Share

Bab 3

Author: Bintang
Tanganku yang kecil menyentuh otot-otot keras di tubuhnya, membuat seluruh tubuhku bergetar semakin hebat. Rona kemerahan mulai muncul di kulitku.

Saat aku menunduk karena malu, kebetulan aku melihat tonjolan di celana Marven semakin jelas. Tidak heran Marven bisa melakukan kerja paruh waktu seperti ini. Dari tonjolannya, terlihat bahwa ukurannya jauh lebih besar daripada mainan yang biasanya kugunakan.

Marven menarik tanganku untuk menelusuri hingga ke pinggangnya. Di saat hampir saja tanganku menyentuh bagian itu ....

Melihat wajahku yang merona, dia berbisik di telingaku, "Bi Ellie, kalau kamu suka, aku bisa pinjamin kasih kamu. Lebih hebat daripada mainanmu itu."

Tiba-tiba, ponselku berdering. Di saat aku tersadar, aku buru-buru menyimpan kembali ponselku. Wajah Marven menunjukkan kekecewaan.

Telepon itu ternyata dari putraku. Dia bilang malam ini tidak pulang karena ingin bersama temannya. Bersama teman? Malam-malam begini ... jangan-jangan pacarnya?

Aku masih ingin bertanya lebih lanjut, tapi dia sudah lebih dulu memutuskan sambungan. Saat aku hendak menelepon balik, Marven tiba-tiba menggenggam tanganku.

"Kamu ... kamu mau apa?"

Aku buru-buru mencoba melepaskan diri dari genggamannya.

Marven malah berbisik di telingaku, "Bi Ellie, teman yang dimaksud Jasper itu cowok."

Sepatah kalimat ini sontak membuatku tertegun. Aku mendongak menatap Marven dengan kebingungan. Marven mengambil ponsel dari tanganku, lalu menaruhnya di samping.

"Seperti yang kamu pikirkan, Jasper suka sama cowok."

Mataku langsung membelalak.

Marven merengkuh pinggangku dengan satu tangannya, lalu perlahan-lahan bergerak ke bawah dan meremasnya dengan kuat.

"Bi Ellie, Jasper bisa begini karena dia nggak ngerti kebaikan wanita. Kalau dia pernah merasakan kenikmatan dari seorang wanita, mungkin dia nggak akan begini lagi."

Aku sedang terhanyut merenungkan masalah putraku. Begitu diremasnya, aku langsung tidak tahan untuk mendesah.

Napas Marven jadi semakin berpacu. "Kalau bisa bersenang-senang sama wanita seperti Bi Ellie, aku nggak mungkin suka sama cowok."

Sambil berkata demikian, gerakannya jadi semakin kuat sehingga tubuhku jadi melemas.

"Kamu ngomong apaan, bocah tengik! Jangan jadikan aku bercandaan!" Aku berusaha keras menahan reaksi dari tubuhku dan hendak mendorongnya menjauh. Kalau terus dilanjutkan begini, mungkin aku tidak akan bisa lagi menahan diri.

Tak disangka, tenaga Marven sangat kuat. Dia memelukku semakin erat. Aroma keringat yang bercampur dengan wangi segar dari tubuhnya menyeruak masuk ke hidungku. Aroma maskulin yang begitu kuat membuat seluruh tubuhku terasa panas.

"Kita syuting film untuknya, biar dia tahu seberapa indahnya wanita. Dengan begitu, persepsinya juga pasti akan berubah. Bi Ellie, aku lagi bantu kamu." Napasnya yang hangat berembus di telingaku, perasaan menggelitik menjalar ke seluruh tubuhku.

Mengingat bahwa aku bisa membantu putraku, hatiku pun tergugah.

Terutama saat merasakan kehangatan dari tangan Marven, tubuhku yang sudah lama gersang ini pun jadi sulit dikendalikan.

Marven adalah putra sahabatku. Bagaimana mungkin aku bisa memiliki pikiran seperti itu tentangnya? Akal sehatku yang tersisa berusaha mendorongnya menjauh, tapi tubuhku seolah kehilangan tenaga dan gerakanku yang seharusnya menolak malah tampak seperti merengek manja.

Tubuh Marven semakin dekat denganku.

Dadanya yang bidang dan kokoh menempel padaku. Panas tubuhnya menjalar hingga membuat seluruh tubuhku terasa gerah.

Mau dilakukan atau tidak?

