Pintu ruang VVIP terbuka, bersamaan dengan penghuninya menyambut sang tamu dengan wajah sinis. Berapa lama mereka tidak bertemu. Cukup lama untuk saling menahan diri. Sebab tiap kali mereka bertemu hanya akan ada baku hantam.
Seperti kali ini, Alfa sudah mati-matian menahan diri untuk tidak meninju wajah percaya diri Birru. Wajah yang sudah membuat hatinya kehilangan, dan merasakan lara untuk waktu yang lama."Jauhi dia!" Ultimatum pertama datang dari pihak Birru. Dengan seringai meremehkan menjadi tanggapan untuk perintah Birru."Kenapa aku harus menjauhinya. Ingat, kau hanya pendatang baru yang kebetulan segera mendapat status suami. Tapi percayalah, hubungan kami lebih dari sekedar yang kau lihat." Birru mengepalkan tangan. Dia tahu rasa sakit yang Alfa miliki mengubahnya jadi benci, sama seperti Birru yang membenci dirinya sendiri karena kejadian di masa lalu karena kesalahannya."Aku tidak mau basa basi denganmu. Jangan dekati dia selagi statusnya masih istriku. Atau kau sengaja melakukan ini?" Giliran Alfa yang menggeram marah. Apa maksud ucapan Birru. Apa lelaki itu berniat mempermainkan Zee. Tidak akan dia biarkan hal itu terjadi."Kalau kau berniat mempermainkannya kenapa kau menikahinya? Kau ingin melakukan kesalahan yang sama. Memberi harapan lalu membuangnya. Sama seperti yang kau lakukan pada Cyntia!" Begitu nama Cyintia disebut, tubuh Birru membeku. Berapa lama dia mencoba berdamai dengan nama itu. Lama, tapi tetap saja Birru tak bisa melakukannya."Kau diam? Yang kukatakan benar?" Birru sungguh tak bisa menjawab. Hal itu membuat Alfa meradang. Hingga satu hantaman mendarat di wajah Birru, membuat pria itu tersungkur di lantai. Tak cukup sampai di situ, Alfa naik ke atas tubuh Birru, mencengkeram kerah lelaki yang tampak pasrah dengan tindakan Alfa."Aku tidak peduli kalau kau menyakiti perempuan lain. Tapi Zee, jangan harap aku akan membiarkannya. Jika aku tahu dia menitikkan air mata walau hanya setetes karena kau, akan kuhabisi kau!" ancam Alfa. Lelaki itu segera beranjak dari raga Birru yang terdiam di tempat."Bersikaplah baik padanya! Tidak boleh ada Cyntia kedua dan seterusnya!" tambah Alfa sebelum menghilang di balik pintu. Birru bergeming di tempatnya. Tak lama, sudut matanya berair. Lelaki itu menangis, penyesalannya di masa lalu tidak mungkin tertebus."Maafkan aku, Tia."Birru melangkah gontai masuk ke kamarnya. Mengabaikan Zee yang langsung memeluk kertas kerjanya, melindunginya. "Lagi gak mood gelut sama kamu, gemoy." Kata Birru langsung masuk ke kamar mandi."Dasar manusia batu!" gerutu Zee. Kembali fokus pada sketsa design yang sudah dikoreksi oleh Kamelia."Aku dengar itu, gemoy." Zee seketika membungkam mulutnya sendiri. Melirik ke arah kamar mandi. Punya indera keenam apa ya si manusia batu, pikir Zee. Meski detik berikutnya gadis itu menggeleng pelan.Malam beranjak larut, Birru kembali ke kamar hampir tengah malam. Lelaki itu memberi laporan pada sang kakek mengenai tinjauan lima tahunan. Di luar dugaan, Abdi justru ragu untuk melepas Birru, dinas luar yang biasanya akan selesai lebih dari empat bulan.Sementara Birru semakin yakin untuk pergi. "Ini akan jadi kesempatanku berjauhan dengan Zee, sebelum aku mengakhirinya," batin Birru. Saat melangkah ke arah kasur, dirinya tiba-tiba tertarik untuk mendekai Zee yang sudah pulas memeluk guling.Selama sebulan mereka menikah, tak pernah gadis itu membantah perintahnya, meski tak