Share

Bab 6

“Mil, notulensi hasil meeting tadi langsung kirim ke email saya, ya,” ucap Edgar kepada sekretarisnya yang bernama Mila. “Ah, laporan dari masing-masing divisi juga harus sampai di atas meja saya besok pagi. Semuanya perlu dicek sebelum proyek apartemen berjalan.”

 

“Baik, Mas. Nanti akan saya sampaikan ke ketua divisi,” sahut Mila dengan patuh, kemudian merogoh saku blazernya untuk mengambil ponsel.

 

Edgar kembali ke ruang kerja, melepas jas yang membalut tubuhnya. Laki-laki itu lantas duduk menghadap layar komputer, hendak memeriksa email masuk. Tapi, ponselnya tiba-tiba bergetar, ada nama Papa Danu yang tertera di atas layar.

 

“Shit,” gumam Edgar sambil melirik jam tangannya.

 

Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore, sudah saatnya Edgar menjemput Indira di kampus. Edgar tahu persis apa tujuan Papa Danu menelepon. Tentu saja bukan ingin membahas masalah kantor atau proyek, tapi ingin mengingatkan Edgar soal kewajiban-kewajiban barunya.

 

“Saya sibuk, Pa. Ada beberapa laporan yang harus diperiksa,” ujar Edgar begitu menerima telepon dari Papa Danu. Penjelasannya dibumbui dengan kebohongan.

 

“Meeting sudah selesai, laporan dari masing-masing divisi baru kamu periksa besok pagi,” sahut Papa Danu.

 

Sial. Edgar nyaris lupa kalau di kantor ada banyak sekali mata dan telinga yang diperintahkan Papa Danu untuk mengawasinya.

 

“Jemput Indira sekarang juga,” perintah Papa Danu dengan penuh penekanan.

 

“She isn’t a baby, Pa. Apa susahnya pulang sendiri naik taksi atau angkutan umum?” sahut Edgar, sedikit menaikkan suaranya. “Jangan terbiasa dimanja. Apa-apa harus bisa dilakukan sendiri.”

 

“Indira sekarang menjadi tanggung jawabmu, Ed. Perlakukan dia dengan baik.”

 

“Sikap saya sejauh ini sudah cukup baik, Pa. Saya biarkan dia tinggal di rumah, memberinya makan, mengantarnya ke kampus.”

 

“Kamu yang mengantar Indira, artinya kamu juga yang harus menjemputnya.”

 

Dalam hati, Edgar memaki habis-habisan.

 

Edgar sungguh tak mengerti dengan jalan pikiran Papa Danu. Sangat berlebihan sekali memanjakan Indira yang statusnya bukan siapa-siapa.

 

“Pergi ke kampus sekarang juga,” kata Papa Danu, kemudian mengakhiri telepon secara sepihak.

 

Dan, Edgar tahu persis kalau perintah itu tak boleh dibantah.

 

Edgar mengembuskan napas, lalu mengusap wajahnya dengan kasar. Setelah berpikir cukup lama, akhirnya laki-laki itu beranjak dari kursinya. Berjalan meninggalkan ruangan dengan ekspresi masamnya.

 

Pergi ke basement untuk mengambil mobilnya, kemudian melaju meninggalkan kompleks perkantoran.

 

Memasuki rush hour, kondisi jalanan padat luar biasa. Penuh dengan kendaraan pribadi dan angkutan umum. Para pegawai kantoran mulai berhamburan keluar, memenuhi trotoar dan halte-halte yang ada.

 

Edgar tak bisa mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Terjebak di tengah kemacetan yang menguras energi dan emosi. Hingga warna langit perlahan berganti. Dari biru, menjadi sedikit oranye, lalu berubah lagi menjadi keunguan.

 

Ketika tiba di area kampus, langit telah menggelap.

 

Edgar berhenti di depan Gedung C yang telah sepi. Keluar dari mobil, mengedarkan pandangannya untuk mencari Indira. Tapi, tak ada siapa-siapa.

 

“Cari siapa, Mas?” tanya seorang satpam yang melihat Edgar sedang kebingungan.

 

“Ah, cari seseorang. Gedung ini sudah kosong ya, Pak? Nggak ada aktivitas mahasiswa?” sahut Edgar dengan sopan.

 

“Kosong, Mas. Kelas terakhir sudah selesai satu jam yang lalu, jadi nggak ada mahasiswa yang tersisa di sekitar fakultas.”

 

“Terima kasih informasinya, Pak.”

 

Satpam tersenyum dengan sopan, lalu kembali ke posnya.

