MasukElena terbangun dalam kesendirian. Udara pagi menyentuh kulitnya yang terasa dingin, menyadarkannya bahwa Jackson tak lagi di sisinya.
Tangannya terulur, mengusap lembut kain ranjang yang kosong di sebelahnya. Kehampaan itu terasa seperti bayangan samar yang menusuk hatinya, mengundang kerinduan aneh yang bahkan belum sempat ia pahami. Matanya menyisir setiap sudut kamar, mencari sosok pria itu, hingga akhirnya ia menemukannya baru saja keluar dari kamar mandi. Jackson berdiri di sana, seperti dewa yang baru saja lahir dari rahim kabut pagi. Hanya selembar handuk yang menggantung rendah di pinggangnya, nyaris seperti jubah yang tak sabar menyingkap rahasia tubuhnya. Kulitnya berkilauan, dibalut kelembapan yang memantulkan cahaya samar dari lampu kamar. Bulir-bulir air menetes perlahan dari rambutnya, meluncur dengan anggun ke bahu kokohnya, sebelum akhirnya mengalir membasahi lekuk punggung dan dadanya. Pemandangan itu, seperti pahatan hidup dari seorang seniman yang telah menemukan bentuk sempurna, membuat Elena menelan ludah, mencoba menahan desiran liar yang mulai menjalari tubuhnya. Bibir merahnya, tanpa bantuan lipstik, sedikit terbuka, seolah ingin mengucap sesuatu namun terhenti oleh kekaguman yang tak terelakkan. Desahan nyaris keluar dari tenggorokannya, namun dengan gigitan kecil pada bibir bawahnya, ia menahan suara itu, menyembunyikan gejolak yang mendesak keluar. Dari balik bulu mata lentiknya, Elena terus menatap tanpa henti. Gerakan pria itu—setiap langkah, setiap hembusan napasnya—membuat denyut hangat yang tak tertahankan berkecamuk di dalam dirinya. "Sudah puas mengagumiku?" Suara Jackson memecah keheningan, dalam nada tenang yang mengandung sedikit ejekan. Dia tidak menoleh, tetap sibuk mengeringkan rambutnya dengan santai, seperti seorang raja yang terlalu akrab dengan perhatian yang diarahkan padanya. Kemudian, tanpa terburu-buru, dia mengambil kemeja putih panjang dan memakainya dengan elegansi yang hampir membuat waktu berhenti. "A-aku ti-tidak... maafkan aku," jawab Elena tergagap, rangkaian kata-katanya meluncur berantakan seperti daun yang tertiup angin. Pipinya memerah, terbakar oleh campuran rasa malu dan intimidasi. Ia tidak menyangka bahwa pria itu menyadari tatapan matanya yang terus mencuri-curi pandang. Mencoba menenangkan diri, Elena menarik napas panjang. Tubuhnya bergerak dengan hati-hati saat ia duduk bersandar di tepi ranjang, menarik selimut untuk menutupi dadanya yang setengah terbuka akibat jubah yang longgar. Suaranya terdengar lebih terkendali ketika ia akhirnya bertanya, "Apakah kamu mau pergi?" Jackson, yang masih membelakangi Elena, melanjutkan aktivitasnya dengan tenang. "Ada urusan yang harus aku selesaikan. Aku akan pergi seharian ini," jawabnya singkat, tangannya cekatan merapikan pakaian. Elena menggigit bibirnya sejenak, menimbang-nimbang pertanyaan yang bergelantungan di pikirannya. "Lalu apa yang harus aku lakukan di sini?" tanyanya, nada suaranya mencoba terdengar santai meski ada getaran halus di baliknya. Menjawab pertanyaan wanita itu, Jackson berbalik. Tatapannya yang dingin dan penuh kendali menembus Elena, membuat detak jantungnya yang semula mulai stabil kembali berdegup liar. Rasanya