Share

Gadis Tomboy Milik Ustaz Tampan
Gadis Tomboy Milik Ustaz Tampan
Author: Farzana Nazia

BAB 1. Pernikahan Impian

“Akhirnya hari ini kamu resmi jadi istri saya,” ucap seorang lelaki dengan paras nan rupawan sambil tersenyum lembut. Laki-laki tersebut meraih lalu mencium punggung tangan dari wanita dengan pakaian pengantin serba putih yang indah di sampingnya. Gerakan laki-laki itu terasa begitu hangat, seolah mencurahkan betapa besar cintanya pada sang pujaan hati.

Tatapan mata yang begitu intens dari manik hitam milik laki-laki tadi, membuat sang mempelai wanita di hadapannya membatu seperti manusia yang disihir menjadi patung. Ekspresi wajah cantik milik wanita itu bercampur aduk. Tersirat berbagai emosi dari sana. Dari bingung, terharu, malu, terkejut, takut, tetapi juga ada gulungan kebahagiaan yang menggelora di dalam hatinya.

“B-Boim? I-ini beneran?” tanya sang mempelai wanita yang biasa dipanggil Farzana dengan gagap.

Laki-laki yang dikatakan telah resmi menjadi suaminya itu tidak menjawab, tetapi hanya tersenyum lembut sambil terus menatap Farzana lekat.

“Wah … ini pasti cuman mimpi, kan?” ujar Farzana skeptis. Mau bagaimanapun, dirinya dan Boim adalah sahabat sejak kecil. Tidak mungkin kiranya mereka berdua bisa bersama dalam satu ikatan suci bernama pernikahan.

Lagi, Boim tidak langsung menjawab.

Laki-laki itu malah terkekeh pelan sambil menunjuk ke depan. Di tengah orang banyak yang sedang menghadiri pesta pernikahan mereka.

“Coba lihat ke sana,” pinta Boim.

“Kenapa?”

Farzana mengerjapkan matanya sebanyak tiga kali. Ia bisa melihat dengan jelas jari telunjuk Boim mengarah pada ibunya yang tengah berdiri dengan ekspresi marah ke arah mereka berdua.

“Umi?”

Wanita paruh baya di sana tampak menarik napas dalam-dalam dan langsung berteriak ke arah putrinya dengan suara yang menggelegar bagai halilintar di siang bolong. “Farzana! Bangun! Mau tidur sampai kapan? salat subuh cepat!”

“Hah?” heran Farzana mulai diserang kebingungan.

Seluruh pemandangan di hadapan Farzana langsung luntur bagai pakaian yang berputar di dalam mesin cuci. Begitu pula dengan wajah suaminya yang tampan itu mulai pudar dan menghilang bagai debu ditiup angin.

“J-jangan! Boim!” Farzana langsung beranjak dengan tangan yang berusaha meraih suaminya, tetapi pemandangan yang ia lihat bukanlah sebuah pesta pernikahan dengan dekorasi yang megah lagi, melainkan sebuah ruangan yang Farzana kenali sebagai kamar tidurnya sendiri. “Ya Allah, jadi semua itu tadi cuman mimpi?” bisik Farzana kecil, masih mengabaikan kehadiran sang ibu di sampingnya.

“Astaghfirullahaladzim Minkulli Dzambin Adzim … Farzana Nazia! Kamu mimpi apa sampai teriak-teriak kaya gitu?”

Farzana mendongak, lalu tersenyum cengengesan ke arah ibunya. “Hehe … bukan apa-apa kok, Umi. Makasih udah bangunin Farzana, ya.”

Umi Kalsum, nama dari wanita paruh baya yang meski sudah berkepala tiga tetapi tetap tampak muda itu hanya menghela napas pelan. Ia lalu menyodorkan mukena dan sajadah ke arah putrinya.

“Cepet wudhu dan salat subuh. Keburu disusul matahari kamu.”

“Iya, Umi.”

“Habis salat kita langsung jalan aja, ya. Biar gak macet.”

“Siap, Umi!”

Buru-buru Farzana beranjak dari tempat tidurnya, mengambil air untuk berwudhu dan segera melaksanakan salat subuh. Kegiatan Farzana di luar kota menemani sang ibu tercinta pun langsung berlanjut. Meski disepanjang itu pikiran Farzana kerap kali melayang pada sosok laki-laki yang anehnya sering kali muncul di dalam mimpinya akhir-akhir ini.

Semua itu bermula dari salah satu video yang tidak sengaja Farzana tonton. Video itu berisi curhatan seorang wanita yang menikahi sahabatnya sendiri. Kisah percintaan mereka terlihat begitu manis, dan di akhir video wanita itu melayangkan beberapa pernyataan dan pertanyaan yang membuat Farzana kebingungan.

Terutama bagian ‘tidak mungkin ada kata sahabat di antara laki-laki dan perempuan’ dan pertanyaan seperti ‘pernahkah kamu merasa gugup ketika menatap mata sahabatmu?’ atau ‘pernahkah kamu merasa kehilangan ketika tidak ada sosok dia?’ dan yang paling mengganggu Farzana adalah pertanyaan tentang ‘pernahkah kamu membayangkan menjalani masa depan seperti menikah dan membesarkan anak bersama sahabatmu?’.

Dari semua hal itu, pikiran Farzana hanya tertuju pada satu orang, yaitu Ibrahim Farhan Ilyas atau yang biasa disapa Boim. Seorang sahabat yang mengisi hari-hari Farzana sedari dulu. Apa Farzana secara tidak sadar sudah jatuh cinta pada Boim?

