Share

Roti Untuk Arwah

“Cantik emang yang namanya Elina itu?” tanya Bu Ela ikut penasaran.

Riyan menyelesaikan makanan di mulutnya terlebih dulu, “Cantik, Bu cantik banget!”

Ibu Ela mengernyitkan keningnya heran sendiri melihat keantusiasan Riyan soal wanita bernama Elina tersebut. Sejujurnya ia ikut penasaran dengan wanita itu.

“Tambah lagi Riyan rebungnya,” ujar Anwar ikut bergabung.

“Iya, Mas.”

Segera Riyan selesaikan sarapannya. Ia tadi sudah mengobrol dengan Bu Ela soal Elina, ia juga tahu akan membawa apa untuk Elina nanti. Selesai sarapan, Riyan beralih untuk membersihkan warung. Hari ini Bu Ela membuat porsi dagangannya lebih banyak ketimbang kemarin. Kalau nantinya hari ini ramai atau bisa lebih ramai lagi dari hari kemarin bisa dipastikan mereka akan tutup lebih awal lagi.

“Mas nasi gorengnya satu, yah.”

Riyan sedikit terkejut dengan datangnya dua orang remaja berpakaian sekolah, saat dirinya tengah mengisi tempat tisu. Sebelum menanyakan kembali Riyan mempersilahkan untuk mereka masuk duduk terlebih dulu.

“Maaf tadi pesan apa, yah?” tanya Riyan.

“Nasi gorengnya satu makan di sini, satunya lagi dibungkus,” jawab salah satu dari mereka mengulang.

“Baik.” Riyan berlalu untuk membuatkan pesanan mereka.

Karena Bu Ela dan Anwar masih di belakang maka Riyan yang memegang di depan sebentar walau biasanya mereka bertiga. Selesai membuat pesanan tadi Riyan pun mengantarnya kini ia berlanjut pada pesanan yang dibungkus. Sebenarnya Riyan mau menggoreng sekaligus hanya saja pesanan yang dimakan meminta pedas, sedangkan yang dibungkus tidak. Mau tidak mau ia harus menggoreng dua kali.

***

Ibu Ani mengedarkan pandangannya di ruangan yang hampir bosan ia lihat setiap hari itu. Berbaring dengan tubuh yang lemah tanpa bisa apa-apa. Kalau boleh jujur, ia merasa capek harus terus-menerus merepotkan Riyan, anak laki-laki satu-satunya itu. Harus bekerja demi bisa membiayai biaya rumah sakitnya. Kalau bisa ia ingin menggantikan posisi Riyan, ia yang seharusnya bekerja mencari rupiah sebagaimana tugas orang tua.

“Ibu sarapan pagi dulu setelah itu minum obat, yah,” jelas Suster Ina.

“Ina, Riyan belum datang?”

“Belum, Bu. Mas Riyan, ‘kan datangnya nanti sore.” Suster Ina tersenyum. “Saya ambilkan bubur untuk sarapan dulu, yah.” Ia berlalu pergi.

Ibu Ina perlahan mencoba untuk setengah berbaring, dilihat dengan jelas selang infus yang entah sudah berapa lama menetap di pergelangan tangan kanannya itu. Tidak lama Suster Ina kembali dengan bubur untuk sarapan pasiennya. Ia meletakan bubur tersebut di atas lemari pasien. Suster Ina mendekatkan kursi pada Ibu Ani, ia biasanya menyuapkan sarapan pada pasien yang dipegangnya.

“Ibu sarapan habis itu minum obat oke.” Sendok berisi bubur sudah siap masuk hanya tinggal menunggu Bu Ani membuka mulutnya.

“Inaa.”

“Iyaa,” sahut Suster Ina,

“Kamu di rumah sakit biasa sampai jam berapa? Atau kadang stay di sini kadang tidak begitu?” tanya Bu Ani penasaran.

Suster Ina mengernyitkan keningnya. “Ina tidak pernah netap di sini. Jam-jam Sembilan sepuluh Ina udah pulang,” jelasnya. Suster Ina kembali menyuap.

Berganti Ibu Ani yang mengernyitkan kening. “Kalau suster yang lain? Apa sama juga begitu?” Ia bertanya demikian karena penasaran dengan semalam.

