Home / Romansa / Gadis yang Tertawan / Gadis yang Tertawan bab 6

Share

Gadis yang Tertawan bab 6

Author: Mariposa
last update Huling Na-update: 2023-11-07 15:23:01

"Ik mis je echt, Xera." Lengan kekar Xander melingkari pinggang ramping Xera—saudari satu ayah beda ibu. 

"Ik mis jou ook, Kakak." Xera membalas pelukan kakaknya dengan kaki yang berjinjit. 

"Apa yang, Kakak, bawa?" Ia memandang dengan mata yang berbinar pada kotak berwarna merah muda yang Xander bawa, berharap kakak pertamanya yang sangat tampan ini, membawakan ia hadiah seperti biasanya.

"Dit is een cadeau voor jou, van Leon." Xander menyerahkan kotak itu pada Xera. 

Namun, adiknya memasang wajah cemberut yang cendrung menggemaskan di matanya. "Ada apa, hmm?" 

"Aku kira hadiah ini dari, Kakak, belakang ini kau jarang membawakan aku sesuatu." Xera mengeluh, tetapi ia tetap menerima hadiah yang diserahkan kepadanya.

"Maaf, Liev, belakang ini aku senang banyak pekerjaan, lain kali aku akan memberikan apa pun yang kamu inginkan." 

"Benarkah? Dank je, Broer." Xera menggelayut manja di tangan Xander. 

Bahkan, gadis berparas cantik nan ceria itu mengerlingkan matanya beberapa kali, membuat Xander tersenyum dan mencium pucuk kepalanya.

"Aku berjanji, sekarang katakan, di mana mamelie, hmm?" 

"Mama ada di serambi belakang. Ayo, biar aku antarkan." Xera membawa kakaknya ke tempat ibu mereka, tepatnya—ibu kandung Xera sendiri. Gadis itu tetap menggandeng kakaknya dengan manja.

Xander berjalan dengan langkah yang tegap, sedangkan Xera berjalan dengan langkah yang anggun. Keduanya berjalan beriringan, melewati ruangan yang memiliki ukuran cukup luas, dengan beberapa buffett kayu jati yang berdiri kokoh—menyinpan berbagai piring dan cangkir keramik, serta sofa-sofa yang terbuat dari kulit atau beludru.

Beberapa pelayan yang baru saja bekerja di rumah itu, mencuri pandang pada tuan mereka. Kali ini mereka beruntung karena bisa melihat langsung, karena biasanya, mereka mereka hanya melihat Xander dari lukisan yang terpajang di atas piano ruang utama.

Dalam lukisan itu, Xander duduk di atas kuda yang bersurai hitam—lengkap dengan seragam militer dan tanda kepangkatannya, tidak ada senyuman. Namun, mampu menyihir untuk memandang lama-lama bagi siapa pun yang melihat lukisan tersebut.

Xander dan Xera berbelok ke sisi kiri melewati lorong sepanjang sepuluh meter menuju serambi belakang. Lelaki itu mengedarkan pandangannya ke arah halaman, rumput hijau padat dan pohon asam di kiri-kanan yang tampak teduh, juga dipenuhi tanaman bugenvil yang sedang bermekaran. Tapi, ia tidak mendapati sosok wanita yang ia cari.

"Sedang mencari seseorang?"

Suara yang ada di balik punggungnya terdengar sangat familiar di telinga Xander, ia tersenyum sangat tipis dan memutar tubuhnya untuk melihat langsung pada orang itu, saat mata mereka bersiborok, Xander langsung menghampiri dan memeluk dengan hangat.

"Maafkan aku karena baru bisa pulang, Mamelie."

"Aku hampir lupa kalau aku memiliki anak lelaki." Nyai Aminah yang notabene ibu sambungnya, membingkai wajah Xander setelah lelaki itu melepaskan pelukannya.

"Ada yang ingin aku bicarakan pada, Mamelie." Xander kini menjadi serius, lalu ia beralih pada Xera. "Maaf, Liev, bisakah kau memberi waktu pada kami untuk berbicara empat mata saja?" 

"Ja, aku permisi ke kamarku." Xera menekuk kakinya sebagai simbol kesopanan orang Eropa yang diajarkan oleh ayahnya dulu. Setelah gadis itu tidak terlihat lagi, Xander dan nyai Aminah duduk di satu set kursi jadi yang ada di sana.