seperti tertangkap basah oleh predator yang menatap mangsanya tanpa belas kasihan. Elena mencoba tetap tenang, tetapi auranya yang mendominasi menghancurkan setiap usaha yang ia lakukan. Jackson berjalan mendekati meja di sudut kamar dengan langkah santai namun tegas, seperti seorang raja yang tahu bahwa seluruh dunia ada di bawah kendalinya. Dia menarik laci teratas, mengambil sebuah dompet hitam elegan, lalu mengeluarkan kartu berwarna emas kehitaman. Dengan gerakan yang anggun dan tanpa ragu, dia menyerahkan kartu itu kepada Elena. Elena menerima kartu tersebut, jari-jarinya menyentuh permukaannya yang halus. Namanya—Jackson Collins—terukir dengan tinta emas yang berkilauan, begitu elegan hingga tampak seperti sesuatu yang tidak seharusnya berada dalam genggaman tangannya. Dia membalikkan kartu itu, mencoba memahami maksud di balik pemberiannya. "Apa ini?" tanyanya, suaranya sarat kebingungan. "Pakailah kartu itu untuk berbelanja," ujar Jackson, nadanya rendah namun penuh penekanan. "Belilah baju yang mahal dan berkelas. Jangan membeli baju murahan dan norak. Beli juga parfum dan sepatu yang bagus agar orang tidak merendahkanmu. Aku tidak ingin saat pulang nanti, masih melihatmu dengan semua pakaian murahanmu itu." Kata-katanya menusuk, tetapi Elena hanya menggigit bibirnya untuk menahan respons. Matanya menatap kartu itu sekali lagi, sementara Jackson mengangkat tas kantornya dan berjalan pergi tanpa sepatah kata tambahan, meninggalkan Elena dalam keheningan. Setelah yakin bahwa pria itu benar-benar telah pergi, Elena menarik napas panjang. Dia menyibak selimut tebal yang menutupi tubuhnya dan turun dari ranjang, langkahnya ringan namun dipenuhi rasa ingin tahu. Kamar mandi mewah itu memanggilnya, dan dia melangkah masuk, mengagumi kemewahannya yang seperti mimpi. Dinding marmer berwarna krem bersinar lembut, memantulkan cahaya hangat yang memeluk ruangan dengan kehangatan lembut. Tangannya menjelajahi permukaan marmer itu, dingin dan mulus di bawah sentuhannya, seolah menyapa seorang tamu yang tak pernah diundang. Dia memutar keran air hangat, suara gemericiknya mengisi ruangan seperti melodi menenangkan. Uap mulai memenuhi udara, membawa aroma terapi yang disediakan pihak hotel, melingkupi kamar mandi dengan nuansa yang mendamaikan. Elena berdiri diam sejenak, membiarkan dirinya tenggelam dalam keajaiban sederhana ini. Seumur hidup, dia tak pernah berendam di bathub. Hari ini, dia akan merasakan kemewahan yang sebelumnya hanya bisa dia lihat di layar televisi atau dalam mimpinya yang paling liar. Saat air mengisi bathub, dia menarik tali jubahnya, melepaskan kain yang membalut tubuhnya. Jubah itu jatuh ke lantai, menjadi onggokan kain yang tak berarti. Kini tubuhnya yang sempurna terlihat dalam keheningan kamar mandi, tak terjamah oleh apapun kecuali oleh dirinya sendiri. Elena melangkah masuk, memasukkan satu kaki ke dalam bathub, merasakan air hangat yang membelai kulitnya seperti sentuhan lembut yang menenangkan. Lalu, dia memasukkan kaki lainnya, menurunkan tubuhnya perlahan ke dalam air yang seolah memeluknya dengan kehangatan penuh cinta. "Oh... nyaman sekali," gumamnya, matanya terpejam, tubuhnya tenggelam dalam sensasi yang belum pernah