Leon memijit pelipisnya yang terasa pusing, kali ini sahabatnya—Xander, telah memberikan tugas yang sulit. Membawa tahanan ke rumahnya, dan sekarang gadis itu baru saja berulah dengan rencana ingin melarikan diri.
Leon bersandar pada tembok berkapur putih bersih, memandangi Senja yang tidk sadarkan diri dan kini berbaring di atas kasur, rambut panjangnya terurai di bantal.Beruntung kain yang membebat tubuh ramping Senja terikat kuat, sehingga Leon berhasil menarik gadis itu kembali. Namun, kepala Senja cukup keras membentur dinding batu, sehingga gadis itu tidak sadarkan diri—untuk kedua kalinya. Leon berharap agar Senja tidak mengalami amnesia. Lelaki itu mengambil sebuah kotak cigarettes dari saku piyamanya, menghidupkan satu batang dan menghisapnya.Leon telah mengabarkan kejadian ini kepada Xander, dan sahabatnya itu berpesan untuk menyampaikan sesuatu pada Senja, agar gadis itu tidak melakukan hal-hal yang ceroboh dan tidak berguna. Leon menyipitkan matanya saat melihat gerakan halus dari Senja, ia mematikan cigarettes yang baru disesapnya. Membuat puntung nikotin itu pada asbak yang ada di nakas."Kau sudah sadar?" Leon bertanya saat Senja berusaha membuka matanya yang terasa berat.Gadis itu merasakan sakit pada bagian belakang kepalanya, ia mencoba bangun perlahan dengan menggunakan kedua siku sebagai tumpuan, saat kesadarannya sudah sepenuhnya kembali, Senja mendapati Leon berdiri di sisi kanannya, ia terperanjat, mundur hingga punggungnya menyentuh kepala dipan."S—siapa kau?"Leon baru dua kali melangkahkan kakinya saat Senja mulai berbica dengan wajah takutnya."Jangan mendekat!""Jangan mendekat? Ini rumahku, Nona, bagaimana mungkin kau melarangku?" Leon mengacuhkan Senja dan berdiri di ambang ranjang. "Aku Kapten Leon, dan aku tidak ada niat jahat, oke."Senja mengambil bantal dan mendekapnya dengan sangat erat, menyalurkan ketakutan pada benda empuk tersebut."Aku tidak kenal kau, mengapa aku bisa ada di tempat ini? Kau ingin berbuat macam-macam padaku? Kalian tidak puas menyiksaku, ha? Bunuh saja aku, aku tidak tahan lagi!"Air mata gadis itu luruh disertai isakan yang membuat bahunya berguncang. Sungguh, Senja sudah lelah dengan semua kejadian yang menimpanya.Leon mengambil segelas air dan menyodorkan pada Senja. "Tenanglah, Nona, sudah aku bilang, aku tidak ada niat buruk. Kalau aku berniat berbuat macam-macam padamu, aku sudah melakukannya dari kemarin, minumlah dan tenangkan dirimu. Aku akan menjelaskan semuanya."Senja tetap bergeming, kini tangannya ikut bergetar saat ia mengusap air matanya menggunakan jari telunjuknya. "Katakan, katakan apa maksudmu?!""Kau kenal dengan seorang wanita bernama nyai Aminah?" tanya Leon, ia meletakkan gelas yang ditolak Senja ke tempat semula.Senja memegang kepalanya yang bertambah pusing saat ia mulai mengingat. Ya, gadis itu sekarang ingat siapa nyai Aminah. "Apa hubungannya dengan beliau?""Dia memintaku untuk menolongmu. Dengar, Senja! Kamu mau selamat atau hidup dalam pelarian? Tidak, bukan itu. Hal terburuknya, kau bisa saja berakhir sama dengan gadis yang lain. Keluargamu memang membuat kesalahan fatal, tapi ada satu hal lain yang menjadi kesalahan pribadimu." Leon memandang Senja sesaat, gadis itu mengerutkan keningnya."Wajahmu itu. Ya, wajahmu itu membawamu dalam masalah lain, aku mengakui kamu adalah gadis yang cantik. Namun, itu tidak akan menjadi kelebihanmu saat kau berada dalam situasi ini, sadarlah, Nona. Masa jayamu sudah berakhir. Kau sudah