbagai hal di rumah, termasuk mengajak Sienna untuk membantunya memasak. Menurut Liana hal itu lebih bermanfaat ketimbang membiarkan anaknya bermain gadget. Lagipula Sienna juga tipikal anak yang penurut dan senang-senang saja melakukan banyak hal bersama sang ibu. Namun ada yang sedikit berbeda kali ini. Biasanya anaknya itu akan langsung menghampiri ketika Liana memanggil, tapi sekarang sudah ditunggu beberapa saat, sang putri tidak kunjung datang juga, bahkan tidak menyahut sama sekali. "Senna..." Liana mencoba memanggil putrinya kembali, berharap gadis kecil itu segera menjawab. Namun nihil, tetap tidak ada sahutan. "Ck, ke mana sih tuh anak!" gumamnya, mulai gusar. Seingatnya, tadi Sienna sedang menonton televisi di ruang keluarga. Apa mungkin putrinya tidak mendengar panggilannya? Dengan langkah cepat, Liana menuju ruangan tersebut. "Senna, say--" Ucapan Liana terhenti, matanya membelalak melihat pemandangan di depan. Di sofa ruang keluarga, Sienna sedang duduk sambil tertawa kecil, asyik memperhatikan layar ponsel di tangannya. Tapi yang membuat Liana terkejut sekaligus merasa nyeri di hati adalah ketika melihat di sana Sienna tidak sendiri, melainkan sang putri ditemani oleh adik madunya. 'Mengapa mereka bisa bersama? Dan mengapa cepat sekali akrab?' pikirnya, tak percaya. Sontak saja amarah Liana mencuat. "Senna!" Panggilnya tegas. Sienna terlonjak kaget. Tubuh mungilnya menegang, tatapan takut terpancar dari wajah polosnya saat ia menoleh ke arah bundanya. “B-bunda…” Sienna bergumam lirih. Dengan langkah cepat, Liana menghampiri mereka. Ia langsung merebut ponsel dari tangan putrinya. “Siapa yang ajarin kamu main handphone sampai mengabaikan panggilan Bunda? Bunda ‘kan sudah bilang handphone itu tidak baik buat anak seusia kamu!” Sienna mengerut takut, bibirnya bergetar seperti ingin menjawab, tapi tak ada suara yang keluar. Baru kali ini ia melihat bundanya semarah ini padanya. “M-maaf, Kak. Ini bukan salah Senna. Ini salahku.” Suara Aluna terdengar pelan, mencoba menjelaskan. Liana menoleh cepat, menatap Aluna dengan tatapan tajam. “Memang ini salah kamu!” desisnya sengit. “Pintar kamu ya, belum sehari di sini, tapi kamu sudah bisa mengambil hati anak saya!” “Kak, bukan begitu. Aku c-cuma—” “Dasar licik!” Liana menyela, melempar ponsel tersebut ke sofa kosong dengan kasar. “Apa belum cukup suami saya yang kamu ambil? Sekarang kamu mau mengambil anak saya juga?” Aluna menggeleng dengan wajah ketakutan. Bukan, bukan seperti itu maksud Aluna. Ia hanya ingin lebih dekat dan mengakrabkan diri dengan anak sambungnya. Sebab bagaimanapun Sienna sekarang sudah menjadi anaknya juga 'kan? Iya, hanya sebatas itu saja kok, sungguh. Aluna tidak menyangka bahwa tindakannya tersebut malah menyulut kemarahan kakak madunya. Di sisi lain, Juna yang tengah terlelap di kamar utama sontak terbangun oleh suara keributan. Raut wajahnya menampakkan kebingungan sekaligus kekhawatiran. Dengan cepat, ia bangkit dari tempat tidur dan segera menghampiri sumber suara. "Ada apa sih? Kok ribut-ribut?" tanyanya begitu sampai di ruang keluarga. Liana, yang tengah menarik tangan Sienna, langsung menoleh ke arah suaminya dengan tatapan penuh emosi. “Tanya tuh sama istri muda kamu!” ucapnya tajam sebelum membawa Sienna pergi ke kamar tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut. Juna menatap punggung istri dan anaknya yang menghilang ke dalam kamar, lalu mengalihkan pandangannya ke arah Aluna. “Ada apa ini sebenarnya?” tanyanya, suaranya lebih lembut namun tetap terdengar tegas. Aluna tampak menunduk, ekspresi wajahnya penuh rasa bersalah. “Ini salah aku, Mas,” ucapnya pelan. “Aku ngajak Senna main handphone sampai dia mengabaikan panggilan Kak Liana. Aku nggak tahu kalau Senna nggak diizinin main handphone. Maafin aku, Mas…” Juna mendesah panjang, mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Belum satu hari Aluna berada di rumah ini, tapi sudah terjadi keributan seperti ini. