Share

Aku diusir dari rumah

Selesai berkemas aku memilih mengurung diri di kamar, di luar masih terdengar suara Erwin dan juga suara mama dan adikku yang nyaring menyerukan pengusiranku, sayup-sayup terdengar suara ayah yang mencoba menenangkan situasi. 

Untuk memudarkan suara-suara itu, aku mengambil ponsel dan headset lalu memutar lagu kesukaanku, aku juga melihat-lihat iklan penyewaan kos atau kontrakan di sosial media berharap menemukan yang sesuai, karena keputusanku sudah bulat untuk pergi dari rumah. 

Di sela-sela pencarian, mataku tertuju pada sebuah iklan produk perawatan kulit dan juga terbuka lowongan untuk menjadi reseller dengan modal awal satu juta rupiah, kubaca nama produknya Beauty Skincare, aku terus menelusuri iklan tersebut, dan setelah paham sepenuhnya aku memutuskan untuk mengirim pesan kepada cs nya untuk mendaftar sebagai reseller. 

Dalam benakku, ini mungkin kesempatan kerjaku berikutnya atau hanya sekadar kerja sampinganku, karena kemungkinan besar aku akan berhenti bekerja dengan Bu Susi jika berita fitnah terhadapku tersebar luas, dan alasan kedua aku mendaftar karena aku juga akan mendapatkan produknya, jadi sekalian saja aku akan menggunakannya, siapa tahu berhasil mengobati kulitku ini kan? 

Kuhitung jumlah uang yang aku punya dari dalam perut si panda, dan ternyata jumlahnya lumayan banyak, semuanya ada sebelas juta tiga ratus ribu, itu adalah hasil menabungku dari bonus lembur dalam beberapa tahun bekerja bersama Bu Susi. 

Tekadku menjadi semakin bulat untuk mendaftar sebagai reseller Beauty skincare, setelah mendapatkan penjelasan yang lebih detail dari cs melalui pesan w******p aku lantas mendaftar, semua data diri sudah aku kirimkan tinggal membayar biayanya, karena aku tidak mempunyai rekening Bank jadi pembayaran harus tertunda, sesuai saran dari cs aku disuruh membuat rekening bank karena katanya itu akan diperlukan jika aku serius berjualan.

"Dewi, buka pintunya!" Terdengar sayup-sayup ayah menggedor pintu. 

Jantungku menjadi kembali berdegup, ada apa lagi ini? Pikirku dalam hati, lalu aku segera membuka pintu kamarku. 

Setelah ayah masuk, dia kembali menjelaskan keinginan mama dan Lolita yang ingin mengusirku, ayah berusaha menenangkanku dan berjanji akan membantuku untuk mencari kontrakan rumah, aku berusaha mengerti akan keadaannya, tapi air mataku lagi-lagi tak kuasa aku redam, ayah membenamkan wajahku di dadanya serta meminta maaf karena tidak bisa berbuat apa-apa. 

***

Pagi hari telah tiba, pakaian dan barang-barang pribadiku sudah aku siapkan sejak semalam, aku sudah siap untuk pergi jadi tidak perlu mendengar cacian dan hinaan dari mama dan Lolita lagi. 

Karena memang tak punya banyak barang dan pakaian, jadi hanya cukup 1 tas ransel dan 1 tas plastik merah jika aku pergi begini, tapi masalahnya sampai saat ini aku belum tahu mau pergi ke mana, tapi tidak mungkin juga jika aku tetap di rumah karena keputusan bersama Lolita dan mama tidak bisa diganggu gugat. 

Aku mengirim pesan w******p kepada Bu Susi untuk izin tidak kerja, lalu aku keluar dari kamar dan berpamitan kepada ayah dan mama, entah kenapa mama menjadi seperti bersedih ketika aku berpamitan, dia meneteskan air mata, dan meminta maaf serta memintaku untuk tidak pergi.

Namun, keputusanku sudah bulat dan lagipula sakit hati serta sakit fisik yang aku rasakan tadi malam dari mama dan Lolita belum pulih sepenuhnya, mungkin memang akan lebih baik jika aku tidak tinggal di sini. 