“Sama, kok hanya beberapa suster saja yang tinggal untuk menjaga bersama staf rumah sakit yang lain. Ada apa emangnya, Bu?”

“Iya itu semalam Ibu, ‘kan bangun haus mau minum terus kebetulan ada suster yang bantu. Ibu mengira itu kamu Ina. Semalam yang di sini kamu bukan?” Ibu Ani ingin memastikan.

Suster Ina sejenak berhenti menyuap. Ia menggelang pelan kemudian melanjutkan menyuap pasiennya lagi.

“Mungkin suster lain, ya. Ibu sudah kenyang mana obatnya.”

Menyudahi sarapan pagi itu dan beralih dengan minum obat.

***

“Ina tolong bantu aku di pasien lain bisa gak?” pinta Vivi tiba-tiba.

Ina yang baru keluar dari ruangan ibu Ani dibuat terkejut dengan datangnya Vivi. Ia menghela napas kesal sembari melihat Vivi.

“Kalau datang itu pelan-pelan dong, Vi jangan dibuat kaget akunya kayak gitu,” tegur Ina. Pasalnya tidak satu dua kali Vivi seperti demikian atau memang anak itu sengaja untuk iseng.

“Iya-iya maaf. Bantuin aku di pasien lain, yah.” Vivi langsung menggandeng tangan Ina mengajaknya pergi.

***

Menjelang sore selesai kerja, Riyan singgah disebuah toko roti. Sesuai dengan yang dibilang bu Ela padanya bahwa perempuan suka akan makanan. Riyan pun berinisiatif untuk membawakan roti untuk Elina. Riyan sampai di toko roti, tapi bukan toko roti langganan, ia kebetulan mendapati toko tersebut saat di perjalanan sedang mencari. Riyan maupun ibunya sebenarnya tidak begitu sangat suka akan roti. Setelah memarkirkan motor Riyan masuk ke toko itu.

Aroma roti di dalam toko itu bisa dengan jelas Riyan hirup. Baunya sungguh enak tidak heran kalau ramai yang berkunjung. Ternyata mereka juga menyediakan tempat makan bagi pelanggan yang ingin mencicipi roti langsung di tempat.

“Mari, Mas kami punya banyak pilihan rasa roti bisa lihat-lihat dulu.” Salah seorang karyawan di toko roti itu menuntun Riyan ke sebuah rak roti.

Riyan melihat satu per satu roti yang tersedia di rak-rak depannya. Ia bingung mau membeli yang mana soalnya tidak tahu Elina suka roti dengan rasa apa. Setelah beberapa menit berkutat dengan pikiran sendiri, Riyan mengambil 3 buah ukuran roti berukuran sedang.

“Yang ini saja?” tanya si karyawan wanita itu memastikan.

“Iya, Mba.”

“Baik biar saya bungkus, ‘kan.” Riyan mengikuti Mba tadi dari belakang.

Selesai membeli roti Riyan melanjutkan perjalanan ke rumah sakit seperti biasa menjenguk ibunya. Kalau dulu tujuannya ke sana hanya karena ibunda sekarang tujuannya mulai bertambah. Tidak lain ingin melihat gadis bernama Elina itu.

***

Ina berjalan pelan menghampiri kamar ibu Ani, otaknya berpikir keras soal suster siapa yang menemani ibu Ani semalam. Ia sudah menanyakan pada suster yang semalam ada di rumah sakit dan mereka yang berada semalam semua mengatakan bahwa tidak menjenguk ke kamar ibu Ani. Hal itu justru membuat Ina kepikiran. Ia khawatir pasalnya kamar ibu Ani tidak begitu jauh letaknya dengan kamar nomor 8. Ia takut jika sampai suster yang semalam adalah ….

“Halo, Sus.” Sapaan Riyan membuyarkan lamunan Ina sekaligus juga mengagetkannya.

“Iya-iya. Ibu ada di dalam masuk saja.”

“Ya, ‘kan emang ibuku di dalam. Hati-hati, Sus tadi hampir nabrak pintu,” ucap Riyan melangkah masuk.

Ina lantas berdiri terdiam di pintu luar malu rasanya ditegur seperti itu. Ia tidak akan mungkin bersalah tingkah kalau tidak punya perasaan pada Riyan. Masalah soal suster semalam kembali memenuhi pikirannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status