“Ah …”
Suara erangan Emily memenuhi ruangan ketika wanita itu merasakan sentuhan kasar seorang pria tepat di bagian sensitif tubuhnya.
Emily melengkungkan punggungnya, memberikan ruang untuk pria yang berada di atasnya untuk menyentuhnya lebih jauh.
Entah apa yang merasuki dirinya malam itu, tapi, tak lama setelah Zack, calon tunangannya mengajak untuk bertemu di hotel malam itu, Emily seolah dirasuki oleh hasrat yang amat menggebu.
“Hngh!”
Lenguhan yang tertahan keluar dari mulut Emily saat merasakan milik sang pria mulai menjajahi miliknya.
Karena keseluruhan ruangan yang amat gelap, wanita itu tak tahu di mana harus melayangkan tangannya. Tak kuasa menahan gairah, Emily menggenggam sejumput rambut milik pria yang terus menyerangnya dengan kecupan basah.
Tepat saat itu juga, Emily merasakan sesuatu yang berbeda. Pria yang sedang bercumbu dengannya memiliki rambut pendek, padahal Zack, kekasihnya, memiliki rambut yang lebih panjang!
“Kamu bukan … Zack!”
***
“Urgh!”
Emily terbangun dengan tubuh setengah telanjang, merasakan sakit yang amat sangat tepat di intinya. Saat ia bangkit untuk duduk, selimut yang menutupi tubuhnya jatuh ke perut hingga memperlihatkan keindahan tubuh bagian atasnya yang menggoda.
Ketika dirinya ingin bergegas, maniknya tak sengaja melihat noda darah di ranjang, membuat Emily kembali mengingat malam panas yang baru saja dia alami. Pria yang memeluk dan mengukungnya, dan terus menyentuhnya sampai Emily melenguh penuh gairah. Namun, pria yang dia pikir adalah calon tunangannya itu, ternyata adalah pria asing yang tidak Emily kenal!
‘Apa yang aku harus lakukan?’ batinnya, kembali melihat noda darah yang ternyata tersisa di pahanya.
‘Bukankah ini bukti yang bisa kulaporkan ke polisi?’
Kala Emily bermaksud bangkit berdiri, tak sengaja dilihatnya pintu toilet terbuka, menampilkan seorang pria tinggi dan tampan melangkah keluar. Handuk putih melilit di pinggangnya, air menetes-netes dari ujung rambut putih keperakan miliknya, membuat pria itu terlihat lebih menggoda untuk siapapun yang menatapnya.
Dalam hati, Emily bertanya-tanya apakah warna rambutnya itu dibleaching atau asli. Wajah indah pria itu menampilkan keanggunan seorang aristokrat. Mata hitam gelapnya bergerak menatap Emily seperti percikan api yang mengejutkannya.
Itu dia! Pria yang melakukan hal tak senonoh semalaman padanya!
“Dasar pria brengsek! Kamu yang semalam memerkosaku, kan!?” Emily merasakan kemarahan yang membara di dadanya atas ketidakadilan dan penghinaan yang telah terjadi terhadapnya.
Dia maju menerjang dan mencoba mencakar wajah sempurna pria itu. “Dasar pria tak beradab!”
Emily berusaha menerkam pria itu, tapi pria itu meraih lengan Emily lalu menjatuhkannya kembali ke ranjang. Pria itu mengambil selimut yang jatuh ke lantai lalu melemparkannya ke arah Emily. Menutupi sebagian tubuh Emily yang terbuka karena pakaiannya yang acak-acakan.
“Memerkosamu? Nona, kamu sendiri yang naik ke ranjangku. Jangan menuduhku yang tidak-tidak,” Pria itu tersenyum, hampir mengejek. Dia menggunakan handuk kecil yang ada di tangannya untuk menggosok rambutnya yang basah, seolah merasa tak bersalah.
Emily menggertakkan giginya, merasakan panas di wajahnya karena emosi yang meluap.
“Bukankah kau wanita yang dikirim Zack kemari? Jadi, kenapa kau harus merasa tersakiti?” Pria itu berkata kembali.
“Apa maksudmu?” tanya Emily. Tentu saja dia merasa tersakiti. Dia adalah korban di sini.
“Dia yang mengirimmu kemari.” Melihat kebingungan yang tidak dibuat-buat itu, Benedict akhirnya mengerti kalau wanita ini dikirim ke sini tanpa persetujuan dan sepengetahuan wanita itu sendiri. Mana masih perawan, haruskah dia merasa iba?
