Suasana rumah besar keluarga Ataraka pagi itu tampak tenang. Tenang dari luar—tapi di dalam, riak-riak licik mulai terbentuk. Jovian berdiri di depan kaca ruang tamu sambil merapikan kemeja hitamnya. Matanya sesekali melirik ke arah koridor menuju kamar utama, tempat Ariella baru saja lewat dengan gaun rumah sederhana berwarna pastel. Bukan sesuatu yang vulgar, tapi justru kesederhanaannya membuat dada Jovian terasa mengencang. Ia meneguk ludah, buru-buru mengalihkan pandangan saat suara langkah lain terdengar. Seorang pria dengan jas rapi, senyum tipis, dan sorot mata penuh perhitungan masuk ke ruangan. “Jason Ataraka,” gumam Jovian pelan, sedikit menunduk. Jason—keponakan jauh Rigen—mengangkat dagunya. “bertemu lagi denganmu, sekretaris pribadi Paman Rigen.” Suaranya tenang, tapi setiap kata seperti ada racun yang disembunyikan. Jovian menegakkan tubuh. “Benar. Aku Jovian.” Jason tersenyum, seolah sudah menilai pria di depannya hanya dari sekali tatap. “Yah. A
Suasana sore di rumah besar Ataraka terasa tenang. Cahaya matahari menyusup melalui kaca jendela tinggi, menimpa ruang keluarga yang lapang. Ariella duduk di sofa sambil membaca majalah tipis, sementara Jovian berdiri tidak jauh, pura-pura memeriksa beberapa berkas di tangannya. Namun dari sudut matanya, ia terus saja mencuri pandang. Tatapannya menelusuri wajah lembut Ariella, rambut panjangnya yang jatuh natural, hingga senyum samar yang muncul setiap kali ia menemukan sesuatu menarik dalam bacaan. 'Aku tahu ini salah…,' batin Jovian, tapi ia tak bisa berhenti. Ada daya tarik yang membakar sabarnya setiap kali berada di dekat perempuan itu. “Jovian.” Ariella menoleh, tersenyum kecil. “Kamu sudah lama di situ? Dari tadi tidak pergi-pergi. Ada yang ingin kamu sampaikan?” Jovian kaget, buru-buru menunduk. “Ah, tidak, Nyonya. Saya hanya… memastikan semua dokumen beres sebelum saya serahkan ke Tuan Rigen.” Ariella mengangguk pelan. “Kamu rajin sekali. Tidak semua orang bisa sepr
“Masih tidur?” Suara berat Rigen terdengar pelan di telinga Ariella. Ariella mengerang kecil, tubuhnya meringkuk di balik selimut. “Hmm… masih ngantuk. Kamu baru pulang, kan?” Rigen tersenyum tipis. Tangannya terulur, menyingkap selimut yang membungkus tubuh istrinya. “Baru saja. Tapi sepertinya aku belum puas, Riel.” Bibirnya mendarat di leher Ariella, mencumbu dengan nakal. “Rigen…” Ariella membuka mata separuh, menatap wajah suaminya yang masih berlumur aura dingin sisa malam berdarah di pelabuhan. “Kamu capek. Tidur saja.” “Capek?” Rigen terkekeh rendah. “Capekku hilang kalau lihat kamu menggeliat begini di ranjang.” Jemarinya menelusuri pinggang Ariella, membuat perempuan itu tersentak kecil. “Rigen, jangan pagi-pagi begini…” Ariella berusaha mendorong dada suaminya, namun Rigen menindihnya, menatap dengan senyum bengis sekaligus menggoda. “Kenapa? Takut tidak kuat lagi? Atau takut ada yang masuk tiba-tiba?” bisik Rigen di telinganya. Pipi Ariella merona. “K
“Aku dengar suara mobilmu.” Ariella bersuara pelan dari sofa ruang tengah ketika pintu terbuka. Rigen baru saja pulang. Jas hitamnya sedikit kusut, dan jika diperhatikan dekat, ada noda samar di lengan kemejanya—bekas darah yang sempat ia hapus terburu-buru. Matanya tajam, dingin, masih menyisakan aura predator yang baru saja menyelesaikan perburuan. Namun begitu tatapannya jatuh pada Ariella, ekspresinya langsung berubah. Bibirnya terangkat miring. “Kamu menungguku, hm?” tanya Rigen, suaranya rendah, mengalir seperti bisikan berbahaya. Ariella mengangguk, lalu matanya menyipit. “Kamu dari mana? Aku mencium bau… besi.” Rigen tertawa pendek, lalu berjalan mendekat. Ia melepas jas, melemparkannya sembarangan di kursi, lalu menunduk, menempelkan bibirnya ke leher Ariella. “Bau besi? Kamu terlalu peka, sayang," jawab Rigen, Giginya menggigit kecil kulit halus itu. “Atau kamu hanya mencari alasan untuk memprovokasiku lagi?” Ariella mendesah, tangannya otomatis menahan da
“Pastikan semua orang sudah menunggu di dalam gudang.” Suara Rigen terdengar datar, dingin, ketika ia melangkah turun dari mobil hitamnya. Sepatu kulitnya memantul suara berisik di atas lantai baja pelabuhan yang basah. Angin asin laut menusuk tajam, namun tak ada satu pun yang berani menggigil di hadapannya. “Semua sesuai perintah, Tuan,” lapor salah satu anak buah dengan kepala tertunduk. Rigen hanya mengangguk singkat. Mata hitamnya yang tajam menyapu sekitar. Gudang nomor 17, bangunan tua dengan lampu remang-remang, sudah dikepung puluhan anak buahnya. Tak ada celah keluar, tak ada harapan kabur bagi para pengkhianat yang menunggu di dalam. “Buka.” Satu kata itu keluar pelan, tapi cukup membuat dua orang segera mendorong pintu besi berkarat yang berderit berat. Di dalam, bau amis bercampur karat menusuk hidung. Enam orang terikat di kursi, mulut mereka disumpal, wajah pucat penuh keringat. Mata mereka membelalak begitu melihat Rigen melangkah masuk, jas hitamnya kontras den
"Apa tatapanmu itu maksudnya apa, hm?" Ariella mendengus pelan sambil menyuapkan roti panggang ke mulutnya. "Aku hanya makan, Rigen," jawabnya, sambil memalingkan wajah. Rigen menyandarkan tubuhnya di kursi, kemeja putihnya terbuka dua kancing seolah sengaja memamerkan kulit dadanya. Tatapan tajamnya menyapu tubuh istrinya dari atas sampai bawah. "Kamu makan dengan wajah merah seperti itu. Jangan bilang kamu masih merasa pegal dari semalam, Sayang?" Pipi Ariella seketika memanas. Ia hampir tersedak dan buru-buru meneguk air."Jangan bicara keras-keras, Rigen! Kamu benar-benar… menyebalkan, " protes nya dengan bibir cemberut. Rigen terkekeh rendah. Ia menyelipkan tangan ke bawah meja, menyentuh paha Ariella dengan santai, seolah hal itu lumrah. "Aku hanya mengingatkan kalau tubuhmu tadi malam luar biasa lentur. Sampai sekarang tanganku masih teringat rasanya, Sayang," godanya dengan nada nakal. Ariella menepis tangannya dengan panik. "Kita sedang sarapan, Rigen." "T