Daffin merasakan beratnya tanggung jawab di pundaknya saat dia menatap Lili dengan perasaan iba yang mendalam. Dia tahu betapa sulitnya hidup Lili, sebagai korban dari Diki, kakak tirinya yang sangat tega menyakiti Lili.
Dalam mata Lili yang penuh dengan rasa sakit, Daffin melihat butiran air dari kelopak mata gadis itu meluncur perlahan."Tolong jangan pergi," bisik Lili dengan suara putus asa. Kala itu, Daffin melihat ada luka yang dalam dan besar yang menghuni di hati Lili, luka yang mungkin sulit disembuhkan.Nisa, ibu dari Lili, berdiri di belakang mereka, mengatupkan kedua tangannya dengan penuh harapan. Matanya seakan memohonan yang tak terucapkan saat dia menatap Daffin, seolah memohon agar dia tetap di rumah itu, membantu menenangkan hati Lili yang sedang kumat.Dalam detik-detik itu, ada dorongan dari hatinya untuk mengambil tindakan yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya. Dengan berani, Daffin melangkah mendekati Lili, merangkulnya dengan erat, sehingga tubuh mereka berdekatan.Daffin membisikkan kata-kata di telinga Lili, "aku di sini, di sisimu," kata-kata itu seolah menjadi sebuah jaminan bahwa Lili, bahwa Daffin tidak akan pernah meninggalkan ia seorang diri menghadapi semua penderitaan ini. Daffin membelai rambut Lili dengan lembut, walaupun rambutnya sangat kotor. Bagai hipnotis, Lili langsung tenang dan tangisan berhenti.Nisa meminta Daffin, agar ia menyuruh Lili untuk mandi. Selama ini, jika ibunya ingin memandikan, Lili langsung mengamuk. Dia akan melempar apapun yang ia lihat.Daffin duduk di sofa, Lili mengalungkan tangannya di lengan Daffin. Ia tak mau jika ditinggal kembali. Di mata Lili, Daffin adalah Diki, calon suaminya yang telah meninggalkan dia demi menikahi sepupunya.“Kamu mandi yah,” bujuk Daffin. Lili menoleh menatap Daffin, ia menggelengkan kepalanya dengan cepat.“Jika aku mandi, kamu akan meninggalkanku.” Lili menatap Daffin dengan tatapan nanar, ia benar-benar tak mau Daffin kemana-mana. Membujuk gadis gila sangat sulit baginya, apalagi Daffin selama ini tidak dekat dengan gadis manapun. Daffin melepas tangan Lili dari lengannya secara kasar, ia langsung berdiri tapi tangannya langsung di raih oleh Lili.“Jangan marah, baik aku mandi,” ucap Lili.Daffin tersenyum miring, ia mengikuti cara Diki jika perempuan yang tidak mau melakukan keinginannya, ia akan berpura-pura marah. Agar targetnya mengikuti apa yang ia inginkan, Lili langsung masuk ke kamar mandi diikuti Nisa masuk setelah itu.“Kalian pulang aja, gua di sini dulu sebentar,” ucap Daffin.Arina tidak menyangka, Daffin ingin tinggal lebih lama lagi di rumah gadis gila. Daffin yang ia kenal dengan anti dengan yang namanya perempuan malah terlihat tertarik dengan gadis gila dari desa. Hatinya seperti mau lepas dari raganya, lima tahun ia pendam perasaanya.Mendekatinya menjadi sahabat agar ia bisa dekat dengan Daffin kemanapun tanpa ada pengusiran darinya, karena Daffin selalu mengusir perempuan yang selalu mendekatinya. Ia sempat terkejut, Daffin memeluk Lili walaupun tubuh Lili kotor dan bau tak sedap, bahkan ia membelai dengan lembut dan penuh rasa sayang rambut Lili yang hitam panjang tapi terlihat sangat kusut.“Fin, lu jadi gila juga? Masa lu tungguin orang gila mandi? Lagi pula lu nggak kenal sama gadis gila itu,” ucap Arina.“Bukan urusan lu,” jawab singkat Daffin.Daffin mendorong kedua sahabatnya itu, Gilang pun tampak bingung dengan tindakan Daffin. Ia menutup pintu rapat-rapat setelah dia berhasil mengeluarkan kedua sahabatnya itu dari dalam rumah Lili. Ia duduk dengan santai, walaupun bapak dan kakak dari Lili ada di sana, ia tak perduli.