Emily yang mendengar jawaban itu hampir menyemburkan tawa. Zack itu pacarnya, seminggu lagi mereka akan bertunangan, mana mungkin Zack mengirimnya untuk ‘disantap’ laki-laki lain.
Mana ada pacar yang seperti itu. Zack tidak akan mungkin melakukan hal tak beradab seperti itu. Ya kan?
"Terserah jika kau tak percaya," cetus pria itu yang membuat Emily kembali menatapnya.
Emily melihat ke langit-langit kamar dimana ornamen-ornamen cermin terpasang di sana.
Beberapa waktu sebelumnya, Benedict dan Zack merayakan kesepakatan bisnis mereka. Zack menuangkan sampanye ke gelas Benedict. Seharusnya itu tidak masalah, hanya saja yang ada di gelas itu bukan hanya alkohol saja. Melainkan juga afrodisiak.
Benedict langsung merasakan tubuhnya terbakar oleh gairah yang membara.
Zack yang melihat itu tersenyum, dia lantas mengantarkan Benedict ke sebuah kamar hotel yang telah dipersiapkan. Zack berkata kalau ada 'hadiah' yang telah ia siapkan di dalam kamar.
Benedict yang merasa pusing, begitu terkejut ketika menyadari kalau 'hadiah' yang dimaksud oleh Zack adalah seorang gadis yang tergeletak di tempat tidurnya dengan pose sensual yang menggoda.
Benedict memijit pelipisnya. Dia bermaksud untuk keluar dari kamar. Tapi, ia kesulitan karena pengaruh obat yang telah mencapai puncaknya. Pada akhirnya, Benedict meniduri gadis itu.
Gadis itu adalah Emily. Gadis pemarah yang kini ada di hadapannya. Dalam kondisi ini, Benedict bermaksud memberikan kompensasi, tapi, melihat emosi gadis itu yang menggebu-gebu, Benedict yakin kalau uang itu hanya akan berakhir dilempar oleh gadis itu.
Emily gemetar, air mata menggenang di matanya ketika mengetahui kalau Zack menjualnya pada Benedict.
“Tapi, kenapa? Kenapa Zack melakukan semua ini? Aku ini kan kekasihnya. Seminggu lagi kami akan … bertunangan.” Emily mengucap kata terakhir itu dengan pahit.
Benedict yang mendengar itu terkejut. Kekasih? Calon tunangan? Gadis ini?
“Itu bukan urusanku.” Benedict berkata sambil mengangkat tangan.
‘Ck, Zack benar-benar luar biasa, hanya 'orang yang luar biasa' yang bisa mengirim pacarnya sendiri untuk ditiduri oleh pria lain. Mana masih 'belum buka segel' lagi.’ batin Benedict dalam hati.
Kenyataan itu menghantam Emily. Kemarahan, kesedihan, rasa malu, semua rasa itu menjadi satu. Emily memelototi kepala belakang pria berambut perak itu dengan tangan terkepal.
Kekasihnya telah tega menjualnya seperti layaknya seorang wanita penghibur pada Benedict! Tapi, yang semakin membuatnya kesal, adalah bukannya pria ini menolaknya, dia justru tanpa rasa sungkan ‘menyantapnya’ begitu saja.
‘Dasar bajingan tidak punya hati!’ batinnya dalam hati. Dia harus segera pergi dan menjauh dari pria ini sejauh mungkin.
Benedict menoleh dan memperhatikan Emily. Gadis itu tampak akan berlari seperti binatang yang terluka. Dia pasti akan langsung melaporkan kejadian ini kepada polisi, Benedict tahu hal itu tidak boleh sampai terjadi.
Maka, dengan satu gerakan cepat, Benedict mengangkat Emily ke dalam pelukannya, membawanya ke dalam kamar mandi lalu menceburkannya ke dalam jacuzi yang berisi air. Dalam sekejap, bukti persetubuhan mereka lenyap.
