Share

BAB 2 Perhatian Si Ustadz Tampan

Kokok ayam jantan berbunyi dengan gagah berani. Bulan telah tenggelam dan matahari akan segera terbit. Ribuan bintang pun mulai menyembunyikan diri di balik atmosfer Bumi. Dalam naungan langit subuh, Farzana terbangun dari lelapnya mimpi dengan raut wajah bercampur aduk.

“Ya Allah … kenapa hamba-Mu ini mimpiin Boim lagi? Apa ini gejala penyakit baru? A-atau sebuah pertanda?” Farzana menepuk kedua pipinya yang terasa hangat. Bayangan gagah Boim dalam setelan jas hitam masih terbayang.

Sudah beberapa minggu Farzana terjebak dalam keadaan ini, sampai-sampai dirinya hampir tidak bisa mengelak lagi gejolak rasa asing yang telah bersemayam di dalam dada.

TRING! Dering notifikasi khusus jika Boim mengirimkan pesan berhasil membuyarkan lamunan Farzana. Gadis itu segera meraih benda pipih yang tergeletak di atas nakas di samping kasurnya.

“Assalamu’alaikum wahai Ukthi, sudah bangun?” Isi pesan dari Boim

Sahabatnya itu setahu Farzana adalah satu dari sekian manusia yang jarang sekali memegang ponsel, apalagi berbagi pesan kecuali dalam beberapa keadaan tertentu. Jadi, Farzana sekarang tengah kebingungan karena akhir-akhir ini Boim cukup sering mengiriminya pesan walau hanya sekedar basa-basi atau hanya untuk mengejeknya.

“Wa’alaikumus salam,” balas Farzana singkat, meski sekarang entah kenapa hatinya bergemuruh hebat.

“Udah salat subuh?”

Boim langsung membaca dan membalas pesan dari Farzana pada detik yang sama, seolah-olah memang tengah menunggu dengan antusias. Membayangkan tentang hal tersebut, pipi Farzana langsung bersemu merah.

“Ini lagi mau wudu. Kenapa? Mau jadi imam?” Farzana melontarkan candaan seperti biasa, tapi dia tidak pernah menduga pada balasan ajaib Boim.

“Tentu. Kamu mau saya lamar kapan?”

“Audzubillahiminasyaitonirojim!” pekik Farzana reflek sambil melempar ponselnya, untung saja benda pipih itu yang tergeletak malang di lantai itu tidak retak. “Apa sih, Boim? Biasanya dia risih kalau aku candain kaya gitu!”

Farzana segera beranjak untuk mengambil air wudu dan mengabaikan pesan dari Boim barusan. Sepanjang hari itu, Farzana berusaha keras menyibukkan diri agar melupakan ajakan nikah dari sahabatnya sendiri. Gadis itu juga yakin kalau Boim hanya bercanda dan tidak serius. Boim pasti ingin main-main saja, dan hal itu membuat Farzana semakin merasa frustrasi.

“Loh, Nak. Kamu kok, masih di sini?”

Pertanyaan dari sang ibu membuat Farzana yang baru saja selesai makan malam itu jadi kebingungan.

“Emangnya kenapa kalau aku masih di sini, Umi?” tanya Farzana balik.

Ibunya tampak mengernyitkan kening. “Bukannya kamu akhir-akhir ini sibuk jadi panitia buat acara dakwah di Masjid Al-Ghifari?”

“Allahu Akbar, Umi!” pekik Farzana diserang panik. “Makasih, ya! Hampir aja Farzana kelupaan, astagfirullah!”

Dengan gerakan gesit, wanita bertubuh mungil tetapi berpenampilan tomboi itu segera bersiap-siap untuk berangkat ke Masjid Al-Ghifari. Sepanjang jalan, Farzana tidak henti-hentinya menyalahkan Boim atas semua kelalaian yang menimpa dirinya.

Sesampai di depan Masjid Al-Ghifari, sosok Boim adalah orang pertama yang menyambutnya. Tampak laki-laki itu langsung menghampiri Farzana padahal sebelumnya Boim tengah mengobrol dengan Fatimah dan Nadia di sudut lain.

“Assalamu’alaikum, Farzana. Kenapa telat? Kamu juga gak balas chat. Sakit, ya? Atau gak enak badan? Jangan dipaksain, kamu bisa istirahat dulu.”

Segala emosi berupa murka dan kekesalan kepada Boim sebelumnya langsung sirna hanya dalam hitungan satu detik saja, seperti sepucuk api yang diguyur air hujan. Amarah Farzana langsung padam dan berganti dengan rasa asing yang menggelitik perutnya.

