Inicio / Romansa / Gadis Persinggahan / Bab 5: Gaslighting Sempurna

Compartir

Bab 5: Gaslighting Sempurna

Autor: Alyantha_Z
last update Última actualización: 2025-10-27 04:37:24

​Tri terbangun dengan rasa sakit yang menusuk di tenggorokan, seolah ia baru saja menjerit selama berjam-jam. Cahaya kuning remang-remang dari lampu meja menemani matanya yang perlahan terbuka. Ia berada di kamarnya, selimut tebal menutupi tubuhnya, dan di sampingnya, duduk Ibunya dengan mata sembab dan tatapan penuh kekhawatiran.

​"Syukurlah, Nak. Kamu sudah sadar," bisik Ibu Tri, tangannya mengelus rambut Tri dengan lembut. "Tidurmu nyenyak sekali. Jangan khawatir, Sayang. Semuanya baik-baik saja."

​Semuanya baik-baik saja. Kata-kata itu berulang di kepala Tri, namun bertabrakan dengan memori yang baru saja menghancurkannya. Tri mencoba mengingat. Pita maroon yang dirobek. Cincin yang diinjak. Foto Raihan dan Sarah, tersenyum di pelabuhan abadi mereka.

​Rasa sakit itu menghantam Tri lagi, membuatnya sesak napas. Ia mencoba meraih ponselnya yang tergeletak di nakas. Ibu Tri menahan tangan Tri.

​"Jangan dulu, Nak. Kamu istirahat. Ibu akan buatkan teh hangat."

​Tri menggeleng, memaksa suaranya keluar. "Raihan... Kak Raihan..."

​Ibu Tri mengangguk, sorot matanya mengeras. "Dia sudah menelepon. Tadi. Dia bilang baru sampai dari tugas penting di luar kota. Dia akan ke sini sebentar lagi."

​Tugas penting. Pernikahan di Surabaya. Tri hanya bisa menatap Ibunya, tidak mampu mengungkapkan kebenaran yang terlalu menyakitkan dan memalukan. Ia tidak ingin Ibunya tahu betapa konyolnya ia, betapa mudahnya ia menjadi 'gadis bodoh'

​Beberapa saat kemudian, deru mobil sedan hitam yang akrab terdengar dari luar. Raihan datang.

​Jantung Tri berdebar, bukan karena rindu, melainkan karena ketakutan dan harapan yang bercampur aduk. Ia masih memiliki secuil harapan bahwa foto itu benar-benar simulasi, bahwa ini semua adalah kesalahpahaman konyol.

​Ibu Tri beranjak, merapikan baju Tri. "Ibu akan menemuinya di bawah. Kamu tenang saja. Ibu tidak akan biarkan dia menyakitimu."

​Raihan masuk ke ruang tamu dengan penampilan yang sangat meyakinkan. Ia terlihat lelah, rapi dengan kemeja batik yang sedikit kusut, dan membawa oleh-oleh berupa kotak makanan kecil khas Surabaya. Ia menyapa Ibu Tri dengan senyum menawan yang selalu berhasil meluluhkan hati calon mertua.

​"Selamat malam, Bu," sapa Raihan, suaranya terdengar tulus. "Maafkan saya. Saya baru saja tiba di Jakarta. Begitu saya tahu Tri sakit dan shock, saya langsung ke sini. Saya sudah coba telepon, tapi ponsel Tri tidak aktif."

​Ibu Tri, meskipun masih curiga, kesulitan untuk bersikap dingin. "Tri sakit, Raihan. Dia sangat shock. Apa yang terjadi di luar kota itu? Apa Tri mengganggu pekerjaanmu?"

​"Astaga, tidak, Bu. Tri tidak mengganggu. Justru saya yang salah. Saya terlalu membebani dia dengan cerita-cerita kantor yang sensitif," Raihan memainkan perannya dengan sempurna.

"Ada tekanan promosi, Bu. Saya harus bersikap sangat profesional. Saya kira Tri sudah cukup dewasa untuk memahami, tapi rupanya ia terlalu sensitif. Itu salah saya karena tidak melindungi perasaannya."

​Ibu Tri terdiam. Raihan berhasil memutarbalikkan cerita. Raihan bukan pembohong yang menikah, ia adalah pria karir yang terlalu bersemangat dan terlalu jujur kepada kekasih mudanya.

​"Boleh saya temui Tri sebentar, Bu? Saya perlu menjelaskan semuanya, agar dia tidak salah paham," pinta Raihan, suaranya penuh keprihatinan yang meyakinkan.

​Setelah beberapa saat ragu, Ibu Tri akhirnya mengizinkan Raihan naik, namun dengan syarat ia harus meninggalkan pintu kamar Tri terbuka.