"Apa yang kau lakukan?" Emily tersentak, dia terkejut dengan betapa mudahnya pria ini membereskannya. Emily melancarkan satu pukulan ke arah pria itu, tapi sayangnya, pria itu bergerak lebih cepat sehingga berhasil menangkisnya. Emily melakukannya lagi dengan tangannya yang lain, tapi lagi-lagi berhasil ditangkap. Brengsek! Betapa sulitnya melukai pria ini. "Lepaskan aku! Biarkan aku pergi! LEPASKAN AKU, BRENGSEK!" Emily berteriak, tapi hanya gema suarnya saja yang menjawab. Emily bergulat untuk melepaskan diri. Dia tidak yakin ini disengaja atau tidak, tapi saat meronta, baju Emily yang sudah acak-acakan tiba-tiba robek hingga terbuka lebar, memperlihatkan dadanya yang berisi kepada pria itu. Mata pria itu menggelap saat melihat tubuh kencang wanita itu dalam pelukannya. "Lepaskan aku! Kau … kau menyakitiku.” Merasa malu dan tak berdaya, Emily merintih, air mata membasahi wajahnya. Kata-kata itu terdengar seperti menyuarakan ketidakberdayaan. Seolah-olah dengan mengatakannya, Emil
“Bajingan!” Emily hanya bisa menggumam kecil, menyaksikan pria berambut perak itu menampikkan seringai di wajah tampannya.Terlebih ketika Benedict melangkah maju, lalu menginjak ujung lembaran uang kertas yang telah Emily pegang. Emily menaikkan pandangannya, dia melihat pria berambut perak itu menatapnya dengan tatapan dingin. Ada gestur mencemooh di bibirnya meski tak kentara."Kupikir Nona berharga diri tinggi ini, benar-benar memiliki harga diri yang tinggi. Tapi, ternyata, jauh panggang daripada api. Kau tidak lebih mahal dari yang kukira."Setelah mengatakan hal itu, Benedict melemparkan jas yang ada di tangannya ke arah Emily. Karena kaget, Emily jatuh terduduk ke belakang dengan lembaran uang kertas di tangannya. Sedangkan pintu itu kembali tertutup.Emily melihat ke arah jas abu-abu yang kini ada di pangkuannya. Apa jas ini diberikan pria itu untuknya? Lalu, apa-apaan itu tadi? Tega sekali pria itu mengatainya seperti itu. Emily merasakan air matanya menggenang. Dia merasa
“Bajingan kau, Zack! Kau anggap apa akuini?""Hei, apa perlu kau berkata-kata kasarseperti itu kepadaku, Emily?" Zack melanjutkan. "Aku jadi bingung.Kemana ya Emilyku yang cantik dan baik hati pergi?”Emily merasakan ‘pisau perkataan' itu menusukparu-parunya. Sudah biasa bagi Zack untuk sesekali menyewa pendamping ataumembeli hadiah mahal demi mengesankan klien, tapi Emily tidak pernah mengirakalau dirinya akan mengalami hal yang sama. Berakhir dengan dijadikan ‘hadiah’untuk salah satu klien Zack.Ternyata menjadi calon istri, bukanlahmenjadi batasan bagi Zack untuk membuat Emily kebal dari kebiasaan pria itu.Ternyata, Emily tidak ada harganya di mata Zack.Dengan ini, Emily telah mengambil keputusan.Dia mengubah panggilan suara menjadi video, lalu setelah itu Emily mengacungkanjari tengah ke layar, "Zack ... Mulai sekarang ... kita putus, dasar bajingan!"Setelah mengatakan itu, Emily mematikansambungan. Namun, tak lama ponsel itu kembali berdering. Sopir taksi meliriknya
“Apa maksudnya om, tante? Apa kalian tak mendengarku? Zack menjualku! Menjual keponakanmu kepada pria lain hanya untuk kepentingan bisnis. Dia sama sekali tidak menghargai aku dan Om. Bagaimana mungkin aku berhubungan kembali dengannya?” Emily merasa tidak habis pikir. Bagaimana bisa, om dan tantenya tak merasa tersinggung sama sekali dan justru membela Zack?“Aku tahu, Emily. Aku mengerti perasaanmu. Tapi, kamu juga tahu kan kalau perusahaan Om bergantung pada Zack. Om tidak bisa …”Melihat Edward melemah, Regina mengambil alih, “Kau pikirkan ini, Emily. Aku dan Om-mu telah memberikan nafkah dan tempat tinggal untukmu selama ini. Kami melakukannya secara tulus dan tanpa mengharapkan pamrih," ucap tantenya, menatap Emily nanar, "Tapi, paling tidak kau tahu sedikitlah cara membalas budi, Emily. Zack melakukan itu untuk kepentingan bisnis berarti dia telah melakukan banyak pertimbangan untuk melakukannya.”“Dengan menjualku? Aku bahkan belum menjadi istrinya! Tapi, dia telah berani mel
