Langit Sydney cerah dengan semburat merah muda ketika Aarav turun dari mobil hitamnya di depan gedung kaca menjulang di kawasan Barangaroo—pusat distrik finansial baru yang menggantikan dominasi Central Business District tua.Gedung kantor pusat Marthadijaya Group Australia berdiri megah menghadap Darling Harbour. Dindingnya memantulkan cahaya matahari pagi, menciptakan ilusi kolom-kolom cahaya yang bergerak.Seorang security lokal membuka pintu lobby dan menyapa ramah, “Morning, Mr. Marthadijaya.”Aarav membalas dengan anggukan kecil. Meski statusnya CEO, dia menjaga budaya kerja yang egaliter—budaya khas Australia. Tidak banyak formalitas, tapi tetap penuh profesionalisme.Begitu memasuki lift kaca yang bergerak pelan ke lantai 37, ia sempat melihat pantulan dirinya—kemeja putih bersih, coat abu-abu, dan wajah yang terlihat tiga tahun lebih tua sejak sang kakek, Beni Marthadijaya, wafat dan mewariskan perusahaan ini padanya.**Sesampainya di lantai eksekutif, Meira—asisten pr
Pagi baru saja mengintip dari celah jendela saat aroma bawang tumis dan nasi hangat memenuhi dapur rumah keluarga kecil itu.Sifabella—dengan apron bergambar dinosaurus hijau milik Aga yang melingkar asal di tubuh rampingnya—tengah sibuk menyiapkan bekal. Tangannya gesit memasukkan telur dadar, irisan sosis, dan tumis sayur ke dalam dua kotak makan berbeda. Yang satu besar dan minimalis untuk Aarav, yang satu lagi lucu bergambar truk pemadam untuk Aghastya.“Agaaa! Jangan main mobil di bawah meja, nanti Mami injek!” teriaknya dari dapur.“Aga mau ikut kerja sama Papiii!” teriak balita kecil itu dari ruang tengah, masih mengenakan piyama motif astronot dan guling di ketiaknya.Sifabella melirik jam. Pukul 06.15.Aarav baru keluar dari kamar dengan kemeja biru dongker yang belum sepenuhnya terselip rapi, rambut basah, dan ekspresi kantuk yang masih menempel di wajah tampannya.“Aga… ayo cepetan mandi, sebentar lagi papi pergi ke kantor,” kata Aarav sambil mengambil tisu dan menge
Kaki mungil Aghastya yang baru saja bisa belajar berjalan melangkah kecil menyusuri jalan setapak yang kanan kirinya berjajar nisan di komplek pemakaman elit yang terletak di kota Karawang.Di belakangnya berjalan beriringan Aarav dan Sifabella sembari bergandengan tangan.Entah kenapa Aghastya tampak bahagia sekali, dia bahkan berlari menuju makam opa Beni padahal kedua orang tuanya belum menunjukkan di mana makam opa Beni.Gelak tawa Aghastya terdengar, dia lantas duduk di sisi makam opa Beni dan memindai sekitar sebelum akhirnya tatapan bocah tampan itu tertuju pada satu titik kemudian tersenyum lebar.Aarav dan Sifabella malah merasakan horor, mereka duduk di depan makam opa Beni dan langsung melantunkan doa.Setelah selesai yang ditandai dengan mengusap kedua telapak tangan ke wajah, Aarav dan Sifabella menabur bunga di atas makam opa Beni dibantu Aghastya.“Opa … maafin Aarav karena Aarav merasa kalau Aarav adalah cucu yang paling nakal, susah diatur dan yang paling sering merep
Robert tampak terkejut melihat Aarav berdiri di depan pintu rumahnya.Dia tidak pernah mengira seseorang yang membunyikan bel rumahnya adalah Aarav.“Masuk,” kata Robert sembari mengendikan kepala ke arah dalam.Aarav masuk mengikuti Robert ke ruang televisi lalu mereka duduk di sana.“Aku ingin bicara dengan Abigail.” Aarav mengungkapkan kedatangannya ke sini.“Sudahlah Rav, tidak ada yang bisa membuatnya bangkit … bayi yang ada di dalam kandungannya masih bertahan hidup pun karena mukjizat Tuhan atau entah karena Tuhan ingin menghukum Abigail.” Robert mengatakannya dengan sorot mata sendu.“Aku ingin bicara dengan Abigail.” Aarav mengulang ucapannya dengan tegas.Robert merentangkan tangannya ke arah kamar Abigail, kamar yang sama saat dia mabuk dan dijebak oleh Abigail.Aarav bangkit dari sofa dan mulai menarik langkah menuju kamar Abigail.Ekspresi wajahnya tampak tegang, seolah dia enggan bertemu Abigail tapi harus.Aarav mengetuk sebanyak dua kali sebelum akhirnya memutar knop p
“Kamu tadi lunch sama Britney dan Alexa ya?” tebak Aarav tepat sekali.Tangan Sifabella yang sedang mengaplikasi skin care di wajahnya sontak berhenti bergerak.“Kok, Mas tahu?” Sifabella menoleh bersama cengiran lebar.“Tahu laaah, si Britney pasang status foto kalian bertiga di media sosialnya.” Aarav menjawab ketus.Pandangannya masih tertuju pada Aghastya, mereka berdua sedang bermain di atas ranjang.Tadi Aarav membangunkan Aghastya dengan menciuminya sehingga bayi tampan itu bangun padahal baru saja tertidur. “Aaah, si Britney pake acara buat status segala lagi.” Sifabella menggerutu di dalam hati.“Kamu ngelarang aku dekat sama mereka tapi kamu pergi sama mereka.” Nada suara Aarav masih terdengar dingin.“Betul Mas, tapi aku enggak meminta Mas memutus hubungan juga dengan mereka ….” Sifabella berkilah.Dia naik ke atas ranjang dari sisi lainnya yang kosong. “Aku enggak enak nolak Britney waktu dia ngajakin ketemu, terus Alexa kasih ini.” Sifabella memberikan kartu undangan per
“Bella!” Suara lantang Britney membuat Sifabella yang tadinya celingukan kini perhatiannya jadi terfokus pada asal suara.Wanita cantik itu kemudian melambaikan tangan dan tersenyum hangat.Britney yakin kalau senyum Sifabella tersebut selalu berhasil memikat hati seorang pria termasuk Aarav-suaminya.Sifabella berjalan mendekat sembari mendorong troli bayi diikuti seorang wanita memakai seragam Nanny.“Apa kabar?” Sifabella bertanya ramah saat mengecup pipi kiri dan kanan Britney.“Aku baik, kamu juga sepertinya baik terlihat dari wajah dan binar di matamu.” Sifabella tertawa renyah mendengar pendapat Britney.Tapi tidak Sifabella pungkiri kalau dirinya memang sedang dalam keadaan baik dan bahagia.“Mana keponakanku, aku ingin menggendongnya.” Britney bangkit lantas membungkuk di depan Troli Aghastya.“Hallooo?” sapa Britney dan Aghastya tersenyum lebar memperlihatkan gusinya dengan kedua kaki menendang-nendang udara.Britney tidak kuasa untuk tidak menggendong Aghastya yang lucu it