Dalam hatiku merasa dilema, tetapi juga sedikit antusias.

Tangan Marven bergerak dari belakang tubuhku, menelusuri pinggangku dan perlahan-lahan naik ke atas. Kemudian, dia menggenggam pundakku dengan erat. Dia menunduk dan mendekatkan wajah ke bahuku, lalu menggigit lembut cuping telingaku.

"Bi Ellie, tadi aku sudah motret fotonya, lho. Kalau kamu nggak mau ...."

Meski Marven tidak melanjutkan ucapannya, aku tahu bahwa dia sedang mengancamku. Aku merasa tersiksa oleh gerakannya ini hingga sekujur tubuhku bergetar. Mendengar kata-katanya yang setengah memaksa, aku tidak merasa marah sama sekali. Bahkan entah kenapa, justru ada sedikit rasa berdebar.

'Ini bukan keinginanku, aku hanya terpaksa.' Aku berusaha mencari-cari alasan sebagai pembenaran. Detik berikutnya, hasratku mulai membara.

"Bi Ellie kepengen, bukan? Akan kubantu."

Marven menopang bokongku, lalu melemparkanku ke atas ranjang.
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Gairah Anak Sahabatku   Bab 9

    Sebenarnya Marven tidak ingin membantu ayah Jasper. Namun, karena dia terlilit utang dan sangat membutuhkan uang, akhirnya dia pun menyanggupi permintaan itu.Ternyata, insiden di mana Jasper memukul Marven juga merupakan bagian dari rencana. Marven sengaja mengucapkan kata-kata yang menghina diriku di hadapan Jasper, hingga membuat Jasper tersulut emosi dan memukulnya.Dengan cara itu, Marven mendapat alasan untuk masuk ke rumahku secara sah. Kemudian, dia bisa mendekatiku dan melakukan semua itu. Bahkan alasan soal membuat cetakan yang dia pakai untuk mendekatiku hanyalah kedok semata.Hari itu, setelah aku pergi, Marven melihat ponselnya dan mendapati bahwa video yang dia rekam telah terhapus. Dari sana, dia menyadari bahwa aku mungkin sudah tahu semuanya, makanya dia mulai meneleponku berkali-kali.Tabita mendengarkan pengakuan Marven dengan wajah marah. Dia kembali menendang anaknya sekali lagi dengan geram."Marven, Marven ... aku harus bilang apa padamu? Bukankah uang bulanan ya

  • Gairah Anak Sahabatku   Bab 8

    Mengetahui bahwa Jasper tidak menyukai sesama jenis membuatku sedikit lega. Namun, kenyataan bahwa dia justru jatuh cinta pada Tabita benar-benar membuatku bingung.Aku terdiam sejenak, lalu menepuk pundaknya perlahan. "Nak, kamu sudah dewasa. Ibu akan menghormati pilihanmu. Tapi orang seperti Marven terlalu berbahaya. Kita harus persiapkan diri mulai sekarang."Jasper memahami kekhawatiranku dan mengangguk menyetujui.Aku pun memutuskan untuk membawa Jasper pergi dari tempat itu, agar Marven tidak mendapat kesempatan untuk mencelakainya. Kami menginap di sebuah hotel untuk sementara, sambil diam-diam mengamati karena ingin tahu langkah apa yang akan diambil Marven selanjutnya.Mungkin karena aku tak kunjung pulang, atau mungkin karena dia menyadari video semalam telah terhapus, Marven terus-menerus meneleponku. Namun, aku langsung memutus sambungan setiap kali dia menelepon dan akhirnya, aku memblokir nomornya.Orang seperti dia tidak layak lagi diberi kesempatan untuk membela diri. D

  • Gairah Anak Sahabatku   Bab 7

    Aku melihat tangannya yang satu lagi mengeluarkan ponselnya dan membuka kamera. Namun, mengingat orientasi seksual anakku, akhirnya aku tidak menolaknya.Harus diakui, usia muda memang sangat menyenangkan. Apalagi, pria muda yang masih kuat tentu lebih menyenangkan lagi. Malam ini, aku merasakan kebahagiaan yang telah lama tidak kurasakan.Tubuhku bagai bunga yang telah lama layu, kini disirami kembali dan mekar dengan indah yang luar biasa. Menjelang larut malam, aku baru bisa tertidur lelap, dalam rasa letih dan nyeri yang masih membekas.Saat aku terbangun, waktu sudah hampir menjelang siang. Aku masih terbaring di kamar. Di sampingku, Marven sudah tidak ada.Aku segera duduk dengan panik. Saat melihat bekas-bekas yang tersebar di tubuhku, sudut bibirku justru menampilkan senyum kecil. Meski awalnya semua ini kulakukan demi membantu Jasper, pada akhirnya, aku sendiri juga menikmati semuanya.Teringat akan Jasper, aku pun bergegas menuju kamarnya. Namun, ternyata Jasper tidak ada di

