Home / Romansa / Gadis Terakhir / Ide Brilliant

Share

Ide Brilliant

Author: Erna Azura
last update Last Updated: 2025-05-13 20:07:53

Beberapa jam kemudian Naomi masuk kembali ke kamar usai melakukan acara akad nikah.

Sifabella yang beberapa saat lalu terbangun dari tidur singkatnya pun membantu Naomi mengganti pakaian dan merapihkan riasannya.

“Mbak Bella sarapan dulu,” kata Naomi perhatian.

“Iya,” kata Sifabella yang tengah menambahkan lipstik di bibir Naomi.

“Ini acaranya sampai jam berapa Mbak?” Sifabella bertanya.

“Jam tiga juga udah selesai kayanya, Mbak Bella ada acara setelah ini? Kalau mau pergi jam dua juga udah boleh pergi kok … aku transfer sekarang F*e-nya.”

“Makasih ya, Mbak.” Sifabella senang mendapat klien pengertian seperti ini.

“Aku yang makasih, dibuat manglingin kaya gini sampai suami aku melongo terus ngeliatin aku.”

Keduanya lantas tertawa membayangkan ekspresi suami Naomi ketika akad nikah tadi.

Naomi harus meninggalkan Sifabella lagi saat salah satu anggota Wedding Organizer memberitahu kalau acara resepsi akan dimulai.

Sifabella membasuh wajahnya di kamar mandi lalu memoles make up tipis di wajah setelah itu mengganti pakaian menggunakan yang lebih formal namun santai agar tidak jomplang dengan tamu undangan lain saat dia ikut mengantri prasmanan nanti.

Dengan kaki dibalut heels, Sifabella melenggang masuk ke venue sendirian.

Sebagai independent woman, Sifabella sudah biasa pergi ke mana-mana sendiri.

Jadi dengan santai langkahnya langsung menuju antrian prasmanan. Dia lapar sekali.

Sifabella mencari kursi kosong dan mulai menyantap hidangan prasmanan yang terasa lezat sekali mungkin karena dirinya sedang kelaparan.

Setelah selesai, dia mulai menjelajah ke stand-stand sampai akhirnya bertemu dengan seorang pria yang menyapanya dengan sangat ramah.

“Hai … kamu sendirian?” tanpa segan pria itu bertanya.

Sepertinya pria itu sudah mengamati gerak-gerik Sifabella yang sedari tadi selalu sendirian, itu kenapa sang pria berani menyapanya.

“Iya …,” jawab Sifabella cepat.

“Kamu temannya Naomi atau Panji?” Pria itu bertanya lagi.

“Aku MUA-nya Naomi.” Sifabella menjawab singkat.

“Oooh … aku Adam, sepupunya Panji.” Pria itu mengulurkan tangan.

Baiklah, jadi Adam ini adalah sepupu si mempelai pengantin pria yang genit itu.

Pantas saja berani menyapanya, ternyata mereka memiliki darah yang sama. Darah genit.

Untuk menghargai Naomi, akhirnya Sifabella menyambut jabatan tangan Adam.

Tiba-tiba ponsel yang berada di dalam clutchnya bergetar.

Sifabella mendapati nama oma Aneu tertera di layarnya.

Sifabella langsung menggeser icon hijau dan masih mengira kalau oma Aneu menghubunginya untuk urusan pekerjaan.

“Hallo Bu?” Sifabella menyahut.

“Loh, kok masih manggil ibu? Oma donk … ‘kan kamu udah mau jadi cucu Oma.” Suara di ujung panggilan sana terdengar sewot.

Apa Sifabella lupa kalau dia telah menerima perjodohan dengan pria yang memiliki senyum menyebalkan yang merupakan cucu dari bosnya itu.

Tidak, sebenarnya Sifabella tidak lupa. Dia sedang mencari cara agar perjodohan ini batal.

“Oh iya, Oma … ada apa Oma?” Sifabella menjauh dari pria tampan bernama Adam tadi.

“Kamu lagi kondangan?” Oma Aneu menebak berdasarkan suara berisik di belakang Sifabella.

“Iya Oma, Bella ada job merias pengantin.”

“Oooh … sudah selesai?”

“Sudah Oma.”

“Kirim alamat tempat kamu berada sekarang ya, jam dua oma jemput … anter Oma ketemu cicit Oma yang baru lahir.”

