"Riel, kamu masih suka aroma melati?"Ariella mengangkat wajahnya dari bantal, menoleh ke arah suara Rigen yang berdiri di ambang pintu kamar penginapan. Pria itu membawa nampan kecil berisi secangkir teh melati hangat dan beberapa potong roti manis.Ia tersenyum samar. "Kamu masih ingat itu, Rigen?"Rigen meletakkan nampan di meja kecil dekat jendela. Ia duduk perlahan di sisi tempat tidur, memandangi istrinya yang kini mulai terlihat kehamilannya. Perut kecil itu perlahan membulat, dan hanya dengan melihatnya, hati Rigen terasa penuh."Mana mungkin aku lupa hal sekecil itu? Kamu selalu bilang teh melati bisa bikin kamu tenang. Jadi… kupikir kamu butuh itu sekarang," jawabnya dengan ekspresi melembut. Ariella terdiam sejenak, menatap teh itu sebelum akhirnya perlahan duduk dan mengambil cangkirnya.Hangat."Aku… belum bisa bilang semuanya kembali seperti semula, Rigen," katanya lirih.Rigen mengangguk. "Aku tidak akan memaksamu, Riel. Tapi biarkan aku temani kamu melewati ini.
“Ariella.”Suara itu lirih, tapi cukup untuk membuat tubuh Ariella membeku di tempat. Tangannya yang sedang menuang teh di cangkir kecil berhenti gemetar.Ia perlahan menoleh, dan saat matanya bertemu sosok tinggi yang berdiri di ambang pintu penginapan, seluruh dunia terasa berhenti berputar.Rigen.Dengan rambut sedikit acak, mata merah, dan wajah penuh kecemasan yang belum pernah Ariella lihat sebelumnya. Tubuhnya seperti memikul beban dunia. Tapi tatapannya hanya tertuju padanya—seolah tak ada yang lebih penting di seluruh bumi selain wanita di hadapannya.“Bagaimana kamu tahu aku di sini?” bisik Ariella.Rigen melangkah masuk perlahan. “Aku cari ke mana-mana. Hampir gila karena tak tahu kamu hidup atau…”Ariella mundur satu langkah. “Jangan lanjutkan.”Hening.Angin laut bertiup melalui jendela terbuka. Daun pintu bergoyang pelan, seakan ikut menahan napas.Rigen mengembuskan napas panjang. “Ella… tolong dengarkan aku dulu.”“Aku sudah dengar semuanya,” potong Ariella. “Dari Elis
“Kamu benar-benar tinggal di sini sekarang, Ariella? Di tempat sekecil ini?”Suara itu menghantam udara pagi yang sebelumnya tenang di teras penginapan tepi laut tempat Ariella berlindung selama tiga minggu terakhir.Ariella membalikkan badan dengan jantung mencelos. Nafasnya tercekat saat melihat sosok yang paling tak ingin ia temui.Elisabeth berdiri di sana, mengenakan gaun linen putih dan kacamata hitam. Elegan. Angkuh. Tidak tampak seperti seseorang yang mencarimu dari benua lain, tapi lebih seperti pemilik dunia.“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Ariella dengan suara nyaris serak.Elisabeth membuka kacamata, menatap langsung ke mata Ariella dengan senyum licik. “Menjemputmu pulang, tentu saja. Dunia menunggumu. Atau lebih tepatnya… menungguku.”Ariella memicingkan mata. “Apa maksudmu?”Elisabeth mendekat. Setiap langkahnya seolah menekan dada Ariella makin dalam. Ia berhenti hanya beberapa jengkal di depan, lalu berkata pelan, nyaris seperti bisikan maut:“Aku dan Rigen su
“Sudah saatnya kamu membuat pernyataan resmi, Rigen."Nada suara Elisabeth terdengar lembut, tapi tegas. Tidak ada keraguan dalam matanya. Ia duduk di seberang Rigen, di dalam ruang kerja keluarga Ataraka yang tenang namun penuh tekanan tak kasatmata. Sebuah tablet tergeletak di meja, menampilkan draf press release yang sudah ia siapkan.Rigen mendongak pelan dari tumpukan dokumen, matanya sempit. “Pernyataan tentang apa?” tanyanya dengan nada tak suka. Elisabeth menyilangkan kaki anggun dan tersenyum kecil, seolah itu hal biasa. “Tentang perpisahanmu dengan Ariella, tentu saja.”Hening.Detik demi detik berlalu tanpa suara, hanya suara detak jam dinding tua yang terdengar di antara mereka.“Elisabeth…” Suara Rigen pelan, nyaris seperti peringatan. Tapi Elisabeth tidak gentar.“Ini sudah terlalu lama, Rigen. Media mulai berspekulasi. Investor mulai resah. Mereka butuh jawaban—siapa yang akan mendampingimu dalam jangka panjang. Dan kamu…” Ia mencondongkan tubuh ke depan, “kamu per
“Kamu yakin mau pergi?”Suara perawat jaga terdengar pelan, setengah berbisik. Matanya menatap perempuan muda yang berdiri di dekat pintu dengan koper kecil di sisi kaki, wajahnya sayu, tapi sorot matanya penuh tekad.Ariella mengangguk lemah. “Tolong… jangan beri tahu siapa pun dulu. Aku hanya… butuh menjauh.”Perawat itu ragu sejenak, lalu mengangguk. Ia tahu nama “Ariella Smith” sudah terlalu sering disebut di koridor rumah sakit beberapa hari terakhir—bukan karena kesehatannya, tapi karena skandalnya. Karena semua bisikan yang menamainya dengan kata-kata seperti istri pura-pura, pewaris palsu, wanita tanpa nama.Ariella menarik napas panjang, lalu melangkah pelan meninggalkan kamar rawat inap yang menyimpan begitu banyak luka batin. Di atas meja, ia meninggalkan secarik surat yang ditulis semalaman sambil menangis:> “Jika kehadiranku hanya jadi sumber kehancuran, maka aku memilih menjauh. Untuk kebaikanmu. Untuk kebaikan anak ini.”Ia tidak membawa ponsel. Tidak ingin dibujuk. Ti
Tiga hari berlalu sejak badai skandal itu meledak. Ariella menatap langit-langit kamar rawat inapnya, matanya kering kelelahan. Ia bahkan sudah berhenti menangis. Tubuhnya mulai pulih, tapi pikirannya—hancur berkeping. Setiap kali ia membuka media sosial atau sekadar melihat notifikasi berita dari layar ponsel, wajahnya sendiri muncul diiringi tajuk tajam dan menyakitkan. > "Skandal darah campuran mengguncang keluarga Ataraka." "Pewaris hamil? Tapi bukan anak pewaris?" "Rigen Ataraka bungkam, benarkah ada yang disembunyikan?" Dan Rigen? Sejak panggilan teleponnya dengan dokter itu, pria itu belum sekali pun datang menemuinya. Tak ada pesan. Tak ada penjelasan. Ariella mulai bertanya-tanya… Apakah Rigen juga mulai ragu? Apakah tatapan lembut itu… cinta? Atau hanya kewajiban yang perlahan pudar? *** Di sisi lain kota, Elisabeth kembali memantapkan langkahnya. Kini ia bukan hanya memainkan media dan dokumen medis—ia juga mulai merangkul para tetua keluarga Atara