​Raihan masuk. Ia melihat Tri yang bersandar di tempat tidur, tampak ringkih dan rapuh. Raihan berjalan pelan, menjatuhkan tubuhnya di tepi kasur. Ia meraih tangan Tri, dan kehangatan telapak tangannya itu terasa begitu akrab, begitu menyesatkan.

​"Hei, Sayangku. Kamu kenapa? Kenapa kamu sampai sakit begini?" tanyanya, suaranya sangat lembut.

​Tri menarik tangannya, amarah dan rasa sakitnya sedikit kembali. "Jangan sentuh aku. Aku sudah lihat fotonya, Kak. Kamu memblokirku. Kamu sudah menikah dengan Sarah di Surabaya."

​Raihan mendengarkan tanpa bereaksi. Ia menghela napas, gestur yang menandakan kesabaran tak terbatas menghadapi kekanak-kanakan.

​"Tri, lihat aku," Raihan memegang dagu Tri, memaksa Tri menatap matanya. Mata Raihan terlihat lelah, tetapi tulus. "Aku tahu kamu lihat foto itu. Itu pasti dari Dina atau teman-temanmu yang iri. Dengarkan aku baik-baik."

​Raihan mulai menceritakan alibinya. "Foto itu adalah bagian dari tes promosi jabatan manajer regional. Sarah, sebagai senior dan istri atasan, diminta membantu simulasi skenario pernikahan untuk sebuah event amal. Jas pengantin itu? Itu seragam event. Caption itu? Itu kode internal tim yang mengatakan 'Aku bukan lagi staf, aku adalah manajer'. Aku sudah jelaskan, ini sensitif, Tri. Tapi kamu malah melanggar aturanku, mencari-cari, dan percaya pada foto hoax dari orang luar."

​"Tapi Sarah pakai gaun pernikahan sungguhan!" Tri membela diri, suaranya lemah.

​"Itu gaun pesta, Tri. Beda. Kamu tahu aku tidak suka berbohong, kan? Kenapa kamu lebih percaya pada foto buram di internet daripada janjiku yang kubangun berbulan-bulan?" Raihan memutarbalikkan kenyataan dengan sangat halus, membuat Tri merasa bersalah karena telah meragukan kesetiaan yang tak pernah ada.

​"Aku memblokirmu karena kamu melanggar garis batas yang aku buat! Aku memblokirmu karena aku ingin kamu lulus ujian ketulusan ini!" Raihan meninggikan suaranya sedikit, lalu langsung meredakannya. "Ujian ini adalah untuk membuktikan apakah kamu bisa percaya padaku di saat dunia meragukan kita. Dan kamu gagal, Tri. Kamu gagal karena kamu percaya pada Dina."

​Raihan menghela napas lagi, memegang tangan Tri. "Dina tidak suka kita. Dia ingin kamu terus jadi anak-anak. Dia meracunimu, Sayang. Aku ingin kamu memutuskan hubungan dengan Dina, demi kebaikanmu. Demi masa depan kita."

​Tri menangis lagi, tetapi kini air mata keputusasaan, bukan amarah. Ia mulai percaya. Raihan terdengar begitu meyakinkan, begitu logis. Logikanya terasa lebih masuk akal daripada kebenaran yang menyakitkan. Bukankah Raihan sudah bilang akan melamarnya? Kenapa dia repot-repot kembali jika itu hanya kebohongan?

​"Aku.. aku tidak tahu harus percaya siapa," bisik Tri.

​Raihan tersenyum lembut. "Percaya pada orang yang janji memberimu rumah dan cincin, Tri. Bukan pada gadis yang hanya menawarimu bangku sekolah."

​Raihan merogoh saku kemejanya. Ia mengeluarkan sebuah kotak kecil beludru berwarna gelap. Ia membukanya, memperlihatkan sebuah cincin perak tipis dengan ukiran inisial 'R' dan 'T' di dalamnya.

​"Cincin Janji yang kemarin... itu hanya cincin main-main. Cincin ini, ini adalah Cincin Janji yang sebenarnya," ujar Raihan, nadanya serius dan penuh janji. "Ini adalah tanda pengikat kita. Aku tidak pernah memakainya. Aku tidak pernah mau memakainya. Hanya kamu yang boleh. Kalau kamu memakai cincin ini, kamu harus janji satu hal padaku."

​Tri menatap cincin itu. Itu adalah pengganti bagi kehancuran yang ia lakukan terhadap cincin sebelumnya. Simbol penyesalan Tri, dan simbol pengikat baru Raihan.

​"Apa janjinya, Kak?" tanya Tri, suaranya kini patuh.

​Raihan mengambil cincin itu, lalu memakaikannya pelan-pelan di jari manis Tri. Cincin itu pas dengan sempurna.