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana ke depannya. Rumah tangga dengan dua istri di bawah satu atap ternyata jauh lebih rumit dari yang pernah ia bayangkan. Tapi mau bagaimana lagi? Nasi sudah menjadi bubur. Tidak ada jalan mundur untuk keputusan yang sudah ia ambil. Juna menatap Aluna yang masih menunduk. Ia mencoba menenangkan hatinya dan berkata, “Sudahlah, nanti akan saya coba bicara dengan Liana.” Aluna mengangguk kecil, meski hatinya tetap terasa berat. Juna tahu, situasi ini tak mudah bagi siapa pun, tapi ia harus mencari cara untuk menenangkan kedua istrinya demi menjaga keharmonisan keluarga mereka—sekalipun itu terasa mustahil. Bersambung...Juna mengetuk pintu kamar Sienna. Waktu kini sudah menunjukkan pukul delapan, namun istri dan anaknya, sedari tadi belum kunjung ke luar juga.Juna khawatir, takut keduanya malah sakit akibat menahan lapar. "Bunda, Senna, makan dulu yuk, kalian 'kan belum makan apa-apa dari tadi," ucapnya sembari terus mengetuk pintu. "Gak apa-apa kalau Bunda mau marah sama Ayah. Tapi Bunda sama Senna harus makan. Ayah gak mau kalian sakit. Please Bun, buka pintunya."Selang beberapa saat pintu kamar tersebut akhirnya terbuka membuat senyuman di bibir Juna mengembang dengan seketika. Ia lantas berucap lembut. "Makan bersama ya, Bun? Ayah udah beli makanan, udah Ayah disiapin juga di meja makan."Liana hanya mengangguk satu kali untuk menanggapi, wanita itu kemudian berjalan lebih dulu sambil menggendong Sienna.Juna menghela napas lelah. Jelas sekali bahwa sang istri masih sangat marah padanya. Liana bahkan tidak ingin mengucapka
Juna memasuki kamar sang anak, ia langsung disambut kalimat tanya dan tatapan tajam sang istri. "Ngapain kamu ke sini?!"Juna melangkah menghampiri anak dan istrinya yang berada di atas kasur, namun Liana lebih dulu beranjak dan mendekati suaminya, sehingga kini mereka berdiri ditengah-tengah ruangan."Bun, maafin Luna ya? Dia gak bermaksud bikin Senna mengabaikan panggilan kamu. Dia gak tahu kalau--""Bela aja terus istri muda kamu itu!" Sela Liana cepat."Ayah gak bela Luna, Bun. Ayah cuman--""Cuman apa, hah? Cuman gak terima dan gak suka kalau istri mudanya aku marahin?" ucap Liana dengan tatapan nyalang seraya melipat kedua tangannya di dada."Gak gitu Bunda..." Juna mencoba untuk menyentuh pundak Liana, namun dengan cepat wanita itu menepisnya."Susah payah aku ngedidik Senna dan menjauhkan dia dari handphone. Tapi malah dengan mudahnya istri mud
Meski kesal dan dalam keadaan suasana hati yang kacau, tapi Liana tidak bisa mengabaikan kewajibannya sebagai seorang istri dan ibu segitu saja. Maka dari itu, dipukul empat sore ini, seperti biasa ia berkutat di ruang dapur untuk menyiapkan makan malam untuk keluarga kecilnya."Sayang bantuin Bunda masak yuk!" Teriaknya memanggil sang putri.Dikarenakan Liana tidak memperbolehkan Sienna bermain gadget, untuk mensiasati agar anaknya tidak cepat bosan, Liana kerap kali mengajak Sienna untuk melakukan berbagai hal di rumah, termasuk mengajak Sienna untuk membantunya memasak.Menurut Liana hal itu lebih bermanfaat ketimbang membiarkan anaknya bermain gadget. Lagipula Sienna juga tipikal anak yang penurut dan senang-senang saja melakukan banyak hal bersama sang ibu.Namun ada yang sedikit berbeda kali ini. Biasanya anaknya itu akan langsung menghampiri ketika Liana memanggil, tapi sekarang sudah ditunggu beberapa saat, sang putri tidak kunjung datang juga, bahkan tidak menyahut sama sekal
Entahlah, Liana sendiri tidak tahu, apakah keputusannya untuk tetap bertahan bersama Juna adalah langkah yang benar atau justru kesalahan yang akan semakin menyakiti dirinya di kemudian hari.Namun, jujur saja, selain Sienna, ada alasan lain yang membuatnya masih bertahan di tengah badai yang menghantam rumah tangganya. Alasan itu sederhana namun begitu kuat: rasa cintanya pada Juna.Tak mudah menghapus cinta yang telah tumbuh subur selama bertahun-tahun di hatinya. Meski rasa itu kini bercampur dengan luka dan kekecewaan mendalam, ia tak bisa begitu saja menghilangkan kenangan indah yang pernah mereka lalui bersama.Enam tahun pernikahan mereka, ditambah tiga tahun masa pacaran, bukanlah waktu yang singkat. Dalam rentang waktu itu, begitu banyak kenangan manis yang tersimpan di sudut-sudut hidupnya. Senyuman Juna, perhatian kecilnya, bahkan janji-janji yang dulu pernah diucapkannya—semua itu terukir terlalu dalam di hatinya hingga sulit dilupakan begitu saja. Maka, apakah salah jika