  • Gairah Anak Sahabatku   Bab 6

    Jasper menggeleng pelan. "Bu, tadi waktu aku menyeberang jalan, aku nggak sengaja tertabrak. Aku kaget sekali, makanya aku langsung telepon Ibu. Tapi, orang yang nabrak itu baik, kok. Dia kasih aku empat juta untuk periksa ke dokter. Karena aku merasa nggak kenapa-kenapa, jadi aku biarkan dia pergi."Mendengar penjelasan Jasper, hatiku akhirnya tenang. Di saat bersamaan, aku kembali bertanya-tanya, anak sejujur dan sepolos ini, bagaimana mungkin dia bisa berbohong padaku? Bagaimana mungkin ... dia benar-benar menyukai sesama jenis?Meski hatiku masih diliputi keraguan, melihat dia baru saja mengalami kejadian seperti ini, aku memutuskan untuk menunda pembicaraan. Tunggu sampai kami pulang, baru aku akan tanyakan semuanya dengan jelas.Memang benar tangan Marven tidak terluka, tapi bagaimanapun juga dia adalah anak dari sahabatku. Sahabatku juga masih berada di luar kota untuk urusan pekerjaan. Mau tak mau, aku harus membiarkan Marven ikut pulang ke rumah bersama kami.Pikiranku benar-b

  • Gairah Anak Sahabatku   Bab 5

    Saat ini, aku benar-benar ingin mengalihkan emosiku secepat mungkin. Secara refleks, kedua kakiku melingkari pinggang Marven.Baru saat itulah aku sadar, tangan Marven yang katanya cedera, kini sedang mencoba menarik rokku. Sementara itu, ekspresi wajahnya tampak tenang dan sama sekali tidak menunjukkan rasa sakit.Bukankah katanya tangannya cedera? Kenapa sekarang bisa bergerak sebebas itu?Hanya saja, pandanganku telah buram dan tidak bisa lagi memedulikan semua itu.Kring ... kring ....Ponselku tiba-tiba berdering, membuyarkan lamunanku seketika. Marven menatapku dengan mata yang memerah, seolah-olah kehilangan kendali. Secara refleks, dia hendak mematikan panggilan itu.Namun saat mataku melirik ke layar dan melihat nama peneleponnya, aku segera mendorong Marven dan meraih ponselku.Itu telepon dari Jasper. Kenapa dia menelepon lagi? Meskipun aku masih marah karena kebohongannya, bagaimanapun juga Jasper adalah anakku sendiri. Bagaimana kalau ada hal penting yang ingin dia sampaik

  • Gairah Anak Sahabatku   Bab 4

    Tangannya memasuki rokku, lalu menarik celana dalamku yang telah basah kuyup. Merasakan tubuh yang muda dan kekar ini, gelora dalam lubuk hatiku yang terdalam sontak terpicu. Aku tidak lagi memedulikan tuntutan moral, aku hanya ingin tenggelam dalam kenikmatan ini.Bruk!Mungkin karena tenaga Marven terlalu kuat, ranjang itu malah ambruk. Aku dan Marven sama-sama terjatuh ke lantai. Rasa sakit di tubuh membuat akal sehatku kembali.Saat ini, aku mendengar suara pintu digedor dengan tergesa-gesa dari luar."Ada orang di dalam? Apa yang terjadi? Kenapa suaranya kuat sekali?"Mungkin karena suara ranjang yang ambruk terlalu keras, sehingga menarik perhatian tetangga di lantai bawah. Suara ketukan di luar pintu semakin keras, membuatku perlahan sadar. Aku buru-buru merapikan pakaian lalu keluar kamar.Bagaimanapun juga, ini memang kesalahan kami. Aku segera meminta maaf berulang kali kepada tetangga. Untungnya, mereka cukup rasional. Setelah memastikan bahwa kami bukan sengaja membuat kega

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status