Share

Gadis yang Tertawan bab 4

Lelaki yang tadi menyapa Xander langsung membawa pria itu menuju sebuah ruangan. Sebelum Xander masuk, ia menarik sudut bibirnya. Ia teringat kemarin, saat ia mendatangi markas yang menjadi wilayah kekuasaan Rutger.

Xander yang ingin bertemu dengan Senja tidak diizinkan untuk melihat gadis itu, ia diminta untuk datang keesokan harinya, tapat hari ini. Xander yang sudah hafal dengan tabiat rekan sejawatnya, mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan. Dan ternyata semua itu berguna, tepat pada tempatnya. Xander membawa sebuah dokumen penting yang ia selipkan di pinggang—di balik seragam militernya.

"Kapten Xander, masuklah, maaf karena Anda melihat keributan ini."

Rutger mempersilahkan Xander masuk saat pria itu baru membuka pintu. Xander hanya menganggukkan kepalanya, ia berjalan dan memberi hormat kepada lelaki yang notabene menjadi atasannya.

"Maaf, Kapten Xander, telah terjadi hal yang tidak terduga di tempat ini, soldat bodoh itu melakukan kecerobohan sehingga menyebabkan warga pribumi meninggal dengan cara tragis, kami tidak menyangka kalau gadis itu nekat bunuh diri," ujar Rutger memberikan penjelasan.

"Anda sengaja memalsukan kematian gadis itu, mayat yang ada di dalam sel bukan Senja, melihat luka bakarnya saja saya bisa tahu kalau luka itu sudah berhari-hari. Anda mungkin bisa menipu orang-orang, tapi tidak dengan saya, Mayor, apa Anda akan menjadikan gadis itu sebagai gundikmu? Atau menjualnya ke luar negeri? Seperti apa yang sudah sering Anda lakukan?"

Xander berbicara dengan tenang, tetapi nadanya penuh dengan penekanan, lelaki itu mengabaikan segala formalitas dan hirarkinya sebagai tentara. Rutger terkesiap, keringat dingin menetes dari dahinya yang lebar, ia pun bangkit dari duduknya.

"Omong kosong! Apa yang kau bicarakan, Kapten? Kau terlalu kurang ajar dan menuduhku macam-macam, aku bisa membuat karirmu hancur!"

"Saya tidak akan membahas mayat siapa itu sebenarnya, karena kalau saya sudah mencari tahu, saya bisa melaporkan Anda atas kejahatan perang." Xander mengambil dokumen yang ia bawa dan menghempaskan ke hadapan Rutger.

Rutger membaca setiap kata dan angka pada kertas salinan yang Xander berikan, wajahnya menjadi pucat pasi seolah tidak ada aliran darah yang mengalir. Ia tidak bisa berkutik lagi.

"Aku akan membawa tahanan itu, katakan ke mana Anda membawa Senja?!" Xander mencondongkan tubuhnya ke depan, dengan kedua tangan bertumpu di atas meja kerja Rutger.

Rutger meremas surat itu dengan kuat.

"Ke salah satu rumahku yang ada di batas kota selatan, meskipun kamu membawanya, dia adalah tahanan makar! Kemana pun ia pergi, ia akan diburu dan dihukum mati! Aku bisa memberikan solusi, asalkan kau mau memberikan salinan asli dari laporan ini!"

Xander menegakkan kembali tubuhnya. "Katakan, Mayor!"

"Aku memang sengaja menukar Senja dengan gadis bernama Dara yang mengalami luka bakar tiga hari yang lalu. Dengan begitu, orang-orang akan mengira Senja sudah tiada, Senja sudah kujual pada pengusaha yang ada di Amsterdam, dan orang itu mengetahui identitas Senja yang sebenarnya. Satu-satunya jalan adalah membiarkan Senja menjalini kehidupan sebagai Dara, dan kirim dia ke luar negeri, dia tidak akan memiliki tempat di negeri ini, bahkan di lubang semut sekali pun! Gadis itu bagai bom waktu yang siap meledak kapan saja. Aku tidak tahu motifmu yang sebenarnya? Tapi, jika identitasnya terungkap, bukan aku saja yang akan dalam bahaya, kau juga akan demikian karena telah menyembunyikan tahanan besar. Kita tidak perlu naif, kita sama-sama memiliki kepentingan pribadi atas gadis itu, bukan?"

