“Mil, notulensi hasil meeting tadi langsung kirim ke email saya, ya,” ucap Edgar kepada sekretarisnya yang bernama Mila. “Ah, laporan dari masing-masing divisi juga harus sampai di atas meja saya besok pagi. Semuanya perlu dicek sebelum proyek apartemen berjalan.”
“Baik, Mas. Nanti akan saya sampaikan ke ketua divisi,” sahut Mila dengan patuh, kemudian merogoh saku blazernya untuk mengambil ponsel. Edgar kembali ke ruang kerja, melepas jas yang membalut tubuhnya. Laki-laki itu lantas duduk menghadap layar komputer, hendak memeriksa email masuk. Tapi, ponselnya tiba-tiba bergetar, ada nama Papa Danu yang tertera di atas layar. “Shit,” gumam Edgar sambil melirik jam tangannya. Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore, sudah saatnya Edgar menjemput Indira di kampus. Edgar tahu persis apa tujuan Papa Danu menelepon. Tentu saja bukan ingin membahas masalah kantor atau proyek, tapi ingin mengingatkan Edgar soal kewajiban-kewajiban barunya. “Saya sibuk, Pa. Ada beberapa laporan yang harus diperiksa,” ujar Edgar begitu menerima telepon dari Papa Danu. Penjelasannya dibumbui dengan kebohongan. “Meeting sudah selesai, laporan dari masing-masing divisi baru kamu periksa besok pagi,” sahut Papa Danu. Sial. Edgar nyaris lupa kalau di kantor ada banyak sekali mata dan telinga yang diperintahkan Papa Danu untuk mengawasinya. “Jemput Indira sekarang juga,” perintah Papa Danu dengan penuh penekanan. “She isn’t a baby, Pa. Apa susahnya pulang sendiri naik taksi atau angkutan umum?” sahut Edgar, sedikit menaikkan suaranya. “Jangan terbiasa dimanja. Apa-apa harus bisa dilakukan sendiri.” “Indira sekarang menjadi tanggung jawabmu, Ed. Perlakukan dia dengan baik.” “Sikap saya sejauh ini sudah cukup baik, Pa. Saya biarkan dia tinggal di rumah, memberinya makan, mengantarnya ke kampus.” “Kamu yang mengantar Indira, artinya kamu juga yang harus menjemputnya.” Dalam hati, Edgar memaki habis-habisan. Edgar sungguh tak mengerti dengan jalan pikiran Papa Danu. Sangat berlebihan sekali memanjakan Indira yang statusnya bukan siapa-siapa. “Pergi ke kampus sekarang juga,” kata Papa Danu, kemudian mengakhiri telepon secara sepihak. Dan, Edgar tahu persis kalau perintah itu tak boleh dibantah. Edgar mengembuskan napas, lalu mengusap wajahnya dengan kasar. Setelah berpikir cukup lama, akhirnya laki-laki itu beranjak dari kursinya. Berjalan meninggalkan ruangan dengan ekspresi masamnya. Pergi ke basement untuk mengambil mobilnya, kemudian melaju meninggalkan kompleks perkantoran. Memasuki rush hour, kondisi jalanan padat luar biasa. Penuh dengan kendaraan pribadi dan angkutan umum. Para pegawai kantoran mulai berhamburan keluar, memenuhi trotoar dan halte-halte yang ada. Edgar tak bisa mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Terjebak di tengah kemacetan yang menguras energi dan emosi. Hingga warna langit perlahan berganti. Dari biru, menjadi sedikit oranye, lalu berubah lagi menjadi keunguan. Ketika tiba di area kampus, langit telah menggelap. Edgar berhenti di depan Gedung C yang telah sepi. Keluar dari mobil, mengedarkan pandangannya untuk mencari Indira. Tapi, tak ada siapa-siapa. “Cari siapa, Mas?” tanya seorang satpam yang melihat Edgar sedang kebingungan. “Ah, cari seseorang. Gedung ini sudah kosong ya, Pak? Nggak ada aktivitas mahasiswa?” sahut Edgar dengan sopan. “Kosong, Mas. Kelas terakhir sudah selesai satu jam yang lalu, jadi nggak ada mahasiswa yang tersisa di sekitar fakultas.” “Terima kasih informasinya, Pak.” Satpam tersenyum dengan sopan, lalu kembali ke posnya. Edgar menarik napas dalam-dalam, kemudian mengembuskannya secara perlahan. Laki-laki itu mengeluarkan ponsel dari saku celananya, hendak menelepon Indira. Tapi, sedetik kemudian teringat kalau dirinya tak menyimpan nomor Indira. Akhirnya