dia bayangkan sebelumnya. Air hangat itu membawa tubuh dan pikirannya menjauh dari dunia nyata, menyelimutinya dalam kenikmatan yang hampir tak terlukiskan. "Beginikah rasanya menjadi orang kaya yang tidak perlu memikirkan apa yang harus dikerjakan untuk makan esok hari?" lanjutnya, suaranya hanya bisikan kecil di tengah keheningan. "Biarkan aku menikmati kenyamanan ini sejenak sebelum kisahku dimulai," gumamnya lagi, bicara pada dirinya sendiri.Elena sedang memasukkan mantel yang sebelumnya dia pakai ke dalam tas ketika pintu kamarnya terbuka.Mengira jika Ariana yang masuk, Elena bertanya tanpa melihat siapa yang datang."Apakah David sudah selesai bicara dengan papanya? Apakah kita sudah mau pergi? Tunggu sebentar, Ariana! Ada beberapa barang yang masih harus aku siapkan," ujar Elena dengan tangan yang masih sibuk mencari barang-barangnya yang tercecer."Ini aku, aku bukan Ariana," suara bariton seorang pria mengagetkan Elena.Wanita itu langsung menghentikan kegiatannya dan menegakkan tubuhnya.Dia menoleh ke arah pintu dan menegang melihat Jackson berdiri beberapa meter di depannya. Nafasnya seketika tercekat dengan jantung berdetak kencang.Harusnya saat ini dia membenci Jackson dan berharap pria itu menjauh darinya, namun apa yang dia rasakan malah sebaliknya, matanya menatap pria itu penuh rindu dan keberadaan Jackson seperti magnet yang menariknya untuk mendekat.Beruntung kesadaran Elena masih berfungsi dengan baik
"Apakah kamu yakin akan keluar dan menemui keluarga Collins sekarang?" tanya Ariana yang masih khawatir dengan kesehatan Elena."Ya, aku yakin. Aku sudah baikan dan ingin segera keluar dari rumah ini,” tegas Elena."Kamu mau pergi ke mana setelah dari sini?" Ariana semakin mengkhawatirkan Elena dan kehamilan wanita itu."Aku belum tahu, tetapi aku ingin menjauh dari keluarga Collins dan mencari pekerjaan. Aku ingin mengakhiri hubunganku dengan Jackson.”"Kalau begitu, tinggallah bersamaku," ajak Ariana yang tidak mungkin membiarkan saudaranya itu berkeliaran sendiri tanpa tempat tinggal dan pekerjaan.Elena langsung menggeleng dan menolak ajakan Ariana. "Aku tidak ingin tinggal bersama kalian dan menjadi beban di dalam keluarga kalian. Lagi pula rasanya akan tidak nyaman jika aku serumah dengan suamimu."Ariana terdiam dan mengakui apa yang Elena katakan memang benar. "Aku tidak mungkin membiarkan kamu tinggal sendiri, apalagi dalam keadaan hamil. Aku akan bicara pada David untuk bisa
"Aku tidak mungkin hamil," gumam Elena dengan tatapan sendu"Apa maksudmu tidak mungkin hamil?" tanya Ariana memastikan apa yang saudaranya itu katakan."Selama kami berhubungan, aku selalu meminum obat pencegah kehamilan dan aku tidak pernah melupakannya. Bagaimana ini bisa terjadi?" Elena tampak syok dan putus asa."Maaf jika aku menanyakan sesuatu yang mungkin menyinggungmu. Apakah anak yang kamu kandung adalah benar anak Jackson? Apakah janin dalam kandunganmu adalah keturunan Collins?"Pertanyaan itu membuat Elena menatap tajam ke arah Ariana, lalu tak lama setelahnya mata itu berkabut dan berkaca-kaca, setetes air mata jatuh membasahi pipinya. "Aku tidak pernah berhubungan dengan siapapun selain Jackson. Pria itu yang mengambil kehormatanku dan satu-satunya pria yang pernah menyentuhku. Jika benar saat ini aku sedang hamil, maka anak yang aku kandung adalah benar anak Jackson."Kini ganti mata Ariana yang berkabut, dia mengusap wajahnya. tampak tertekan. "Efektifitas obat pence
