Desa itu tampak sepi, ia menengok ke arah kiri dan kanan tapi tak ada satu orang pun yang ia lihat. Daffin menatap wajah Lili, 'kotor', itu lah yang ada dalam pikirannya saat ini karena memang wajah Lili tampak sangat kotor. Daffin menatap wajah gadis tak waras itu.
“Aku ditampar dua kali oleh gadis tidak waras, tapi kenapa jantungku malah terasa berdetak dengan cepat ketika ia memelukku? Nggak benar ini Fin. Bibirnya juga masih terasa," gumam Daffin. Ia menyentuh pipi kanan dan kirinya sendiri dan menyentuh bibirnya, ia mencoba mengatasi perasaan yang kesal tapi ada rasa iba di dadanya. Kejadian tadi begitu kuat membekas di pikirannya.“Apa yang sebenarnya terjadi? sampai kamu menangis?” ucap monolog Daffin.Ia sangat penasaran, apa yang terjadi dengan gadis itu sebenarnya. Jika diperhatikan wajah gadis tak waras ini sangat cantik.Tiba-tiba ada seorang laki-laki yang berlari mendekati Daffin. "Kamu apakan adikku?" Laki-laki itu langsung meninju wajah Daffin tanpa mendengar mendengar jawaban Daffin.Laki-laki itu langsung mengambil tubuh gadis itu dari dekapan Daffin, ia langsung pergi dengan membawa tubuh gadis itu. Daffin berdiri, menatap tubuh laki-laki itu yang membawa gadis tak waras.“Sebelumnya ditampar, setelahnya dibogem,” tutur Daffin kesal.Daffin langsung berjalan untuk kembali ke rumah Gilang, sahabatnya. Selama perjalanan ia terus memegang pipinya. Teringat tamparan juga belaian gadis tak waras itu.Tampak dari jauh, Gilang dan juga satu temannya bernama Arina sudah berdiri di depan rumah. Lebih tepatnya adalah Villa karena keluarga Gilang kini sudah pindah ke Jakarta dan rumahnya sering di sewakan sebagai penginapan."Daffin, kemana aja lu? Kirain gue, lu nyasar," ucap Gilang ketika ia baru memasuki pekarangan rumah."Iya lu Fin, nggak asik. Keluar sendirian aja nggak ngajak-ngajak. Lagi pula hari ini kita mau lihat air terjun kan?" tanya Arina.Arina, menatap Daffin. Ia melihat wajah Daffin yang memerah. Arina langsung mendekati Daffin dan menyentuh wajahnya yang memar, sontak Daffin langsung menjauhkan wajahnya agar tidak di sentuh oleh Arina, membuat Arina sangat kecewa.“Muka lu kenapa Fin? Kok memar gitu?” tanya Arina.Daffin menatap Arina, ia tidak mau mengatakan bahwa ada seseorang yang memukulnya dan bertemu dengan gadis tak waras.“Nggak apa-apa, tadi gua lari pagi. Seger banget di sini, gua nggak sengaja kepeleset, Kena batu wajah gua yang ganteng, jadi memar deh.” Daffin tersenyum.“Semalam habis hujan, memang jalan akan licin. Salah lu sendiri, olah raga pakai sandal jepit,” ucap Gilang."Lang, gue pinjam baju lu dong." Daffin merangkul pundak Gilang. Ia sengaja mengajak Gilang ke kamarnya untuk bertanya sesuatu."Gilang, lu kok nggak bilang kalau di desa ini ada orang yang nggak waras." Daffin langsung protes dengan Gilang karena niatnya di sini berlibur bukan bertemu orang tak waras."Memang siapa yang lu maksud?" Gilang malah bingung dengan pertanyaan Daffin."Gila... pagi-pagi gua dapat tamparan dari gadis nggak waras. Parah lu nggak bilang sama gue," betapa kesal Daffin."Gadis gila?" Gilang tampak berpikir sejenak, ia mulai mengingat sesuatu."Mungkin yang lu maksud Lili, ini sih cerita dari saudara gue tapi nggak tahu kebenarannya."Daffin langsung menoleh ke arah Gilang. Rasa kesal menyelimuti Daffin saat ini. Di Amerika, Daffin merupakan dokter muda yang mempunyai teknik dalam menyembuhkan para pasiennya. Mereka menjadi tak waras karena sebab yang berbeda-beda. Ia menggunakan cara penyembuhan dengan penyebab dari pasien itu sendiri. Makanya ia dijuluki sebagai dokter-z yang terkenal akan metodenya yang unik."Tuh kan, lu memang menjebak gue kan biar nggak libur. Kampret banget lu, gue mau liburan nggak mau kerja," kesal Daffin."Yah itu sih derita lu dapat dua kali tamparan. Lumayan buat kenang-kenangan kalau lu balik lagi ke Amerika," ucap Gilang."Gue pulang ke Indonesia justru buat bantu ayah gue urus rumah sakit jiwanya yang ada di kota," ucap Daffin."Sudah ah, Alina dari tadi ajak ke air terjun terus. Tuh baju ada di lemari, lu pilih aja sendiri." Gilang keluar dari