Edgar memutuskan untuk menelepon Bi Imah. “Halo? Ada apa, Mas Edgar?” tanya Bi Imah di seberang sana. “Indira di rumah, Bi?” sahut Edgar to the point. “Mbak Indira sudah sampai rumah sejak setengah jam yang lalu, Mas. Ini sedang membantu Bibi menyiapkan makan malam.” “Saya nggak ingin makan masakannya Indira, Bi. Minta dia pergi dari dapur.” Setelah itu, Edgar mengakhiri telepon. Dadanya bergemuruh, dipenuhi emosi. Ia sudah bersusah payah pergi ke kampus, melewati jalanan yang super macet dan berdebu. Tapi, Indira ternyata sudah tiba di rumah terlebih dulu. *** “Mas Edgar sepertinya sedang marah. Jadi, sebaiknya Mbak Indira ke ruang tengah saja. Nggak perlu membantu Bibi memasak makan malam,” ucap Bi Imah. Indira mengerjapkan mata, bingung luar biasa. Gadis itu baru saja mencuci ikan, hendak memotongnya menjadi bagian-bagian yang lebih kecil. Tapi, tiba-tiba Bi Imah memintanya untuk berhenti. Edgar marah, katanya. “Marah kenapa, Bi?” tanya Indira, hatinya mendadak berselimut rasa cemas. “Saya nggak tahu. Tapi, barusan Mas Edgar telepon saya, tanya apa Mbak Indira ada di rumah,” jelas Bi Imah dengan ragu-ragu. “Saya jawab kalau Mbak Indira sudah sampai rumah dan sedang membantu Bibi memasak. Eh, Mas Edgar langsung meminta Mbak Indira untuk pergi dari dapur.” Indira termenung, berusaha mencerna situasi yang sedang dihadapinya saat ini. “Jangan bilang…” gumam Indira, tiba-tiba jantungnya berdegup kencang. Bagaimana kalau Edgar datang ke kampus dan berniat untuk menjemput Indira? Lalu, saat tak menemukan siapa pun di area kampus, akhirnya Edgar kesal setengah mati. Indira mengembuskan napas, pasrah kalau setelah ini Edgar akan memarahinya habis-habisan. Akhirnya gadis itu melangkah meninggalkan dapur, urung membantu Bi Imah menyiapkan makan malam. Mungkin lebih baik menyendiri di dalam kamar, sebisa mungkin menghindari Edgar. Sayangnya, saat Indira baru saja akan naik ke lantai dua, Edgar tiba-tiba pulang. Suara langkahnya terdengar begitu lantang. Indira menunduk dalam-dalam, menghindari tatapan Edgar. “Kamu tinggal di sini niatnya cuma mau merepotkan orang lain?” tanya Edgar. Suaranya tak keras, malah terkesan cukup lembut. Tapi, entah bagaimana terasa begitu tajam dan menohok. “Maaf, Mas. Saya nggak tahu kalau Mas Edgar mau jemput ke kampus,” sahut Indira. “Bukannya kamu yang minta ke Papa biar setiap hari diantar-jemput?” “Saya nggak pernah minta hal semacam itu, Mas. Sumpah. Saya bisa berangkat dan pulang sendiri, ada banyak angkutan umum yang bisa dinaiki.” Sungguh, Indira tak suka dituduh seperti itu. Ia tak pernah meminta apa pun pada Papa Danu, bahkan sudah menolak perjodohan dan dengan senang hati mau kembali ke panti asuhan. Papa Danu sendiri yang mendesak Indira, hingga tak ada pilihan yang tersisa. “Saya nggak pernah berniat untuk membebani Mas Edgar,” jelas Indira, akhirnya mengungkapkan isi hatinya. “Jujur, saya nggak keberatan untuk kembali ke panti asuhan. Nggak apa-apa walaupun harus kesana-kemari cari pekerjaan part time. Tapi, Papa Danu yang terus meminta saya buat stay di sini.” Edgar enggan menanggapi. Ucapan yang terlontar dari mulut Indira terdengar sangat menyebalkan. Edgar paling tak suka dengan gadis yang keras kepala, childish, dan tak tahu diri. “Pergi ke kamarmu, jangan keluar sampai saya selesai makan malam,” kata Edgar, lalu berjalan menuju ruang makan.