“Terima kasih Daffin, telah membantu kami. Kami sudah berencana untuk memasukan Lili ke rumah sakit jiwa, aku perwakilan dari kedua orang tuaku memohon dengan sangat agar kamu mau membantu agar Lili bisa ke rumah sakit jiwa,” pinta Raka, kakak Lili.“Tidak perlu, biar aku yang merawatnya,” ucap Daffin.Sontak Raka terkejut dengan perkataan Daffin, orang yang baru mereka kenal ingin merawat Lili yang gila. Ada pemikiran curiga kepada Daffin, yang menurutnya sangat tidak wajar yang langsung ingin merawat adiknya yang tak waras.“Tidak perlu! Kamu cukup membantu kami untuk membawa Lili ke rumah sakit jiwa,” ucap Raka. Ia sangat menentang keinginan Daffin.“Baiklah, jika seperti itu. Aku tak mau membantu.”Daffin berdiri, ia mulai melangkahkan kakinya dengan santai dan tanpa beban, membuka pintu dan berjalan keluar. Baru lima langkah ia berjalan, terdengar ada teriakan histeris yang melengking dari dalam rumah. Ia tahu Lili yang berteriak, Daffin membalikkan tubuhnya dan menatap Lili kembali. Matanya membola, ketika melihat Lili memegang pisau, ia sudah menyayat pergelangan tangannya. Lili berjalan ke arah Daffin dengan air mata yang membasahi pipinya. Pisau itu di arahkan ke perutnya, sudah siap untuk mendaratkan di perutnya.“Lili, jangan,” teriak Daffin.Ia langsung berlari dan menahan pisau itu dengan tangannya yang hampir menancap ke perut Lili, darah mengalir dari telapak tangan Daffin. Lili langsung menjatuhkan pisau dari tangannya, wajahnya pucat, tangannya gemetar. Ia memegang tangan Daffin yang sudah berlumur darah karena pisau itu.“Maaf... maafkan aku sayang,” ucap Lili.Air mata Lili menetes ke tangan Daffin dan tercampur dengan darahnya. Ia seperti tak merasakan apa-apa, padahal lengan Lili pun berdarah karena ia menyayat lengannya sendiri.Kedua orang tua Lili keluar, mereka melihat Lili dan Daffin berlumuran darah. Nisa berjalan mendekat, ia berteriak histeris.“Jangan dekati aku!” teriak Lili, suaranya penuh dengan ketakutan dan trauma yang tak terlupakan.“Aku nggak mau tinggal dengan mereka, aku ingin tinggal denganmu. Tinggali sepupuku yang pelac*r itu, kita menikah, aku bisa memberikanmu anak,” ucap Lili. Ia tertawa, lalu menangis meraung.Darah masih keluar dari lengannya, Daffin juga sudah merasa sakit di telapak tangannya. Wajah Lili sudah sangat pucat, tanpa meminta izin kepada keluarga Lili, Daffin langsung membawa Lili ke rumah Gilang. Keluarga Lili tidak berani untuk mendekati atau melarang Lili ikut dengan Daffin, karena mereka takut Lili akan histeris kembali.Daffin menggendong tubuh Lili dengan tangan yang terluka, membawa masuk ke dalam rumah. Gilang tampak terkejut melihat tangan dan lengan Lili yang berlumur darah.“Lu kenapa Fin, tangan lu? Lengan Lili juga?” tanya Gilang.“Lu mendingan bantu gua, ambil tas gua di kamar. Tolong cepat,” pinta Daffin.Gilang langsung mengambil tas Daffin di dalam kamar, ia berikan kepadanya, Daffin membuka tasnya, dan meminta Gilang untuk menjahit tangan yang sobek dan juga pergelangan tangan Lili. Gilang dan Daffin adalah seorang dokter, mereka membawa peralatan standar kedokteran ketika berpergian.Selesai menjahit lengan Lili, tubuh Lili menjadi lemas, karena ia kehilangan banyak darah. Daffin membawa tubuh Lili ke kamar dan diletakkan ke atas ranjang.“Jangan pergi Diki.” Lili memegang lengan Daffin, memohon agar ia tidak pergi.“Diki?” tanya Gilang, wajahnya menatap Daffin.“Calon suaminya yang kabur, kakak tiri gue,” ucap Daffin.