Dan permintaan beliau tersebut layaknya sebuah perintah yang wajib Sifabella lakukan jadi tanpa berpikir dua kali dia memberitahu alamat hotel tempat acara ini berlangsung.

“Mau pulang bareng?” Adam menawarkan jasa, dia sengaja mendekati Sifabella.

“Aku dijemput oma sebentar lagi, aku duluan ya … permisi.” Sifabella pamit disertai senyum ramah.

Dia tidak bisa main-main dengan pria manapun karena sudah memiliki jodoh.

Jodoh yang dipaksakan.

Adam tersenyum kecut dengan pendar kecewa di matanya menatap kepergian Sifabella.

***

“Aaaarrrrrggghhhh!” Sifabella mengerang saat menyeret koper di lorong mengingat kalau dirinya akan menikah.

“Kenapa juga si Aarav maklum itu mau dijodohin sama gue, aaaah … ribet ‘kan nih urusan.” Sifabella misuh-misuh.

Dia masuk ke dalam lift untuk menuju loby, menunggu sebentar di sofa yang ada di sana sampai oma Aneu datang menjemput.

“Aarav itu punya kembaran … namanya Aarash, kalau Aarash kamu pasti pernah ketemu.” Oma memulai pembicaraan setelah Sifabella masuk ke dalam mobilnya.

“Ooh … iya, aku inget Oma … Pantesan kok wajahnya familiar.” Sifabella menanggapi.

“Aarav juga punya adik perempuan, namanya Arshavina tapi suka dipanggil Caca … nah si Caca ini baru melahirkan jadi Oma ingin ke rumahnya ketemu cicit Oma,” tutur oma mengulang pembicaraan mereka di telepon.

“Oma suka random deh, memangnya mau ketemu cicit harus sama gue ya?” Sifabella mengeluh di dalam hati.

“Kamu harus ikut, soalnya mau oma kenalin sama Caca.” Oma Aneu menjelaskan pertanyaan yang barus saja Sifabella lontarkan di dalam hati.

Sifabella mengangguk saja, tidak lupa tersenyum kemudian diam dan baru bersuara kalau oma Aneu bertanya.

Satu jam kemudian mereka tiba di kawasan perumahan elite dengan rumah-rumahnya yang mewah dan megah.

Sifabella sampai terpesona dengan mulut menganga memandang rumah-rumah besar yang dilewatinya.

Mobil yang dikendarai supir itu memasuki sebuah halaman rumah yang tidak kalah indah dengan rumah-rumah yang tadi dia lewati.

Dan yang semakin membuat Sifabella tercengang adalah ada sebuah helikopter terparkir di atas rooftop rumah itu.

“Ini rumah Caca, Oma?” Sifabella bertanya tidak percaya.

“Iya … dibeliin sama suaminya … suaminya itu Gunadhya,” jawab Oma membuat Sifabella nyaris sesak napas.

Dia tahu siapa Gunadhya, kerajaan bisnisnya mendominasi perusahaan di Negri ini dan yang merupakan pendongkrak perekonomian di Indonesia.

“Wah … beruntung sekali Caca,” batin Sifabella berujar kembali.

Tanpa dia sadari kalau dirinya pun akan menjadi seorang nyonya Marthadijaya yang tidak akan kalah beruntungnya dari Arshavina.

Seorang asisten rumah tangga menyambut mereka, pakaiannya saja seragaman seperti maid di film-film yang menceritakan para kaum jetset Hollywood.

Warna hitam dengan apron putih renda.

“Oma sini ke kamar Caca, Caca lagi menyusui.” Suara yang berasal dari lantai dua itu membuat Sifabella dan oma Aneu mendongak.

“Yuk kita ke atas,” ajak oma Aneu memegang tangan Sifabella bermaksud meminta bantuan untuk menaiki tangga.

Sifabella yang peka langsung memegangi tangan oma.

Langkah mereka akhirnya tiba di sebuah kamar besar yang amat sangat mewah.

“Ca, kenalin nih … calon istri Aarav si jomblo menahun kita,” kata oma dengan ekspresi datar.

Arshavina tersenyum kepada Sifabella tapi matanya memindai dari atas hingga bawah.

Menelisik Sifabella tapi dengan cara sopan.

“Hallo Mbak,” sapa Arshavina ramah.

Sifabella melangkah lebih dalam untuk tiba di sofa di mana Arshavina tengah menyusui anaknya.

“Bella.” Sifabella menyebut nama pendeknya ketika bersalaman.

