Tanpa menunggu reaksi Jackson, dia berlari kecil menuju kamar mandi, langkah-langkahnya tergesa dan goyah, seperti rusa yang melarikan diri dari singa.
"Mandi dan bersihkan make up menjijikkan itu di wajahmu. Bersihkan juga aroma parfum murahan yang kamu pakai, aku mual dengan baunya," perintah Jackson dengan nada tajam yang menggema di ruangan. "A-aku akan mandi dan segera membersihkannya," jawab Elena, suaranya nyaris berbisik. Dia masuk ke kamar mandi dan mengunci pintu rapat-rapat, tangannya gemetar saat memutar kunci. Hanya di balik pintu itu dia merasa aman, meski sementara, yakin bahwa Jackson tidak akan masuk dan merampas kehormatannya saat ini juga. Di dalam kamar mandi, Elena bersandar pada pintu dengan napas tersengal, mencoba mengatur debaran jantungnya yang seperti genderang perang. Cermin di depannya memantulkan sosok yang hampir tidak dikenalnya—wanita dengan mata liar dan riasan tebal yang mulai luntur, simbol kehidupan yang telah menghancurkan dirinya. Perlahan, dia menyalakan keran, membiarkan air mengalir deras, berharap aliran itu bisa membawa pergi semua rasa takut dan aib yang menghantui. Sementara itu, di luar kamar mandi, Jackson berdiri dengan sikap tenang yang bertolak belakang dengan badai yang berkecamuk di dalam dirinya. Dia membuka kancing kemejanya satu per satu, gerakannya perlahan namun sarat dengan ketegangan yang terpendam. Dada bidang dan otot perutnya yang terukir sempurna tampak seperti pahatan patung dewa Yunani, tetapi wajahnya yang keras memancarkan kerapuhan yang hanya dia sendiri yang tahu. Dia meraih gelas kristal yang berisi minuman di meja, lalu meneguknya hingga tandas dalam satu kali tegukan, berharap rasa pahit itu mampu membungkam kemarahan yang mendidih di dadanya. Dengan langkah berat, dia berjalan ke depan dinding kaca besar di apartemennya, menatap pemandangan kota yang berkilauan seperti laut permata di bawah sana. Tangannya masuk ke kantong celana, mengepal dengan kuat, seolah mencari pelampiasan untuk emosi yang menggerogoti. Namun, Jackson tahu, menghancurkan kaca di depannya tidak akan mengubah apa pun. Cermin malam di balik kaca itu adalah pengingat ironis: dunia penuh gemerlap di luar sana tampak indah, tetapi di baliknya tersembunyi luka dan kekecewaan yang tak terhitung. Pikirannya melayang ke keluarganya yang pasti kini sedang bersuka cita di pesta malam Natal. Meja-meja penuh hidangan lezat, denting gelas-gelas anggur, dan tawa yang hangat pasti memenuhi ruangan besar itu. Tetapi dia, Jackson Collins, melepaskan semua itu untuk malam suram bersama seorang wanita murahan yang dia beli dengan harga fantastis. Jackson mendesah panjang, napasnya penuh dengan kegetiran. Kebanggaan yang pernah dia miliki sebagai anggota keluarga Collins telah lama pudar, tergerus kenyataan pahit bahwa apa pun yang benar-benar dia inginkan dalam hidup selalu menjauh dari genggamannya. Dia mengeluarkan ponselnya, menekan nomor anak buahnya dengan dingin. Ketika panggilan tersambung, suaranya terdengar tegas, seperti baja yang tak bisa ditempa. "Bagaimana dengan semua yang aku butuhkan? Apakah kamu sudah menyiapkan semuanya?" tanyanya tanpa basa-basi. "Sudah, Tuan. Anda hanya perlu datang ke sini," jawab suara di seberang dengan nada penuh kepatuhan. "Bagus. Aku akan menghubungimu lagi untuk memastikan jadwalku," ucap Jackson sebelum memutus panggilan. "Kleeek..." Suara pintu kamar mandi terbuka terdengar lembut, seperti bisikan yang menyelinap di antara keheningan. Elena melangkah keluar dengan hati-hati, tubuhnya masih sedikit basah dari sisa mandi yang baru saja dia lakukan. Jubah mandi putih yang dia kenakan menggantung longgar di tubuhnya, memperlihatkan lekukan yang samar namun menggoda. Jackson menoleh perlahan, tatapannya tajam dan mengintimidasi seperti burung elang yang mengamati mangsanya. Dalam sekejap, dia mencatat setiap perubahan pada Elena—kulitnya kini bersih. Wajahnya bebas dari topeng make-up tebal yang sebelumnya menutupi keindahan alaminya, dan aroma tubuhnya telah berubah menjadi netral, segar, dan tidak menyengat. Dia yakin, di balik jubah itu, Elena