Tengah malam, Rigen baru saja kembali. Hari kemunculannya kembali benar-benar melelahkan sehingga dia bahkan tak beristirahat sedikit pun. Pintu rumah terbuka dengan suara pelan. Langkah Rigen mantap, namun pikirannya masih dipenuhi angka dan laporan dari rapat hari ini. “Jovian,” panggilnya datar, “bawakan berkas merger itu ke ruang kerja.” Tidak ada jawaban. Aneh. Rigen melangkah masuk, meletakkan jas di gantungan, lalu menuju ruang makan. Sekilas, suasana rumah ini… terlalu sunyi. Tidak ada aroma teh kesukaan Ariella. Tidak ada suara langkahnya di atas karpet. Matanya menyapu meja makan. Sesuatu menarik perhatiannya. Sepotong amplop putih tergeletak di sana. Tidak ada nama. Tidak ada tulisan. Kening Rigen mengerut saat melihat cincin pernikahan yang biasa tersemat di jari manis Ariella, kini ada di sana. Rigen mengambil amplop putih itu dan membukanya perlahan. Begitu melihat isinya, ekspresi Rigen langsung mengeras. Itu… surat perceraian. Tangannya mengepal. “Ariell
Selepas kepergian Jovian, aku duduk membisu di ruang makan. Mataku terpaku pada lantai, tempat foto itu kini tergeletak. Jemariku bergetar halus, udara seperti menyesakkan. “Kenapa…” gumamku, nyaris tak terdengar. “Kenapa bukan kamu sendiri yang bilang langsung, Rigen? Kenapa harus lewat Jovian?” Suaraku hanya ditelan ruangan kosong. Tak ada jawaban. Namun, kata-kata itu terus berputar di kepalaku. Berkali-kali. Ponselku tergeletak di meja. Tak ada notifikasi. Tak ada pesan. Tak ada panggilan dari Rigen. “Bahkan setelah aku tahu,” bisikku lagi, “Rigen masih diam saja…” Menghempaskan tubuh ke sandaran kursi, aku menatap langit-langit dengan mata yang mulai panas. Perih. Hati ini seperti dijepit dari segala arah. Tanpa daya, aku memungut foto itu lagi, menatap wajah perempuan cantik di samping Rigen. “Selena, ya?” tanyaku lirih, seolah berharap foto itu bisa menjawab. “Tunangan? Lalu aku ini apa?” Suara tawa kecil—pahit—keluar dari mulutku. “Istri kontrak? Mainan?” T
Siang itu, udara di rumah terasa tegang. Setelah pagi yang begitu intens dan penuh gairah, aku pikir Rigen akan tetap sibuk di ruang kerjanya, seperti biasa, tapi ternyata tidak. Ketika aku turun ke ruang makan, langkahku sempat terhenti di ambang pintu. Ada Jovian—sekretaris pribadi Rigen—sudah duduk di sana, duduk dengan postur tegap dan penuh perhitungan. Seperti biasa, dia tampak rapi dengan kemeja abu muda yang disetrika tanpa cela, dan ekspresi wajah yang tidak pernah bisa aku baca sepenuhnya. Senyumnya muncul begitu melihatku, tapi bukan senyum yang hangat. Itu senyum sinis yang terlalu halus untuk disebut mengejek, tapi terlalu menusuk untuk diabaikan. "Nona Ariella," sapanya datar, tanpa menunjukkan respek. “Sepertinya kamu semakin nyaman di rumah ini.” Nada bicaranya bukan sekadar basa-basi. Itu seperti pisau kecil yang diselipkan di antara kata-kata, menggores tanpa benar-benar menyentuh. Menahan diri sekuat mungkin, aku menjawab. “Memangnya kenapa?” Dia menyandark
Rigen tengah berdiri di depan cermin tinggi di ruang pribadinya. Setelan jas hitam Armani sudah melekat sempurna di tubuh tegapnya, menciptakan bayangan seorang pemimpin yang dingin, tegas… dan siap merebut kembali tahtanya.Jovian masuk perlahan, membawakan dasi gelap yang belum dipakai Rigen. “Tuan,” ucapnya sambil mendekat.Rigen mengambil dasi itu dan mengikatnya sendiri. Gerakannya rapi dan tenang, tapi aura tekanan di udara begitu terasa.“Tinggal dua jam sebelum konferensi dimulai,” lanjut Jovian. “Semua anggota dewan sudah memastikan kehadiran. Termasuk Jason.”Rigen tidak menjawab. Dia hanya menyelipkan kancing terakhir jasnya dan menatap bayangannya sendiri. Matanya… kosong tapi penuh amarah yang terpendam."Silakan, Tuan."Jovian kembali berkata dengan sopan, yang dibalas Rigen dengan anggukan. Saat keluar dari ruang kerja, ujung mata Rigen melirik ke arah kamar tidur utama yang tertutup, tempat di mana Ariella tengah tertidur pulas. Rigen berhenti sejenak, menghela napas
