Share

Semakin Liar

"Apa yang kau lakukan?" Emily tersentak, dia terkejut dengan betapa mudahnya pria ini membereskannya. Emily melancarkan satu pukulan ke arah pria itu, tapi sayangnya, pria itu bergerak lebih cepat sehingga berhasil menangkisnya. Emily melakukannya lagi dengan tangannya yang lain, tapi lagi-lagi berhasil ditangkap. Brengsek! Betapa sulitnya melukai pria ini.

"Lepaskan aku! Biarkan aku pergi! LEPASKAN AKU, BRENGSEK!" Emily berteriak, tapi hanya gema suarnya saja yang menjawab.

Emily bergulat untuk melepaskan diri. Dia tidak yakin ini disengaja atau tidak, tapi saat meronta, baju Emily yang sudah acak-acakan tiba-tiba robek hingga terbuka lebar, memperlihatkan dadanya yang berisi kepada pria itu. Mata pria itu menggelap saat melihat tubuh kencang wanita itu dalam pelukannya.

"Lepaskan aku! Kau … kau menyakitiku.” Merasa malu dan tak berdaya, Emily merintih, air mata membasahi wajahnya. Kata-kata itu terdengar seperti menyuarakan ketidakberdayaan. Seolah-olah dengan mengatakannya, Emily menyerah.

Benedict memandang Emily, ada campuran rasa kasihan dan simpati di matanya, dia lantas berdiri lalu keluar dari kamar mandi.

Mengikuti jejak sang pria, Emily berjalan keluar dari kamar mandi sembari mengetatkan kemejanya yang basah dan robek untuk menutupi tubuhnya seadanya.

Pria itu telah berpakaian dan terlihat menyandar dengan posisi santai di kepala ranjang, mata gelapnya mengawasi Emily. Ada senyum geli yang memercik ketika Emily melakukan gestur melemparkan tinju dari jauh, seolah wanita itu masih menyimpan dendam kepadanya. 

Melihat sang wanita bertubuh sintal itu masih berkutat dengan pakaiannya yang robek dan basah, pria itu melemparkan handuk kering ke arah Emily yang berhasil ditangkap Emily. Gerakan refleks itu membuat robekan di pakaiannya kembali terbuka. Emily memekik dan buru-buru berbalik.

"Brengsek! Pasti dia sengaja melakukannya!" gumam Emily. 

Dengan cemberut Emily mengeringkan rambut dan tubuhnya. Saat ia selesai dan berbalik, segepok uang disodorkan di depannya.

“Kau membayarku?” Emily menyuarakan kecurigaannya.

“Ini hanya kompensasi untukmu karena kesalahanku. Mendengar dari ceritamu tadi sepertinya kau tidak mengetahui kalau kau dijadikan ‘hadiah’.”

“Kau pikir harga diriku hanya segini?” Murka Emily, tak menyangka ternyata pria itu justru menganggapnya bagaikan wanita panggilan yang dibayar untuk menjual tubuhnya! 

“Lalu, berapa harga dirimu?" Benedict bertanya dengan nada biasa, "Sebutkan saja angka yang kau mau. Aku bisa berikan padamu berapapun itu.”

Apa dia sedang mengejeknya?

Karena merasa marah, Emily pun meraih benda yang ada di dekatnya, dan berusaha melemparkannya ke arah Benedict. Tapi, sungguh mengesalkan karena Benedict berhasil menghindarinya.

Ketika tingkah Emily semakin liar dan tak terkendali, Benedict lantas meraih tangan Emily, melumpuhkan wanita itu dengan mengukungnya di atas sofa.

“Kau benar-benar liar, Nona. Sepertinya akan cukup menyenangkan untuk 'melakukannya' beberapa kali lagi denganmu."

Ucapan Benedict justru semakin membuatnya murka. Pria ini benar-benar arogan dan berbahaya!

"Brengsek. Aku tidak sudi melakukannya lagi denganmu. Mati saja kau sana," maki Emily. Dia berusaha menendang-nendang.

Benedict yang kesal akhirnya menggendong pinggang Emily lalu 'membuangnya' keluar pintu.

Emily ternganga, dia menendang pintu yang tertutup itu. Tapi, pintu itu tetap tak bergeming, hanya ada hening yang hampir ke telinganya. 

"Dasar iblis arogan berambut perak!" maki Emily. Dia menatap uang yang berserakan di lantai lorong yang tadi dilemparkan Benedict setelah 'membuangnya' keluar. Emily bermaksud untuk pergi, harga dirinya jelas tak bisa digantikan oleh uang yang tak seberapa untuk Benedict.

Tapi, baru beberapa langkah Emily berbalik. Dia kembali menatap lembaran uang yang berserakan di lantai itu.

"Ponselku basah dan rusak. Mana kreditnya belum lunas. Si brengsek itu seenaknya saja menceburkan aku ke air seolah aku ini anak bebek saja." Emily menggoyang-goyangkan ponsel miliknya yang telah mati total. Apalagi dia juga membutuhkan uang untuk saudaranya yang terbaring di rumah sakit.

Dengan berat hati, akhirnya Emily memungut lembaran uang yang berserakan itu satu persatu. Emily berpikir, walau dia sudah menolak uang itu di dalam sana, toh saat ini pria itu berada di balik pintu. Dia tidak akan melihat Emily memunguti lembaran uang ini.

Namun, untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, saat Emily sedang berjongkok memungut lembaran terakhir, pintu Benedict menjeblak terbuka.

Emily mengutuk di dalam hati ketika melihat sepasang sepatu mahal itu hadir di depannya.

“Lho, katanya harga dirimu mahal? Mengapa memunguti uang di lantai itu, Nona?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status