tidak memiliki apa-apa lagi, kau akan terus terkurung ... atau Rutger bisa saja menjualmu ke pengusaha kaya raya di Amsterdam saat ia mulai bosan dengan tubuhmu."Terdengar bunyi gemeletuk dari gigi yang saling beradu. Air muka Senja menjadi keras saat mengingat Rutger dan pria itu—pria yang Senja temui terakhir kali saat di penjara."Apa maksudmu? katakan intinya.""Nyai Amina … beliau mengetahui permasalahanmu, Nona, dan beliau ingin membantumu. Tapi, kau harus setuju jika ingin tetap hidup, karena jika kau tetap di sini, dan atasan kami mengetahui semua ini. Mereka tidak akan membiarkanmu, mati saja tidak akan cukup untukmu." Leon menyilangkan lengannya di depan dada.Senja mulai merangkai semua peristiwa yang ia alami, gadis itu cukup pintar untuk mengerti ucapan Leon. Ya, saat ini ia pasti dikira sudah meninggal, mengingat seorang dengan luka bakar menggantikan posisinya."Apa yang nyai Aminah rencanakan, dan siapa kau, Tuan?"Leon menunjuk dirinya sendiri. "Aku Leon, tidak perlu banyak bertanya, cukup dengar dan jalani saja."***Siang itu, matahari bersinar terang, cahayanya mewarnai buih ombak dengan warna keperakan. Menara pelabuhan memberi isyarat masuknya kapal bertiang tiga—milik maskapai Rotterdamsche Llyod, kapal itu mendekat dengan perlahan-lahan sekali. Pelabuhan segera penuh sesak oleh orang-orang yang sekedar ingin menonton, juga para kuli panggul yang bersiap menjemput rezeki dengan mengangkut barang penumpang.USS Tjisondari yang berlayar dari Hindia-China-Jepang, bersandar di salah satu dermaga. Di sampingnya, SS Voorwaarts bersiap untuk berangkat berlayar ke benua Amerika. Xander berada di sana, berdiri di sisi mobil Jeep yang Leenjte kendarai. Tanpa sengaja, saat Leon sedang menurunkan barang-barang milik Xander. Ia mendapati Senja yang sedang antri masuk ke kapal. Leon yang telah mengetahui wajah Senja menyikut lengan Xander."Zie je dat meisje, Xander." Leon menepuk bahu Xander dan menunjuk pada barisan para budak."Terlalu banyak gadis, mana yang kau maksud? tanya Xander malas."Gadis yang memakai kebaya hijau, yang paling cantik. Kau tahu? Zij is Dara."Xander dan Leentje spontan menoleh pada gadis yang Leon maksud. Ia melihat Senja alias Dara untuk pertama kalinya.Hembusan angin pantai menerbangkan rambut hitam bergelombang Senja. Kebaya hijau yang ia pakai, pas membalut tubuhnya yang indah. Sekilas Xander memperhatikan wajah Senja. Namun, belum puas ia menilai, Senja sudah memakai selendang dan menutupi kepalanya untuk mengurangi rasa panas dari terik matahari."Cantik, bukan? tanya Leon memastikan."Entahlah, aku hanya melihatnya sekilas." Xander mengangkat bahunya seakan acuh, tetapi di dalam hatinya ia cukup penasaran."Gadis itu terlalu jauh, Leon, dan kami tidak bisa melihatnya dengan jelas," tambah Leentje."Ah, sayang sekali." Leon mengendikkan bahunya."Mereka akan sering bertemu di kapal nanti, Leon," ucap Leenjte setelah mengeluarkan barang terakhir.Leon mengangguk, tatapannya mengikuti langkah Senja yang terayun melewati titian papan. "Ya, kau benar sekali.""Semoga selamat sampai tujuan, Teman." Leenjte memeluk singkat Xander."Dankjewel, Leenjte. zorg goed voor jezelf.""we zullen je missen, Xan." Sama dengan Leenjte, Leon memeluk Xander sebelum ketiganya berpisah.Cahaya jingga terakhir baru saja lenyap digulung malam ketika kapal SS Voorwaarts mulai berlayar, digantikan dengan kemerlap jutaan bintang yang berkilauan dengan warna perak yang memukau. Hari itu, Leonidas Damian