Aroma kopi segar menyusup masuk ke kamar, membuatku akhirnya bangkit dari ranjang. Aku masih mengenakan kemeja Rigen—kebesaran, panjangnya hampir menutupi pahaku. Namun, justru itu yang membuatnya terasa hangat, seperti pelukan yang belum benar-benar usai.Saat aku masuk ke dapur, pemandangan pertama yang kutangkap adalah punggung Rigen, berdiri di depan mesin kopi, rambutnya masih sedikit acak, kaus tipis menempel pada tubuhnya yang berkeringat tipis. Bahkan dalam kesederhanaan seperti ini, pria itu tetap terlihat berbahaya.“Aku kira kamu cuma bercanda soal kopi,” ucapku sambil bersandar di kusen pintu.Ia menoleh sebentar, lalu tersenyum miring. “Aku tidak pernah bercanda soal dua hal—kamu, dan kopi.”Menahan debar di dada, aku tertawa kecil, melangkah masuk dan duduk di kursi bar dekat meja. Di hadapanku, ada dua piring: roti panggang dengan telur setengah matang, dan potongan alpukat yang ditata rapi. Melihat betapa cantiknya hidangan itu, aku menatapnya, curiga. “Rigen? Kam
Matahari menyusup pelan di balik tirai kamar, menyinari bayangan tubuh Rigen yang masih tertidur di sampingku. Napasnya tenang. Dingin. Tapi tangannya masih melingkar di pinggangku, seolah menandai bahwa aku miliknya… bahkan saat dia tidur.Menatap wajahnya yang damai, tampan dan misterius seperti biasa, aku tersenyum sendiri. Pria ini bukan hanya mendominasi hidupku — dia mengacak-acaknya, meremukkannya… dan entah kenapa, aku tetap tinggal.Aku perlahan bangkit dari tempat tidur, mencoba tak membangunkannya. Tapi belum sempat kakiku menyentuh lantai, suara seraknya menghentikanku.“Pagi-pagi mau kabur, hm?”Menoleh, aku menemukan mata gelap itu sudah terbuka, menatapku lekat-lekat. Tatapannya… seperti api yang belum padam sejak semalam.“Aku cuma mau minum,” gumamku cepat.Rigen menarikku kembali ke ranjang, dengan mudah. Tubuhku jatuh ke dadanya yang hangat.“Kamu suka membuatku marah malam hari… dan mencoba lari pagi harinya. Kebiasaan buruk, Riel.”Aku mendesah. “Kamu juga punya
Melihat kilatan obsesi di mata Rigen, aku merasa kesenangan yang aneh. Aku menarik napas pelan, lalu mengangkat tanganku dan menyentuh pipinya dengan lembut. “Aku cuma lecet di lutut, Rigen. Tidak perlu sedrama itu…” selorohku sambil tertawa kecil. Namun Rigen langsung menggeleng. Matanya menatapku dalam, tajam, tapi juga seperti menyimpan rasa takut yang tak bisa ia ucapkan. “Lecet atau apa pun itu… tetap aja kamu terluka. Dan aku tidak bisa nerima itu. Tidak akan pernah, Riel.”Perlahan, kata-katanya mulai merayap ke dalam hatiku, mengendap di ruang-ruang yang selama ini kuhindari. Aku mulai merasa aneh, gugup, tapi juga hangat. Entah kenapa, cara dia bicara, cara dia memandangku, semua terasa terlalu dalam. Terlalu… tulus.Menelan ludah, aku berusaha tidak terlihat terlalu terbawa suasana, tapi gagal. “Rigen…” bisikku. “Kalau kamu benar-benar segitu pedulinya… janji satu hal ke aku.”Dia menatapku, alisnya sedikit terangkat. “Apa?”“Kalau ada apa-apa… sekecil apapun itu, kam
“Beraninya kamu menyentuhnya.” Suaranya dingin. Dalam. Tapi jauh di balik nada datar itu, ada kemarahan yang ditahan—dan cemburu yang membakar. Aku mendongak cepat. Rigen berdiri tak jauh dari kami. Tubuhnya tegak sempurna dalam setelan gelapnya, wajahnya tak menunjukkan ekspresi, tapi matanya... tajam dan menusuk lurus ke arah pria muda yang masih berlutut di hadapanku. Pengawal itu refleks menunduk dalam-dalam. Tangannya segera menjauh dari kakiku, bahkan mundur sedikit. “T-tuan Rigen...” ucapnya gugup, “Saya... saya hanya—” “Simpan alasanmu,” potong Rigen, langkahnya mendekat perlahan. “Cukup.” Suaranya sedingin salju Yordania. Rigen kini berhenti tepat di antara kami. Tanpa melihat ke arahku, ia membungkuk sedikit, mengambil kapas dari tangan si pengawal dengan gerakan tenang namun penuh tekanan. “Aku yang akan mengobatinya,” ucapnya tegas. “Pergi.” "B-baik, Tuanku." Pengawal itu menunduk lagi, cepat-cepat berdiri, dan melangkah mundur. Sebelum ia benar-benar pergi, R
"Hmmm, apa yang dibicarakan Jovian dan Rigen, ya?" gumamku penasaran, karena semenjak pembicaraan siang itu, aku merasa Rigen sedikit menjauh. Bukan menjauh, sih. Lebih tepatnya seperti membatasi diri. Rigen yang biasanya menyempatkan diri ke kamarku, kini selalu sibuk di kamarnya. Aku merasa jarak di antara kami yang awalnya sudah sedikit tertutup, kini terbuka lagi. "Hahh, aku bosan." Berguling-guling di kasur, aku menghela napas panjang. Aku sudah mencoba semua hadiah mahal dari Rigen, tapi karena tak pernah keluar rumah, apa gunanya semua gaun mewah dan perhiasan mahal itu? Tak ada pesta yang bisa kuhadiri untuk memamerkan pemberian Rigen. Aku mengintip kamar Rigen yang hari ini, lagi-lagi tertutup, membuat kami terasa asing. "Aku ingin bicara dan ngobrol dengannya. Tapi, pembahasan apa?" Baru kusadari, aku sebenarnya tak tahu banyak hal tentang pria yang kini menjadi suamiku itu. "Hmm, tapi tidak ada salahnya aku maju lebih dulu, kan? Aku sangat bosan."