Share

Gadis yang Tertawan bab 6

"Ik mis je echt, Xera." Lengan kekar Xander melingkari pinggang ramping Xera—saudari satu ayah beda ibu. 

"Ik mis jou ook, Kakak." Xera membalas pelukan kakaknya dengan kaki yang berjinjit. 

"Apa yang, Kakak, bawa?" Ia memandang dengan mata yang berbinar pada kotak berwarna merah muda yang Xander bawa, berharap kakak pertamanya yang sangat tampan ini, membawakan ia hadiah seperti biasanya.

"Dit is een cadeau voor jou, van Leon." Xander menyerahkan kotak itu pada Xera. 

Namun, adiknya memasang wajah cemberut yang cendrung menggemaskan di matanya. "Ada apa, hmm?" 

"Aku kira hadiah ini dari, Kakak, belakang ini kau jarang membawakan aku sesuatu." Xera mengeluh, tetapi ia tetap menerima hadiah yang diserahkan kepadanya.

"Maaf, Liev, belakang ini aku senang banyak pekerjaan, lain kali aku akan memberikan apa pun yang kamu inginkan." 

"Benarkah? Dank je, Broer." Xera menggelayut manja di tangan Xander. 

Bahkan, gadis berparas cantik nan ceria itu mengerlingkan matanya beberapa kali, membuat Xander tersenyum dan mencium pucuk kepalanya.

"Aku berjanji, sekarang katakan, di mana mamelie, hmm?" 

"Mama ada di serambi belakang. Ayo, biar aku antarkan." Xera membawa kakaknya ke tempat ibu mereka, tepatnya—ibu kandung Xera sendiri. Gadis itu tetap menggandeng kakaknya dengan manja.

Xander berjalan dengan langkah yang tegap, sedangkan Xera berjalan dengan langkah yang anggun. Keduanya berjalan beriringan, melewati ruangan yang memiliki ukuran cukup luas, dengan beberapa buffett kayu jati yang berdiri kokoh—menyinpan berbagai piring dan cangkir keramik, serta sofa-sofa yang terbuat dari kulit atau beludru.

Beberapa pelayan yang baru saja bekerja di rumah itu, mencuri pandang pada tuan mereka. Kali ini mereka beruntung karena bisa melihat langsung, karena biasanya, mereka mereka hanya melihat Xander dari lukisan yang terpajang di atas piano ruang utama.

Dalam lukisan itu, Xander duduk di atas kuda yang bersurai hitam—lengkap dengan seragam militer dan tanda kepangkatannya, tidak ada senyuman. Namun, mampu menyihir untuk memandang lama-lama bagi siapa pun yang melihat lukisan tersebut.

Xander dan Xera berbelok ke sisi kiri melewati lorong sepanjang sepuluh meter menuju serambi belakang. Lelaki itu mengedarkan pandangannya ke arah halaman, rumput hijau padat dan pohon asam di kiri-kanan yang tampak teduh, juga dipenuhi tanaman bugenvil yang sedang bermekaran. Tapi, ia tidak mendapati sosok wanita yang ia cari.

"Sedang mencari seseorang?"

Suara yang ada di balik punggungnya terdengar sangat familiar di telinga Xander, ia tersenyum sangat tipis dan memutar tubuhnya untuk melihat langsung pada orang itu, saat mata mereka bersiborok, Xander langsung menghampiri dan memeluk dengan hangat.

"Maafkan aku karena baru bisa pulang, Mamelie."

"Aku hampir lupa kalau aku memiliki anak lelaki." Nyai Aminah yang notabene ibu sambungnya, membingkai wajah Xander setelah lelaki itu melepaskan pelukannya.

"Ada yang ingin aku bicarakan pada, Mamelie." Xander kini menjadi serius, lalu ia beralih pada Xera. "Maaf, Liev, bisakah kau memberi waktu pada kami untuk berbicara empat mata saja?" 

"Ja, aku permisi ke kamarku." Xera menekuk kakinya sebagai simbol kesopanan orang Eropa yang diajarkan oleh ayahnya dulu. Setelah gadis itu tidak terlihat lagi, Xander dan nyai Aminah duduk di satu set kursi jadi yang ada di sana.

"Mengenai Senja, saat pertama kali, Mamelie, mengirimiku surat. Aku berusaha mencari segala sesuatu tentang gadis itu. Singkatnya, aku telah mengambil keputusan untuk mengirimkannya ke luar negeri. Dia tidak bisa tinggal di tanah ini lagi, itu adalah upaya terbaik untuk menyelamatkannya." Xander berkata dengan perlahan seraya memperhatikan wajah ibu sambungnya yang terkesiap.

"Apa maksudmu, Ian? Mengapa harus luar negeri?"

