Share

Gadis yang Tertawan bab 3

Ada sesuatu kenyataan luar biasa yang patut direnungkan, yakni bahwa setiap manusia ialah rahasia dan misteri besar bagi sesamanya. Setidaknya itulah yang dipikirkan Senja, gadis itu terkantuk-kantuk, tetapi otaknya dipenuhi dengan kepingan praduga yang berusaha ia susun.

Sampai detik ini, Senja masih mencari tahu kenapa ia bisa berada di tempat terkutuk ini. Dalam kungkungan orang-orang berkulit pucat yang sama sekali tidak ia kenal, dan siapa orang yang sudah melakukan ini semua pada keluarganya.

Sekali lagi, Senja dipindah ke tempat yang baru, meski demikian, kenyataannya tidak berubah sama sekali, ia tetap berada di dalam sel penjara. Namun, penghuninya hanya tiga orang wanita muda, termasuk dirinya.

Senja memperhatikan dengan seksama, sel ini memiliki satu buah jendela kecil, lengkap dengan teralis dan hampir menyentuh atap, dua buah lilin yang berpendar lemah—di sisi kanan dan kiri dekat pintu sel, dan didapatinya kalau ruangan ini begitu kuat, kukuh, aman, dan sunyi. Pikiran untuk melarikan diri pun seketika lenyap.

Bayang-bayang yang terpantul dari cahaya lilin terlihat mengerikan bagi Senja, sekaan berbentuk beraneka wujud akibat pikiran dan ketakutannya sendiri. Setidaknya ini sedikit lebih baik.

Melalui jendela kecil itu, kini ia bisa tahu kapan matahari tenggelam digulung malam, dan kapan matahari terbit untuk membawa cerita baru. Namun, angin malam yang masuk melalui celah sempit itu, membuat badannya menggigil karena kedinginan.

"Siapa namamu?"

Senja menengok, gadis yang bertanya padanya memiliki wajah lembut dan terlihat lebih dewasa.

"Namaku Senja, Mbak."

"Aku Arini dan dia adalah Tumina."

Senja memperhatikan satu lagi gadis yang dikenalkan Arini—Tumina lebih muda dari mereka berdua, dan matanya menyorotkan sikap kekanak-kanakan yang alami. Senja tersenyum pada gadis itu.

"Aku Senja."

Kedua gadis itu kini masing-masing mengambil tempat di sisi kiri dan kanannya. Arini menyandarkan kepalanya ke dinding sel dan meyelonjorkan kakinya.

"Aku sudah berada di sel ini lebih dari tiga bulan lebih, ya, begitulah kurasa."

"Mba Senja, apa baru dipindah ke tempat ini?" tanya Tumina, ia duduk dengan menekuk lututnya seperti Senja.

"Ya, aku baru empat hari, tetapi sebelumnya aku ditempatkan di penjara bawah tanah," jawab Senja.

"Tidak heran kalau, Mbak, dipindahkan ke sel ini," ujar Tumina seraya tersenyum lembut.

"Maksudnya?" Senja memiringkan kepalanya karena merasa penasaran dan tidak mengerti ucapan gadis ini.

"Wajahmu itu terlalu mencolok, Senja. Aku, Tumina, dan kamu sendiri, kita adalah tahanan yang sudah ditandai. Cepat atau lambat, kita akan menjadi peliharaan dia. Entah bagaimanapun caranya." Arini mengendikkan bahunya seraya tersenyum getir.

Senja terkesiap mendengarkan jawaban Arini, peliharaan? Oleh dia, dia siapa? Apakah jadi peliharaan lebih baik dari menjadi tahanan? Tidak! Senja membenci gagasan itu. Saat gadis itu hendak membuka mulutnya untuk bertanya, terdengar suara tapak kaki yang berjalan mendekat, diiringi suara gemerincing seperti ikatan uang logam yang sering ayahnya berikan dulu.

Satu sosok lelaki berseragam tentara dengan pangkat soldat datang membawa satu baki makanan. Senja melirik, di baki itu terdapat satu buah tempat makan dari kaleng yang memiliki beberapa sekat, dan diisi oleh satu porsi bubur encer, satu per empat potong telur, dan setumpuk sayuran yang sudah tidak segar—lebih layak diberikan untuk pakan ternak.

Tentara tadi mengeluarkan seikat kunci dan memilih yang pas, ia membuka sel dan memberikan kotak makan itu pada Senja dengan berjongkok.