Wajah Xander mengeras sehingga sulur-sulurnya terlihat jelas.

"Anda tidak perlu mengetahui motif saya, Mayor, cukup jaga rahasia ini dan bungkam orang-orang yang menjadi bawahan Anda! Saya akan membawa laporan aslinya setelah mendapatkan gadis itu!"

Xander berlalu dan keluar dari ruangan itu.

Rutger meraup wajahnya dengan frustasi, ia tidak menyangka sama sekali kalau orang yang pangkatnya berada di bawahnya, bisa menjadi ancaman besar bagi karir dan kehidupannya.

Ia memang telah melakukan kejahatan dengan menjual Senja, tetapi laporan yang dimiliki Xander lebih berbahaya kalau sampai pada atasannya. Rutger membanting semua barang yang ada di meja kerjanya dengan hati dan perasaan yang kalut, sehingga Xander yang jalan belum terlalu jauh, dapat mendengar keributan itu.

Saat Xander sampai di tempat parkir, kedua temannya—Leenjte dan Leon sudah menunggu di dalam mobil masing-masing. Untuk mempersingkat waktu, Xander memutuskan pergi bersama Leenjte guna menemui seseorang yang bisa diandalkan, sedangkan Leon bertugas untuk menjemput Senja di kediaman Rutger yang ada di batas kota selatan.

Xander diberkati dengan pemikiran yang cerdas dan kritis sehingga dapat memikirkan cara dengan cepat. Saat mereka melewati garis demarkasi yang dijaga oleh beberapa tentara, kedua mobil itu terpisah dan mengambil jalan masing-masing.

Xander dan Leenjte bertolak ke kota Batavia. Dalam perjalan, mereka mampir terlebih dahulu ke rumah pribadi Xander untuk mengambil sesuatu yang bernilai mahal dan dapat berguna. Meskipun memakan waktu yang cukup lama, akhirnya mereka tiba di tempat tujuan.

Leenjte segera memarkirkan mobilnya di bawah pohon beringin yang sangat rindang. Setelah itu mereka berjalan dengan tegap melewati koridor panjang dengan pilar-pilar yang tinggi menjulang. Beberapa kali mereka harus memberi hormat saat bertemu dengan seseorang yang jabatannya lebih tinggi, atau sekedar menganggukkan kepala saat bawahannya menyapa.

Sampai mereka akhirnya berada di depan sebuah ruangan—tertera nama Kolonel Paul Lieberman pada pintu yang berwarna cokelat manggis.

Leentje mengetuk pintu itu dan terdengar seruan dari dalam.

"Kom binnen."

Kedua lelaki itu tanpa membuang waktu langsung masuk ke dalam dan memberi hormat pada atasan mereka yang tak lain paman dari Leentje.

"Duduklah kalian berdua," perintah Paul.

Leentje dan Xander duduk di kursi yang berhadapan langsung dengan Paul.

"Kau jarang sekali menemui paman belakangan ini, Leentje. Katakan, apa kalian memerlukan sesuatu?" tanya Paul.

Leentje memberi isyarat pada Xander untuk meletakkan hadiah-hadiah yang mereka bawa ke atas meja kerja.

"Aku kemari memang sengeja ingin mengunjungi, Paman. Dan menyampaikan hadiah dari Xander."

"Hadiah? Dalam rangka apa?" tanya Paul keheranan, ia menatap lekat kedua pemuda itu guna meminta penjelasan.

"Benar, Kolonel. Saya ingin meminta sedikit bantuan," jawab Xander dengan suaranya yang berat.