"Mengenai Senja, saat pertama kali, Mamelie, mengirimiku surat. Aku berusaha mencari segala sesuatu tentang gadis itu. Singkatnya, aku telah mengambil keputusan untuk mengirimkannya ke luar negeri. Dia tidak bisa tinggal di tanah ini lagi, itu adalah upaya terbaik untuk menyelamatkannya." Xander berkata dengan perlahan seraya memperhatikan wajah ibu sambungnya yang terkesiap.

"Apa maksudmu, Ian? Mengapa harus luar negeri?"

"Entah benar atau tidak, tuduhan yang dilayangkan kepada keluarga gadis itu adalah salah satu tindakan untuk mengganggu fungsi pemerintah. Pada surat yang saat ini ada di Raad Van justitie, ada sebuah daftar orang-orang yang terlibat dalam mendanai para pemberontak, bukan hanya itu saja, cap keluarga Senja juga di temukan dalam daftar tersebut." 

Xander menjeda sejenak penjelasannya saat pelayan membawakan dua gelas minuman untuk ia dan ibunya.

Setelah para pelayang pergi ia melanjutkan perkataannya.

"Parahnya, pemberontak yang mereka dukung, sudah melakukan attack onshlaught yang menyebabkan gudah senjata kami menjadi hancur, serta pencurian denah pertahanan. Untuk saat ini, gadis itu mungkin akan dikenakan pasal 105, doodstraf—hukuman mati, atau pun gevagenisstraf—penjara seumur hidup."

Xander menjelaskan panjang lebar pada nyai Aminah, berharap ibunya bisa menerima dan mengerti.

Nyai Aminah meneteskan cairan bening dari pelupuk matanya—menangisi nasib keluarga sahabatnya yang sudah sangat berjasa pada kehidupan ia dan kedua anaknya. Saat Xander berusia empat tahun, lelaki itu terjangkit malaria dan hampir merenggut nyawanya.

Ayah Senja datang memberikan bantuan beruba obat-obatan yang dapat menyembuhkan Xander. Sedangkan adik Xander yang lain, yang saat ini sedang berada di Groningen—pernah mengalami kejadian yang tidak menyenangkan.

Senja yang lebih muda tiga tahun dari adik Xander, tidak sengaja menjadi saksi dan melaporkan pada ayahnya, sehingga anak itu bisa diselamatkan. Nyai Aminah tahu ia tidak bisa berbuat banyak, ia tidak ingin membahayakan nyawa Xander jika menuntut anak sambungnya melakukan hal yang lebih lagi, ia hanya bisa pasrah.

"Mamelie, jangan khawatir, aku akan ikut dalam pelayaran, aku berjanji akan mengawasi gadis itu."

"Dank je, Ian. Aku tidak tahu ini bisa dianggap sebagai melunasi hutang nyawa kita pada mereka atau tidak." Nyai Aminah meremas jari-jemari Xander dengan lembut.

"Kita sudah mengupayakan yang terbaik, Mam." Lelaki itu mencium telapak tangan ibunya, berharap bisa mengurangi kesedian wanita itu.

Hari semakin gelap, matahari bergulir ke arah barat dengan sinarnya yang kemerah-merahan. Sekelompok burung walet terbang beriringan kembali ke sarang mereka. Sayup-sayup terdengar suara adzan berkumandang dari kejauhan, dan cahaya bulan perlahan naik menggantikan eksistensi siang. Ibunya tampan murung, tidak banyak berkata, lebih sibuk dengan pikirannya sendiri. 

***

Senja melepaskan kain sprei yang membungkus kasurnya dengan sangat rapi, gadis itu mengikat ujung sprei pada gorden yang berhasil ia tarik jatuh dengan sangat kuat. Selain itu, Senja mengganjal pintu dengan meja sudut dari kayu jati yang cukup berat, dan menambahkan beberapa perabotan lainnya. 

Sekali lagi, gadis itu menengok ke bawah jendela, memastikan para pelayan saat ini pasti tengah melakukan ibadah wajib.

Malam itu ia berencana untuk melarikan diri. Ini adalah kesempatan terbaik, ia belum tahu orang yang telah membawanya ke tempat ini. Karena siapa pun orang itu, bagi Senja, ia merasa terus dalam bahaya. Senja baru saja mengikat untaian kain pada kaki ranjang yang akan ia digunakan untuk menopang berat badannya, saat terdengar suara gagang pintu yang diputar. 

"Buka pintunya!" Seseorang mengetuk berkali-kali seraya memberi perintah pada Senja.

