Home / Romansa / Gadis yang Tertawan / Gadis yang Tertawan bab 5

Share

Gadis yang Tertawan bab 5

Author: Mariposa
last update Last Updated: 2023-10-11 20:28:00

Dari sekian banyak wajah yang ada dalam mimpi Senja, wajah seorang laki-laki berusia lima puluh tahunan muncul dalam alam bawah sadarnya. Ekspresi yang ditunjukkan lelaki itu saat bertemu dengan Senja terlihat puas dan bahagia.

Gadis itu sama sekali tidak menyukainya, lelaki itu datang bersama Rutger tepat saat Senja ingin meraih batang lilin di dekat pintu sel. Ia yang saat itu sedang tidak fokus dan dalam suasana hati yang kacau, tidak menyadari kedatangan dua orang yang sangat ia benci sampai ke urat nadinya.

Rutger mencengkram pergelangan tangan Senja dan membuang lilin sejauh yang ia bisa, rencana untuk bunuh diri pun kandas.

Si lelaki tertawa melihat Senja yang menderita—padahal, dulu ia sangat mendambakan gadis itu untuk menjadi bagian dari keluarganya. Meskipun sudah menduga, Senja masih saja merasa sakit di bagian jantungnya, bagai ada sebuah pedang yang menghujam dan menembus berkali-kali. Gadis itu sampai tidak bisa menangis lagi karena terlalu kecewa dan marah.

"Kamu pasti senang melihatku lagi, Senja," ucap lelaki itu sambil terkekeh.

Sedangkan Senja—gadis itu diam tidak bisa berkata-kata.

"Sudah kubilang, seharusnya kamu dan keluargamu menurut saja dengan apa yang sudah kukatakan. Inilah akibat dari sifat keras kepala dan terlalu naif! Kamu pikir ancamanku hanya sekedar kata-kata?"

Lelaki itu berjalan mendekati sel Senja dan memperhatikan gadis itu dengan seksama.

Senja mundur sampai punggungnya menyentuh dinding.

"Lihat saja, aku akan membuatmu hancur! Aku akan membalas dendam untuk orang tua dan saudara-saudaraku! Akan aku buat kamu dan anakmu lebih sengsara dari apa yang sudah aku alami!" ancam Senja dengan nadanya berapi-api.

Kedua orang itu tertawa terbahak-bahak, Rutger memberikan isyarat berupa tepukan tangan. Tiba-tiba beberapa orang mendekat membawa tandu. Senja dapat melihat kalau di atas tandu itu ada seseorang, tetapi tubuhnya tertutup oleh selembar kain putih.

Saat Rutger membuka pintu sel Senja agr lebih lebar, tandu berisikan orang itu ikut dimasukkan, dan ketika kainnya disingkap, Senja menjerit ngeri melihat sesosok mayat dengan luka bakar.

"Bagaimana caramu membalas dendam Senja? Katakan padaku bagaimana caranya? Kamu lebih baik berdoa, karena setelah ini, hidupmu akan lebih sengsara!"

Lelaki itu mengeluarkan sesuatu dari palik beskapnya.

"Pergilah dengan tenang Senja, aku akan mengurus seluruh hartamu dengan baik."

Setelah si lelaki mengatakan itu semua, badan Senja diseret keluar hingga tersungkur-sungkur. Saat Senja menengok, api sudah berkobar di satu titik dalam selnya, Senja berteriak ingin menyebut nama lelaki itu. Namun, ia terbangun dari tidurnya dengan terengah-engah.

Keringat membanjiri setiap inchi dari tubuhnya, nama itu terus terngiang di dalam kepalanya, Senja mengedarkan pandangan, ketika sudah sepenuhnya sadar—ia mendapati sedang berada di sebuah kamar yang rapih dan bersih. Gadis itu menampar pipinya guna memastikan, sakit.

"Ini bukan mimpi! Di mana aku?"

Senja bangun dari kasur yang membuatnya tertidur semalaman. Ia berlari ke arah jendela dan membukanya, saat ini ia berada di lantai dua di sebuah rumah, ia bisa mengira dari jarak kamarnya ke tanah cukup tinggi.

Hamparan rumput hijau dan beberapa macam bunga mawar mampu menyegarkan mata Senja setelah berhari-hari dalam penjara, jauh di sana, ada hutan senyap dengan pohon pinus berjejer rapi. Kendati udara dingin dan lembab, langit begitu cerah.

Matahari bersinar terang, tenang dan indah. Sadar dari ketakjubannya, ia segera waspada dan kepalanya dipenuhi pertanyaan. Terakhir kali, yang gadis itu ingat adalah ia sedang berada di kereta kuda.

