Tak ada getaran
Monalisa berdiri di pinggir jendela apartemen, melihat gemerlap cahaya lampu yang menyala terang di malam hari. Kemudian tangannya meraih sebatang rokok yang tergeletak di atas meja, dia bakar dan hisap dalam dalam. Pikirannya terbang mengingat dan memahami apa yang tadi Tania sampaikan, mengenai pencarian jodoh untuk Reynold. Sebenarnya dia sudah mengetahui hal itu, namun dia berusaha untuk tidak mempercayainya. Dalam dirinya dia masih memiliki keyakinan jika Reynold begitu menginginkannya dan akan tetap mempertahankannya.
Dia tidak ingin kembali pada kehidupan lamanya, kembali ke club yang mengharuskan dia bekerja begitu keras. Itu begitu menyakitkan, pekerjaan itu membuatnya ingin menangis setiap hari. Tidak jarang dia harus menahan perih di pipinya karena perlakuan kasar dari tamu yan
PersainganReynold masuk ke dalam mobil, dengan suasana hati yang entah dia sendiripun tidak bisa menamainya."Aldo, coba hubungi sekretaris Pete apakah dia sudah di kantor," pinta Reynold pada supir pribadinya. "Baik tuan muda," ucap Aldo yang segera menghubungi sekretaris Pete untuk menanyakan keberadaannya."Iya tuan, sekretaris Pete sudah berada di kantor," ucap Aldo setelah menelephon."Baiklah, kita ke kantor sekarang," ucap Reynold yang dijawab dengan anggukan oleh Aldo. Mobil melaju meninggalkan parkiran luas di kediaman keluarga Hamzah. Melaju mulus tanpa suara ke arah kantor tuan muda ReynoldSepanjang jalan Reyno
Tawa KeherananRenata berdiri di depan pintu ruang kerja Reynold, mengenakan dress sepanjang lutut berwarna coklat muda. Rambutnya terurai panjang dibawah bahu, lurus, hitam pekat, dihiasi bando hitam bercorak emas. Wajahnya cantik, hidung sedikit mancung, mata sipit, dengan bibir tipis yang dipoles pewarna merah jambu. Renata merapikan kerah bajunya, bersiap masuk menemui pria tampan yang sempat diimpikannya, sewaktu melihat poster hebatnya sebagai CEO muda ternama, pernah diimpikannya seandainya bisa menjadi kekasih bahkan pendamping hidup, sekarang ini kesempatannya untuk mewujudkan mimpi. Renata menarik nafas panjang lalu melangkah masuk. Jantungnya berdegup kencang seolah hendak meloncat keluar dari da
Bab 27Selalu Ada AlasanSekretaris Pete menarik nafas panjang, dia harus memupuk kesabarannya dengan begitu berlimpah. Tugasnya cukup berat hari ini, jika boleh memilih dia akan lebih suka mengerjakan berbagai pekerjaan kantor dibanding menjadi pelantara pencarian jodoh, apalagi kriteria yang dicari begitu sulit, ini benar benar sulit.Sekretaris Pete menyiapkan gadis ke tiga, yaitu Vira. Sekretaris Pete berusaha mendekat, mencium aroma tubuhnya dengan sembunyi, dia harus memastikan tidak ada bau tidak sedap yang akan membuatnya terkena kemarahan, lalu dia berusaha menyapa gadis cantik itu dengan begitu dekat, memastikan tidak ada bau mulut yang nantinya akan membuat tuan muda Reynold kembali dalam masalah.
Sesak itu muncul lagiMobil Reynold berhenti di sebuah kedai kopi ternama, dia membuka pintu mobil, turun lalu berjalan masuk ke dalam sebuah kedai kopi. Pikirannya mulai lelah, seperti biasanya ini adalah kedai kopi langganannya yang dia datangi ketika mulai kalut dan penat."Selamat siang tuan muda Reynold, lama tidak melihat anda," ucap salah satu pelayan yang sepertinya sudah sangat mengenalnya."Selamat siang, bisakah berikan aku secangkir kopi panas seperti biasanya," pinta Reynold."Tentu saja, satu sendok kopi luwak dengan satu setengah sendok gula dan cream secukupnya," ucap pelayan yang sudah begitu hafal dengan kopi yang diinginkan pelangganannya itu.
Sulit lepas dari kehidupan kelam"Silahkan duduk tuan, saya akan menyampaikan hasil pemeriksaan yang telah dilakukan" ucap seorang dokter yang sudah membawa selembar kertas di tangan kirinya."Baiklah dokter, ada masalah apa dengan jantung saya?" tanya Reynold penasaran. "Setelah kami lakukan pemeriksaan yang serius dan sungguh sungguh, dapat kami simpulkan bahwa tidak ada masalah dengan jantung tuan muda Reynold. Jantung tuan sehat, kuat dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan," ucap dokter yang disambut kelegaan oleh sekretaris Pete."Kau tidak salah dokter, rasanya sangat sakit sekali," ucap Reynold seraya menekan dadanya."Bisa saya simpulkan sepertinya tuan muda kelelahan, tuan muda bisa menjadwalkan waktu untuk berl
SenyumMobil Reynold sudah terparkir di luar apartemen. Aldo mengambil mobil tuan mudanya dari kedai kopi dan langsung menuju ke tempat Monalisa. Dia dengan setia menunggu tuan mudanya turun. Ini sudah menjadi kebiasaan Aldo, menunggu dan menunggu. Reynold terlihat keluar dari lobby apartemen mewah itu, sudah rapi dengan setelan jas hitam dan kaca mata hitamnya. Berjalan menuju ke arah mobil. Melihat tuan mudanya Aldo segera mempersiapkan diri, turun dan membuka pintu mobil untuk tuan mudanya tersebut."Aldo, kita pulang," ucap Reynold setelah berada di dalam mobil. "Baik tuan muda," u
Pesona MonalisaMonalisa menginjakkan kaki di dealer milik Romani yang merupakan rekan kerja Reynold. Langkahnya begitu ringan dengan senyum mengembang sempurna. Hari ini mimpinya akan terwujud, dia bebas memilih mobil yang diinginkannya, begitu mudah mendapatkan apa yang diinginkan, selama Monalisa masih menjadi yang diinginkan Reynold maka tidak ada yang sulit."Mbak, bisakah saya bertemu dengan tuan Romani," ucap Monalisa pada seorang SPG cantik yang berdiri disebelah mobil mewah, menunggu pelanggan yang ingin melihat barang yang ditawarkannya, sekedar melihat atau bahkan membeli dan diapun mendapat tips yang besar atas usahanya."Sudah ada janji?" tanya SPG tersebut."Oh belum, bilang saja ada nona Monalisa," ucap Monalisa yakin.
Menjadi Orang Biasa Reynold terlihat rapi dengan setelan baju olah raga berwarna hitam dengan garis kuning, sederhana namun begitu pantas melekat di tubuhnya. Reynold merapikan rambutnya ke belakang, lalu mengacak acaknya lagi, beberapa kali menyisir dari kiri ke kanan, dilihatnya, lalu diulangi lagi dari kanan ke kiri, diamati, sepertinya kurang bagus, lalu disisir ke belakang, lalu berbagai posisi, dan akhirnya kembali ke posisi semula, menarik rambutnya ke belakang dengan gel rambut yang membuat rambut itu tidak bergerak. Reynold terlihat melangkahkan kaki ke arah meja makan, hatinya cukup berbunga bunga pagi ini, begitu cerah, secerah matahari terbit yang menyinari bumi.