jarang sang istri membantahnya. Beberapa kertas bertebaran di meja, rancangan pakaian yang seketika mengingatkan Birru pada seseorang. "Ma, Birru rindu Mama. Semua terasa berat setelah Mama pergi."Jemari Birru bergerak mengambil satu design, mengamatinya sebentar. "Not bad," komen lelaki itu. Dia baru tahu kalau Zee adalah mahasiswa design pakaian, yang masuk tahun terakhir. Artinya tahun depan sang istri akan lulus. "Aku mau hidup. Aku ingin punya panggung sendiri. Fashion show sendiri," gumam Zee tak jelas dalam tidurnya.Meski demikian, Birru hanya tertarik pada bagian "aku ingin hidup" Memangnya kau mau mati apa sebentar lagi," kata Birru tanpa perasaan."Kau yakin dia orangnya?" Vero bertanya pada orang suruhannya. Keduanya berada di sebuah minimarket dimana mereka tengah mengamati Zee yang sedang belanja. Program dietnya akan segera dimulai. Istri Birru mulai melatih diri, salah satunya dengan mengkonsumsi yogurt yang sangat dianjurkan untuk orang yang tengah berdiet."Yakin. Sumberku valid." Orang itu segera pergi. Dengan Vero tersenyum tak percaya. Bagaimana bisa seorang bertubuh gemoy itu adalah istri Birru, kekasihnya. Pria tampan dan berkharisma yang menjadi dambaan hampir semua wanita."Yang benar saja." Vero tak tahan untuk berkomentar. Hingga kakinya melangkah mendekati Zee. "Hai, kamu istrinya Birru?" Zee memutar badannya, melihat wanita cantik, tinggi dengan masker menutupi wajah. Walau begitu, Zee sudah bisa menebak siapa perempuan ini."Iya, kenapa?" Vero mengepalkan tangan. Tidak percaya Zee terkesan berani menantangnya.Di tempat Kamelia, sebuah mobil baru saja masuk ke halaman rumahnya. Tentu saja setelah pengemudinya menyamarkan presensinya dengan masker dan kacamata. Kamelia hanya tertegun, melihat kehadiran orang yang sudah lama tak muncul di hadapannya."Anda datang? Apa sudah waktunya aku pulang?" Sambutan Kamelia tampak sinis dan dingin pada tamunya."Maafkan aku Nak. Semua kesalahanku. Hingga kamu kehilangan suamimu, menantuku. Juga waktu bersama putramu." Penyesalan terlihat jelas di netra yang tampak berkabut. Kamelia menghela nafas. Ingin marah tapi semua tak akan berguna. Suaminya meninggal demi menyelamatkannya. Sementara sang sahabat turut terkorban.Menyisakan Kamelia yang depresi hingga perlu perawatan intensif. "Lalu apa yang harus aku lakukan sekarang. Oh iya selamat, rencana Anda berjalan sukses.""Itu hanya usaha kecil untuk membalas budi meski aku mengharapkan hasil besar dari rencanaku." Lelaki itu menatap wajah Kamelia. Kasih sayang dan cinta tak pernah luntur pada wanita itu."Harusnya cucumu itu bisa takhluk," ujar Kamelia. Sang tamu tertawa terbahak mendengar ucapan Kamelia."Yang kau sebut cucu itu adalah putramu sendiri." Wajah Kamelia berubah manyun. Benar sekali yang dikatakan orang itu. "To the poin saja. Apakah aku sudah boleh pulang, Ayah?""Dia akan pergi." Suara seorang pria membuat si wanita menoleh. Ada senyum tipis terbir di bibirnya. Apa mereka perlu mencoba lagi. Menghabisi orang yang menjadi batu sandungan bagi keinginan mereka."Apa kita perlu mencoba lagi?" tanya wanita bernama Sita. Istri dari pria dengan nama Dion. Sang suami mengeryit pelan. Pertanyaan dari Sita mendapat atensi penuh darinya. Percobaan pertama gagal. Malah pihak lawan diuntungkan dengan menguatnya status Birru melalui pernikahannya dengan Zee."Untuk sementara kita tahan dulu. Aku tidak mau menimbulkan masalah baru. Apalagi Ayah sekarang sedang memberi perhatian penuh pada dia. Ruang gerak kita semakin sempit. Kita cari aman dulu." Dion memberikan pandangan. Sita manggut-manggut paham dengan perintah sang suami."Biarkan Vero melakukannya tugasnya, membuat Birru terjerat sampai tak bisa lepas," tambah Dion.Di tempat lain, Malik masuk ke ruang kerja sang tuan. Memberikan sebuah dokumen yang segera dibuka oleh si atasan. "Valid?" Malik mengan