"Nona, apa yang sedang Anda lakukan? Kenapa pintunya diganjal seperti ini?" 

Orang itu berusaha mendorong, barang yang berada pada tumpukan paling atas terjatuh, menimbulkan suara berisik yang mengundang lebih banyak orang. 

Senja semakin panik, ia mengikat pinggangnya dengan kain sprei dan mencoba memanjat ke daun jendela. Setelah berhasil, ia menggenggam kuat dan berniat turun perlahan. Gadis itu terkejut saat hentakan keras yang diiringi meja jati bergeser sehingga pintu terbuka, terlihat Leon memegangi bahunya seraya meringis, keduanya sama-sama terkejut.

"Apa yang kau lakukan?!" Leon setengah berteriak, tidak menyangka gadis gila ini akan berbuat nekat.

Senja yang kehilangan keseimbangan, akhirnya terjatuh dengan posisi wajah menghadap tanah. 

"Aaaargghhh." Suara teriakan Senja terdengar seiring gadis itu hilang dari pandangan mata Leon.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Gadis yang Tertawan   Gadis yang Tertawan bab 80

    Belum pernah aku melihat perempuan yang terlihat begitu berkharisma. Usianya sudah lebih dari empat puluh, tetapi penampilannya seperti seorang gadis belia. Tubuh tinggi nan ramping itu berdiri tegak di ruang tamu seakan ratu tanpa mahkota. Dia mengenakan gaun putih panjang yang tertutup, dihias dengan rimpel yang menumpuk dan bersusun, serta lengan hanya sebatas siku. Pergelangan tangannya tersembunyi dalam sarung tangan putih dari renda. Wajahnya pucat karena terlalu putih, atau mungkin ia jarang terkena sinar matahari.Rambut coklatnya yang lurus panjang tidak dikonde tapi diatur dengan minyak mawar, menggantung tenang di punggung sementara ia berjalan ke arahku. Aku merasa pusing karena wewangian yang ia pakai, tercampur bau dari buket-buket mawar yang memenuhi ruangan. Dengan sopan ia mengulurkan tangannya kepadaku. Kusambut dengan rasa gugup, aku dapat merasakan jari-jari tangannya panjang dan ringkih. "Kenalkan, aku Helena Jacques. Ibu kandung dari Maxwell, kau pasti Senja,

  • Gadis yang Tertawan   Gadis yang Tertawan bab 79

    "Kau tau wanita yang sedang kau ancam? Jika kau lupa akan aku ingatkan. Dia adalah Mademoiselle Demesringny, dan dia datang bersamaku!" Sebenarnya siapa Rosie? Aku bertanya-tanya dalam hati. Sudah berbulan-bulan kami saling mengenal. Dan yang aku tahu, wanita cantik yang kini terlihat mengejek pria bernama sir Lynch itu terlihat santai. Tidak merasa terdiskriminasi oleh tatapan yang seolah-olah siap menerkam. 'Rosie sudah memiliki kekasih? Apa pria itu Maxwell. Jika iya, alangkah sempurnanya mereka bersandiwara untuk menutupi hubungan.' Aku terus berpikir, hingga aku tersentak kala terdengar gebrakan meja yang begitu kuat."Kau dan kau!" Sir Lynch mengangkat jari telunjuknya ke arah Maxwell dan Rosie dengan wajah yang merah padam. "Apa kalian pikir aku, Bocah ingusan? Camkan ini baik-baik! Kalian akan menyesal. Terutama kau, Mademoiselle Demesringny. Suatu saat aku akan memastikan kau akan kalah dengan penuh penyesalan," hardik pria itu.Rosie tersenyum semakin lebar. "Ah, sayang se

  • Gadis yang Tertawan   Gadis yang Tertawan bab 78

    Selama berlayar dan ada di atas kapal, Maxwell dan perawat Rosie mengajarkan aku banyak hal. Kebetulan aku fasih berbahasa Belanda, mengingat aku pernah mengenyam pendidikan di sekolah ternama. Orang tuaku yang seorang priyayi, sangat mampu untuk membiayai pendidikan anak-anaknya. Namun sayang, takdir berkata lain. Semua kemewahan yang kami miliki, lenyap hanya dalam satu malam. "Uhhh, tanganmu kasar sekali, Dara. Bekas lukanya tak kunjung hilang. Lihat, wajahmu pun ada bekas jahitan. Rambutmu sedikit kusam, dan warna kulitmu kecoklatan." Perawat Rosie sibuk menelisik penampilanku. Ia akan menggeleng jika menemukan kekurangan. Mulai dari rambut hingga kaki, semuanya tak luput dari pemeriksaannya. Aku hanya bisa pasrah, dan Maxwell sesekali memperhatikan kami. Ia sibuk dengan buku yang ada di tangannya."Ohh, sungguh. Aku tidak sabar ingin segera tiba di tempat tujuan. Aku berjanji akan merubah penampilanmu. Dasarnya kau memang cantik, pasti tidak akan sulit. Lagipula, aku yakin mad