Aku percaya Tuhan telah mempersiapkan sesuatu yang terbaik untukku, sesuatu yang membuatku dihargai sebagai seorang anak manusia. 

Tidak terasa aku kembali meneteskan air mataku, padahal aku paling benci memperlihatkan kelemahanku kepada orang-orang. 

"Gak usah nangis lu, waktu ngerayu Erwin lu pake senyum genit kan? Jadi jangan lebay sekarang pake nangis-nangisan segala! Udah pergi sana dan jangan pernah kembali ke rumah ini!" Hardik Lolita yang kini sudah ada di belakang ayah dan mama. 

"Wik, jika memang keputusanmu sudah bulat untuk pergi, ini mama ada uang untuk tambahan bekalmu," ucap mama sembari memberikan uang sebanyak 1 juta rupiah. 

Kali ini aku merasakan ketulusan di mata mama, mungkin dia menyesal dengan ucapan dan tindakannya, bagaimanapun aku adalah anak kandungnya pastilah ada perasaan batin yang masih dirasakan. 

"Mama apaan sih, gak usah kasih dia uang, Ma, uang dia itu banyak hasil dari jual diri." Ucapan Lolita membuatku benar-benar meradang kali ini. 

Betapa kurang ajarnya seorang adik kepada kakaknya, tanpa sadar aku menampar keras pipi Lolita, terang saja dia tidak terima dan ingin membalas menamparku, tapi ayah dengan sigap memegangi tangannya. 

"Tuhan akan membuktikan siapa yang sebenarnya bersalah! Dengar Lolita, Erwin itu bajingan, kamu akan menyesal menikah dengan dia!"

"Ayah, Mama, Dewi pamit dulu dan simpan saja uang mama untuk keperluan rumah, Dewi masih ada uang tabungan kok."

Tanpa ragu lagi kulangkahkan kakiku dari rumah yang selama ini menjadi tempat tinggalku, aku tidak tau mau ke mana jadi aku memutuskan untuk pergi ke pasar tempat Nenek Surti berjualan kue, lebih baik sarapan kue dulu supaya ada tenaga baru aku akan melanjutkan pencarianku. 

"Eh, Nak Dewi, tumben pagi-pagi sekali dan kenapa bawa tas ransel gitu?" Tanya Nenek Surti keheranan. 

"Iya, Nek, aku mau cari kos atau kontrakan rumah, aku mau belajar hidup mandiri." Jawabku berbohong untuk alasan kenapa aku cari kontrakan. 

"Memangnya mau nyari kontrakan di daerah mana?"

"Belum tahu, Nek, kalau ada ya dekat-dekat sini saja, tapi kalau di daerah sini gak dapet yang jauhan dikit juga nggak apa."

"Kalau belum nemu kontrakan, Nak Dewi bisa tinggal sementara sama Nenek, kebetulan Nenek kan tinggal sendiri, ya itu juga kalau Nak Dewi mau tinggal sama Nenek renta hehehe," ucap Nenek Surti terkekeh. 

Aku berpikir sejenak untuk menerimanya, sebenarnya aku tidak mau merepotkan Nek Surti, tapi mungkin ini pilihan terbaik, mungkin Tuhan memberikan uluran tangan-Nya melalui Nenek Surti. 

"Iya, Nek, aku mau banget, aku janji gak bakal lama ngerepotin Nenek, begitu dapet kontrakan aku akan pindah deh." Jawabku segera. 

Setelah semua dagangan Nek Surti habis terjual, kami segera meninggalkan pasar menuju kontrakan rumah bedeng yang ditempati Nenek Surti, kontrakan yang hanya ada satu kamar dan sempit, tapi aku sangat bersyukur diterima oleh Nek Surti, setelah selesai merapikan semua barangku di sana, aku pamit pergi ke bank sedangkan Nenek Surti membuat adonan kue, aku berjanji sepulang dari bank akan membantunya membuat kue. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status