Di ruangan lain di rumah yang sama. Xander dan Leenjte duduk dekat jendela kaca besar, mereka menikmati kopi hitam yang masih mengepulkan uap panas. Xander sibuk dengan kertas-kertas yang ada di tangannya, lelaki itu membaca lembar demi lembar dengan seksama.

Fokusnya teralihkan dengan suara pintu yang dibuka, mucul Leon dengan baju santainya—memakai setelah piyama biru dengan mantel berwarna senada, sangat kontras dengan kedua temannya yang masih memakai seragam militer lengkap. Leon membawa Senja saat hendak dipindahkan ke rumah Rutger yang ada di batas kota selatan.

"Gadis itu sudah bangun?" tanya Leenje membuka obrolan.

Leon mendekat dan duduk di tepat di hadapan Xander.

"Sepertinya belum, tapi aku sudah menyuruh pelayan untuk memberi kabar seandainya gadis itu sudah bangun."

"Kau ingin melihatnya, Leenjte?" tanya Leon seraya menuangkan satu sendok gula ke dalam kopinya.

Leenjte memperhatikan Xander untuk sesaat, temannya itu mulai meletakkan kertas-kertas yang dibacanya ke atas meja.

"Tidak, aku tidak tertarik."

Leon hanya mengendikkan bahunya, kemudian beralih pada Xander.

"Je bent gek, Kapten Xander!" umpat Leon.

"Ik ben gek, Leon. Je weet precies hoe ik ben!"

Bukannya tersinggung, Xander bersikap santai dan membenarkan apa yang dikatakan oleh temannya.

"Je krijgt grote problemen als je in deze zaak wordt gepakt, Xan!"

Kali ini Leentje yang mengingatkan betapa seriusnya kalau Xander terlibat lebih jauh lagi dalam kasus ini.

"Sejak kapan kau memperdulikan kaum pribumi, Xan, Setahuku, Maximilian Xander Van Dijk tidak akan pernah mau berurusan dengan masalah mereka," tambah Leon dan membenarkan perkataan Leenjte.

"Je hebt gelijk, Leon. Aku memang tidak suka dengan kaum pribumi, tapi aku lebih tidak suka memiliki hutang budi pada mereka."

Xander memasukkan pipa rokok dari bahan perak dengan ujung yang terbuat dari gading gajah. Ia menghisap lama dan dalam dengan mata terpejam, sementara asap keluar melalui lubang hidungnya membentuk bulatan-bulatan kecil yang sirna terbawa angin.

Seketika tercium lah aroma cengkeh dan rempah-rempah manis di ruang kerja Leon. Leon dan Leenjte saling pandang, meski enggan, keduanya tetap membantu rencana Xander yang memiliki risiko tinggi. Sejak memutuskan untuk berteman, mereka bertiga selalu ada saat saling membutuhkan.

"Jadi, kau mengancam mayor Rutger dengan bukti tindakan korupsinya?" tanya Leenje.

"Ja, itu adalah cara yang ampuh, bukan?"

Leon hanya menggelengkan kepala mendengar jawaban Xander.

"Tugasku sudah selesai, Xander. Aku sudah menyiapkan apa saja yang akan aku titipkan padamu."

Ia mengambil sebuah kotak yang ada di meja kecil di sampingnya.

"Aku akan membawanya, tapi apa kau yakin dia akan menerima pemberianmu?" tanya Xander seraya mengernyitkan dahinya.

"Ik heb er alle vertrouwen in!"

Leon tersenyum lebar, ia memang lelaki dengan tingkat kepercayaan diri yang tinggi.

"Kau masih mengejar dia, Leon?" tanya Leentje yang ikut menghisap rokok bersama Xander.

"Gadis itu pantas diperjuangkan, Leentje," jawab Leon santai, wajahnya berseri-seri.

Seorang pelayan datang dan membungkuk hormat, memberikan kabar kalau Senja sudah bangun dari tidurnya, Leon hanya mengangguk dan menyuruh pelayannya untuk ke kamar gadis itu lebih dulu. Ia memandang temannya yang kini tengah memakai mantel dan siap-siap untuk pergi.

"Kau tidak ingin menemui gadis itu, Xan?"

"Aku tidak tertarik, aku harus segera pulang dan mengurus banyak hal untuk keberangkatanku lusa nanti."

Xander bangun dari duduknya, diikuti dengan Leenjte. Mereka berdua berlalu dan meninggalkan ruang kerja Leon. Tanpa membuang waktu, Xander segera mengendarai mobilnya ke suatu tempat. Butuh satu jam perjalanan untuk sampai ke salah satu desa yang letaknya di kota Buitenzorg itu.