"Bangun kau gemoy, dasar biang kerok! Karena kau aku bertengkar dengan Vero! Gara-gara kau aku berseteru dengan Kakek!" Birru tanpa ampun menarik paksa selimut yang masih membungkus tubuh Zee, begitu lelaki itu masuk ke kamar."Berisik tahu!" Zee merebut kembali selimut dari tangan Birru. Tubuhnya terasa dingin meski AC sudah dimatikan. Keadaannya memang terlihat baik hanya menyisakan rasa dingin yang sejak tadi menyelubungi raganya."Berani kamu melawan?" Rahang Birru mengeras. Sungguh tidak menyangka jika Zee berani itu padanya."Kenapa aku tidak berani? Bukan aku yang salah dalam hal ini. Kau bertengkar dengan Roro atau siapa itu namanya, atau kau gelud dengan mbahmu, bukan urusanku. Jangan hanya bisa menyalahkan orang lain. Tapi introspeksi juga dirimu sendiri!" balas Zee sengit.Bungkam, untuk pertama kalinya Birru tak bisa membalikkan perkataan lawan bicaranya. Arogansi dan dominasi Birru menguar begitu saja. Tatapan Zee tajam terarah ada Birru. Meski wajah gadis itu pucat, tam
"Semua sudah dipersiapkan. Lusa kita berangkat." Dika menginfokan. Kunjungan lima tahunan kali ini sedikit melenceng dari jadwal semula.Birru sesaat ragu, apa dia perlu pamit pada Zee, mengingat gadis itu benci setengah mati padanya. Namun status Zee adalah istrinya. Dia mungkin setengah hati menjalaninya tapi Birru tidak lupa dengan kewajibannya. Eh kewajiban, dia belum memberikan nafkah lahir pada sang istri.Jika Birru tengah galau dengan rasa hatinya, Zee sedang diberi edukasi mengenai program diet yang harus dia jalani. Efektif mulai lusa. Intermitten Fasting jadi pilihan Wafa dan tim dokter untuk jadi alternatif diet bagi Zee."Intinya seperti puasa deh. Gampangnya gitu. 16 jam puasa, 8 jam makan. Nanti ponselmu akan jadi alarm, kapan waktunya kamu puasa, kapan waktunya buka," terang Wafa.Zee manggut-manggut mendengar penjelasan sang teman. Cukup ribet karena apa yang Zee makan harus sesuai takaran nutrisi dari ahli gizi. Hadeuuhh, lebih ribet dari buat sketsa untuk design te
Menjelang hari keberangkatan Birru, lelaki itu tak jua membuka mulut untuk memberitahu Zee. Kesibukan keduanya, membuat mereka hanya bertemu di malam hari atau saat pagi. Dan sayangnya dua waktu itu tak bisa membuat Birru berpamitan. Seperti saat ini, lelaki itu sudah berusaha memejamkan mata, tapi netranya tak jua terpejam. Dia menoleh ke arah Zee yang tampak nyaman bergelung selimut. Sofa bed itu lumayan besar untuk menampung tubuh Zee yang agak lebar. Sungguh gadis yang tak banyak protes sebenarnya. Zee akan bereaksi kalau Birru mulai mengoloknya. "Apa aku harus pamitan padanya? Kan kami cuma nikah sementara tidak berharap selamanya," gumam Birru. Hembusan nafas terdengar mengiringi kebimbangan yang hadir dalam diri Birru.Pada akhirnya, malam itu Birru lagi-lagi tak mampu bicara. Hingga pagi menjelang, dengan hal yang seolah sudah jadi kebiasaan baru di rumah itu. "Minggir, Batu!" makian pertama selalu datang dari Zee meski Birru yang mulai."Kagak bakalan gemoy! Minta maaf gak?