“Gila... sampai ke sini juga dia,” tampak wajah Gilang terkejut.“Kalau dia tahu, gue balik ke Indonesia, sampai di lubang semut si Diki berengs*k akan cari gua, tolong jaga dia, lili perlu obat, gua pinjam mobil lu untuk ke apotek,” ucap Daffin.Gilang memberikan kunci mobilnya ke Daffin. Setelah mengecek keadaan Lili yang sudah tertidur karena pengaruh obat, ia langsung keluar dari rumah dan langsung pergi ke kota untuk membeli obat-obatan yang ia butuhkan.Setelah Daffin mendapatkan obat yang ia butuhkan, langsung ia segera pulang. Ia jalan dengan tergesa-gesa, takut Lili terbangun, ketakutan karena dia tak ada disampingnya."Maaf," ucap Daffin ketika tak sengaja menabrak seseorang."Daffin, kamu..."Daffin menatap seseorang yang ia tabrak, betapa terkejutnya dia ketika melihat orang itu, rasa nyeri di hatinya terbuka lagi. Seorang perempuan yang Daffin sangat kenal."Fin... Fin tunggu dulu." Perempuan itu menahan lengan Daffin ketika ingin pergi."Mau apa kamu?" tanya Daffin dingin."Aku menyesal telah meninggalkanmu, aku ingin bersamamu lagi. Aku masih sayang kamu Fin."Bersambung..."Kak Silvia bangun Kak." Lili berteriak memanggil kakak sepupunya tapi dia sudah tidak sadarkan diri.Diki langsung diringkus oleh pihak kepolisian, tangannya langsung diborgol. Ia melihat ke arah Daffin dengan tatapan yang tajam, tapi Daffin tidak perduli. Ia langsung menghampiri Lili yang masih memeluk kakak sepupunya."Tomi, telepon ambulans sekarang," perintah Daffin.Tubuh Silvia langsung dibawa ke rumah sakit, pisau masih menancap di punggungnya. Lili sangat syok melihat Silvia yang mengorbankan nyawanya demi dia. Ia terus menangis di dalam mobil ambulans, berharap kakak sepupunya bisa terselamatkan dan janinnya tidak mengalami hal apapun."Tenang Sayang Silvia pasti akan selamatkan." Lili yang sangat terguncang, tangisannya tidak berhenti sejak Silvia tertusuk.Dalam keadaan tengkurap Silvia berada di atas brankar. Sesampainya di rumah sakit, ia langsung dilarikan ke ruangan IGD dan diperiksa. Di sana dokter langsung memutuskan untuk segera operasi. Lili juga menjelaskan bahwa
Ketika aku membuka mata, tampak asing di penglihatanku. Di mana aku berada? Kepalaku agak pusing, aku berharap semoga kandunganku baik-baik saja, karena aku mengingat betul ketika aku dibius dan diculik, tapi entahlah siapa orang yang menculikku.Berharap agar Mas Daffin langsung menemukanku. Ya Allah tolong aku dan janinku ini agar kami tetap sehat. Tanganku diikat dan kakiku juga diikat, aku tidak bisa bergerak sedikit pun hanya mata ini yang bisa menatap ke kiri dan ke kanan. Melihat sekitar tempat yang aku tidak kenal. Tubuhku di atas ranjang big size.Terdengar suara langkah kaki mendekat ke ruangan ini. Aku menatap pintu dari ruangan itu, berharap Mas Daffin lah yang membuka pintu itu, tapi setelah pintu terbuka, pupus harapanku. Ternyata bajing*n itu yang menculik aku, Diki."Lepaskan aku, mau apa kamu menculikku?" tanyaku dengan setengah berteriak."Kamu bertanya mau apa aku? Jawaban itu seharusnya kamu tahu, aku ingin kamu." Diki mendekatiku, ia duduk di samping ranjang dan m