Jackson menatap Ariana dengan wajah pucat. Pandangannya kosong seolah otaknya berusaha keras mencerna kalimat yang baru saja keluar dari mulut perempuan di hadapannya."Elena... hamil?"Nafas Jackson tersengal, dan cangkir kristal yang sedari tadi digenggamnya jatuh ke lantai, pecah berhamburan. Suara pecahan itu seperti meretakkan ketenangan semu yang sempat ia pertahankan selama ini.Ariana menatapnya penuh kemarahan. Matanya sembab, bukan karena takut, tetapi karena marah dan kecewa. “Jangan berpura-pura tidak tahu! Elena hamil, Jackson. Dan kamu satu-satunya pria yang pernah dekat dengannya selama ini!”Jackson menggeleng, mulutnya terbuka, tapi tak satu pun kata keluar. Tenggorokannya tercekat. Wajahnya pucat, seperti seseorang yang melihat bayang-bayang dosanya bangkit dari kubur."Ariana..." gumamnya, akhirnya berhasil bersuara. "Aku... aku benar-benar tidak tahu...""Apa kau ingin bilang itu bukan anakmu?" potong Ariana dengan nada getir. “Setelah kau tidur dengannya, kau perg
"Keadaan Nona Elena masih dalam batas aman tetapi jangan disepelekan. Dia butuh banyak istirahat dan juga banyak cairan karena tubuhnya kurang minum dan mengalami dehidrasi.“Jauhkan juga Nona Elena dari hal yang membuatnya terkejut atau tertekan, dia mengalami stress dengan tekanan darah yang cukup tinggi," ucap Dokter sebelum mengakhir perkataannya."Baik Dok, aku akan merawatnya dengan baik dan memastikan Elena meminum obat yang kamu berikan."Dokter itu kemudian memberikan obat untuk beberapa hari ke depan dan menulis resep untuk rawat jalan. "Karena Nona Elena sedang hamil, maka aku akan memberikan obat yang aman untuk ibu hamil."Deg...Tubuh Ariana seketika menegang dan mematung saat menerima obat dari dokter tersebut mengetahui jika Elena sedang hamil."Hamil...? ma-maksud Dokter? Elena saat ini sedang hamil?" gumamnya lirih yang masih bisa di dengar oleh dokter itu.Dia tampak syok bukan karena berita yang dia dengar tetapi nasib Elena selanjutnya akan seperti apa."Apakah ka
Belum sempat Elena mengatakan sesuatu, pandangan wania itu tiba-tiba menggelap. Tubuhnya terasa sangat ringan dan bruuuukkk.. wanita itu jatuh dari tempatnya berdiri.Beruntung sebelum tubuhnya jatuh ke lantai, David sudah menangkap dan menyangganya."Ada apa dengan Elena?" tanya Ariana tampak khawatir."Tadi dia sedang sakit, papanya menjualkan untuk dijadikan pemuas hasrat pria kaya. Aku menolongnya melarikan diri dari sindikat yang menjualnya hingga tidak sempat membawanya rumah sakit," terang David."Bawa dia ke kamar tamu, aku akan memanggil dokter," ujar Ariana kepada suaminya.Baru saja David ingin menggendong Elena, sepasang tangan kekar menghentikannya. "Biar aku yang membawanya. Kamu sudah beristri, tak pantas menyentuh wanita lain."David menoleh dan menatap Jackson dengan penuh tanda tanya. Kenapa pria itu berkata demikian?Siapa pun di ruangan itu tahu, dia tidak ada niatan apapun apalagi mengambil kesempatan saat menolong Elena.Dengan cepat Jackson mengambil Elena dari







