Share

Titipan Dari Istri

“Bajingan!”

Emily hanya bisa menggumam kecil, menyaksikan pria berambut perak itu menampikkan seringai di wajah tampannya.

Terlebih ketika Benedict melangkah maju, lalu menginjak ujung lembaran uang kertas yang telah Emily pegang. Emily menaikkan pandangannya, dia melihat pria berambut perak itu menatapnya dengan tatapan dingin. Ada gestur mencemooh di bibirnya meski tak kentara.

"Kupikir Nona berharga diri tinggi ini, benar-benar memiliki harga diri yang tinggi. Tapi, ternyata, jauh panggang daripada api. Kau tidak lebih mahal dari yang kukira."

Setelah mengatakan hal itu, Benedict melemparkan jas yang ada di tangannya ke arah Emily. Karena kaget, Emily jatuh terduduk ke belakang dengan lembaran uang kertas di tangannya. Sedangkan pintu itu kembali tertutup.

Emily melihat ke arah jas abu-abu yang kini ada di pangkuannya. Apa jas ini diberikan pria itu untuknya? Lalu, apa-apaan itu tadi? Tega sekali pria itu mengatainya seperti itu. Emily merasakan air matanya menggenang. Dia merasa benar-benar rendah di hadapan pria itu.

Emily menangis tergugu. Dia berjongkok sembari memeluk lututnya dengan air mata berlinang. Dadanya benar-benar sesak dengan rasa sakit, terhina dan kecewa. Kalau saja dia tidak bangkrut, dia tidak perlu mengalami penghinaan seperti ini.

Setelah itu Emily berjalan dengan langkah gontai. Dia memilih untuk naik taksi dan pulang ke rumah. Karena baginya ke kantor polisi percuma saja, buktinya 'pemaksaan' itu telah menghilang. Mengingat itu, Emily rasanya ingin menangis lagi.

"Dasar laki-laki brengsek! Semoga saja jodohmu wanita sepertiku. Wanita yang tidak lebih mahal daripada yang kau kira!" Emily mengulangi kata-kata sarkas terakhir yang diucapkan Benedict padanya.

Sopir taksi sampai menoleh saat Emily mengutuk Benedict. Tepat saat itu, petir besar menggelegar di langit yang terang. Emily sampai kaget. Dia menepuk-nepuk dadanya dengan mata melotot.

Di tempat yang lain, Benedict yang bermaksud untuk check out sedikit terkejut ketika petugas reservasi memberikan selembar uang kertas padanya. Katanya selembar uang itu adalah titipan seorang wanita yang mengaku istrinya.

Benedict menerima uang itu dengan dahi berkerut. Titipan dari istrinya? Benedict bahkan belum menikah. Dia masih lajang jadi bagaimana mungkin dia memiliki istri.

Namun, begitu menyadari kalau ada coretan di lembaran uang kertas itu, Benedict akhirnya mengerti kalau uang itu adalah titipan dari wanita liar yang ia tiduri. 'Wanita hadiah' dari Zack.

Benedict mendengus tipis, “Cih, masih saja sok jual mahal.”

***

“Bisakah aku meminjam ponselmu, Pak? Ponselku tewas karena tenggelam.” Emily memperlihatkan ponselnya yang masih basah ke sopir taksi.

Sopir taksi itu memperhatikan kondisi Emily yang memprihatinkan, rambut basah, baju acak-acakan yang masih tetap terlihat meski telah dilapisi jas silver. Sepertinya telah terjadi sesuatu yang menyedihkan pada penumpangnya ini. Hati sopir taksi itu seketika menjadi iba. Dia lantas menyodorkan ponsel miliknya pada Emily.

“Terima kasih,” ucap Emily. Dia mulai menghubungi nomor Zack.

Buku-buku jari Emily memutih saat menggenggam ponsel, suaranya bergetar: "Zack?" panggilnya.

Emily mendengar suara berdeham. "Emily? Apakah itu kau?" Suara dari seberang sana bertanya.

Tanpa basa-basi Emily langsung to the point. "Ya, ini aku. Zack, aku ingin bertanya ... apa kau yang mengirimkanku sebagai hadiah kepada pria lain?” Suara Emily bergetar karena amarah, "Apa benar kau yang menjebakku hingga membuatku berakhir di ranjang pria lain?"

“Emily, ada apa denganmu? Kenapa kau cepat sekali menghubungiku? Apa kau sudah selesai melayani? Apa servicemu memuaskannya? Ngomong-ngomong, dia klien penting bagiku, Emily. Kau tidak menyinggung perasaannya kan?”

Astaga, Emily tak percaya kalau Zack, pria yang dijodohkan oleh pamannya ternyata sebejad ini. Bagaimana mungkin Zack menanyakan hal tersebut dengan segampang itu. Seolah Zack sedang berbicara dengan wanita penghibur mengenai service kliennya di lapangan, bahkan wanita penghibur mungkin tidak menerima perlakuan seburuk ini.

“Brengsek kau, Zack!"

Emily belum pernah membentak Zack sebelumnya. Bibinya, Regina, selalu menyuruh Emily untuk bersikap hormat kepada lelaki itu. Karena Zack adalah calon suaminya. Emily rasanya ingin tertawa terbahak-bahak memikirkan hal itu sekarang. Pria yang seharusnya ia hormati justru menjualnya kepada pria lain. Bajingan! Calon suami apanya. Belum jadi suami saja sudah seperti ini, apalagi nanti.

"Jangan terlalu dibesar-besarkan. Itu hanya urusan bisnis, Sayang. Bukankah sebentar lagi kau akan menjadi tunanganku. Jadi, ya sudah menjadi kewajibanmu untuk membantuku," Zack menjawab dengan percaya diri, “Lagipula yang kau lakukan bukanlah hal yang sulit kan? Kau hanya perlu membuka kakimu saja.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status