Emily baru saja tiba di rumah Zack. Dia bermaksud membunyikan bel pintu ketika Emily menyadari kalau pintu sudah dalam keadaan sedikit terbuka.Emily dengan hati-hati berjalan ke lorong dan berhenti. Dia mendengar napas mesra seorang pria dan seorang wanita.Jantung Emily berhenti berdetak. Dengan hati-hati, dia melangkah menuju kamar tidur… seketika Emily membeku. “Hibur aku dengan tubuhmu, Laila.” Laila? Nama itu terdengar tak asing baginya. Emily memekakkan telinganya, mencoba mendengarkan lebih banyak dari percakapan antara Zack, dengan seorang perempuan yang terduduk di atas sang pria. “Emily seenaknya saja meninggalkanku." Zack menghela nafas. "Namun, yang paling sial adalah ... Benedict memutuskan untuk tidak berinvestasi di perusahaanku. Aku merasa seperti orang bodoh. Aku sangat membutuhkanmu sentuhanmu, sayang.” Ucap Zack dengan manja, bibirnya melengkung ke bawah.Tiba-tiba, ruangan itu hening. Namun, yang terdengar hanyalah kecupan basah antara Zack dan wanita di atasn
“Kamu ...!”Rambut perak yang dia kenal, serta seringai yang membuatnya teringat ke malam itu seketika membuat emosi kembali memenuhi kepalanya.Emily buru-buru bangkit dari tempat tidur, bermaksud untuk kabur dari tempat itu, namun rasa pusing menusuk kepalanya hingga membuatnya pandangannya menjadi kabur.Belum sempat kaki jenjangnya menyentuh lantai, Benedict melingkarkan lengan kekarnya di pinggang Emily."Lepaskan aku!" Teriak Emily dengan keras, mencoba mencari pertolongan dari siapapun yang ada di rumah besar itu. Emily menyapukan kukunya ke wajah pria itu, membuat Benedict mengumpat dengan keras. Namun meskipun ada rasa perih yang menjalari wajahnya, Benedict tetap tidak melepaskan pegangannya.Karena melepaskan berarti menjatuhkan ke lantai. Sedangkan kondisi wanita dengan kuku bak Wolverine ini masih belum stabil.Sebagai gantinya Benedict mengangkat Emily ke dalam pelukannya lalu menjatuhkannya ke tempat tidur."Jangan berani-berani turun dari ranjang ini." Dia memperingat
“Apa maksudmu!?”Permintaan gila dari pria di hadapannya seketika membuat Emily tercengang. Emily tidak menyangka kalau dia akan mengalami hal yang pernah ia baca di novel-novel picisan.Yang lebih membuatnya kesal, adalah betapa santainya pria itu berbicara terkait kepemilikan. Dia merasa dibeli!"Apa kau gila? Aku tidak akan segila itu menjual diriku kepadamu!” ucap Emily, menatap tajam ke arah Benedict. Tak menunggu balasan dari sang pria, Emily pun bergegas untuk pergi. Namun, sebelum itu, Emily menyempatkan diri untuk mengacungkan tinjunya ke arah Benedict sembari mengucapkan kata ‘bangsat’ dengan tanpa suara. Zack saja seperti itu, apalagi rekannya yang jelas-jelas telah 'melahapnya' ini. Emily tidak mau lepas dari mulut setan tapi justru masuk ke dalam pelukan iblis berambut perak ini.Emily lantas meminta pakaiannya pada Agnes dan berganti pakaian. Dia kemudian meninggalkan kediaman Benedict yang mengawasi Emily pergi dengan tawa kecil dan gelas alkohol di tangan.“Cih, kamu
Hujan turun dengan derasnya, Emily buru-buru membuka payung yang ada di tangannya. Namun, meskipun begitu, payung kecil itu tak mampu melindungi dirinya dari percikan air hujan.Hari bahkan sudah menjadi gelap dan hampir tidak ada orang di jalan ini apalagi hujan turun dengan begitu derasnya sehingga tidak akan ada orang yang begitu bodohnya berada di luar ruangan. Tidak seperti dirinya. Dia pasti sudah sangat putus asa sampai mau berhujan-hujanan ria seperti ini.Kemarin telepon dari iblis berambut perak itu menyebutkan kalau mereka akan bertemu di tempat ini. Tapi, Emily tak menyangka kalau cuaca hari ini akan seburuk ini, untung saja dia sempat membawa payung tadi karena memang ketika berangkat dari rumah langit telah mendung. Lihat, bahkan langit saja tidak menyetujui pertemuan ini. Ini sepertinya adalah langkah yang buruk. Tapi, mau bagaimana lagi, hanya ini cara satu-satunya yang bisa ia lakukan.Sebuah mobil melaju kencang melewati genangan air yang berada tak jauh dari tempat