“Wa’alaikumus salam. Enggak, kok. Aku sehat-sehat aja. Tadi cuman kelupaan soalnya lagi ngerjain hal lain.”

“Beneran? Jangan lupa saya ini ketua panitianya. Jadi kalau ada kendala, kamu bisa kasih tahu saya. Saya juga bertanggung jawab penuh kalau ada apa-apa sama kamu.”

Baru satu detik hati Farzana mendayu di lautan ambigu, kini wanita tersebut sudah menemukan dermaga baru yang ternyata tidak seindah itu.

Jelas saja semua perhatian Boim kepadanya memiliki landasan. Boim sebagai ketua panitia tentu harus mengurus banyak hal termasuk kondisi para panitia yang lainnya. Jadi bisa Farzana simpulkan kalau apa yang Boim lakukan sekarang, pasti laki-laki itu juga lakukan kepada semua orang. Maka daripada itu Farzana tidak bisa merasa bahwa dirinya istimewa, karena pasti di mata Boim semua panitia berkedudukan sama.

Setelah salat Isya berjamaah, Farzana mulai sibuk menghitung dana yang akan keluar dan masuk untuk kegiatan besok. Lalu ia mendengar suara Boim menghampirinya.

“Kamu masih sibuk? Perlu bantuan?”

Farzana menggeleng pelan lalu mendongak untuk menatap Boim. Mata teduh laki-laki itu kini selalu berhasil membuat gumpalan daging di dalam dadanya bergejolak seolah akan segera meledak.

“Sebentar lagi selesai, kok. Kenapa?”

Boim berdehem, tampak gugup untuk menyampaikan. “Saya tahu kamu posisinya sebagai bendahara dan memang bukan jobdesk kamu di bagian ini. Kalau kamu bisa dan tidak keberatan, tolong temani saya menyambut tamu kehormatan untuk acara besok. Cuman menemani makan, ngobrol, dan mengantar ke penginapan untuk malam ini.”

Bagaikan gayung yang disambut dengan tangan emas, Farzana girang luar biasa. Dia baru saja membuka mulut untuk menjawab, tetapi dua orang wanita yang ternyata sedari tadi menguping pembicaraan mereka langsung menyela.

“Biar Fatimah saja, ustaz Boim!” seru Nadia sambil menarik seorang wanita bercadar ke tengah mereka.

“Astagfirullah … bikin kaget saja, Nadia.” Boim menegur sopan.

Mengibaskan tangan, Nadia kembali menarik Fatimah untuk berdiri tepat di samping Farzana. Hingga tampaklah perbedaan yang jelas antara kedua wanita itu. Bagaikan langit dan bumi. Satunya tampak alim dengan pakaian serba tertutup dilengkapi cadar, satunya tampak biasa saja dengan pakaian muslim seadanya.

“Ustaz lihat? Fatimah lebih cocok dibawa nemenin ustaz buat nyambut tamu! Dari segi penampilan aja siapa pun termasuk tamu bisa nilai lebih enak dilihat yang mana. Lagi pula, Farzana juga kayanya sibuk dengan jobdesk dia. Iya kan, Farzana?”

Diserang oleh temannya sendiri seperti itu, Farzana tampak kebingungan dan hanya bisa mengangguk canggung. Rasa percaya dirinya langsung luruh jika dibandingkan dengan sosok alim seperti Fatimah.

“N-Nadia bener. Bawa Fatimah aja.”

Boim tampak keberatan. “ Fatimah kan, bukan bagian dari panitia.”

Mendengar itu, Fatimah yang dari tadi terlihat malu-malu langsung angkat suara. “Enggak papa kok! Saya gak keberatan nemenin ustaz buat menyambut tamu. Jadwal saya kebetulan kosong soalnya kemarin udah habis setoran Surah Al-Kahfi sama guru saya.”

Melihat situasi tidak terelakkan itu, Bomi hanya bisa tersenyum simpul “Ya sudah kalau gitu. Mari, Fatimah.”

Keduanya langsung pergi setelah mengucapkan salam. Farzana hanya bisa meremas pena yang ada dalam genggamannya. Tersulut rasa panas di dalam dada mana kala melihat keserasian antara Boim dan Fatimah.

Rasa kalut di hati Farzana makin bertambah ketika Nadia pamit setelah memberikannya tatapan yang tidak mengenakkan. Farzana tetap memantapkan hati untuk tidak mencap Nadia dengan penilaian yang buruk.

“Mungkin aku cuman salah paham atau … memang ada sesuatu?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status