"Setelah masalah ini selesai, aku dapat menyelesaikan pekerjaanku dan kembali ke Rotterdam dengan tenang."

Xander melihat keluar, ke rumah-rumah sederhana yang dikapur putih dengan serambi depan yang lebar. Pagar-pagarnya hanya terbuat dari bambu atau tanaman. Sampai ia tiba pada rumah yang paling besar dengan halaman yang sangat luas.

Saat ia turun dari mobilnya, seorang gadis cantik terlihat berdiri dengan bersandar di salah satu pilar, Xander tersenyum lembut seraya memperhatikan. Gadis itu memakai gaun putih dari bahan satin lembut tanpa lengan, rambutnya ikal dan pirang kecoklatan, diikat sebagian menggunakan pita yang menjuntai.

Sepasang mata hitamnya menatap Xander dengan sangat antusias dan binar bahagia, seulas senyuman menambah kecantikannya.

Gadis itu memeluk Xander dengan hangat.

"Selamat datang di rumah."

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
sugi ria
serasa dibawa kembali ke masa lalu, bagus sekali, 5 bab menyisakan banyak misteri dan tanda tanya
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Gadis yang Tertawan   Gadis yang Tertawan bab 80

    Belum pernah aku melihat perempuan yang terlihat begitu berkharisma. Usianya sudah lebih dari empat puluh, tetapi penampilannya seperti seorang gadis belia. Tubuh tinggi nan ramping itu berdiri tegak di ruang tamu seakan ratu tanpa mahkota. Dia mengenakan gaun putih panjang yang tertutup, dihias dengan rimpel yang menumpuk dan bersusun, serta lengan hanya sebatas siku. Pergelangan tangannya tersembunyi dalam sarung tangan putih dari renda. Wajahnya pucat karena terlalu putih, atau mungkin ia jarang terkena sinar matahari.Rambut coklatnya yang lurus panjang tidak dikonde tapi diatur dengan minyak mawar, menggantung tenang di punggung sementara ia berjalan ke arahku. Aku merasa pusing karena wewangian yang ia pakai, tercampur bau dari buket-buket mawar yang memenuhi ruangan. Dengan sopan ia mengulurkan tangannya kepadaku. Kusambut dengan rasa gugup, aku dapat merasakan jari-jari tangannya panjang dan ringkih. "Kenalkan, aku Helena Jacques. Ibu kandung dari Maxwell, kau pasti Senja,

  • Gadis yang Tertawan   Gadis yang Tertawan bab 79

    "Kau tau wanita yang sedang kau ancam? Jika kau lupa akan aku ingatkan. Dia adalah Mademoiselle Demesringny, dan dia datang bersamaku!" Sebenarnya siapa Rosie? Aku bertanya-tanya dalam hati. Sudah berbulan-bulan kami saling mengenal. Dan yang aku tahu, wanita cantik yang kini terlihat mengejek pria bernama sir Lynch itu terlihat santai. Tidak merasa terdiskriminasi oleh tatapan yang seolah-olah siap menerkam. 'Rosie sudah memiliki kekasih? Apa pria itu Maxwell. Jika iya, alangkah sempurnanya mereka bersandiwara untuk menutupi hubungan.' Aku terus berpikir, hingga aku tersentak kala terdengar gebrakan meja yang begitu kuat."Kau dan kau!" Sir Lynch mengangkat jari telunjuknya ke arah Maxwell dan Rosie dengan wajah yang merah padam. "Apa kalian pikir aku, Bocah ingusan? Camkan ini baik-baik! Kalian akan menyesal. Terutama kau, Mademoiselle Demesringny. Suatu saat aku akan memastikan kau akan kalah dengan penuh penyesalan," hardik pria itu.Rosie tersenyum semakin lebar. "Ah, sayang se