“Mbak Indira.” Suara Bi Imah membuat Indira seketika terjaga. Gadis itu mengerjapkan mata, kemudian mengedarkan pandangannya. Ternyata ketiduran saat mengerjakan tugas kuliah, sampai lupa kalau sejak tadi siang perutnya belum terisi apa-apa. “Iya, Bi,” sahut Indira, kemudian berjalan menuju pintu. Bi Imah berdiri di depan kamar, membawa sepiring nasi goreng dengan telur mata sapi di atasnya. Wanita paruh baya itu tersenyum dengan hangat, menawarkan nasi goreng buatannya untuk mengganjal perut Indira yang pastinya sudah keroncongan. “Dimakan sampai habis ya, Mbak. Kan dari tadi belum makan,” kata Bi Imah. Indira meringis, lalu berkata, “Mas Edgar udah masuk kamar, Bi?” Bi Imah tak menjawab, hanya mengulurkan tangannya untuk mengusap lengan Indira dengan lembut. Setelah itu, lekas kembali ke dapur untuk mencuci piring dan merapikan alat-alat masak. Indira mengembuskan napas, lalu kembali menutup pintu kamar dengan hati-hati. Nasi goreng buatan Bi Imah terlihat lezat, bahkan aroma
“Cukup sampai depan gerbang fakultas, Mas. Nggak perlu sampai depan gedung kuliah,” ujar Indira, kali ini mewanti-wanti agar kejadian kemarin tak terulang lagi. Edgar menatap spion, menyadari kalau di belakangnya ada beberapa kendaraan. Akan sulit kalau tiba-tiba berhenti di depan gerbang fakultas. Lebih mudah untuk masuk ke dalam fakultas, kemudian putar arah. Tanpa mendengarkan ucapan Indira, Edgar langsung membelokkan mobilnya. Lagi-lagi berhenti tepat di depan Gedung C yang sialnya pagi ini sangat ramai. Segerombol mahasiswi sedang duduk di selasar, mengerjakan tugas sambil menunggu kelas pertama dimulai. Indira menghela napas, kemudian melepas seat beltnya. “Terima kasih, Mas,” ucap Indira, kemudian turun dari mobil. Tentu saja Indira kembali menjadi pusat perhatian. Banyak yang memandangnya dengan sinis, bahkan beberapa mahasiswi sibuk berbisik-bisik. Indira adalah penerima beasiswa, yang sejak pertama kali masuk kuliah sering bolak-balik ke dekanat untuk mengurus permohon
Saat baru saja tiba di rumah, Indira menjumpai Edgar sedang berciuman dengan seorang perempuan di carport. Mereka berpelukan mesra, bibir saling bertautan. Di bawah teduhnya kanopi, dua manusia itu terlindung dari guyuran air hujan. Jujur, Indira tak peduli. Gadis itu membuka gerbang secara perlahan, berusaha sebisa mungkin agar tak menimbulkan suara. Tapi, tetap saja usahanya sia-sia. Edgar menghentikan ciumannya ketika mendengar suara langkah kaki. “Hm? Itu siapa, Ed? Pembantu baru di rumah kamu?” tanya perempuan bernama Alice yang baru hari ini Edgar temui di sebuah event. Edgar tak menjawab, tatapannya tertuju pada Indira yang basah kuyup dari ujung kepala sampai ujung kaki. Bahkan tasnya juga ikut basah. “Kenapa hujan-hujanan?” tanya Edgar. Indira hanya membungkukkan tubuhnya dengan sopan, kemudian melanjutkan langkahnya. Sepatu dilepas di teras rumah, kemudian berjalan memasuki rumah dengan kedua kaki yang terasa dingin luar biasa. “I’m sorry, Alicia. Habis ini ada acara
“Demamnya nggak terlalu tinggi, jadi hanya perlu istirahat yang cukup. Kalau dalam dua puluh empat jam demamnya belum turun, bisa langsung dibawa ke rumah sakit. Untuk sementara waktu, coba buat dikompres dulu pakai air biasa sambil rutin dicek suhu badannya pakai termometer. Selama nggak ada efek lain semacam muntah-muntah, mimisan, atau kejang, she’ll be fine. Besok pasti membaik.” Edgar mendengar dengan saksama tiap kata yang diucapkan oleh Dokter Arya. Sementara itu, Indira masih berbaring di atas ranjang dengan kedua mata yang terpejam rapat. Sayup-sayup Indira dapat mendengar suara, tapi kepalanya terlalu berat untuk sekadar memastikan apakah suara yang ia dengar memang benar-benar nyata. Sejak kecil, Indira bukan anak yang sakit-sakitan. Daya tahan tubuhnya sangat bagus, barangkali karena sudah terbiasa tinggal di tempat yang keras. Tapi, pada akhirnya gadis itu ambruk juga, mungkin karena terlalu banyak beban yang mengganggu pikirannya. “Mama…Mama…” Edgar terperanjat saat m