Castex dan Leentje Lieberman—melepaskan kepergian sahabatnya di dermaga Tanjdung Perioek menuju Paramaribo.Sebuah perjalanan yang akan mengubah dunia Maximilian Xander Van Dijck, dan awal bagi seorang gadis yang bernama Senja menjadi Dara.Senja tak kuasa menahan airmata, untuk pertama kali dalam hidupnya, ia akan pergi seorang diri tanpa keluarga. Bahkan ia tidak tahu seberapa jauh kapal dengan ratusan penumpang ini akan membawanya. Yang ia tahu, sebuah tempat bernama Suriname akan menjadi tujuannya.Rasa sakit meremas-remas tepat pada jantung gadis itu. Ia meninggalkan sebagian jiwanya di perairan Batavia."Nanti aku akan pulang," lirih Senja.Sementara di tengah kerumunan orang-orang yang menyaksikan kapal mulai meninggalkan dermaga, seorang pria tampan berpakaian perlente menyaksikan itu dengan perasaan berkecamuk di dalam dadanya. Tanpa terasa, bulir bening menetes, hatinya merasa sakit, kini harapannya kandas."Apa kita bisa bertemu lagi nanti, kau pergi semakin jauh, Senja."Belum pernah aku melihat perempuan yang terlihat begitu berkharisma. Usianya sudah lebih dari empat puluh, tetapi penampilannya seperti seorang gadis belia. Tubuh tinggi nan ramping itu berdiri tegak di ruang tamu seakan ratu tanpa mahkota. Dia mengenakan gaun putih panjang yang tertutup, dihias dengan rimpel yang menumpuk dan bersusun, serta lengan hanya sebatas siku. Pergelangan tangannya tersembunyi dalam sarung tangan putih dari renda. Wajahnya pucat karena terlalu putih, atau mungkin ia jarang terkena sinar matahari.Rambut coklatnya yang lurus panjang tidak dikonde tapi diatur dengan minyak mawar, menggantung tenang di punggung sementara ia berjalan ke arahku. Aku merasa pusing karena wewangian yang ia pakai, tercampur bau dari buket-buket mawar yang memenuhi ruangan. Dengan sopan ia mengulurkan tangannya kepadaku. Kusambut dengan rasa gugup, aku dapat merasakan jari-jari tangannya panjang dan ringkih. "Kenalkan, aku Helena Jacques. Ibu kandung dari Maxwell, kau pasti Senja,
"Kau tau wanita yang sedang kau ancam? Jika kau lupa akan aku ingatkan. Dia adalah Mademoiselle Demesringny, dan dia datang bersamaku!" Sebenarnya siapa Rosie? Aku bertanya-tanya dalam hati. Sudah berbulan-bulan kami saling mengenal. Dan yang aku tahu, wanita cantik yang kini terlihat mengejek pria bernama sir Lynch itu terlihat santai. Tidak merasa terdiskriminasi oleh tatapan yang seolah-olah siap menerkam. 'Rosie sudah memiliki kekasih? Apa pria itu Maxwell. Jika iya, alangkah sempurnanya mereka bersandiwara untuk menutupi hubungan.' Aku terus berpikir, hingga aku tersentak kala terdengar gebrakan meja yang begitu kuat."Kau dan kau!" Sir Lynch mengangkat jari telunjuknya ke arah Maxwell dan Rosie dengan wajah yang merah padam. "Apa kalian pikir aku, Bocah ingusan? Camkan ini baik-baik! Kalian akan menyesal. Terutama kau, Mademoiselle Demesringny. Suatu saat aku akan memastikan kau akan kalah dengan penuh penyesalan," hardik pria itu.Rosie tersenyum semakin lebar. "Ah, sayang se
