Ariella duduk di tepi ranjang, tubuhnya masih terasa sakit sejak semalam. Ia mengenakan gaun tidur tipis berwarna gading, bahunya terbuka, menampakkan beberapa bekas merah yang belum sepenuhnya memudar. Jari-jarinya meremas ujung kain, napasnya naik turun tidak teratur. Ketika pintu kamar terbuka, suara langkah berat Rigen masuk tanpa ragu. Pria itu masih mengenakan kemeja hitam, lengan terlipat ke siku, dan wajahnya serius. Tatapan matanya langsung jatuh pada sosok Ariella yang menunduk di ranjang. “Kamu belum tidur?” tanya Rigen, suaranya rendah, serak, nyaris seperti perintah. Ariella mengangkat wajah perlahan, ada ketegangan sekaligus keberanian di sana. “Bagaimana mungkin aku bisa tidur setelah apa yang kamu lakukan padaku semalam?” Rigen terdiam sebentar. Ia melepas jam tangan, meletakkannya di meja, lalu berjalan mendekat dengan langkah mantap. “Kamu masih marah?” tanyanya datar, meski jelas-jelas ia tahu jawabannya. Ariella mendesah kasar, suaranya bergetar. “
Pintu kamar terbuka. Rigen masuk dengan langkah tenang, seperti seorang raja yang baru saja pulang ke tahtanya. Pandangannya langsung tertuju pada Ariella. “Kamu tidak tidur,” ucapnya pelan, tapi nadanya datar. Ariella menoleh, sorot matanya penuh tuduhan. “Bagaimana aku bisa tidur setelah apa yang kamu lakukan, Rigen?” Rigen tidak menjawab, hanya menutup pintu dan menguncinya. Klik. Bunyi kunci itu membuat Ariella menegang. Ia menggenggam selimut erat, seperti perisai terakhir yang bisa melindunginya. “Jadi, kamu takut padaku?” tanya Rigen, berjalan mendekat. Ariella menelan ludah. “Aku tidak takut. Aku muak.” Alis Rigen terangkat. Ia berhenti tepat di depan ranjang, menunduk menatap wajah istrinya yang gemetar. “Muak? Beraninya kamu bilang muak pada suamimu sendiri?” “Ya!” Ariella akhirnya meninggikan suara. “Kamu memperlakukanku seperti aku bukan manusia. Kamu menandai tubuhku, kamu buat aku kesakitan. Itu bukan cinta, Rigen. Itu… hukuman.” Rigen menarik napas panjang, se
Sinar matahari pagi menembus tirai tipis, menerangi kamar yang masih berantakan. Seprai kusut, bantal terlempar ke lantai, dan aroma bercampur keringat serta gairah semalam masih begitu kuat, seolah-olah dinding kamar pun menyerap jejak malam itu. Ariella membuka mata perlahan. Kelopak matanya terasa berat, tubuhnya remuk seakan dilindas. Setiap ototnya pegal, kulitnya perih, dan ada denyut samar di tiap bagian yang disentuh Rigen malam tadi. Saat ia berusaha bangkit, tubuhnya langsung kembali jatuh ke kasur, gemetar. Nafasnya tercekat ketika matanya menangkap bayangan samar di lengan dan lehernya. Bekas gigitan. Lebam keunguan. Goresan merah tipis. Semua ada di tubuhnya. Wajah Ariella memanas, bukan hanya karena rasa sakit, tapi juga karena malu. Seluruh tubuhnya… penuh tanda kepemilikan Rigen. “Astaga…” bisiknya gemetar, tangannya meraba leher yang perih. “Dia benar-benar meninggalkan tanda di mana-mana…” Pintu kamar mandi terbuka. Rigen keluar dengan hanya bertelanjan
Kamar itu masih beraroma panas dari ronde pertama, namun Rigen sama sekali belum puas. Ia menatap Ariella seperti binatang buas yang lapar. Nafas istrinya sudah terengah, tubuhnya gemetar, tapi itu justru memantik bara di matanya.“Belum selesai,” desisnya. Suara rendahnya terdengar seperti ancaman maut. Ia menarik dagu Ariella kasar, memaksa perempuan itu menatap langsung ke matanya. “Kamu pikir aku akan berhenti setelah melihat dua pria itu menaruh mata mereka padamu?”Ariella terisak, tubuhnya bergetar. “Rigen… aku tidak—”“Diam.” Suaranya meledak, dingin dan tajam. “Aku tidak peduli apa alasanmu. Malam ini tubuhmu hanya akan jadi tempat aku melampiaskan semua amarahku. Kamu mengerti?”Ia tidak menunggu jawaban. Rigen mendorong Ariella telentang, selimut terhempas, tubuh istrinya terbuka tanpa perlindungan. Ariella buru-buru menutup wajah dengan lengannya, namun tangan suaminya menyingkirkannya kasar.“Jangan pernah bersembunyi dariku.”Bibir panasnya menelusuri kulit Ariella, b
Udara kamar itu masih menyisakan aroma besi dari darah yang menempel samar di kulit Rigen. Lelaki itu baru saja menyelesaikan eksekusi dinginnya terhadap Jason dan Jovian—dua pengkhianat yang berani mencuri istrinya. Namun meski musuh-musuh itu sudah mati, bara amarah dalam dirinya belum padam. Malam itu bukan hanya milik pembantaian, tapi juga milik hukuman yang harus diterima Ariella. Tubuh Ariella gemetar saat Rigen mendorongnya masuk ke kamar mereka. Pintu terhempas menutup keras di belakang, menutup semua jalan kabur. Tatapan mata kelam Rigen menusuk, bukan sekadar marah, melainkan amarah bercampur nafsu kepemilikan yang membara. “Aku sudah bilang…” Suaranya rendah, serak, tapi penuh tekanan, “kamu milikku. Tidak ada satu pun pria yang boleh menyentuhmu, apalagi membuatku meragukanmu.” Ariella menelan ludah, bibirnya gemetar. “Aku—aku tidak melakukan apa pun, Rigen… Mereka—” “Diam!” Rigen menghardik, satu tangannya menekan bahu Ariella hingga ia terjepit ke dinding
Darah masih menetes dari ujung pedang panjang yang digenggam Rigen. Ruangan bawah tanah itu dipenuhi aroma besi yang pekat, bercampur keringat, ketakutan, dan jeritan yang baru saja berakhir. Jason dan Jovian terikat di kursi besi masing-masing, tubuh mereka penuh luka cambuk, hantaman, dan torehan dingin yang diberikan tanpa ampun. “Paman…” Suara Jason parau, hampir tak terdengar. Matanya yang masih menyala menyimpan kebencian bercampur putus asa. “Kamu memilih wanita itu… lebih dari keluargamu sendiri?” Rigen melangkah mendekat perlahan. Sepatunya berdecit menyentuh genangan darah di lantai. Tatapannya gelap, tanpa sedikit pun belas kasihan. “Kamu salah besar, Jason,” jawab Rigen, suaranya rendah, menekan, seperti bisikan maut. “Kamu bukan keluargaku. Kamu hanyalah parasit yang memanfaatkan nama besar Ataraka untuk ambisi busukmu sendiri.” Jason tersenyum getir meski bibirnya pecah-pecah. “Kalau begitu… bunuh aku. Setidaknya aku mati setelah menyentuh bayangan wanitamu—”