“Mbak Bella yakin mau nikah sama mas Aarav?” tanya Arshavina seperti tidak pecaya.

“Enggak sih sebenarnya, tapi kalau nolak juga enggak enak sama oma.” Yang hanya bisa Sifabella ucapkan di dalam hati.

Pada kenyataannya Sifabella tersenyum saja.

“Tapi Mas Aarav itu baik lho, Mbak … dia juga pinter masak cuma mageran aja orangnya … terus mas Aarav itu sweet, dia yang paling sayang sama Caca dibanding kak Aarash.” Arshavina membandingkan tapi bukan tanpa sebab melainkan untuk mempromosikan Aarav karena tadi dia sempat keceplosan.

Sifabella tersenyum lagi, dia bingung bagaimana harus menanggapi promosi Arshavina tentang Aarav barusan.

Sekarang malah pikirannya mumet karena harus mendiskusikan tentang pernikahannya dengan papap Heru.

Dan kalau berurusan dengan papap pasti istrinya papap yang tukang kepo itu akan ikut campur.

Sifabella sedang malas ribut apalagi papap sering membela perempuan itu.

Ketiga wanita itu mengobrol ringan, sengaja oma tidak membahas tentang pernikahan karena tahu kalau Sifabella butuh waktu untuk mencerna perjodohan ini.

Arshavina banyak bertanya tentang Sifabella yang dengan senang hati dijawab jujur oleh Sifabella.

Dia tidak menutup-nutupi siapa dirinya, Sifabella bercerita kalau mamanya meninggal saat dia SMA lalu satu bulan kemudian papapnya menikah lagi dan membawa istri baru juga dua anak tirinya tinggal di rumah mereka.

Emosi Sifabella terlihat saat menceritakan ibu tiri dan dua kakak tirinya yang berlagak seperti tuan putri sampai meminta dirinya membereskan rumah dan mencuci baju ketika tidak ada pembantu.

Yang paling menyebalkan adalah papap tidak pernah membelanya dan malah meminta Sifabella menuruti perintah sang mama tiri.

Karena alasan itu lah Sifabella memilih untuk keluar dari rumah dan hidup sendiri.

Tentu saja Arshavina tidak mengerti bagaimana perasaan Sifabella karena dia lahir di tengah-tengah keluarga bahagia yang harmonis dan serba berkecukupan jadi dia hanya ho’oh-ho’oh saja.

Tapi satu yang Arshavina suka dari Sifabella, wanita yang akan menjadi kakak iparnya itu jujur dan ceplas-ceplos, tidak munafik dan apa adanya.

Di saat mereka sedang asyik mengobrol, sosok pria tampan masuk ke kamar itu.

Bukan Kama Gunadhya yang merupakan suami dari Arshavina melainkan Maheswara Aarav Marthadijaya.

Tatapan Aarav tampak lembut pada oma dan Arshavina kemudian berubah dingin saat menatap Sifabella membuat gadis make up artis itu mendelik kesal.

“Jangan ganggu, Caca capek menyusui dia terus dari tadi … soalnya kalau dia melek pasti nyusu.” Arshavina menatap Aarav penuh peringatan karena melihat gerak-gerik sang kakak yang hendak membangunkan Davanka-putra pertamanya.

Aarav berdecak lidah bersama rotasi mata malas, dia iseng juga mencubit pipi keponakannya yang tengah terlelap dalam gendongan Arshavina dan seketika tendangan sang adik mengenai betisnya.

Pria itu pun terkekeh.

“Rav … duduk dulu sini, kita diskusi dulu tentang pernikahan kalian,” kata oma meminta Aarav duduk setelah menyalaminya sebelum pria itu pergi lagi untuk berenang atau main game di ruangan kerja suaminya Arshavina seperti yang biasa pria itu lakukan.

Oma dan Sifabella sudah lebih dulu duduk di bench besar di bagian ujung ranjang dan sekarang Aarav menjatuhkan bokong di antara mereka membuat Sifabella bergeser dengan wajah ditekuk kesal.

“Kamu udah bicara dengan orang tua kamu tentang rencana pernikahan kamu, Bella?” Oma bertanya pada Sifabella.

“Belum Oma, rencananya besok Bella mau ke rumah papap,” jawab Sifabella lembut disertai senyum.

“Kalau begitu besok di anter Aarav ke rumah papap kamu,” kata oma yang langsung mendapat anggukan kepala dari Sifabella yang sudah pasrah.