​"Janjinya adalah, Hapus semua kecurigaan, jangan pernah menghubungi Dina lagi, dan fokus hanya pada kita," Raihan berbisik, nadanya kini kembali memikat, seolah membujuk seorang gadis kecil. "Aku akan menghubungimu lusa, untuk menentukan tanggal lamaran kita yang sesungguhnya. Aku akan melakukan segalanya untukmu, Sayang. Tapi kamu harus bersihkan hidupmu dari racun itu. Buktikan kamu mau berjuang untukku."

​Tri menatap cincin itu di jarinya. Dingin, tipis, namun terasa kuat. Ia mengangguk. Ia memilih untuk percaya pada ilusi Raihan, karena ilusi itu terasa lebih hangat daripada kenyataan yang ditinggalkan Dina.

​"Aku akan melakukannya, Kak. Aku akan putus kontak dengan Dina," janji Tri, dan pada saat itu, Raihan berhasil sepenuhnya memasukkan Tri kembali ke dalam jebakannya. Tri telah lulus 'ujian ketulusan' Raihan. Raihan kembali menang.

Continúa leyendo este libro gratis
Escanea el código para descargar la App

Último capítulo

  • Gadis Persinggahan   Bab 6: Harga Sebuah Keheningan

    ​Cincin janji perak tipis itu terasa dingin di jari manis Tri. Bukan simbol cinta, melainkan chip pelacak yang dipasang Raihan, memastikan Tri tidak akan melangkah keluar dari garis batas yang telah ia tetapkan. Setelah Raihan pergi, meninggalkan jejak aroma maskulin dan janji pernikahan yang baru, kamar Tri kembali sunyi. Namun, keheningan kali ini terasa lebih membebani. Tri telah memilih ilusi kehangatan Raihan daripada realitas dingin yang ditawarkan Dina.​Pagi berikutnya, Tri pergi ke sekolah dengan langkah yang berat. Ia harus melaksanakan janji terberat yang ia buat pada Raihan: menghapus 'racun' dari hidupnya.​Saat memasuki gerbang, Tri melihat Dina menunggunya di depan mading. Jantung Tri mencelos.​"Tri! Aku khawatir sekali! Kenapa kamu bolos kemarin, dan kenapa kamu tidak membalas pesanku sama sekali?" Dina menghampiri, matanya memancarkan keprihatinan yang tulus.​Tri berusaha memutar arah, tetapi Dina sudah melihatnya. Tri menunduk, menghindari tatapan Dina. Ia menggeng

  • Gadis Persinggahan   Bab 5: Gaslighting Sempurna

    ​Tri terbangun dengan rasa sakit yang menusuk di tenggorokan, seolah ia baru saja menjerit selama berjam-jam. Cahaya kuning remang-remang dari lampu meja menemani matanya yang perlahan terbuka. Ia berada di kamarnya, selimut tebal menutupi tubuhnya, dan di sampingnya, duduk Ibunya dengan mata sembab dan tatapan penuh kekhawatiran.​"Syukurlah, Nak. Kamu sudah sadar," bisik Ibu Tri, tangannya mengelus rambut Tri dengan lembut. "Tidurmu nyenyak sekali. Jangan khawatir, Sayang. Semuanya baik-baik saja."​Semuanya baik-baik saja. Kata-kata itu berulang di kepala Tri, namun bertabrakan dengan memori yang baru saja menghancurkannya. Tri mencoba mengingat. Pita maroon yang dirobek. Cincin yang diinjak. Foto Raihan dan Sarah, tersenyum di pelabuhan abadi mereka.​Rasa sakit itu menghantam Tri lagi, membuatnya sesak napas. Ia mencoba meraih ponselnya yang tergeletak di nakas. Ibu Tri menahan tangan Tri.​"Jangan dulu, Nak. Kamu istirahat. Ibu akan buatkan teh hangat."​Tri menggeleng, memaksa

  • Gadis Persinggahan   Bab 4: Pukulan Telak

    Tri sempat menatap foto itu selama dua puluh detik, tanpa berkedip, tanpa bergerak, tanpa mengeluarkan suara. Ia merasakan denyut nadi di pelipisnya berpacu gila-gilaan, dan dunia di sekitarnya meredup. Tubuhnya terasa berat, namun jiwanya tiba-tiba ringan, terlepas dari kenyataan.Pelabuhan abadi. Raihan selalu memanggil Tri sebagai pelabuhan terakhir. Kini, Tri mengerti. Ia bukan pelabuhan. Ia hanya persinggahan. Ia adalah jembatan sementara yang dilewati Raihan, tempat Raihan membuang waktu, mengisi bahan bakar emosional, sebelum kembali ke tujuan sebenarnya 'Sarah'.Rasa dingin yang membekukan itu beralih menjadi amarah yang mendidih. Tri dengan tangan gemetar menyentuh layar, mencoba memperbesar foto itu. Ia ingin memastikan matanya tidak salah.Jas Raihan itu mahal, gaun Sarah anggun, dekorasinya elegan. Ini bukan 'simulasi' untuk promosi kantor, ini adalah pernikahan nyata.Tri bergegas membuka aplikasi Instagram, langsung menuju akun Raihan. Sesuai dugaannya, akun Raihan kini