tidak memakai apa pun. Dengan satu gerakan, Jackson menutup teleponnya tanpa pamit, gerakannya cepat dan tegas. Tatapannya tidak pernah lepas dari Elena ketika dia melangkah mendekat, setiap langkahnya terdengar seperti denting palu yang memukul jantung wanita itu. Elena menelan ludah, merasakan atmosfer kamar yang semakin menyesakkan. Sosok Jackson di depannya begitu memikat, dengan dada bidang dan perut berotot yang memantulkan cahaya lampu kamar seperti marmer yang dipahat sempurna. Namun, di balik semua itu, auranya penuh dengan dominasi dan bahaya, menciptakan campuran antara rasa takut dan sesuatu yang lebih dalam—rasa penasaran yang membara, bahkan memalukan. Dia berusaha menenangkan pikirannya, tetapi bayangan tangan Jackson yang menyentuh kulitnya, menciptakan percikan gairah yang tak dimengerti oleh logikanya. Dalam keheningan, dia meremas jemari dan memainkan kukunya, mencoba menahan gejolak yang mulai muncul dari tempat yang tak seharusnya. "Apakah seperti ini yang dirasakan wanita-wanita jalang sebelum melayani pria?" pikirnya sambil menggigit bibir bawahnya. Jackson akhirnya berhenti tepat di depannya. Sosok pria itu terasa begitu dekat, tubuhnya memancarkan kehangatan yang paradoksal—hangat, tetapi membuat Elena menggigil. Tangan besar Jackson terulur, dan tanpa peringatan, mencengkeram rahang Elena. Elena memejamkan mata, napasnya tercekat saat Jackson memiringkan wajahnya ke kanan, lalu ke kiri, seperti sedang memeriksa barang berharga di lelang. Mata Jackson yang tajam menelusuri setiap lekuk wajah Elena, menyentuh pipi tanpa sentuhan, menusuk tanpa kata-kata. "Jauh lebih bagus seperti ini, tanpa make up yang membuatmu seperti badut," gumamnya dengan nada dingin yang seperti belati, sebelum melepaskan cengkeraman itu. Elena tidak menjawab, hanya mengangguk pelan sambil mengusap rahangnya yang masih terasa panas oleh sentuhan pria itu. "Tidurlah dan jangan berisik. Aku paling tidak suka jika ada wanita yang mendengkur," perintah Jackson singkat, suaranya seperti palu yang menghentikan semua protes yang mungkin terlintas di kepala Elena. "Di mana aku harus tidur?" tanya Elena pelan, matanya melirik ke arah ranjang besar yang tampak terlalu mewah untuk dirinya."Keadaan Nona Elena masih dalam batas aman tetapi jangan disepelekan. Dia butuh banyak istirahat dan juga banyak cairan karena tubuhnya kurang minum dan mengalami dehidrasi.“Jauhkan juga Nona Elena dari hal yang membuatnya terkejut atau tertekan, dia mengalami stress dengan tekanan darah yang cukup tinggi," ucap Dokter sebelum mengakhir perkataannya."Baik Dok, aku akan merawatnya dengan baik dan memastikan Elena meminum obat yang kamu berikan."Dokter itu kemudian memberikan obat untuk beberapa hari ke depan dan menulis resep untuk rawat jalan. "Karena Nona Elena sedang hamil, maka aku akan memberikan obat yang aman untuk ibu hamil."Deg...Tubuh Ariana seketika menegang dan mematung saat menerima obat dari dokter tersebut mengetahui jika Elena sedang hamil."Hamil...? ma-maksud Dokter? Elena saat ini sedang hamil?" gumamnya lirih yang masih bisa di dengar oleh dokter itu.Dia tampak syok bukan karena berita yang dia dengar tetapi nasib Elena selanjutnya akan seperti apa."Apakah ka
Belum sempat Elena mengatakan sesuatu, pandangan wania itu tiba-tiba menggelap. Tubuhnya terasa sangat ringan dan bruuuukkk.. wanita itu jatuh dari tempatnya berdiri.Beruntung sebelum tubuhnya jatuh ke lantai, David sudah menangkap dan menyangganya."Ada apa dengan Elena?" tanya Ariana tampak khawatir."Tadi dia sedang sakit, papanya menjualkan untuk dijadikan pemuas hasrat pria kaya. Aku menolongnya melarikan diri dari sindikat yang menjualnya hingga tidak sempat membawanya rumah sakit," terang David."Bawa dia ke kamar tamu, aku akan memanggil dokter," ujar Ariana kepada suaminya.Baru saja David ingin menggendong Elena, sepasang tangan kekar menghentikannya. "Biar aku yang membawanya. Kamu sudah beristri, tak pantas menyentuh wanita lain."David menoleh dan menatap Jackson dengan penuh tanda tanya. Kenapa pria itu berkata demikian?Siapa pun di ruangan itu tahu, dia tidak ada niatan apapun apalagi mengambil kesempatan saat menolong Elena.Dengan cepat Jackson mengambil Elena dari