 

Edgar menarik napas dalam-dalam, kemudian mengembuskannya secara perlahan. Laki-laki itu mengeluarkan ponsel dari saku celananya, hendak menelepon Indira. Tapi, sedetik kemudian teringat kalau dirinya tak menyimpan nomor Indira.

 

Akhirnya Edgar memutuskan untuk menelepon Bi Imah.

 

“Halo? Ada apa, Mas Edgar?” tanya Bi Imah di seberang sana.

 

“Indira di rumah, Bi?” sahut Edgar to the point.

 

“Mbak Indira sudah sampai rumah sejak setengah jam yang lalu, Mas. Ini sedang membantu Bibi menyiapkan makan malam.”

 

“Saya nggak ingin makan masakannya Indira, Bi. Minta dia pergi dari dapur.”

 

Setelah itu, Edgar mengakhiri telepon. Dadanya bergemuruh, dipenuhi emosi. Ia sudah bersusah payah pergi ke kampus, melewati jalanan yang super macet dan berdebu. Tapi, Indira ternyata sudah tiba di rumah terlebih dulu.

 

***

 

“Mas Edgar sepertinya sedang marah. Jadi, sebaiknya Mbak Indira ke ruang tengah saja. Nggak perlu membantu Bibi memasak makan malam,” ucap Bi Imah.

 

Indira mengerjapkan mata, bingung luar biasa. Gadis itu baru saja mencuci ikan, hendak memotongnya menjadi bagian-bagian yang lebih kecil. Tapi, tiba-tiba Bi Imah memintanya untuk berhenti.

 

Edgar marah, katanya.

 

“Marah kenapa, Bi?” tanya Indira, hatinya mendadak berselimut rasa cemas.

 

“Saya nggak tahu. Tapi, barusan Mas Edgar telepon saya, tanya apa Mbak Indira ada di rumah,” jelas Bi Imah dengan ragu-ragu. “Saya jawab kalau Mbak Indira sudah sampai rumah dan sedang membantu Bibi memasak. Eh, Mas Edgar langsung meminta Mbak Indira untuk pergi dari dapur.”

 

Indira termenung, berusaha mencerna situasi yang sedang dihadapinya saat ini.

 

“Jangan bilang…” gumam Indira, tiba-tiba jantungnya berdegup kencang.

 

Bagaimana kalau Edgar datang ke kampus dan berniat untuk menjemput Indira? Lalu, saat tak menemukan siapa pun di area kampus, akhirnya Edgar kesal setengah mati.

 

Indira mengembuskan napas, pasrah kalau setelah ini Edgar akan memarahinya habis-habisan. Akhirnya gadis itu melangkah meninggalkan dapur, urung membantu Bi Imah menyiapkan makan malam. Mungkin lebih baik menyendiri di dalam kamar, sebisa mungkin menghindari Edgar.

 

Sayangnya, saat Indira baru saja akan naik ke lantai dua, Edgar tiba-tiba pulang. Suara langkahnya terdengar begitu lantang.

 

Indira menunduk dalam-dalam, menghindari tatapan Edgar.

 

“Kamu tinggal di sini niatnya cuma mau merepotkan orang lain?” tanya Edgar. Suaranya tak keras, malah terkesan cukup lembut. Tapi, entah bagaimana terasa begitu tajam dan menohok. 

 

“Maaf, Mas. Saya nggak tahu kalau Mas Edgar mau jemput ke kampus,” sahut Indira.

 

“Bukannya kamu yang minta ke Papa biar setiap hari diantar-jemput?”

 

“Saya nggak pernah minta hal semacam itu, Mas. Sumpah. Saya bisa berangkat dan pulang sendiri, ada banyak angkutan umum yang bisa dinaiki.”

 

Sungguh, Indira tak suka dituduh seperti itu. Ia tak pernah meminta apa pun pada Papa Danu, bahkan sudah menolak perjodohan dan dengan senang hati mau kembali ke panti asuhan. Papa Danu sendiri yang mendesak Indira, hingga tak ada pilihan yang tersisa.

 

“Saya nggak pernah berniat untuk membebani Mas Edgar,” jelas Indira, akhirnya mengungkapkan isi hatinya. “Jujur, saya nggak keberatan untuk kembali ke panti asuhan. Nggak apa-apa walaupun harus kesana-kemari cari pekerjaan part time. Tapi, Papa Danu yang terus meminta saya buat stay di sini.”

 

Edgar enggan menanggapi. Ucapan yang terlontar dari mulut Indira terdengar sangat menyebalkan. Edgar paling tak suka dengan gadis yang keras kepala, childish, dan tak tahu diri.

 

“Pergi ke kamarmu, jangan keluar sampai saya selesai makan malam,” kata Edgar, lalu berjalan menuju ruang makan.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Novita Sari
sombong banget si edgar
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status