“Gak mungkin!” pekik Farzana setengah histeris sambil menggeleng kepalanya keras.

***

Jam terus bergulir hingga mengganti hari. Farzana dan ibunya sudah kembali ke kota asal mereka setelah perjalanan yang menyenangkan dan juga cukup melelahkan. Setelah mengarungi lautan dilema yang luar biasa, akhirnya hari yang ditakuti Farzana datang juga, yaitu hari di mana ia akan bertemu dengan Boim lagi.

Jujur saja, demi Tuhan yang berduduk tinggi di takhta Arsy, jantung Farzana saat ini berdegup sangat kencang menyaingi kecepatan roket luar angkasa yang meluncur. Darah Farzana mendesir hebat seolah tersengat. Tidak pernah sekali pun selama bertahun-tahun menjalin hubungan persahabatan dengan Boim hal seaneh ini menyerang diri Farzana.

“I-ini semua gara-gara video aneh itu!” kutuk Farzana sambil mengelus dadanya yang bergemuruh hebat seperti badai disertai dengan angin ribut. “Gak.” Farzana menggeleng. “Aku gak mungkin suka sama Boim,” yakinnya lagi setengah hati.

Farzana kemudian memantapkan langkah kakinya kembali meniti jalan menuju ke warung. Ia tahu betul gang yang sebentar lagi dilewatinya akan membuat Farzana bertemu dengan Boim.

Masjid Al-Ghifari adalah tempat di mana Boim sering berdiam diri. Entah itu untuk menunaikan ibadah atau hanya sekedar nongkrong sampai dengan membersihkan halaman dari dedaunan yang berjatuhan.

Namun, siapa sangka manik kecokelatan berkilau milik Farzana malah mendapati sosok sahabat laki-lakinya itu tampak asyik bersenda gurau dengan wanita lain? Dengan kesadaran yang sangat tinggi, Farzana merasakan dadanya yang tadi berdegup sangat kencang, saat ini terasa sakit seolah ditusuk dengan belati tak kasat mata.

“Itu Fatimah, ya?”

Jarang. Bahkan mungkin bisa dikatakan hampir tidak pernah Farzana melihat sosok Boim tertawa selepas itu saat berbincang dengan lawan jenisnya.

“Ya Allah, aku mikirin apaan, sih?” Farzana yang sempat merasa terhenyak dan terdiam di tempat, langsung berusaha meluruskan pikirannya yang bengkok ke mana-mana.

“Boim, kan, kalau ngobrol sama aku juga kaya gitu.”

Baru saja beberapa detik otak Farzana merasa tenang, tetapi tiba-tiba saja seseorang yang entah sengaja atau tidak menyenggol dirinya dari belakang.

Orang itu langsung menoleh ke arah Farzana dengan pandangan sinis. “Maaf, kamu jalannya bengong, sih. Jadi gak sengaja aku tabrak,” cetus perempuan tadi yang Farzana kenali sebagai Nadia.

Farzana mengangguk dengan senyuman canggung.

“Kenapa Nadia kaya gak suka gitu, ya, sama aku? Apa aku ada buat salah sama dia? Ah, jangan su’uzon. Soalnya Nadia kan, emang tipikal orang yang cetus gitu.”

Farzana menghela napas panjang, kemudian melanjutkan langkah kakinya yang harus kembali terhenti ketika Boim tiba-tiba datang menghampiri dan meninggalkan Fatimah begitu saja.

“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Farzana!” sapa Boim dengan senyuman lebar.

“Wa’alaikumus salam wa rahmatullahi wabarakatuh, Ustaz Boim,” sahut Farzana sambil mengalihkan pandangan ke arah mana saja asal tidak menatap wajah Boim. Rasa gugup yang tadi sudah hilang kini kembali menyerang.

“Kamu jangan pangggil saya ustaz juga, dong. Berapa kali saya udah bilang?”

“Kamu kan, memang udah jadi ustaz sekarang.”

“Orang lain boleh manggil gitu, tapi kamu jangan.”

“Kenapa?”

Bukannya menjawab, Boim malah tersenyum-senyum saja sambil melirik Farzana dengan tatapan yang tidak bisa wanita itu definisikan. Satu hal yang jelas, Farzana yakin wajahnya sudah semerah tomat matang hanya karena lekukan indah dari wajah tampan sahabatnya sendiri.

“Mau ke mana?”

“Ke warung biasa.”

“Oh … beli gula, ya.” Boim tanpa meminta persetujuan Farzana, mengikuti langkah sahabatnya tersebut. Dia berjalan di sisi Farzana dengan senyuman yang tidak luntur dari wajah tampannya.

“Kamu kapan balik? Kenapa gak ngasih kabar sama sekali?” tanya Boim lagi.

“Buat apa?”

“Yah, saya kan, sahabat kamu. Saya harus tahu kabar kamu.”

Bukannya senang, Farzana merasa ada nyeri yang menyerang uluh hatinya ketika mendengar kalimat yang dilontarkan Boim barusan.

“Jadi Fatimah juga sahabat kamu sekarang?” Sumpah demi Tuhan, Farzana sendiri kaget karena mulutnya bergerak sendiri.

“Hah?” Boim pun jadi kebingungan.

"Maksud kamu apa? Fatimah sama kamu kan, beda.”

Benar sekali. Fatimah adalah sosok wanita anggun bercadar, dia adalah wanita muslimah sejati. Sedangkan Farzana? Ibunya bahkan sering kali melontarkan protes karena penampilan Farzana yang tomboi.

Tidak mungkin Boim menganggap dirinya sebagai seorang wanita, bukan? Berbeda dengan Fatimah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status