Selama berlayar dan ada di atas kapal, Maxwell dan perawat Rosie mengajarkan aku banyak hal. Kebetulan aku fasih berbahasa Belanda, mengingat aku pernah mengenyam pendidikan di sekolah ternama. Orang tuaku yang seorang priyayi, sangat mampu untuk membiayai pendidikan anak-anaknya. Namun sayang, takdir berkata lain. Semua kemewahan yang kami miliki, lenyap hanya dalam satu malam. "Uhhh, tanganmu kasar sekali, Dara. Bekas lukanya tak kunjung hilang. Lihat, wajahmu pun ada bekas jahitan. Rambutmu sedikit kusam, dan warna kulitmu kecoklatan." Perawat Rosie sibuk menelisik penampilanku. Ia akan menggeleng jika menemukan kekurangan. Mulai dari rambut hingga kaki, semuanya tak luput dari pemeriksaannya. Aku hanya bisa pasrah, dan Maxwell sesekali memperhatikan kami. Ia sibuk dengan buku yang ada di tangannya."Ohh, sungguh. Aku tidak sabar ingin segera tiba di tempat tujuan. Aku berjanji akan merubah penampilanmu. Dasarnya kau memang cantik, pasti tidak akan sulit. Lagipula, aku yakin mad
Hari hampir siang saat kapal SS Nieuw Amsterdam siap untuk berlayar. Kapal itu berwarna abu, putih, bercampur biru. Tampak gagah dan besar, di atasnya terdapat sebuah tiang yang mengeluarkan asap kehitaman yang terbawa angin di dermaga. Aku menatap kagum, meski ada sedikit rasa takut akibat trauma masa lalu.Di sampingku Diah tergugu dengan tubuh yang sedikit bergetar. Matanya tampak bengkak, dengan pangkal hidung yang terlihat merah. Sedangkan mba Sidja lebih bisa menguasai diri, meski jejak air mata sangat kentara di wajahnya yang selalu memancarkan ketulusan. Begitu teduh dan nyaman.Ini adalah bagian yang aku benci, karena setiap pertemuan pasti akan ada yang namanya perpisahan. Kedua wanita ini yang selalu membersamai diriku. Sudah menjadi teman untuk segala keluh kesahku. Dalam canda, dalam tawa, dalam suka maupun duka."Mba tega meninggalkanku? Kita datang ke tempat ini bersama-sama, dan sekarang, Mbak, ingin pergi lebih dulu?" Aku menghel
POV DARAEntah nyata atau hanya mimpi. Dalam sinar mentari yang terbit di pagi ini, hatiku bergemuruh. Saat ini darahku seakan tak mengalir, saat ini detak jantung seakan berhenti, dan pikiranku dijejali oleh ribuan pertanyaan. Tanganku bergetar tatkala memegangi sepucuk surat yang akhirnya datang padaku. Mataku mengembun, dan bersamaan bulir bening yang menetes di pipi, maka tumpahlah segala isi hati. Entah bagaimana caranya aku bisa mengekspresikan kebahagiaan ini."Aku bebas?" tanyaku yang masih tidak percaya.Inilah hari yang aku nantikan. Tak ada lagi beban, tak ada lagi siksaan, tak ada lagi Kungkungan. Di setiap hela nafas ini, aku merasakan kehidupan yang baru. Kini, waktu tak lagi berlari. Karena aku sudah bebas dalam pikiran, angan, dan kebahagiaan. "Selamat, Dara. Kau sudah jadi orang yang merdeka." Maxwell merentangkan kedua tangannya, dan aku menghambur ke dalam pelukannya yang hangat. Lelaki ini menepati semua janjinya kepadaku. Membuktikan kalau dia bersungguh-sunggu
"Kau pulang terlambat, Dara." Maxwell berdiri seraya menyandarkan dirinya pada sebuah tiang besar yang ada di selasar, melipat kedua tangannya di depan dada, sambil memperhatikan Dara yang berjalan menaiki anak tangga."Maaf, Ell. Apa aku membuatmu cemas?" tanya Dara hati-hati, wajah Maxwell yang bermandikan cahaya dari lampu kekuningan tampak dingin, apalagi mengetahui orang yang mengantar gadis itu pulang sampai depan pagar."Tentu saja aku sangat mengkhawatirkanmu, aku sengaja pulang lebih cepat agar kita bisa makan malam bersama. Tapi kata orang rumah, kau belum juga sampai." Maxwell segera membawakan buku-buku yang menumpuk di tangan Dara."Sekali lagi maafkan aku, Ell. Aku lupa waktu kalau sedang membaca buku. Kau pernah berkata, bukan? Kalau sudah waktunya untukku merubah diri menjadi lebih baik." "Mari masuk," ajak Maxwell saat seorang pelayan membukakan pintu setinggi dua meter setengah untuk mereka. "Dan kau memilih menambah pengetahuan lewat buku-buku ini? Jika demikian, t