  • Gadis Persinggahan   Bab 3: Garis Batas dan Pemberontakan Hati

    ​Pita itu bukan hanya pita, melainkan benang merah yang menghubungkan Raihan dengan tunangan resminya, sebuah kebohongan yang kini tampak menjijikkan.​Tri berlari meninggalkan Dina di sekolah, rasa sakit karena dikhianati jauh lebih panas daripada terik matahari Jakarta. Ia tidak peduli pada tatapan bingung teman-temannya atau ancaman hukuman karena bolos jam pelajaran terakhir. Tujuannya hanya satu, kamar tidurnya yang aman.​Ia mengunci diri di kamar, merosot ke lantai dengan punggung menempel di pintu. Di tangannya, ia menggenggam ponsel dan pita maroon itu. Pita yang licin, murah, dan kini terasa seperti belenggu yang mengikatnya pada kebohongan tujuh tahun lebih tua. Rasa sakit di dadanya begitu hebat hingga sulit bernapas. Semua janji tentang rumah di BSD, Santorini, dan "pelabuhan terakhir" kini terasa hampa dan palsu.​Tri bangkit, tangannya gemetar meraih ponsel. Ia harus menghubungi Raihan. Ia harus memaksa pria itu menghadapi kebenaran. Logika Dina kini memenuhi otaknya,

  • Gadis Persinggahan   Bab 2: Ujian Ketulusan

    ​Tugas luar kota mendadak. Dua hari tidak bisa dihubungi. Janji segera dilamar. Tiga kalimat itu terasa seperti penenang yang dicampur dengan racun yang mematikan.​Tri menghabiskan hari itu dalam dilema yang menyakitkan. Ia duduk di bangku kelas, di hadapannya terbentang lembar soal ulangan Biologi tentang genetika, tetapi yang berputar di benaknya bukanlah kromosom, melainkan janji-janji Raihan. Di satu sisi, ia memegang pita maroon dan ingatan akan wanita bergelang merah, bukti visual yang kejam. Di sisi lain, ia menggenggam janji lamaran, janji yang mewakili seluruh masa depannya yang telah dirancang rapi. Ia memilih untuk percaya pada janji, menganggap pita dan gelang itu hanya kebetulan, sisa masa lalu Raihan yang belum sepenuhnya ia bersihkan.​Namun, keraguan itu tidak hilang. Rasa mual menemani Tri sepanjang jam pelajaran, membuat Tri gagal fokus. Ia akhirnya menyerah. Tepat saat bel istirahat berbunyi, Tri sudah tidak tahan lagi memanggul beban kerahasiaan ini sendirian. Ia

  • Gadis Persinggahan   Bab 1: Janji di Bangku Taman

    ​Pita satin maroon itu adalah bukti bisu dari kebohongan yang seharusnya tidak pernah ditemukan oleh seorang gadis SMA.​Di balik pagar rendah Rumah Sakit Harapan Bunda, di bangku semen yang tersembunyi, Tri Ananda Putri menunggu Raihan Azizi. Udara sore itu terasa dingin karena pendingin ruangan rumah sakit, tetapi kecemasan di perut Tri jauh lebih membekukan. Sudah dua jam ia menunggu, sejak bel sekolah berbunyi.​Tri melihat jam digital di ponselnya lagi, pukul 16.35. Jakarta sedang mencapai kepadatan maksimal, namun yang membuatnya gelisah bukanlah macet, melainkan pesan terakhir Raihan, empat jam lalu, "Urusan manajer mendadak. Tunggu. Jangan sampai ada yang lihat". Hubungan ini selalu diselimuti kerahasiaan, seolah cinta mereka adalah proyek rahasia terlarang yang harus dijaga rapat dari pandangan siapa pun, berjalan dalam sunyi, penuh kehati-hatian, namun tetap menyimpan getar rasa yang tak mampu dipadamkan oleh larangan dan keadaan​Raihan, perawat senior yang menawan, berusi

Más capítulos
Explora y lee buenas novelas gratis
Acceso gratuito a una gran cantidad de buenas novelas en la app GoodNovel. Descarga los libros que te gusten y léelos donde y cuando quieras.
Lee libros gratis en la app
ESCANEA EL CÓDIGO PARA LEER EN LA APP
DMCA.com Protection Status