kamar.Daffin terus saja bicara sendiri dari dalam hatinya, ia berdiri di cermin dan melihat wajahnya."Gila merah pipi gue..."Bersambung“Ayo kita berangkat,” ajak Gilang.Mereka bertiga masuk ke dalam mobil, dan mulai menjankan mesin mobilnya melewati jalanan yang sudah di pelur. Jalanan khusus untuk kendaraan, agar tidak licin. Tapi sebelumnya mereka melewati jalanan biasa yang di lewati oleh para warga Desa. Mobil harus hati-hati, karena jika ban terselip, mobil akan terguling masuk ke parit sawah.Mereka bertiga, perlahan mendaki ke arah air terjun di Desa Lembah. Sesampainya di sana, mereka terpesona oleh keindahan pemandangan yang ada di depan mata. Air terjun mengalir deras, menciptakan alunan yang hampir seperti musik alam. Cahaya matahari yang jatuh di antara pepohonan menciptakan permainan bayangan dan cahaya yang menakjubkan.Dengan semangat, mereka melepas sepatu dan merasakan air segar dari air terjun yang mengalir di antara jari-jari mereka. Menghilangkan sejenak pekerjaan yang menjadi rutinitas mereka. Di bawah kucuran air terjun kecil menyentuh tubuh Daffin dan Gilang.Arina tak bisa berhenti menatap
Hati Daffin tak bisa digambarkan lagi. Diciumi oleh gadis gila yang baru ia kenal pagi ini tapi rasanya wajah Lili sudah familier di ingatannya. Daffin mencoba untuk melepaskan pelukan Lili tapi gadis itu makin mengeratkan pelukannya, tubuh Daffin seperti terkunci. Padahal tubuh Daffin lebih besar daripada Lili tapi entah kenapa tenaga Lili sangat kuat untuk memeluknya.“Lepaskan aku,” teriak Daffin. Dia tidak tahu lagi bagaimana melepaskan pelukan dari gadis gila itu.Para warga mulai berdatangan melihat kejadian yang aneh bagi mereka. Selama ini, Lili selalu mengusir orang yang mencoba mendekatinya. Bahkan ia tak segan untuk menimpuk dengan batu orang yang menurut ia mengganggunya. Tapi dengan Daffin malah dipeluk dengan erat, bahkan tanpa malu, ia mencoba untuk meraih bibir Daffin.Sampai sang kakak akhirnya, memukul leher Lili. Lili langsung jatuh dan pingsan, Daffin membeku melihat itu, kakaknya yang memberhentikan ketidak warasan adiknya dengan cara memukul.Ini bukan Lili yang
Daffin merasakan beratnya tanggung jawab di pundaknya saat dia menatap Lili dengan perasaan iba yang mendalam. Dia tahu betapa sulitnya hidup Lili, sebagai korban dari Diki, kakak tirinya yang sangat tega menyakiti Lili. Dalam mata Lili yang penuh dengan rasa sakit, Daffin melihat butiran air dari kelopak mata gadis itu meluncur perlahan."Tolong jangan pergi," bisik Lili dengan suara putus asa. Kala itu, Daffin melihat ada luka yang dalam dan besar yang menghuni di hati Lili, luka yang mungkin sulit disembuhkan.Nisa, ibu dari Lili, berdiri di belakang mereka, mengatupkan kedua tangannya dengan penuh harapan. Matanya seakan memohonan yang tak terucapkan saat dia menatap Daffin, seolah memohon agar dia tetap di rumah itu, membantu menenangkan hati Lili yang sedang kumat.Dalam detik-detik itu, ada dorongan dari hatinya untuk mengambil tindakan yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya. Dengan berani, Daffin melangkah mendekati Lili, merangkulnya dengan erat, sehingga tubuh mereka be
Daffin menatap tajam pada perempuan yang pernah singgah di hidupnya. Dia adalah mantan kekasihnya, ketika Daffin berangkat ke Amerika, mereka sudah membuat janji agar setia. Menjaga hati mereka masing-masing. Silvia, nama mantan kekasih Daffin, cinta yang Daffin jaga ternyata hancur dalam sekejap karena setelah dua tahun di Amerika, Silvia ternyata sudah menikah dengan seseorang yang sampai saat ini ia belum tahu.Daffin pernah bertanya kepada Silvia, kenapa ia begitu tega menghinati cinta mereka, apa salahnya? Silvia menjawab kala itu, bahwa ia tak kuat dengan hubungan jarak jauh. Ia butuh kasih sayang yang nyata, kekasih yang selalu ada di sampingnya.Sejak saat itu, Daffin tidak mau mengenal cinta lagi. Walaupun wajahnya tampan dan banyak perempuan Amerika yang mendekati dirinya, tak satupun Daffin tertarik. Bahkan ada yang ingin menyerahkan tubuh mereka tapi Daffin langsung marah dan mengusirnya.“Lepaskan tanganmu!” hentak Daffin.Silvia masih dengan erat memegang tangan Daffin,