  • Gadis yang Tertawan   Gadis yang Tertawan bab 78

    Selama berlayar dan ada di atas kapal, Maxwell dan perawat Rosie mengajarkan aku banyak hal. Kebetulan aku fasih berbahasa Belanda, mengingat aku pernah mengenyam pendidikan di sekolah ternama. Orang tuaku yang seorang priyayi, sangat mampu untuk membiayai pendidikan anak-anaknya. Namun sayang, takdir berkata lain. Semua kemewahan yang kami miliki, lenyap hanya dalam satu malam. "Uhhh, tanganmu kasar sekali, Dara. Bekas lukanya tak kunjung hilang. Lihat, wajahmu pun ada bekas jahitan. Rambutmu sedikit kusam, dan warna kulitmu kecoklatan." Perawat Rosie sibuk menelisik penampilanku. Ia akan menggeleng jika menemukan kekurangan. Mulai dari rambut hingga kaki, semuanya tak luput dari pemeriksaannya. Aku hanya bisa pasrah, dan Maxwell sesekali memperhatikan kami. Ia sibuk dengan buku yang ada di tangannya."Ohh, sungguh. Aku tidak sabar ingin segera tiba di tempat tujuan. Aku berjanji akan merubah penampilanmu. Dasarnya kau memang cantik, pasti tidak akan sulit. Lagipula, aku yakin mad

  • Gadis yang Tertawan   Gadis yang Tertawan bab 77

    Hari hampir siang saat kapal SS Nieuw Amsterdam siap untuk berlayar. Kapal itu berwarna abu, putih, bercampur biru. Tampak gagah dan besar, di atasnya terdapat sebuah tiang yang mengeluarkan asap kehitaman yang terbawa angin di dermaga. Aku menatap kagum, meski ada sedikit rasa takut akibat trauma masa lalu.Di sampingku Diah tergugu dengan tubuh yang sedikit bergetar. Matanya tampak bengkak, dengan pangkal hidung yang terlihat merah. Sedangkan mba Sidja lebih bisa menguasai diri, meski jejak air mata sangat kentara di wajahnya yang selalu memancarkan ketulusan. Begitu teduh dan nyaman.Ini adalah bagian yang aku benci, karena setiap pertemuan pasti akan ada yang namanya perpisahan. Kedua wanita ini yang selalu membersamai diriku. Sudah menjadi teman untuk segala keluh kesahku. Dalam canda, dalam tawa, dalam suka maupun duka."Mba tega meninggalkanku? Kita datang ke tempat ini bersama-sama, dan sekarang, Mbak, ingin pergi lebih dulu?" Aku menghel

  • Gadis yang Tertawan   Gadis yang Tertawan bab 76

    POV DARAEntah nyata atau hanya mimpi. Dalam sinar mentari yang terbit di pagi ini, hatiku bergemuruh. Saat ini darahku seakan tak mengalir, saat ini detak jantung seakan berhenti, dan pikiranku dijejali oleh ribuan pertanyaan. Tanganku bergetar tatkala memegangi sepucuk surat yang akhirnya datang padaku. Mataku mengembun, dan bersamaan bulir bening yang menetes di pipi, maka tumpahlah segala isi hati. Entah bagaimana caranya aku bisa mengekspresikan kebahagiaan ini."Aku bebas?" tanyaku yang masih tidak percaya.Inilah hari yang aku nantikan. Tak ada lagi beban, tak ada lagi siksaan, tak ada lagi Kungkungan. Di setiap hela nafas ini, aku merasakan kehidupan yang baru. Kini, waktu tak lagi berlari. Karena aku sudah bebas dalam pikiran, angan, dan kebahagiaan. "Selamat, Dara. Kau sudah jadi orang yang merdeka." Maxwell merentangkan kedua tangannya, dan aku menghambur ke dalam pelukannya yang hangat. Lelaki ini menepati semua janjinya kepadaku. Membuktikan kalau dia bersungguh-sunggu

  • Gadis yang Tertawan   Gadis yang Tertawan bab 75

    "Kau pulang terlambat, Dara." Maxwell berdiri seraya menyandarkan dirinya pada sebuah tiang besar yang ada di selasar, melipat kedua tangannya di depan dada, sambil memperhatikan Dara yang berjalan menaiki anak tangga."Maaf, Ell. Apa aku membuatmu cemas?" tanya Dara hati-hati, wajah Maxwell yang bermandikan cahaya dari lampu kekuningan tampak dingin, apalagi mengetahui orang yang mengantar gadis itu pulang sampai depan pagar."Tentu saja aku sangat mengkhawatirkanmu, aku sengaja pulang lebih cepat agar kita bisa makan malam bersama. Tapi kata orang rumah, kau belum juga sampai." Maxwell segera membawakan buku-buku yang menumpuk di tangan Dara."Sekali lagi maafkan aku, Ell. Aku lupa waktu kalau sedang membaca buku. Kau pernah berkata, bukan? Kalau sudah waktunya untukku merubah diri menjadi lebih baik." "Mari masuk," ajak Maxwell saat seorang pelayan membukakan pintu setinggi dua meter setengah untuk mereka. "Dan kau memilih menambah pengetahuan lewat buku-buku ini? Jika demikian, t

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status