Share

Bab 8 - Tersulut

Cinta menyeringai saat wanita bernama Farahdina itu berjalan mendekat. Keduanya saling beradu tatap membuat udara di ruangan seketika memanas.

"Ya, kau benar! Aku ini wanita berkualitas dan mana mungkin berselera pada barang bekas apalagi suami dari orang rendahan," cibirnya.

Jika di pertemuan awal mereka Farah memamerkan keanggunan dan kelembutan hatinya, maka pada detik ini semua kelembutan itu berbalik seratus delapan puluh derajat.

Cinta ikut menarik sudut bibirnya.

"Maka dari itu, biarkan orang rendahan ini membawa pulang suaminya tanpa harus bertungkus lumus  menjemputnya kemari," balasnya tak mau kalah.

Farah terbahak elegan di sela pancaran wajah angkuh.

"Ah, baiklah. Kurasa sebaiknya kita bicara," ujarnya sambil bertepuk tangan ala pebisnis handal dan itu mencerminkan jati dirinya sebagai pemilik Farah Beauty Salon yang sudah melanglang buana.

"Apa yang ingin kau bicarakan, Nona Farah. Katakan saja, aku tidak punya banyak waktu," tukas Cinta tidak sabar.

"Kudengar kau menikah dengan Zaki hanya karena uang. Itu artinya sampai kapan pun dia tidak akan pernah menganggapmu sebagai istri."

Farah masuk ke inti permasalahan. Sepertinya dia begitu paham akan situasi.

"Jadi kurasa sebaiknya kau bercerai saja dengannya," pungkasnya lagi dan dia merasa menang.

Cinta mengerling tajam.

"Sepertinya kau salah mengira, Nona. Kami memang menikah karena perjanjian hutang, tetapi pernikahan tersebut terjadi tidak main-main dan itu legal di mata hukum maupun agama," terangnya tanpa perlu ditutupi.

"Sejauh ini hubungan kami harmonis. Terlepas dari masa lalu, kami punya hak untuk memperbaiki hubungan ini menjadi lebih berarti," sambungnya lagi.

Ucapannya kedengaran acuh tak acuh membuat wanita itu marah besar.

"Baiklah, rupanya tak hanya usiamu saja yang kecil, tetapi otakmu juga picik."

"Apa maksudmu meremehkanku, Nona Farah? Anda hanya masa lalu yang tidak berhak mencampuri urusan masa depan Zaki."

Farah langsung tersulut.

"Aku lebih tahu siapa Zaki sesungguhnya. Sekali dia tidak menganggapmu sebagai istri, maka selamanya dia akan membuatmu menderita."

Farah menyindir sambil terus menghantam kata-kata penuh ironi.

"Lalu kapan kau akan punya anak darinya kalau organ reproduksimu saja sama sekali tidak difungsikan olehnya?"

Cinta tertegun. Ucapan Farah ada benarnya.

'Sejauh itukah dia mengenal Zaki hingga hubungan suami-istri yang tidak pernah terjadi di antara kami saja bisa diketahui olehnya?'

'Sebesar itukah rasa percaya Zaki kepada wanita ini sampai dia berani membeberkan semua rahasia tentang hidupnya?'

Farah menyeringai jahat.

"Kenapa? Kaget kalau aku bisa melihat kekuranganmu dengan sangat baik?" desisnya sinis.

Tatapan tajam menggambarkan keangkuhan mendominasi. Sedangkan sifat elegan dan anggun pada dirinya hanyalah sisi kecil dari kedok yang digunakan untuk memikat Zaki.

"Sungguh, kau akan sangat menyesal jika tidak mendengar perkataanku," tutupnya sambil berlalu.

"Eh! Dengar, ya! Walau penuh kekurangan begini, aku tidak pernah menangis meminta untuk dikasihani oleh suamiku sendiri. Berbeda dengan kau yang pulang-pulang sudah bilang cemburu sama Zaki soal pernikahan kami!" pekik Cinta lantang. Dia sangat yakin kalau Farah mendengar teriakannya tersebut.

Cinta tak ingin menunda waktu dan langsung pergi setelah sosok wanita itu menghilang di balik dinding pemisah. Hatinya bergesek menimbulkan percikan api, memicu kobaran besar di dada.

Dia bahkan nyaris tidak bisa menjernihkan pikiran sendiri. Pun kepalanya tak tahan untuk tidak menggeleng.

"Jadi begini tipe wanita yang dicintai Zaki?" Hatinya cukup tergores mengingat kembali momen di mana Zaki kerap mengasarinya sambil menyebut nama keramat milik Farahdina.