Daffin dan Lili bergandeng tangan keluar dari gedung acara tersebut. Mereka tidak luput dari kamera para wartawan, menanyai dan juga mengambil foto mereka. Daffin sudah merasa cukup diwawancarai dan berfoto. Ia langsung menarik tangan Lili untuk masuk ke dalam mobil. Jika menuruti kemauan wartawan, wawancara tak akan habis-habisnya."Kak Silvia pasti sudah tahu Mas, mengenai Diki. Bagaimana perasaannya? Suaminya sudah tidak mempunyai apa-apa lagi. Apakah Diki benar-benar tidak mendapatkan warisan Mas?" tanya Lili."Mereka hanya mendapatkan sebuah apartemen, karena harta Mamah itu dimiliki sebelum menikah dengan Anton, ayah tiriku," jawab Daffin."Masalahku sudah selesai dan juga hakmu juga sudah kamu dapatkan. Ada satu hal yang mengganjal di hatiku Mas," ucap Lili.Sejak kemarin Lili masih terpikir seseorang yang menghadang mobil Daffin. Bukan Diki ataupun Anton pelakunya, tetapi ini masih misterius. Lili juga menyuruh Tomi untuk menyelidiki hal itu.Setelah acara pengangkatan CEO Ru
Daffin tidak hanya dengan Lili ke acara Diki, ia juga bersama dengan kedua orang tua Gilang, karena rupanya Anton mengundang mereka.Kedua orang tua Gilang merupakan pengusaha, tapi usahanya masih di bawah Daffin maupun Diki, walaupun bisnis Daffin dibantu oleh Gilang. Ketika kedua orang tua Gilang mengalami kebangkrutan, mereka ditolong oleh mamah Daffin yang menyuntikkan dana, sehingga perusahaannya masih bisa berdiri sampai sekarang.Sabia, mamah Daffin merupakan sahabat dari ibunya Gilang. Mereka sangat dekat dan sabia tidak akan diam saja ketika perusahaan suami dari sahabatnya gulung tikar."Tante, Om, mari kita berangkat," ajak Daffin."Wow kalian tampak serasi sekali, oh iya, selamat yah karena istrimu sudah hamil. Gilang yang memberitahu kepada Tante. Andaikan mamahmu masih hidup, dia pasti akan senang sekali dengar berita gembira ini," ucap Indah ibu dari Gilang."Terima kasih Tante, doakan semoga istri dan calon buah hati aku sehat sampai melahirkan ya. Mamah pasti tahu, ia
"Sayang, aku minta maaf. Itu kan karena obat laknat itu, jika aku sadar seratus persen nggak bakalan aku sentuh Silvia. Istri aku lebih cantik kok."Lili merajuk, ia marah besar setelah melihat video itu. Bahkan di sentuh tangannya oleh Daffin, ia langsung melepaskannya. Daffin yang sudah sangat mencintai Lili ketar ketir dibuatnya. Ketika ia menjadi CEO sikapnya sangat dingin kepada karyawan, apalagi dengan karyawan wanita. Menjadi dokter psikiater sangat karismatik di depan para pasiennya. Tapi di depan Lili, jika istrinya itu marah. Ia berubah seperti ayam kehilangan induknya."Waktu obat itu mulai bekerja, Mas masih setengah sadar kan? Kenapa nggak pakai setengah kesadaran Mas untuk menolaknya dan ini malah menikmatinya. Sudah ah, Mas jangan sentuh aku dulu. Lagi pula aku masih sakit, nggak nikmat disentuh seperti Mas dicumbui oleh Kak Silvia, menyebalkan."Lili langsung ke kamar dan menutup pintu dengan sangat kasar. Ia mengunci kamar tersebut, Daffin mengacak-acak rambutnya kar
Lili membuka mata, ia terkejut berada di atas brankar rumah sakit. Daffin duduk di samping ranjang, ia mengerutkan dahinya. Kenapa posisinya jadi terbalik? Ia yang di atas brankar rumah sakit sedangkan suaminya sedang menggenggam tangannya dan duduk di pinggir ranjang."Mas, kok aku ada di sini?" tanya Lili. Ia bingung dengan Daffin yang membelai rambutnya."Kamu pingsan Sayang, ketika aku bangun kamu berada di sofa. Aku dekati kamu dan membangunkan, tapi kamu tidak bangun. Aku baru tahu bahwa kamu sedang pingsan. Panik banget, lalu aku panggil dokter," jawab Daffin.Lili memang terasa sangat pusing karena benturan mobil cukup keras, sehingga kepalanya terasa sakit. Dia baru merasakan ketika berada di rumah sakit, saat melakukan hal gila itu, mengendarai mobil dengan menabrakkan mobilnya ke mobil penjahat, ia tidak merasakan apapun karena hatinya sedang diselimuti kegelisan dan hanya berpikir bagaimana menyelamatkan suaminya yang sedang dipukuli oleh orang yang tidak dikenal."Lalu k