Di dalam ruangan, Liana mendekati ranjang Sienna. Wajah putrinya terlihat pucat, dengan tubuh lemah terbaring di atas ranjang. "Bunda..." suara kecil Sienna menyambutnya. "Iya, Sayang? Apa yang sakit?" Liana berdiri di sisi ranjang, membelai lembut kepala putrinya. "Kepala Senna sakit, Bunda... badan Senna juga lemas..." keluh Senna dengan suara kecil, matanya sedikit terpejam karena lemah. "Sabar ya, Nak. Sebentar lagi kamu pasti sembuh," bisik Liana lembut, sambil membelai rambut putrinya. "Tapi Senna harus makan dan minum obat dulu, ya?" Senna menggeleng pelan. "Gak mau, Bunda..." "Kalau gak makan, sembuhnya lama, loh," bujuk Liana, mencoba tersenyum untuk menguatkan putrinya. "Gini deh, Senna mau apa? Bunda janji turutin." Mata Senna yang tadi redup kini berbinar kecil. "Senna mau Ayah, Bunda. Senna mau Ayah di sini..." Liana tertegun. Kata-kata sederhana dari putrinya itu menusuk hatinya yang sedang hancur berkeping. Ia berusaha menahan tangis, menyembunyikan rasa
"Ayah—""Bunda—" Keduanya berucap bersamaan, dengan ekspresi terkejut yang serupa. Namun, perbedaan di antara mereka begitu nyata. Liana terkejut melihat suaminya bersama wanita lain, sementara Juna terkejut karena keberadaan istrinya di rumah sakit, terlebih saat Liana memergokinya bersama seorang gadis. Dalam sekejap, kegelisahan menyelimuti pria tersebut. "S-siapa dia, Yah? Kenapa kamu—" "A-ayah bisa jelasin, Bun." Juna buru-buru memotong, sebelum Liana menyelesaikan kalimatnya. Ia menoleh pada gadis yang duduk di kursi roda. "Luna, kamu ke ruangan lebih dulu, ya?" Aluna mengangguk, ia tidak mengatakan sepatah katapun, sebab ia takut hanya akan membuat semuanya menjadi semakin rumit. Lantas Juna memanggil seorang suster yang kebetulan lewat untuk mengantarkan Aluna ke ruangannya.Setelah Aluna pergi, suasana berubah tegang. Liana menatap Juna tajam, matanya memerah, mencerminkan amarah yang membara bercampur luka yang baru saja terbuka. "Jadi, ini alasan kenapa kamu gak bisa
Tiga hari telah berlalu sejak Juna terakhir kali menghubungi Liana. Selama itu pula, pria itu belum sekali pun pulang ke rumah. Meski begitu Juna terus mencoba menghubungi sang istri meski panggilannya tidak pernah dijawab.Liana memilih untuk menonaktifkan ponselnya. Rasa kecewa dan kesal terhadap Juna yang lebih mementingkan pekerjaan membuatnya enggan mendengar alasan apa pun. Baginya, kata maaf melalui telepon tidak cukup. Ia dan Sienna tidak membutuhkan itu—mereka membutuhkan kehadiran Juna. Pagi itu, seperti biasa, Liana mencoba membangunkan Sienna. "Sayang, bangun yuk. Hari ini kamu harus sekolah," ucapnya lembut sambil mengetuk pintu kamar anaknya.Namun, tak ada jawaban dari dalam. Liana akhirnya masuk dan mendekati ranjang Sienna. Ia menggoyangkan tubuh putrinya pelan. Tapi begitu tangannya menyentuh lengan Sienna, ia langsung merasakan kehangatan yang tidak biasa. "Ya tuhan, badan kamu panas sekali, Nak." Liana dengan cepat menyentuh wajah Sienna, memastikan apa yang di
Sienna duduk di kursi kecil berwarna merah di sudut kafe, menggoyang-goyangkan kakinya yang mungil sambil memandangi pintu masuk. Balon warna-warni tergantung di dinding, dan kue ulang tahun besar berbentuk unicorn berada di atas meja. Anak-anak lain sudah mulai menikmati permainan dan kudapan, tetapi mata Sienna tetap terpaku pada pintu.Gadis kecil itu turun dari kursi, melangkah menghampiri bundanya yang tengah berdiri di luar area kafe. "Ayah mana Bunda, kok belum datang?"Liana menunduk, berjongkok agar sejajar dengan putrinya. Ia memasang senyum kecil meski hatinya diliputi resah karena sang suami belum juga tiba. "Sebentar ya, Bunda coba telepon Ayah lagi," ucapnya sambil mengelus lembut rambut Sienna. Sienna mengangguk, memandang ibunya dengan harapan besar. Sementara itu, Liana mengangkat ponselnya lagi, mencoba menghubungi sang suami--Juna, untuk kesekian kalinya. Namun, seperti sebelumnya, panggilan itu tidak juga dijawab. "Kenapa sih, Yah? Kok gak diangkat-angkat?" gum