“Nggak perlu, Mas. Saya masih punya cukup uang buat pulang-pergi naik bus,” ujar Indira, menolak kartu kredit yang disodorkan oleh Edgar. Edgar tertegun, tak menduga kalau Indira akan menolak kartu kreditnya. Edgar sudah sering berkencan, bertemu dengan berbagai tipe perempuan. Tapi, sejauh ini, belum ada satu pun perempuan yang menolak kartu kreditnya. “Mas Edgar dan Pak Danu udah ngasih tempat tinggal dan ngasih makan. Udah lebih dari cukup, saya nggak butuh apa-apa lagi,” sambung Indira. Berusaha menggunakan kalimat yang sehalus mungkin agar Edgar tak tersinggung. “Barang-barang kamu nyaris nggak layak pakai. Bahkan buku-buku kuliahmu juga lusuh, seperti buku bekas. Jangan keras kepala, terima kartu kredit ini buat beli barang-barang baru yang kamu butuhkan,” sahut Edgar. Indira terdiam selama beberapa saat, hingga akhirnya seulas senyum hadir di bibirnya. “Mas Edgar nggak perlu mengasihani saya,” ucap Indira, terdengar cukup tegas. “Harga dirimu ternyata setinggi langit,” g
[Papa : ajak Indira belanja, pilihkan pakaian, sepatu, dan tas yang bagus][Papa : sertakan bukti foto, agar Papa percaya kalau kamu benar-benar menjalankan tugas]Edgar baru saja membuka kedua matanya, mendadak pening saat membaca rentetan pesan singkat yang dikirimkan oleh Papa Danu. Ternyata mengajak Indira ke peresmian gedung baru Antara Group tidaklah cukup, hari ini Edgar bahkan harus mengajak gadis itu ke pusat perbelanjaan. Sumpah, Edgar benar-benar muak. Hari ini ia ada janji bermain golf dengan beberapa rekan lama, tapi perintah yang diberikan oleh Papa Danu seketika merusak segalanya. Kenapa harus Edgar yang mengantar Indira ke pusat perbelanjaan? Padahal, gadis itu punya kaki, tangan, dan mulut yang masih berfungsi dengan sangat baik. Edgar mengembuskan napas, kemudian menelepon Papa Danu. “Sudah baca pesan dari Papa?” tanya Papa Danu begitu mengangkat telepon dari Edgar. Sangat to the point. Tak ada basa-basi untuk sekadar menanyakan kabar. “Minta Indira pergi ke pusa
Setelah memborong banyak baju tidur dan pakaian dalam, Edgar mengajak Indira ke sebuah outlet dari brand fashion ternama. Berbagai jenis dress terpajang di etalase kaca, sepatu dan tas keluaran terbaru juga dipertontonkan di meja display. Saat melihat price tag di salah satu dress yang dipajang pada manekin, Indira langsung bergidik ngeri. Harga sebuah simple dress berwarna hitam setara dengan uang kuliah Indira selama empat semester. Seumur hidupnya, belum pernah sekali pun Indira membeli pakaian yang harganya lebih dari satu juta.“Mas,” panggil Indira sambil berjalan di belakang Edgar. Edgar tak menyahuti, sibuk memilih dress pada etalase kaca. Jujur, Edgar muak sekali melihat kemeja flannel dan celana jins yang dipakai oleh Indira setiap harinya. Tak enak dipandang. Oleh sebab itu, semua pakaian yang ada di dalam lemari Indira harus diganti dengan yang baru. Tanpa ragu sedikit pun, Edgar mengambil sebuah casual dress berwarna biru pastel, sebuah mini dress berwarna peach, sert
Indira merasa seperti boneka. Yang didandani sedemikian rupa agar sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh pemiliknya. Dalam hal ini, pemilik yang dimaksud adalah Edgar. Ketika menatap cermin, Indira tak lagi menjumpai sosok gadis sederhana dengan pakaian lusuhnya. Kini, ia telah berubah menjadi seorang nona muda yang terlihat mempesona dari ujung kaki sampai ujung kepala. Edgar benar-benar membuang semua pakaian lama Indira, mengisi lemarinya dengan pakaian-pakaian yang baru. Demikian pula dengan sepasang sepatu kesayangan Indira yang telah lusuh, serta tote bagnya yang telah pudar. Indira menghela napas, perlahan menyentuh dress berwarna biru yang kini membalut tubuhnya. Sejak pertama kali masuk kuliah, tak pernah sekali pun Indira datang ke kampus dengan mengenakan dress. Rasanya benar-benar aneh. “Indira!” Lamunan Indira seketika buyar ketika mendengar suara panggilan dari arah bawah. Edgar memanggil, tampaknya minta dibuatkan kopi karena sampai detik ini Bi Imah belum kem