"Ini makananmu, makanlah! Habiskan dan jangan ada yang tersisa, Mayor sedang berbaik hati, ia memberikanmu telur."

Ia berdiri berkacak pinggang, dan setelah memperhatikan Senja serta kedua gadis lainnya, ia menjadi bernafsu.

Senja hanya bergeming, tidak melakukan gerakan atau satu patah kata pun, melihat itu, Tumina berinisiatif untuk membawakan kotak makan pada Senja.

"Ini, Mbak, makanlah, kau butuh tenaga meskipun untuk sekedar berpikir."

"Terima kasih, Meneer," ucap Arini mewakili Senja.

"Kalian berdua ikut denganku sekarang."

Tentara itu meraih lengan Arini dan Tumina untuk berdiri, kemudian membawanya keluar dan mengunci pintunya kembali.

"Mau kalian bawa ke mana mereka?" tanya Senja, ia bangkit dari duduknya dan berdiri memegangi jeruji besi.

"Tidak perlu khawatir, Senja. Kami akan baik-baik saja dan segera kembali." Arini tersenyum. Namun, matanya menyimpan kesedihan dan keengganan.

"Kau belum tahu, Nona? kedua gadis ini akan bertugas menghibur kami semua," ucap tentara itu.

"Menghibur?" tanya Senja, meskipun ia dapat menebak apa maksudnya, ia tetap menolak pikiran itu.

"Mereka akan memuaskan kebutuhan kami, kebutuhan laki-laki, mereka akan memanjakan kami dengan tubunya."

Si tentara kini mengambil sejumput rambut Tumina yang terurai dan menciuminya dengan kurang ajar. Gadis itu terlihat ketakutan meski ini bukan pertama kalinya, kini Senja bisa membayangkan kalau ia berada di posisi seperti itu.

"Tidak! Kalian brengsek! Bajingan busuk, rendahan, lebih baik berikan hati kalian pada anjing yang lapar!"

Senja berteriak memaki, suaranya menggema di sepanjang lorong penjara. Tentara itu menyeringai mendengarkan perkataan Senja.

"Tidak perlu sesenang itu, Nona, nanti malam giliranmu."

"Tidak! Mulutmu busuk, lebih baik aku mati daripada harus menyerahkan tubuhku pada kalian!"

Si tentara tertawa terbahak-bahak, kemudian ia melepaskan botol minuman berbentuk persegi dan pipih yang tergantung di sabuknya, di dalamnya berisi minuman keras yang mengandung alkohol.

"Kau akan lebih berguna bagi kami kalau kau tetap hidup, jangan sia-siakan wajah cantikmu itu, Nona. Ini ambilah, hadiah dariku."

Ia melempar ke arah Senja dan botol itu mendarat di lantai, kemudian ketiganya berlalu begitu saja. Saat ia sudah keluar dari ruang tahanan, ia menyerahkan Arini dan Tumina pada temannya yang lain, sedangkan dirinya melangkahkan kaki menuju ruang lain yang terlihat seperti kantor.

Ketika ia menemukan orang yang dicari, tentara itu memberikan sebuah kode berupa anggukan, mengisyaratkan kalau rencananya berhasil.

Senja meraih botol minum berukuran cukup besar yang dilemparkan tentara tadi, ia membuka dan mencium aromanya. Ini bahan bakar, bukan alkohol yang tentara tadi katakan. Apakah ini memang jalan untuknya? Jalan keluar untuk setiap luka dan permasalahannya? Melalui kematian? Atau merusak wajahnya sendiri?

Senja terkulai lemas, hatinya terasa sakit, ia bukan hanya merasa lelah secara fisik, tetapi juga secara batin. Pikirannya berkecamuk, mempertanyakan keadaan ayah dan ibunya yang tertembak, serta kedua kakaknya.

Senja mengharapkan ada keajaiban yang datang padanya. Namun, melihat lagi kondisi dan situasi ia dan para tahanan, membuat hatinya menciut takut. Ia berharap akan bertemu dengan keluarganya lagi, tapi entah kapan?