"Entah benar atau tidak, tuduhan yang dilayangkan kepada keluarga gadis itu adalah salah satu tindakan untuk mengganggu fungsi pemerintah. Pada surat yang saat ini ada di Raad Van justitie, ada sebuah daftar orang-orang yang terlibat dalam mendanai para pemberontak, bukan hanya itu saja, cap keluarga Senja juga di temukan dalam daftar tersebut." 

Xander menjeda sejenak penjelasannya saat pelayan membawakan dua gelas minuman untuk ia dan ibunya.

Setelah para pelayang pergi ia melanjutkan perkataannya.

"Parahnya, pemberontak yang mereka dukung, sudah melakukan attack onshlaught yang menyebabkan gudah senjata kami menjadi hancur, serta pencurian denah pertahanan. Untuk saat ini, gadis itu mungkin akan dikenakan pasal 105, doodstraf—hukuman mati, atau pun gevagenisstraf—penjara seumur hidup."

Xander menjelaskan panjang lebar pada nyai Aminah, berharap ibunya bisa menerima dan mengerti.

Nyai Aminah meneteskan cairan bening dari pelupuk matanya—menangisi nasib keluarga sahabatnya yang sudah sangat berjasa pada kehidupan ia dan kedua anaknya. Saat Xander berusia empat tahun, lelaki itu terjangkit malaria dan hampir merenggut nyawanya.

Ayah Senja datang memberikan bantuan beruba obat-obatan yang dapat menyembuhkan Xander. Sedangkan adik Xander yang lain, yang saat ini sedang berada di Groningen—pernah mengalami kejadian yang tidak menyenangkan.

Senja yang lebih muda tiga tahun dari adik Xander, tidak sengaja menjadi saksi dan melaporkan pada ayahnya, sehingga anak itu bisa diselamatkan. Nyai Aminah tahu ia tidak bisa berbuat banyak, ia tidak ingin membahayakan nyawa Xander jika menuntut anak sambungnya melakukan hal yang lebih lagi, ia hanya bisa pasrah.

"Mamelie, jangan khawatir, aku akan ikut dalam pelayaran, aku berjanji akan mengawasi gadis itu."

"Dank je, Ian. Aku tidak tahu ini bisa dianggap sebagai melunasi hutang nyawa kita pada mereka atau tidak." Nyai Aminah meremas jari-jemari Xander dengan lembut.

"Kita sudah mengupayakan yang terbaik, Mam." Lelaki itu mencium telapak tangan ibunya, berharap bisa mengurangi kesedian wanita itu.

Hari semakin gelap, matahari bergulir ke arah barat dengan sinarnya yang kemerah-merahan. Sekelompok burung walet terbang beriringan kembali ke sarang mereka. Sayup-sayup terdengar suara adzan berkumandang dari kejauhan, dan cahaya bulan perlahan naik menggantikan eksistensi siang. Ibunya tampan murung, tidak banyak berkata, lebih sibuk dengan pikirannya sendiri. 

***

Senja melepaskan kain sprei yang membungkus kasurnya dengan sangat rapi, gadis itu mengikat ujung sprei pada gorden yang berhasil ia tarik jatuh dengan sangat kuat. Selain itu, Senja mengganjal pintu dengan meja sudut dari kayu jati yang cukup berat, dan menambahkan beberapa perabotan lainnya. 

Sekali lagi, gadis itu menengok ke bawah jendela, memastikan para pelayan saat ini pasti tengah melakukan ibadah wajib.

Malam itu ia berencana untuk melarikan diri. Ini adalah kesempatan terbaik, ia belum tahu orang yang telah membawanya ke tempat ini. Karena siapa pun orang itu, bagi Senja, ia merasa terus dalam bahaya. Senja baru saja mengikat untaian kain pada kaki ranjang yang akan ia digunakan untuk menopang berat badannya, saat terdengar suara gagang pintu yang diputar. 

"Buka pintunya!" Seseorang mengetuk berkali-kali seraya memberi perintah pada Senja.

"Nona, apa yang sedang Anda lakukan? Kenapa pintunya diganjal seperti ini?" 

Orang itu berusaha mendorong, barang yang berada pada tumpukan paling atas terjatuh, menimbulkan suara berisik yang mengundang lebih banyak orang. 

Senja semakin panik, ia mengikat pinggangnya dengan kain sprei dan mencoba memanjat ke daun jendela. Setelah berhasil, ia menggenggam kuat dan berniat turun perlahan. Gadis itu terkejut saat hentakan keras yang diiringi meja jati bergeser sehingga pintu terbuka, terlihat Leon memegangi bahunya seraya meringis, keduanya sama-sama terkejut.

"Apa yang kau lakukan?!" Leon setengah berteriak, tidak menyangka gadis gila ini akan berbuat nekat.

Senja yang kehilangan keseimbangan, akhirnya terjatuh dengan posisi wajah menghadap tanah. 

"Aaaargghhh." Suara teriakan Senja terdengar seiring gadis itu hilang dari pandangan mata Leon.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status