Daffin menyalahkan mobilnya, ia tak mau berlama-lama di tempat itu. Benar saja, apa yang ia pikirkan. Diki berlari sambil menggenggam tangan Silvia dan masuk ke dalam mobil, mengikuti mobil Daffin.Daffin menambah kecepatan mobilnya, Diki tak mau kalah. Ia pun melajukan mobilnya dengan cepat mengikuti kemanapun mobil Daffin bergerak. Daffin melihat dari kaca spionnya, terlihat mobil Diki mendekat. Ia mencari celah agar Diki tidak bisa mengejarnya. Ia melihat di google map bahwa di depan ada gang kecil, ia membelokkan mobilnya dengan tajam secara mendadak. Melintasi gang kecil yang hanya bisa masuk untuk satu mobil, jika ada mobil dari depan yang berlawanan arah, maka Daffin tidak bisa keluar.Tin... tin...Daffin menekan klakson, jika ada mobil di depan gang tersebut akan tahu bahwa ada mobil yang sedang melintas. Ia melihat kaca spion kembali, Diki masih mengikutinya dari belakang.“Ah sial, berengs*k itu masih ngejar gue,” gumam Daffin.Ia tidak menurunkan kecepatan laju mobilnya, t
Daffin mulai menjalankan mobilnya, ia terus memikirkan Lili. Tidak ada yang tahu bahwa dirinya merupakan seorang psikiater lulusan Amerika. Hanya Gilang yang tahu akan hal itu. Arina memang teman sejak SMA tapi ia tidak tahu akan Daffin yang seseungguhnya, walaupun mereka mengambil S2 di negara yang sama, Daffin menyembunyikan itu.Daffin memasuki pekarangan rumah Gilang. Ia mengambil obat-obatan dari dalam mobil, telapak tangannya baru terasa sakit. Ketika mobil Diki mengejar mobilnya, rasa sakit itu tidak ia rasakan, hatinya hanya merasakan kecemasan.Ia terus melangkah ke dalam, sepi tidak ada siapapun. Sepertinya Gilang sedang mencari seseorang untuk dijadikan ustaz gadungan dan Arina entah kemana, yang jelas Daffin menyuruh Gilang agar Arina tidak tahu akan hal ini.Daffin menaiki anak tangga, ia langsung menuju kamar, di mana Lili berada. Terdengar suara tangisan, ia langsung berlari dan membuka pintu. Terlihat Lili sedang duduk di lantai dengan kedua kaki di tekuk, kedua tangan
Ia tak mau jika Silvia dan Diki datang ke acaranya bersama kedua orang tua kandung Silvia, yang selama ini Lili anggap sebagai orang tuanya. Padahal mereka adalah penjahat berkedok wajah malaikat. Daffin sudah tahu semuanya, ia ingin melindungi Lili. Tanpa Daffin sadari, bahwa ia takut mereka akan mengambil Lili.Bagaimana pun caranya, Kedua masa lalunya tidak boleh tahu akan pernikahan gadungan ini. Lili terus menggengam tangan Daffin sangat erat bahkan ia mengalungkan lengannya di lengan Daffin. Sepertinya memori Lili ketika ditinggal kabur oleh Diki sangat melekat, syok tingkat tinggi atau yang disebut trauma membuat Lili sangat takut. Sehingga dia memperlakukan Daffin seperti tak boleh dekat oleh siapapun.“Kamu jangan dekati Diki ku, dia akan menikahiku,” ucap Lili kepada Gilang.Gilang menatap Lili, dia menggelengkan kepalanya, “benar-benar gila dia, masa anggap gue ancaman. Li, gua masih doyan cewe. Ngapain gue jelasin ke dia? Jadi ikut gila gue,” ucap Gilang. Ia melangkahkan k
Aku membuka mata, melihat sekeliling ruangan. Ruangan ini adalah kamar Lili, ada laki-laki disampingku, laki-laki yang aku rebut dari sepupuku, Lili. Entah kenapa Diki, bisa langsung setuju dengan permintaan Ibu kandungku, Anisa. Padahal sebelumnya, ia sangat mencintai Lili, bahkan postingan sosmednya semua foto-foto dia bersama Lili.Lili tidak tahu, Ibu yang ia anggap sebagai ibu kandung sebenarnya adalah ibu kandungku, bukan ibu kandungnya. Aku pun syok mengetahui kebenaran ini awal mulanya, bapak telah menukar aku dan Lili di rumah sakit, kebetulan kami lahir hanya selang satu hari. Aku lebih dahulu lahir lalu keesokan harinya Lili lahir. Awalnya aku tak menerima ini semua. Aku anggap Yuli, ibu kandungku selama ini, tapi ternyata ia ibu kandung Lili. Ia sangat menyayangiku, tapi ketika ia mengetahui aku dan Lili ditukar dengan sengaja ketika bayi . Ia ingin membongkar dan menyeret Bapak ke polisi, untuk itu Bapak menghabisi nyawanya.Aku menatap laki-laki di sampingku, karena dia,