Senja sendiri tidak tahu. Ancaman Rutger yang ingin menjadikan ia sebagai miliknya, dan perkataan tentara tadi—bahwa sebentar lagi ia akan mengalami nasib yang sama dengan Arini dan Tumina, membuat ia bergejolak. Senja tidak ingin menyerahkan tubuhnya satu jengkal pun untuk mereka. Maka, dengan perasaan sesak, gadis itu membaluri badannya dengan bahan bakar, diraihnya lilin yang melekat pada tempatnya.

Keesokan paginya, saat Arini dan Tumina berjalan kembali ke selnya, dengan kondisi tubuh mereka yang terlihat dan acak-acakan—kancing kebaya bagian atas yang terlepas, beberapa luka lebam di wajah, dan mata yang begitu sayu.

Kedua wanita itu mencium bau hangus, seperti bau daging yang terbakar, sangat tajam dan membuat mual. Pikiran mereka tertuju pada Senja, berharap gadis itu baik-baik saja. Saat semakin mendekati sel mereka, dari ujung mata Arini dan Tumina dapat melihat seonggok mayat, hangus dan tidak dapat dikenali seandainya mereka tidak berkenalan sebelumnya, serta sisa jelaga yang menempel di lantai.

"Senjaaaaaaa!" Arini memekik dan berteriak. Lututnya bergetar karena merasa ngeri, akhirnya ia terjatuh lemas.

"Tidak mungkin, ke–kenapa bisa seperti ini?"

Tumina menangis sesenggukan. Ia tidak mengira keinginan mati Senja akhirnya menjadi kenyataan.

"Verdomme!" umpat tentara Belanda yang terlihat masih muda, ia segera berlari memanggil teman-temannya.

Arini dan Tumina berpelukan, mereka sangat terkejut dengan kejadian memilukan ini, belum genap 24 jam mereka berkenalan, Senja sudah meregang nyawa. Arini yang lebih dewasa berjalan mendekat ke mayat Senja.

"Ini pakaiannya, Mina, kamu ingat? Ini adalah baju yang Senja kenakan," ucapnya dengan pasti.

Tumina dengan keberanian yang dipaksakan, melihat apa yang ditunjukkan oleh Arini.

"Benar, Mbak, jadi mayat ini benar Senja?"

Sekelompok tentara mendekat. Di antara mereka, ada satu orang yang mencolok dan belum pernah Arini atau Tumina lihat selama berada di tempat itu. Kulit wajahnya putih bersih, Alisnya terlihat lebat, bulu matanya mencolok karena berwarna gelap, tulang pipinya menonjol dan dagunya runcing.

Mulutnya tampak keras—karena bibir atas lebih kecil dari bibir bawah yang penuh agak cemberut. Di dahi– tegak lurus dengan alis, tepat di atas hidung yang mancung sempurna—ada bekas luka yang sudah samar. Yang paling menarik adalah bola netranya yang berwarna biru keabu-abuan.

Lelaki itu memperlihatkan dengan seksama kondisi mayat Senja. Ia menelisik tanpa rasa ngeri sama sekali.

"Ini bukan gadis itu!" ucapnya mantap, semua orang yang berada di sana merasa terkejut.

"Luka ini tidak terlihat baru untuk orang yang meninggal dengan cara terbakar." Pria itu berdiri dan menatap Arini dalam-dalam. "Kau satu sel dengannya?"

"Ya, Meneer. Dia bernama Senja, dan baru datang ke sel ini kurang dari 24 jam," jawab Arini.

"Kelihatannya kau baru kembali dari suatu tempat?" tanya pria itu.

Arini dan Tumina mengangguk.

"Artinya semalam kalian tidak di sini, bersama gadis ini?"

"Benar, Meneer, kami baru saja kembali, dan mendapati Senja sudah terbakar seperti itu," jawab Arini dengan berderai air mata.

"Baiklah."

Pria itu berbalik dan menatap tajam pada tentara-tentara yang berkumpul untuk menyaksikan. Wajahnya menjadi dingin, dan rahangnya mengeras, ia berjalan ke arah mereka, menunjukkan roman mukanya yang kaku dan serius dalam bekerja.

"Jadi, kalian sengaja mengulur waktuku untuk menemui gadis ini? Agar bisa merencanakan semua ini?"

Mereka semua bungkam, menunduk dengan perasaan sedikit takut, sorot matanya yang cemerlang seakan seperti menelanjangi mereka dengan tatapan tajamnya. Hening, sampai seorang tentara masuk dan memecah suasana yang canggung.

"Kapten Xander, Anda sudah datang?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status