Malam itu datang dengan tenang, tapi aroma ketegangan menyelimuti udara bagaikan kabut tak kasatmata.Jamuan keluarga Ataraka digelar di ballroom hotel mewah milik jaringan bisnis mereka sendiri. Dinding-dindingnya berlapis marmer putih, lampu gantung kristal menggantung megah di langit-langit tinggi, dan denting alat musik klasik mengalun halus dari panggung kecil di ujung ruangan.Rigen dan Ariella memasuki ruangan dengan tangan saling bertaut.Tatapan para tamu langsung terarah pada mereka—terutama pada perut Ariella yang mulai terlihat bulat di balik gaun panjang biru tua berpotongan elegan.“Dia datang...” bisik seorang wanita tua di sudut.“Itu dia... wanita yang katanya hanya cari warisan.”Rigen mendengarnya. Tapi ia tidak menoleh. Kepalanya tegak.“Siap?” bisiknya pada Ariella.“Selalu.”Di sisi lain ruangan, Elisabeth berdiri berdampingan dengan Jason. Gaun hitam berbelahan tinggi melekat sempurna di tubuhnya, dan senyumnya—ah, senyumnya malam itu seperti racun dalam bentuk
Malam itu, Elisabeth kembali ke apartemennya dengan tubuh letih tapi otak tetap berjaga. Setiap langkahnya terasa berat, seakan tubuhnya menyadari bahwa waktu bermain-main sudah habis.Ia baru saja membuka pintu ketika suara familiar terdengar dari dalam ruangan.“Aku harap kamu tidak mengira bisa pulang diam-diam setelah bertemu Ariella.”Jason duduk di sofa, mengenakan pakaian serba hitam, segelas wine di tangan.Elisabeth tak terkejut. “Kamu mengikutiku.”“Tentu.” Ia memutar gelas pelan. “Kamu terlalu... tidak konsisten untuk dibiarkan sendirian.”Elisabeth menutup pintu, meletakkan tas, lalu berjalan perlahan ke meja. “Kamu ingin tahu apa yang kubicarakan dengan Ariella?”Jason mengangguk, seolah itu hal kecil. “Tentu. Tapi aku lebih tertarik pada ekspresi wajahmu waktu bertemu dia. Hmm, kamu masih cemburu, ya?”Elisabeth menahan napas sejenak. “Kalau aku cemburu, sudah sejak lama aku membunuhnya," jawab gadis itu dengan tangan terkepal. Jason tertawa pelan. “Tapi kamu tidak mela
Malam itu, Elisabeth kembali ke apartemennya dengan tubuh letih tapi otak tetap berjaga. Setiap langkahnya terasa berat, seakan tubuhnya menyadari bahwa waktu bermain-main sudah habis.Ia baru saja membuka pintu ketika suara familiar terdengar dari dalam ruangan.“Aku harap kamu tidak mengira bisa pulang diam-diam setelah bertemu Ariella.”Jason duduk di sofa, mengenakan pakaian serba hitam, segelas wine di tangan.Elisabeth tak terkejut. “Kamu mengikutiku.”“Tentu.” Ia memutar gelas pelan. “Kamu terlalu... tidak konsisten untuk dibiarkan sendirian.”Elisabeth menutup pintu, meletakkan tas, lalu berjalan perlahan ke meja. “Kamu ingin tahu apa yang kubicarakan dengan Ariella?”Jason mengangguk, seolah itu hal kecil. “Tentu. Tapi aku lebih tertarik pada ekspresi wajahmu waktu bertemu dia. Hmm, kamu masih cemburu, ya?”Elisabeth menahan napas sejenak. “Kalau aku cemburu, sudah sejak lama aku membunuhnya," jawab gadis itu dengan tangan terkepal. Jason tertawa pelan. “Tapi kamu tidak mela
“Aku tidak menyangka kamu benar-benar datang sendiri.”Suara Elisabeth terdengar tenang, hampir seperti rayuan. Tapi Rigen hanya berdiri di ambang pintu café kosong yang mereka sepakati sebagai tempat pertemuan, mengenakan mantel gelap dan tatapan sedingin malam.“Aku datang karena aku ingin dengar dari mulutmu sendiri... sebelum aku memutuskan kamu pantas dihapus sepenuhnya dari hidupku,” jawab Rigen tanpa basa-basi.Elisabeth tersenyum tipis. “Kamu terdengar seperti hakim di pengadilan terakhir.”“Aku mungkin bukan hakim, Lis. Tapi aku cukup waras untuk menyadari mana teman, mana pengkhianat.”Elisabeth menarik kursi. “Duduklah. Kita tidak sedang di ring tinju.”Rigen tetap berdiri. Matanya menatap lurus ke arah wanita yang pernah begitu dipercayainya—bahkan, nyaris ia nikahi. Tapi kini, duduk di depannya bukan wanita masa lalu. Melainkan teka-teki dengan sisi tajam.“Jason sudah bicara banyak padamu, ya?” tanya Elisabeth sambil mengaduk kopi yang tak ia sentuh sejak tiba.“Cukup un
“Sudah lama kamu tidak menemuiku tanpa menyembunyikan wajahmu di balik senyum,” ucap Jason sambil menyeruput kopinya pelan.Elisabeth berdiri di ambang pintu ruang pertemuan rahasia mereka—sebuah villa tua di Lembang, tempat yang dulu mereka jadikan markas kecil saat awal menyusun strategi menjatuhkan Ariella. Dingin malam meresap ke kulit, tapi hawa di dalam ruangan jauh lebih menusuk.“Aku tidak pernah menyembunyikan apa pun darimu, Jason,” jawab Elisabeth seraya duduk, menyilangkan kaki anggun dengan elegan. “Kamu tahu itu.”Jason meletakkan cangkir kopinya perlahan. “Ah, tapi aku tahu lebih banyak sekarang. Terutama setelah kudengar kamu makan malam dengan Rigen... dua hari lalu.”Wajah Elisabeth tetap tenang, meski matanya menyipit sedikit. “Aku diundang. Aku tidak datang membawa racun.”Jason terkekeh. “Racun tidak selalu harus dituang lewat gelas. Kadang... cukup dari kata-kata manis dan pandangan mata yang terlalu lembut untuk seorang musuh.”“Dan sejak kapan aku menjadi musuh
“Dia terlalu manis,” gumam Rigen sambil menatap foto Elisabeth di layar laptopnya. Jovian yang duduk di seberangnya mengernyit. “Siapa?” “Elisabeth,” jawab Rigen pelan. “Manisnya tidak wajar. Seperti gula yang disiram ke luka, bukan ke kopi.” Jovian mengangguk pelan, seakan kalimat itu bukan perumpamaan biasa—melainkan kode. “Saya juga merasakan yang sama, Tuan.” Rigen membalik layar laptop, menampilkan cuplikan rekaman dari kafe kecil di sudut Dago. Elisabeth tampak sedang duduk dengan pria asing berpakaian formal, lalu… dengan Jason. “Dua hari lalu, dia bilang sedang ke Jakarta untuk pertemuan bisnis dengan pihak properti. Tapi ini jelas-jelas Bandung.” Jovian menghela napas. “Jason Ataraka. Dan yang satunya… konsultan keamanan digital yang sebelumnya kerja untuk Bram.” “Dia sedang bermain api dengan tangan yang berbeda.” Rigen menyandarkan tubuh ke kursi. “Tapi yang membuatku gelisah... dia ingin kita tahu ini. Semua terlihat jelas—terlalu jelas.” “Umpan?” tanya Jovian.