Melihat Elena masih duduk di kursi mobil membuat David terpaksa mencengkeram lengan Elena dan menariknya keluar dari mobil.Dia memaksa Elena untuk masuk ke rumah mewah dan megah itu tanpa bisa menolak.Di dalam keterpaksaannya, Elena berharap tidak ada Jackson di dalam rumah tersebut. Jika tidak, maka drama kehidupannya akan semakin rumit dan panjang.Apalagi dia melarikan diri dari kontrak yang seharusnya dia selesaikan. Hutangnya pada Jackson belum selesai dan dia masih punya urusan panjang dengan pria itu.David terus menarik tubuhnya masuk ke dalam rumah megah kediaman Collins, sayangnya keindahan rumah itu sama sekali tidak dirasakan Elena karena fokus pikirannya di tempat yang lain.Tubuhnya semakin gemetar ketika David masuk ke sebuah ruangan yang berisi banyak orang dengan penampilan yang begitu elegan.Mereka para manusia dengan wajah dan tubuh yang sempurna dibalut dengan pakaian mahal yang menambah kesempurnaan mereka."Halo semuanya," sapa David dengan senyum merekah memb
"Kenapa kamu datang sendiri? Di mana David?" tanya Judy pada istri cucunya yaitu Ariana.Hari ini adalah malam acara keluarga Collins yang biasa dilakukan di akhir pekan. Semua anggota keluarga Collins yang rumahnya masih satu kota dengan kediaman utama Collins, berkumpul untuk makan bersama Judy agar wanita itu tidak terus bersedih mengingat mendiang suaminya."David akan datang terlambat karena masih ada pertemuan di kantor, sebentar lagi juga akan datang," jawab Ariana santai."David tidak pernah terlambat jika ada acara keluarga, coba kamu telepon dia dan pastikan sudah sampai di mana sekarang? jika masih di kantor, suruh dia cepat datang," ucap Judy dengan sedikit kesal karena cucunya itu lebih mementingkan pekerjaan dibanding makan malam bersamanya."Baik Grandma, aku akan segera menghubungi David dan memintanya untuk segera pulang," kata Ariana patuh untuk meredam kekesalan yang Judy rasakan pada suaminya tersebut.Setelah Judy pergi, Ariana mencoba menghubungi pria itu, anehny
Elena membacanya sejenak lalu mengangguk pelan berusaha mempercayai perkataan pria yang terlihat tidak jahat itu."Siapa namamu?" tanya David."Elena," jawab Elena dengan suara serak karena kesehatannya terganggu beberapa hari ini."Apakah kamu sedang sakit?"Elena mengangguk mengiyakan. Dalam hati, David tersenyum karena mempunyai alasan untuk mengeluarkan Elena dari tempat tersebut.David tiba-tiba berteriak dengan nada marah memanggil penjaga yang berjaga di depan pintu kamar Elena. Teriakan pria itu membuat Elena terkejut dan tubuhnya semakin gemetar hebat. Tak lama kemudian terlihat dua orang penjaga masuk ke kamar tersebut."APA-APAAN INI? KALIAN MEMBERIKU ORANG SAKIT UNTUK MELAYANIKU!" seru David pura-pura marah."Sakit...? Kami tidak tahu jika wanita itu sakit. Kami akan memberitahu bos dan menggantinya dengan wanita lain yang sehat untuk bisa melayani dan memuaskanmu," ujar salah satu dari penjaga tersebut."Aku tidak ingin wanita lain, aku ingin wanita ini yang melayaniku,"
Tawaran itu langsung menarik minat Jackson karena dia memang butuh waktu untuk mencari Elena dan mencari jalan keluar untuk hubungannya dengan wanita itu.Melihat Jackson yang terdiam, Jane tersenyum tipis di ujung bibirnya, merasa menang. Dia yakin Jackson akan menerima tawarannya."Apa keputusanmu, Jackson? Aku menunggu jawabanmu," desak Jane tidak sabar."Baiklah, aku setuju dengan tawaranmu," jawab Jackson."Bagus. Itu artinya tidak akan ada seorang pun yang tahu masalah internal kita, yang tahu hanya kita berdua. Bagi semua orang hubungan kita baik dan mesra," ucap Jane memastikan jika Jackson mengerti dengan perjanjian tersebut."Oke, bagiku itu tidak ada masalah, hanya bersandiwara saja bukan ?" tegas Jackson."Jika kamu melanggarnya, maka aku akan membuat semua orang menekanmu agar kamu mau menikahiku," ancam Jane."Tidak ada satu orang pun yang bisa menekanku," ucap Jackson penuh rasa percaya diri."Benarkah ...? Kita lihat saja nanti," balas Jane dengan penuh rasa percaya di