  • Gadis yang Tertawan   Gadis yang Tertawan bab 77

    Hari hampir siang saat kapal SS Nieuw Amsterdam siap untuk berlayar. Kapal itu berwarna abu, putih, bercampur biru. Tampak gagah dan besar, di atasnya terdapat sebuah tiang yang mengeluarkan asap kehitaman yang terbawa angin di dermaga. Aku menatap kagum, meski ada sedikit rasa takut akibat trauma masa lalu.Di sampingku Diah tergugu dengan tubuh yang sedikit bergetar. Matanya tampak bengkak, dengan pangkal hidung yang terlihat merah. Sedangkan mba Sidja lebih bisa menguasai diri, meski jejak air mata sangat kentara di wajahnya yang selalu memancarkan ketulusan. Begitu teduh dan nyaman.Ini adalah bagian yang aku benci, karena setiap pertemuan pasti akan ada yang namanya perpisahan. Kedua wanita ini yang selalu membersamai diriku. Sudah menjadi teman untuk segala keluh kesahku. Dalam canda, dalam tawa, dalam suka maupun duka."Mba tega meninggalkanku? Kita datang ke tempat ini bersama-sama, dan sekarang, Mbak, ingin pergi lebih dulu?" Aku menghel

  • Gadis yang Tertawan   Gadis yang Tertawan bab 76

    POV DARAEntah nyata atau hanya mimpi. Dalam sinar mentari yang terbit di pagi ini, hatiku bergemuruh. Saat ini darahku seakan tak mengalir, saat ini detak jantung seakan berhenti, dan pikiranku dijejali oleh ribuan pertanyaan. Tanganku bergetar tatkala memegangi sepucuk surat yang akhirnya datang padaku. Mataku mengembun, dan bersamaan bulir bening yang menetes di pipi, maka tumpahlah segala isi hati. Entah bagaimana caranya aku bisa mengekspresikan kebahagiaan ini."Aku bebas?" tanyaku yang masih tidak percaya.Inilah hari yang aku nantikan. Tak ada lagi beban, tak ada lagi siksaan, tak ada lagi Kungkungan. Di setiap hela nafas ini, aku merasakan kehidupan yang baru. Kini, waktu tak lagi berlari. Karena aku sudah bebas dalam pikiran, angan, dan kebahagiaan. "Selamat, Dara. Kau sudah jadi orang yang merdeka." Maxwell merentangkan kedua tangannya, dan aku menghambur ke dalam pelukannya yang hangat. Lelaki ini menepati semua janjinya kepadaku. Membuktikan kalau dia bersungguh-sunggu

  • Gadis yang Tertawan   Gadis yang Tertawan bab 75

    "Kau pulang terlambat, Dara." Maxwell berdiri seraya menyandarkan dirinya pada sebuah tiang besar yang ada di selasar, melipat kedua tangannya di depan dada, sambil memperhatikan Dara yang berjalan menaiki anak tangga."Maaf, Ell. Apa aku membuatmu cemas?" tanya Dara hati-hati, wajah Maxwell yang bermandikan cahaya dari lampu kekuningan tampak dingin, apalagi mengetahui orang yang mengantar gadis itu pulang sampai depan pagar."Tentu saja aku sangat mengkhawatirkanmu, aku sengaja pulang lebih cepat agar kita bisa makan malam bersama. Tapi kata orang rumah, kau belum juga sampai." Maxwell segera membawakan buku-buku yang menumpuk di tangan Dara."Sekali lagi maafkan aku, Ell. Aku lupa waktu kalau sedang membaca buku. Kau pernah berkata, bukan? Kalau sudah waktunya untukku merubah diri menjadi lebih baik." "Mari masuk," ajak Maxwell saat seorang pelayan membukakan pintu setinggi dua meter setengah untuk mereka. "Dan kau memilih menambah pengetahuan lewat buku-buku ini? Jika demikian, t

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status