Jantung Birru berdegup kencang sepanjang malam. Part dia mencium bibir Zee sungguh di luar perhitungannya. Dia mencium si gemoy, tidak bisa dipercaya. Lelaki itu menoleh ke arah sofa, Zee tidur pulas tanpa gangguan. Bahkan gadis itu sempat meninju wajahnya, setelah Birru mencium bibir sang istri."Kan sudah halal, kenapa marah?" gerutu Birru. Dia membalikkan tubuhnya, tidur membelakangi Zee. Entah kenapa sensasinya berbeda waktu Birru mencium bibir Zee dengan saat dia berciuman dengan perempuan lain. Ada debar mengiringi pertemuan bibirnya dengan milik Zee yang ranum dan manis. Tuh kan, dia deg-degan lagi cuma karena ingat manisnya bibir sang istri. "Dasar gemoy, bikin aku gak bisa tidur aja!" maki Birru. Padahal dia harus berangkat pagi-pagi ke bandara. Lelaki itu meraup wajahnya kasar, lalu berguling-guling seperti anak kecil yang lagi tantrum. Hebatnya, semua aksi absurbnya itu tak membangunkan Zee sama sekali. "Dasar kebo!"Hari masih gelap ketika Birru sudah siap dengan satu ko
Birru menatap pemandangan langit malam kota Singapura dari jendela kamar hotel yang dia tempati. Melihat penampakan bangunan hotel Marina Bay Sands dari tempatnya berdiri. Sunyi Birru rasakan. Biasanya jam segini dia akan akan sibuk berdebat dengan istri gemoy-nya. Tiba-tiba saja dia merasa rindu.What? Rindu? Birru mengeplak kepalanya sendiri. Jangan aneh-aneh Birru, begitu isi kepalanya memperingatkan. Namun hatinya berucap sebaliknya. Ketukan di pintu membuyarkan lamunan Birru. Aneh, Birru sudah memperingatkan Ivan untuk tidak mengganggunya setelah jam delapan. "Apaan Van?" Pertanyaan Birru tercekat di tenggorokan. Melihat bukan Ivan yang berdiri di depan pintu kamarnya. Tapi Vero, mengenakan mantel panjang yang terlihat aneh untuk kondisi Singapura yang hari ini bercuaca panas. "Boleh aku masuk?" Vero bertanya manis. Tanpa menunggu persetujuan Birru, Vero melenggang masuk, tanpa jeda membuka mantel panjang miliknya. Hingga tubuh seksi yang hanya tertutup lingerie tipis itu terek
"Aduh." Zee mengaduh, lututnya terbentur lantai. Untungnya dia tidak sampai ambruk. Tangannya sempat menggapai meja untuk pegangan. Ini adalah pagi di mana bulan keempat baru saja dimulai. Tubuhnya semakin langsing. Meski bobotnya masih di angka 55 kilogram. Kata Wafa itu sudah terlihat ideal untuk tubuh Zee, tapi si empunya tubuh masih ingin menguranginya dua atau tiga kilo lagi."Jadi ini ni yang katanya calon bintang baru itu," cibir terdengar. Zee mendongak untuk melihat siapa biang kerok dari kesandungnya. Dan wajah Mayra yang super menyebalkan jadi jawabannya."Apaan sih?" Zee bertanya balik. Kesal karena semua kertas design-nya kini bertebaran di lantai. Gadis itu terpaksa memungutnya satu per satu. Hingga gerakannya terhenti ketika satu tangan meraih satu lembar kertas miliknya."Hey kembalikan itu!" teriak Zee gusar. Itu adalah rancangan final yang akan dia berikan pada Miss Freya sebagai tugas akhir hari ini."Ini bagus May," seru teman May yang mengambil kertas Zee."Bagi b
"Jangan mengalah sama orang jenis mereka. Lawan kalau mereka menindasmu." Wejangan pertama terucap dari bibir Alfa begitu mereka masuk ke mobil sang pria."Tapi Kak, aku jelas kalah kuasa." Zee menyahut lirih. Wajahnya tertunduk, paras yang kini kian memukau. Bahkan Alfa tak menampik, kalau dia punya rasa untuk istri Birru. Alfa bahkan urung memasang seat belt-nya. Di tatapnya wajah ayu Zee yang kian ayu saban harinya."Siapa bilang? Kamu, selama masih menjadi istri suamimu. Gunakan itu untuk melindungimu." Alfa mulai mendikte Zee. Gadis ini terlalu polos, terlalu baik untuk berhadapan dengan intrik keluarga Erlangga. Mungkin Zee tidak tahu. Tapi Alfa tahu sisi gelap keluarga Birru sejak dulu."Tapi Kak." Alfa mengisyaratkan Zee untuk diam."Zee, dengarkan aku. Kamu tahu suamimu, keluarganya bukan orang biasa. Kekuasaan mereka bisa melibas orang yang menindasmu. Gunakan itu, manfaatkan untuk keuntungan dirimu." Ada jeda sejenak. "Kamu sendiri tidak yakin dengan pernikahanmu. Setidakn