“Dan Aarav … sebagai permulaan kamu perkenalkan diri kamu dulu sama papapnya Bella … bilang aja kalian pacaran udah lama … papapnya Bella juga enggak pernah tahu kehidupannya Bella ya ‘kan, Bel?” ujar oma Aneu sewot.

“Iya Oma.” Sorot mata Sifabella berubah sendu.

Aarav menoleh sedikit pada Sifabella, benaknya mulai menerka-nerka tentang kehidupan calon istrinya.

“Aarav!” Oma berseru sembari menepuk paha Aarav kencang karena sang cucu malah melongo menatap Sifabella.

“Iya Omaaaaa ….” Aarav menggeram sembari mengusap-ngusap pahanya yang perih oleh telapak tangan oma.

“Begitu donk! Sekarang anterin Bella pulang, sana!” Oma berujar kembali dengan perintah menyebalkan bagi Aarav.

“Aarav mau numpang makan dulu di sini,” kata Aarav sembari beranjak dari sofa.

“Kamu ajak makan malam Bella di restoran biar kalian lebih akrab lagi.” Oma memberi ide yang menurut Aarav sangat tidak brilliant.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Gadis Terakhir   Ekstra Chapter 7

    Suatu pagi, aroma tumisan bawang putih sempat memenuhi dapur rumah utama keluarga Marthadijaya di kawasan elit kota Sydney.Sifabella sedang memasak melakukan rutinitas paginya setelah mereka liburan.Meski hanya mengenakan kaos putih longgar dan celana linen krem namun ibu satu anak itu tampak cantik dengan rambutnya diikat asal.Aura keibuan nya terpancar saat sibuk di balik meja dapur.Aghastya sudah bangun, dia duduk di kursi tingginya terlihat sibuk bermain mainan dinosaurus sambil sesekali menyuap sereal cokelat dari mangkuk.Aarav juga ada di rumah makan bersama Aghastya tapi di hadapannya laptop terbuka dan secangkir kopi.“Aga, habisin sarapannya, ya, sayang. Nanti kita antar kamu ke sekolah terus Papi kerja,” ujar Sifabella sambil mengaduk sayur.“Iya Miiii.” Aga menjawab malas-malasan.Tiba-tiba—“Ugh!”Sifabella menghentikan gerakannya. Tangannya refleks menutup mulut.Aarav langsung menoleh. “Sayang, kamu kenapa?”Alih-alih menjawab, Sifabella berlari ke kamar

  • Gadis Terakhir   Ekstra Chapter 6

    Matahari pagi sudah naik tinggi saat mobil yang dikemudikan Aarav tiba di area Carriageworks Farmers Market, yang terkenal dengan hasil bumi lokal segar, kopi artisan, dan suasana yang hidup setiap Sabtu dan Minggu pagi.Sifabella turun dari mobil, tubuh rampingnya dibalut setelan linen longgar warna sage green dan sandal tali, dengan kacamata hitam besar yang menutupi wajah segar tanpa makeup.Sementara Aarav menurunkan stroller—meski yang naik bukan bayi, melainkan Aghastya yang ngotot ingin naik stoller “seperti bayi bar-barat”.Mereka berjalan beriringan menuju deretan lapak.“Mami, aku mau beli pisang yang bisa jadi senjata!” seru Aga.“Pisang bukan buat dimainin, sayang,” timpal Sifabella sabar.“Tapi bisa jadi pistol bayangan!” balas Aga sambil mengacungkan jari ke udara.Di tengah keramaian, mereka menyusuri lorong-lorong lapak berisi ; buah-buahan lokal seperti persik dan ceri, sayuran organik dengan warna mencolok, roti sourdough yang menggoda, dan aneka bunga segar y

  • Gadis Terakhir   Ekstra Chapter 5

    Akhir pekan tiba dengan langit biru bersih tanpa awan. Udara di Rose Bay terasa segar, embusan angin dari lautan membawa aroma asin yang menenangkan. Di rumah mungil mereka yang terletak hanya dua blok dari pantai, suasana pagi lebih lambat dari biasanya.Sifabella berjalan santai ke dapur dengan daster bergambar semangka, rambutnya masih berantakan. Di meja, Aarav tengah menggulung pancake untuk Aghastya, yang sudah duduk manis di kursi tinggi sambil bernyanyi lagu dari kartun favoritnya.“Mami, hari ini kita ke pantai ‘kan? Aga mau cari kerang!” serunya sambil mengangkat dua tangan seperti orang teriak “yeay!”Aarav menoleh, “Kita bukan cuma mau cari kerang. Kita mau piknik! Mami udah siapkan sandwich dan buah-buahan, Papi yang nyetir, Aga yang nyanyi.”“Terus tugas Mami apa?” tanya Sifabella sambil menuang teh ke cangkir.Aarav mendekat, memeluk istrinya dari belakang. “Tugas Mami adalah kelihatan cantik dan bahagia. Bonus kalau nanti malam bisa… skidipapap.”Sifabella menyik