Seketika pandangannya berkaca-kaca. Lidahnya ikut berdecak kesal, "Pantas saja, wanita itu benar-benar cerminan dirinya."

Cinta keluar dari sana dengan perasaan kacau. Akan tetapi, dia juga harus kembali menerobos keramaian pesta dansa demi mencari keberadaan Zaki yang pergi tanpa diketahui arahnya.

"Ke mana dia?"

Bayangan Zaki memeluk Farahdina dan juga ungkapan sinis dari wanita itu membuat dadanya penuh sesak.

"Awas saja kau, Zaki!" ancamnya dengan gigi gemelutuk.

Di sela kebingungan dan rasa dongkol yang mendera, seseorang bersuara khas menyapa dari belakang.

"Mau berdansa denganku?"

Tidak salah lagi itu suara seorang pria. Kedengaran cukup mengesankan dan memaksa Cinta untuk menoleh.

"Anda siapa?" tanyanya spontan.  Cinta tidak punya waktu meladeni orang asing.

Orang tersebut tersenyum. Senyumannya tampak terlalu menawan bagi ukuran pria berjakun hingga sedikit memengaruhi motorik Cinta. Wanita itu melongo.

'Memangnya ada pria secantik ini?' pikirnya tak percaya. Untuk sejenak, dia melupakan tujuan mencari keberadaan sang suami.

Pria jangkung berpenampilan rapi, wangi dan cukup narsis di pengamatan Cinta ini tiada sungkan menampilkan gaya santun. Senyum teduhnya serentak memberi keindahan di hati Cinta seperti riak warna-warni pelangi yang terbit setelah hujan.

"Santai. Mari berkenalan. Aku Abimanyu," ucap ramah suara itu.

Sebelah tangannya sudah menggenggam jus orange dan yang lainnya menguasai segelas minuman berbintang. Lalu jus-nya disodorkan kepada Cinta. Namun, dia menolak.

"Panggil saja Abi. Mari merayakan bersama, pesta ini milik kita." Abi kembali menyodorkan minuman tersebut dan sekali lagi dia menolak.

"Aku Cinta."

Matanya menatap lekat minuman mahal di tangan Abi. Bayangan suram kembali membuat otak keruhnya berjalan.

'Perlu dicoba. Ini tidak buruk.' Bibir dan tangannya menolak jus, tetapi hati kecilnya berkata lain.

Perlu diingat, Cinta bukan tipe gadis yang menanggapi masalah dengan kepala dingin. Dia bahkan pernah nyaris bunuh diri karena masalah, bukan? 

"Baiklah, mari merayakan."

Pikiran yang gagal menjernih tiba-tiba saja memaksa tangannya melesak tanpa ragu. Merebut gelas lain yang berisi minuman termahal di dunia, lalu menegaknya hingga tandas.

"Ya, ini sangat membantu." Cinta memutuskan untuk mencari pelampiasnya sendiri.

Seperti saat ini, dia pun tentu tidak tinggal diam dengan apa yang sudah dialaminya sejak seminggu belakangan.

"Gadis pintar."

Alis Abi terangkat simetris. Perlahan jus orange yang ditawarnya tadi dia kembalikan ke meja semula. Lalu perlahan mendekati wanita asing di depannya.

"Apa kau terbiasa melakukan ini?"

Entah berapa kali pria itu membiarkan Cinta merampas gelas dan mereguk kembali minuman panas yang sedia membakar tenggorokan. Abi menyeringai.

"Masih mampu?"

Cinta terkekeh.

"Sangat mampu. Berikan saja padaku. Ini hanya sedikit dan tidak akan membuat mabuk!" racaunya lagi di sela rasa oleng yang kian bergejolak.

“Baiklah, apapun untukmu!”

Pria itu seperti mendapat hiburan tersendiri lewat tingkah konyol Cinta.

“Ya! Dengan berpesta, semuanya menjadi mudah!” seru Cinta lantang.

Pada detik ini, dia benar-benar melupakan tujuannya mencari keberadaan Zaki. Lantas berbalik menyambut tangan pria bernama Abi yang mengajaknya berdansa.

“Keren.”

Pria itu menyeringai puas.

Cinta sudah berada di batas kesadaran. Hangover membuat penampilannya berubah tak karuan. Beberapa kali dia memuntahkan isi perut yang mengeluarkan bau menyengat. Tungkainya tak lagi sanggup berjalan. Mau tak mau dibantu oleh Abi yang memapahnya menuju sebuah kamar asing.

“Zaki! Di mana kau?” racau Cinta dalam serak. Serentak menimbulkan seringai licik di bibir pria yang tengah memapahnya.

Pena Ilusi

Jangan lupa like and sub jika berkenan 💕

| 1

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status