"Bantuan apa yang kau butuhkan, Xan, apakah masalah besar?"

Paul menaruh kedua lengannya pada tumpuan kursi yang sedang ia duduki.

Xander membuka sebuah kotak yang berisi dua botol wine mahal dengan kualitas terbaik dari perkebunan pribadi keluarganya, dan kotak lain berisi beberapa keping logam emas, membuat Paul menatap Xander dengan binar bahagia.

"Saya menginginkan seorang tahanan wanita inlander yang ada di camp mayor Rutger untuk menemani perjalanan saya ke suatu negara, gadis itu bernama Dara. Apa, Kolonel, bisa sedikit membantu saya?"

Paul berdiri dari duduknya, berjalan ke arah jendela yang sedikit terbuka. Dari ruangannya yang ada di lantai dua, Paul bisa melihat kendaraan yang hilir mudik di jalanan Batavia.

"Mengapa begitu tiba-tiba? Ini akan sulit, apakah tahanan itu sudah mendapat keputusan dari Politierol?"

"Itulah alasan kami berdua datang kepada, Kolonel, kami sangat percaya kepada Anda. Dia adalah dwangarbeid dan hukumannya kurang dari satu tahun lagi, Anda cukup memberikan sebuah surat resmi untuk mengirim gadis itu sebagai hechtenis."

"Ke negara mana kamu akan pergi bersama gadis itu, Xan, apa ke salah satu kota yang ada di Netherland?" tanya Kolonel Paul.

Xander tersenyum seraya memutar globe—peta dunia berbentuk seperti bola yang ada di hadapannya.

"Bukan, Kolonel, aku akan membawa gadis itu ke sebuah tempat yang memiliki iklim yang sama dengan negara ini. Tentunya kita tidak bisa mengirim warga pribumi dengan identitas sembarangan, apalagi seorang tahanan ke negara kita, Kolonel, tapi tempat yang menjadi tujuanku itu, banyak budak dan buruh pribumi yang tinggal di sana."

Paul mengernyitkan dahi dan memijit pangkal hidungnya, memikirkan ke mana Xander dan gadis yang dibicarakannya akan pergi. Ia membalikkan badan menghadap jendela, merasakan hembusan angin yang membawa kesejukan pada siang yang panas ini, menatap langit biru yang cerah dengan gumpalan awan yang berarak beriringan bagai permen kapas putih bersih. Langit yang sama dengan tempat Senja kini berada.

***

Menjelang tengah hari itu, tubuh Senja terikat tali tambang dengan simpul yang cukup kuat, mulutnya dibekap dengan kain putih, sehingga saat gadis itu mencoba untuk berbicara—yang keluar dari bibir indahnya hanyalah erangan yang nyaris tidak terdengar.

Ia diangkut oleh kereta kuda agar tidak dicurigai, menghindari pos penjagaan yang akan memeriksa setiap kendaraan dinas yang melintas. kereta yang membawanya melaju lamban—tersentak, berderak, dan tersandung di perjalanan yang menjemukan.

Di dalam kereta, setelah beberapa kali usaha, jari-jari Senja mencengkram pada sebuah tali kulit—menjaga agar tubuhnya tidak bertubrukan dengan dinding kayu setiap kali keretanya beguncang keras. Tiba-tiba saja, terdengar suara Gerungan mobil yang mendekat dan memotong jalan, membuat kuda meringkik karena panik dan tidak bisa dikendalikan oleh kusir.

Kereta itu hilang keseimbangan dan jatuh terbalik, membuat Senja ikut terpental ke pojokan, darah mengalir dari pelipisnya yang sedikit sobek karena tergores sesuatu yang tajam, di akhir kesadarannya.

Ia menangkap sosok pria berperawakan seperti orang Belanda membuka pintu kereta, berkali-kali Senja mengerjapkan kedua matanya, sampai semua yang dilihatnya menjadi gelap, dan gadis itu tidak sadarkan diri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status