  • Gadis Terakhir   Ekstra Chapter 4

    Di pagi yang cerah di The Little Explorers Early Learning Centre, suasana kelas usia tiga tahun sedang sibuk-sibuknya.Meja bulat mungil dipenuhi crayon warna-warni, kertas gambar, dan remah-remah biskuit. Di sudut ruangan, dua anak kecil duduk berdampingan dengan wajah serius—seolah sedang membahas perjanjian internasional yang sangat penting.Mereka adalah Aghastya dan Amira.Aga memakai jumper dinosaurus favoritnya. Amira mengenakan dress bergambar unicorn. Di tangan mereka ada satu kertas gambar besar berisi lukisan aneh: seekor dinosaurus berwarna ungu yang memeluk pelangi dan makan donat.“Itu kamu ya, Aga?” tanya Amira menunjuk dinosaurus ungu.“Iya. Kamu yang pelangi,” jawab Aga mantap.“Kenapa aku pelangi?”“Soalnya kamu cantik, kayak langit kalau abis hujan,” sahut Aga, meniru ucapan papi ke mami malam sebelumnya.Amira terdiam sejenak, lalu tersipu—gaya anak tiga tahun tersipu adalah menunduk sambil menggigit lengan baju sendiri.“Tapi… kamu enggak boleh peluk pela

  • Gadis Terakhir   Ekstra Chapter 3

    Pagi itu aroma roti panggang, scrambled egg, dan kopi hitam memenuhi dapur padahal matahari belum sepenuhnya naik di atas Sydney Harbour.Sifabella dengan rambut dikuncir asal dan piyama berbentuk bintang-bintang, tengah menuang susu ke gelas kecil bergambar dinosaurus.Di meja makan, Aarav sudah duduk dengan koran digital di tablet dan secangkir kopi favoritnya, sementara Aghastya duduk di kursi tingginya sambil memukul-mukul sendok ke meja.“Mami, Aga mau dua telur! Tapi yang satu setengah! Yang satu lagi utuh tapi enggak boleh ada kuningnya!” katanya penuh semangat, lalu menepuk-nepuk meja seperti koki sedang demo masak di TV.Sifabella menoleh dengan alis naik satu. “Permisi, kamu pikir ini restoran hotel bintang lima, sayang?”Aghastya mengangkat bahu kecilnya. “Kan Mami chef terbaik se-Sydney,” jawabnya dengan senyum menawan.Aarav tertawa sambil melirik istrinya. “Pinter banget anak ini gombalin maminya.”“Ada turunan dari siapa ya kira-kira?” Sifabella memicing menatap

  • Gadis Terakhir   Ekstra Chapter 2

    Langit Sydney cerah dengan semburat merah muda ketika Aarav turun dari mobil hitamnya di depan gedung kaca menjulang di kawasan Barangaroo—pusat distrik finansial baru yang menggantikan dominasi Central Business District tua.Gedung kantor pusat Marthadijaya Group Australia berdiri megah menghadap Darling Harbour. Dindingnya memantulkan cahaya matahari pagi, menciptakan ilusi kolom-kolom cahaya yang bergerak.Seorang security lokal membuka pintu lobby dan menyapa ramah, “Morning, Mr. Marthadijaya.”Aarav membalas dengan anggukan kecil. Meski statusnya CEO, dia menjaga budaya kerja yang egaliter—budaya khas Australia. Tidak banyak formalitas, tapi tetap penuh profesionalisme.Begitu memasuki lift kaca yang bergerak pelan ke lantai 37, ia sempat melihat pantulan dirinya—kemeja putih bersih, coat abu-abu, dan wajah yang terlihat tiga tahun lebih tua sejak sang kakek, Beni Marthadijaya, wafat dan mewariskan perusahaan ini padanya.**Sesampainya di lantai eksekutif, Meira—asisten pr

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status